Mengapa Saya Menulis, Bagaimana Saya Menulis, dan Apa Yang Saya Tulis.

Apa yang telah tertulis takkan terlepas, apa yang akan terlepas sudah tertulis. Begitulah pertamakali Allah menciptakan qalam. Pena yang kemudian menuliskan akar kejadian dari seluruh penciptaan semesta. Saat takdir disampaikan satu persatu, kemudian manusia menerima segala ketentuan-Nya, lalu Kun jadilah. Maka begitu pulalah saya menerima dunia kepenulisan sebagai bagian dari takdir seutuhnya. Saya penulis dan bukan pengarang. Disebabkan saya hanya akan menulis sesuatu yang ingin disampaikan, untuk kelak hari saya bisa memiliki secercah keyakinan dalam menyampaikan pertanggungjawaban. Ya, saya telah menyampaikan.

Sama seperti pena (qalam) yang pertamakali bertanya apa gerangan yang harus saya tuliskan, maka jawabnya adalah apapun yang kemudian memintas dan terlintas dalam diri. Semesta yang menghadirkan kearifan dengan melukiskan dirinya secara terbuka. Pohon pisang yang mampu bertahan hidup dalam segala kondisi, tidak rentan dengan perubahan musim, mampu regenerasi, dan ragam kemanfaatan bisa diambil dari keberadaan dirinya, bahkan setelah kematiannya. Indah dan penuh kemanfaatan. Lukisan semesta itu menjadi pintasan-pintasan yang sangat terbuka bagi kita untuk mendekat akan keberadaan-Nya. Karena bukankah sebelum segala sesuatu itu terwujud tak ada, kecuali berasal dari Dzat-Nya.

Dengan melihat keberadaan alam kita melihat prototipe mahluk secara universal. Kita melihat bayangan purnama yang jatuh di sungai, di kolam, di tempayan, di air diam dalam tempurung kelapa yang walau di tempat yang berbeda-beda kita tetap melihat bentuk bulan yang sama bulatnya. Ada cahaya yang terbagi, ada wajah bulan di mana-mana, namun tak berubah wujudnya. Bulan tetap pada letaknya. Pada manzilah yang sudah tertata kita melihat bulan yang satu, yang kemudian kita ingin menuliskannya. Catatan-catatan tentang semesta raya pun kemudian hadir mengilhami kita untuk menulis keindahan purnama dalam derajat magis yang menggetarkan. Ada kaidah-kaidah humanisme yang dibangun. Dalam diri tiba-tiba hadir perasaan tunduk dan pasrah. Rasa mencintai, namun yang justru akan ternodai jika digambarkan, hingga kita tak bisa menyebutkannya sebagai sekadar cinta. Dalam istilah pronoun kita tidak lagi melihat bulan sebagai subyeknya, tetapi obyeknya. Kitalah subyeknya.  

Dalam konsep religi yang saya anut, akan selalu tak cukup tinta bagi kita untuk menuliskan kemuliaan-Nya. Laisa kamitslihi syaiún. Tuhan tak terumpamakan lainnya. Kita hanya bisa membahas kemurahan kasih-Nya, dan sungguh tak pantas menyinggung seolah tahu kemurkaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia Yang Maha Besar dengan segala ke-Maha Agung-an-Nya akan tercederai kemurkaan terhadap mahluk yang bahkan tak lebih dari sekadar zarah di keluasan ciptaan-Nya. Melalui pengenalan terhadap alam semesta saya mengetahui bahwa keberadaan kehidupan di dunia ini kita berbagi. Bukan hanya antar manusia, namun juga dengan gunung, dengan sungai, dengan samudera, dengan langit, dengan seluruh ciptaan Allah yang masing-masing memikul amanahnya sendiri-sendiri.

Itulah asyiknya menulis religi. Ada kenyamanan saat saya menulis naskah-naskah itu. Ada sesuatu yang menuntun dan membukakan pengenalan bahkan terhadap rahasia hidup yang selama ini terkunci. Ini jelas berbeda dengan konsep berkarya untuk menghasilkan popularitas. Menambahi halaman untuk mempertebal pemasukan, dan sebagainya. Dalam dimensi religi rasa syukur atas azas manfaat dari sebuah karya menumbuhkan hikmah tak terperi. Ia yang mencari akan menemukan, dan ia yang telah menemukan akan menyimpannya sebagai karunia yang penuh kenikmatan. Barangkali ini kredo paling tepat untuk menjelaskan kenapa saya hari ini lebih menyukai tema-tema religi.

Religiusitas menempatkan kita dalam posisi dua arah. Kehidupan yang kita jalani hari ini dan kehidupan setelah kita mati. Dalam penggambaran perjalanan seorang salik kita melihat itu sebagai keadaan dimana dunia ruhaniahnya mulai bocor. Seperti telur yang mulai retak, lamat-lamat ia mulai mendengar suara di luar dirinya. Saat tirai hijab penghalang hidup bisa dilubanginya ia mendengar adzan pertama di telinga kanannya. Lalu dalam keadaan masih buta digendongnya kita penuh cinta kasih. Ada tangis menandai puncak dari sekalian rasa syukur. Ada pengakuan dalam kalimat hamdalah, yang melaluinya kemudian kita dikenalkan pada wujud cahaya.

Allah telah menampakkan pena dari takdir kecilnya mahluk yang tersembunyi. Dalam pena yang juga telah memberikan titik-titik penggambaran sangat jelas sebagai timeline perjalanan dan wujud utuh keberadaan mahluknya. Kita hidup dari satu titik menuju titik lainnya dalam khazanah hayat yang disebut sedang berproses. Zona timeline adalah titik-titik virtual yang bermula dari persaksian inna lillahi wa inna ilaihi rojiún sebagai titik awal asal-usul manusia, yang dalam pelajaran sekolah dasar dulu, kita kemudian menyambungkannya satu-persatu untuk membentuk gambar sesuai persepsi bayangan kita. Maka begitulah takdir ini berjalan. Dari ribuan titik yang ada kita bisa memilih rangkaian titik-titik menjadi feedback takdirnya diri kita sebagai manusia.

Kita bisa menjadi pohon beringin, kita bisa menjadi lilin, kita bisa menjadi harimau, kita bisa menjadi Angel. Namun kita tak memiliki pemahaman seberapa lama waktu kita bermain-main dengan titik-titik itu. Ada kalanya saat kita baru menyelesaikan separuh badan gambar manusia, tiba-tiba sudah tiba waktu kembali ke titik awal hingga kita tak pernah benar-benar bisa sempurna untuk menggambarkan keinginan kita dalam wujudnya manusia. Di titik inilah, menulis, sebagai keinginan untuk menyampaikan visi tindakan manusia, menjadi imajinasi ruh yang paling menyelamatkan. Tidak penting benar kita akan menjadi apa, adalah sesuatu yang indah manakala kita bisa diterima sebagai bagian dari rahasia penciptaan-Nya. Al insannu sirri wa anna sirruhu, manusia itu rahasia-Ku dan Akulah rahasianya.

Menjadi penulis adalah bagian dari sebuah shirat, titian perjalanan hidup. Saya menjadikan dimensi kepenulisan sebagai matra shalawat kepada Sang Maha Hidup, Pemilik Cinta dan Yang Dicintai. Segala yang mengalir dari pena adalah persaksian diri, yang semisal ada pahala mengalir dari kemanfaatan orang yang membacanya semoga kemudian Allah berkenan melimpahkannya sebagai hadiah untuk orang-orang yang saya cintai, dan seluruh keluarga saya. Sebagai warisan dan juga sedekah ilmu untuk berbagi kepada sesama. Persembahan terbaik dari seorang hamba manusia kepada Sang Khalik atas amanah hidup yang dipikulnya.

Ia yang telah memberi kita mata yang dengannya kita bisa melihat dengan jelas akan segala keindahan yang tergelar hingga di ujung cakrawala. Ia yang terus mendekap kita dalam ketenangan saat tidur, terlelap dalam ketiadaan sampai kemudian terjaga. Tak ada rumus penghormatan lebih lagi kecuali kita meneruskan pena dengan menuliskan serangkaian niatan baik, tindakan baik, hasil baik dalam buku kebaikan yang kelak kita kembali akan kita serahkan sebagai laporannya. Ini menjadi sebentuk thariqah, rutinitas yang memunculkan gairah positif hingga secara bertahap kita merasa bisa mendekatkan diri dan semakin mendekat dengan nafs al haqq, jiwa riil yang bertahta dalam kemasyukan yang tak ternodai lainnya. Jelas di sini kehidupan sebagai seorang penulis bukanlah semata gaya, namun lebih mirip pilihan munajat. Sebab ada makna persembahan cinta yang didekap begitu rupa untuk menjaga kemuliaannya.

Tetapi berbicara tentang gaya, dalam kepenulisan, bukanlah harga mati dalam saya melahirkan tulisan. Imajinasi spiritual hanyalah sebuah konsep, yang justru hanya akan berpotensi menjadi penyesatan, manakala kita tak memiliki bekal ilmu sebagai landasan. Dalam membuat tulisan-tulisan religi, hampir sepenuhnya tulisan saya justru bukan berawal dari keinginan saya sebagai umumnya seorang penulis hendak menulis. Lebih menyerupai adanya impuls, dorongan ruhani. Sesuatu yang hadir sebagai ilham, yang akan terus menuntut untuk ditulis bila dalam sehari dua hari saya tak menuangkannya. Ilham yang demikian juga tak mesti hadir dari sebuah peristiwa atau sesuatu yang keramat. Ia bisa mendadak muncul dari pemandangan sehari-hari, Melihat ombak ketika laut pasang, melihat petani turun lembah mengangkut sayuran, melihat para pekerja pulang senja menenteng jajanan. Kita melihat sensualitas dalam warna hidup yang beragam. Ada ikan yang berenang dengan tenang di antara gelombang, ada rasa syukur atas apa yang bisa kita petik hari ini, dan ada kebahagiaan yang terpancar atas karunia rezeki yang kemudian bisa kita bagi.

Perjalanan selama memasuki dunia ilham ini sejatinya hanya berlangsung dalam kilasan waktu yang sebentar saja, walau mungkin ruhaniah kita mengalami banyak peristiwa. Tiba-tiba kita berada dalam perjalanan bersama seseorang yang asing, kita terlibat dalam banyak dialog, dan selama percakapan-percakapan itu terjadi kita merasa bahwa seseorang itu sudah begitu karibnya dengan diri kita. Ada saat-saat kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain ibarat potongan-potongan scene dalam sebuah film. Dalam kalimat dulu guru mursyidmu itu belajar di Gunung Jati misalnya, maka gambar terlihat adalah potongan wilayah Cirebon. Lalu mungkin kita berpindah gambar ke gunung Tidar, ke gunung Sindoro, atau berikutnya seakan berada di Surabaya, untuk menunjukkan bagian-bagian perjalanan dari sang mursyid yang penting untuk diketahui. Dalam perjalanan itu bahkan diketahui apa yang dilakukan juga apa yang ditinggalkan sang guru mursyid selama menziarahi sebuah wilayah.

Dari ilham yang satu ke ilham yang lain kita melintasi waktu yang panjang, namun hampir tak pernah ada suasana malam, seingat saya tidak pernah ada warna kegelapan. Seingat saya juga tidak pernah bertemu dengan sosok yang berlawanan jenis, kecuali tokoh pelengkap yang kadang bisa saja hadir sebagai indung masa silam yang kemudian kita dikenalkannya. Tetapi yang demikian sangat jarang. Perjalanan dalam dunia ilham adalah wilayah esoteris yang tak menunjukkan kebutuhan-kebutuhan semenjana. Tak ada perbincangan rasa haus dan lapar. Tak ada hasrat bercinta, atau drama-drama nafsu kehidupan manusia lainnya. Kita tidak bisa memilih wilayah, bertemu dengan siapa, dan sebagainya. Kita bisa berkali-kali mati hingga kita mendapatkan penyadaran utuh hakikat kematian yang belum pernah kita alami. Tetapi, kita mati.

Lalu saat berikutnya tiba-tiba kita tersadar dengan badan penuh keringat, dan baru menyadari sebenarnya kita tak pernah kemana-mana, walau kita mengalami banyak peristiwa begitu rupa. Kita masih dalam kondisi sama sebelum peristiwa itu terjadi. Di atas bus dalam perjalanan menuju suatu tempat misalnya. Atau di sebuah tempat berbentuk makam yang sebenarnya kita tengah berziarah misalnya. Atau bahkan mungkin hanya serasa semisal tengah tertidur di depan laptop dalam waktu yang tidak begitu lama. Kita memasuki futuhul ghaib dengan menjalani peristiwa yang sangat gamblang, namun terhalang untuk menceritakannya kembali. Ada hijab terselubung untuk merekonstruksi wajah dari sekalian tokoh-tokoh yang telah berhubungan dengan kita. Kita bahkan tidak bisa dengan mudah menyebutkan persisnya di mana tempat kejadian berlangsung, namun ada butiran-butiran pesan yang jelas untuk dicatat.

Kita tidak mendapatkan pemahaman-pemahaman itu melalui buku, atau apa yang disampaikan orang, tetapi melalui pelakunya sendiri. Namun walau apa yang kita terima itu adalah bentuk dari hakikat sebuah kebenaran, tetap saja kita tak memiliki hak untuk dengan semena-mena mengungkapkannya kepada yang lain. Semacam relasi privat yang tak boleh di-published. Kita juga tak berhak mengungkapkannya berdasar logika semata, karena kehendak yang demikian adalah juga serupa nafsu. Hingga jika kita menerjangnya, akan terputus jalan menuju lubang dimensi nirmala itu. Ini adalah dimensi paralel yang menghubungkan satu ruh dengan ruh lainnya.

Hubungan kita dengan alam, dengan flora, dengan fauna, dengan semesta raya juga memiliki domain tersendiri. Komunikasi dengan alam yang kemudian menghasilkan kontak batin tidak sepenuhnya berlangsung dalam jagat mistik supranatural, akan tetapi rasa kebersamaan secara terus-menerus berupa kearifan. Berbeda dengan thariqat sufi yang menempuh jalan keilahian dengan wirid dan amalan, membangun hubungan harmonis dengan alam akan menghasilkan esensi spiritualitas yang lain. Dalam terminologi eko-sufism kita belajar dengan alam akan membuat kita alim, paham akan sesuatu, namun juga ‘alamah, memiliki ketundukan yang sama bagaimana alam itu tunduk akan perintah Allah, dan seterusnya. Memahami sujudnya gunung, tasbihnya dedaunan, dan wiridnya hujan, melahirkan intimate sensation yang membuat kita tersungkur dalam puncak syukur penuh tangis kebahagiaan. Kita bisa bercakap dengan hujan, dan bisa memintanya untuk sekadar berhenti, namun tidak berarti kita yang mengendalikan. Pemahaman tentang jagat makro akan membukakan pintu kegaiban tersendiri bahwa manusia memang wujud mikro dari seisi alam yang mengandung unsur-unsur kosmik mineral, tumbuhan, hewan, hingga sifat kemalaikatan dan keilahian melalui ruh yang ditiupkan-Nya.  

Dengan mengikuti ilham ini saya memasuki dimensi kepenulisan yang menentramkan. Tulisan-tulisan yang hadir pun secara deskriptif mendapatkan argumentasi nalar yang mudah, disebabkan berasal dari hal-hal yang bersifat keseharian dengan teologi ekologi dan sosial sebagai kearifan. Ia menjadi risalah bidayah, kitab pembuka dari bahasa langit yang telah terujudkan dalam firman. Manifesto teofani yang kasat mata. Mutiara berserakan dari ayat-ayat kauniyah yang kita luput memperhatikannya selama ini. Ada perasan take and give pertanggungjawaban terhadap Tuhan yang telah memberikan keleluasaan bagi kita untuk mendengar, melihat, dan menikmati keseluruhan itu, bahwa dengan menulis religi saya mendapatkan keluasan ruang bersyukur yang tanpa ada ujung batasnya.

Esensi tulisan-tulisan saya hari ini haruslah ada nilai humanisme untuk perbaikan diri. Bukan untuk sebuah sebab yang sedang viral, namun seacara esensi ia memang layak dituliskan. Seorang penulis tidak pada tempatnya diintervensi oleh sekadar trend untuk mempertahankan keyakinannya dalam menyampaikan sesuatu. Bagi saya nominasi trend hanyalah kalimat yang lahir dari industri media yang lebih menggarisbawahi pendapatan komersial bahkan dengan resiko mengesampingkan nilai-nilai edukasi. Menjual judul-judul yang bombastis untuk mencari sensasi, ia serupa ledakan petasan yang bahkan kita tak akan berani mendekatkannya pada anak kita sendiri.

Dalam menulis saya selalu berusaha menyelesaikannya sekali jadi. Itu sebabnya saya harus memilih ruang dan juga waktu yang tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas lainnya. Itu pula sebabnya saya hanya bisa menulis sesudah seluruh materinya dirasa mencukupi. Saya tak berharap pembaca tulisan saya buru-buru beranjak mengambil kesimpulan dari sekelebatan high light. Sebuah tulisan harus memiliki energi yang kuat yang secara bahasa seorang pembaca merasa perlu mengulanginya lagi. Bahkan kalau mungkin ia tak akan bisa dengan mudah menyampaikan tulisan itu kecuali dengan cara menghafalkannya.

Jika ada pertanyaan apakah benar dunia kepenulisan adalah takdir saya yang sesungguhnya, maka jawaban saya saat ini adalah setidaknya saya sudah menentukan pilihan. Menulis religi sebagai sebuah sikap sudah menjadi rukun peribadatan dalam kehidupan saya. Saya melihat anugerah hidup adalah sesuatu yang harus dituliskan secara sempurna. Bukan melulu berisi logika untuk memikirkan bagaimana cara melihat hidup dan mencukupi kehidupan kita sehari-hari. Namun juga bagaimana kita bisa mengisi, menggunakan, serta mengoptimalisasikan anugerah akal sebagai bagian pertanggungjawaban kita kepada Tuhan Sang Pencipta yang telah menganugerahi kita akal sebagai wujud pemuliaan  sebagai manusia.

Saya terus menulis, dan akan terus menulis. Karena tulisan adalah juga menjadi sesuatu yang bisa diwariskan. Terlebih jika itu kemudian berbentuk sebuah karya. Anak turun kita harus mengetahui apa yang telah dilakukan para orang tuanya. Tulisan adalah warisan otentik dari literasi peradaban manusia yang bisa dibaca kapanpun waktunya. Ia bahkan wujud kebudayaan dari sebuah era. Hingga ketika kita bisa hadir menjadi salah satu variabel dari kebudayaan itu, tentu bukan hanya kebanggaan dzahir semata hasilnya. Akan ada inspirasi muncul dari kelak penerus kita. Nalar untuk menulis. Nalar untuk menggunakan panca indera yang ada, otak berpikirnya, intelektualitasnya.

Wonosobo, 26 September 2020

Gusblero

Catatan:

Naskah ini telah diterbitkan dalam Antologi Esai Proses Kreatif “Menanam Kata Menuai Asa”, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 2020

Surah Maryam 1 – 1

gusblero_sirrul asrar

ALLAH LEBIH TAHU perkara keindahan yang sebenarnya. ALLAHU A’LAMU BIMURADIHI, Allahlah yang lebih tahu apa maksudnya. Betapa begitu indahnya Ia mengulang kisah saat Kanjeng Nabi Zakaria memohon kepada-Nya. Dengan berbisik sangat lembut, yang menggambarkan bahkan tak satu pun Malaikat nyaris bisa memahami isyaratnya.

 

Bagaimana seorang Rasul yang telah renta, hendak mengemukakan suatu permohonan yang bagi orang lain mungkin dianggap lucu. Yaitu memohon keturunan dalam usia yang menurut setengah riwayat waktu itu telah mencapai 90 tahun. Dengan kondisi Isya binti Faqudza, istrinya, dikatakan telah mandul pula.

 

WA LAM AKUM BIDUÁIKA RABBI SYAQIYYA. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.

 

Kalimat-kalimat Kanjeng Nabi Zakaria yang pasrah dan merintih itu, jika didengar seluruh alam semesta, pasti akan bisa meluluh lantakkan gunung dan benua dalam keharuan munajat yang disampaikannya.  Core of the core, puncaknya roja’ dan khauf.

 

FAHAB LI MIN LADUNKA, maka berilah aku dari sisi-Mu.

 

Kalimat-kalimatnya runtut dan takdzim. Jika bukan karena Kehendak Allah, tujuh samudera sekalipun rasa-rasanya tak akan pernah sampai untuk menuliskan kalimat-kalimat ini.

 

Kalimat-kalimat yang kemudian diabadikan oleh Allah sendiri dalam Al Qurán. Tentang kepasrahan seorang Nabiyullah yang memohon dengan harap-harap cemas disebabkan mengetahui bahwa Allah sendiri adalah pewaris yang lebih baik dari segala pewaris.

 

Subhanallah. Istajib lana Ya Allah. Istajib lana Amin Yaa Mujiibus Sailin. Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah mengabulkan permohonan hamba-Mu yang terpilih.

 

  1. kaf hā yā ‘aīn ṣad, Kaf Ha Ya ‘Ain Shad

 

  1. żikru raḥmati rabbika ‘abdahu zakariyyā, Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria

 

  1. iż nādā rabbahu nida`an khafiyyā, (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut

 

  1. qāla rabbi innī wahanal-‘aẓmu minnī wasyta’alar-ra`su syaibaw wa lam akum bidu’a`ika rabbi syaqiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku

 

  1. wa innī khiftul-mawāliya miw wara`ī wa kānatimra`atī ‘āqiran fa hab lī mil ladungka waliyyā, Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu

 

  1. yariṡunī wa yariṡu min āli ya’quba waj’al-hu rabbi raḍiyyā, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Yakub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.”

 

  1. yā zakariyya innā nubasysyiruka bigulāminismuhu yaḥyā lam naj’al lahu ming qablu samiyyā, (Allah berfirman), “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.”

 

  1. qāla rabbi annā yakunu lī gulāmuw wa kānatimra`atī ‘āqiraw wa qad balagtu minal-kibari ‘itiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua?”

 

  1. qāla każālik, qāla rabbuka huwa ‘alayya hayyinuw wa qad khalaqtuka ming qablu wa lam taku syai`ā, (Allah) berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

 

  1. qāla rabbij’al lī āyah, qāla āyatuka allā tukalliman-nāsa ṡalāṡa layālin sawiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” (Allah) berfirman, “Tandamu ialah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat.”

 

  1. fa kharaja ‘alā qaumihī minal-miḥrābi fa auḥa ilaihim an sabbiḥu bukrataw wa ‘asyiyyā, Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang

 

 

Wonosobo, 2 Nopember 2019

TAN JIN SING, Orang Wonosobo, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

Tan Djing Sin_gusblero_3

 

SEBUAH POSTINGAN tweeter menggelitik saya: “Sebenarnya Tan Jing Sin (1760-18310, BUKAN Raffles, sebagai penemu Candi Borobudur. Gubernur Jendral Raffles, takkan tercatat dlm sejarah sebagai penemu Borobudur, jika Pimpinan Tionghoa sekaligus Bupati Jogja bernama Tan Jing Sin tak menunjukkan jalan menuju Candi Borobudur.” (@Azmiabubakar12 , tweet 7 Sep 2019).

 

Berbekal postingan itu saya kemudian melacak history terkait itu. Dan ini hasilnya:

 

Pada 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

 

Saat itu, Raffles mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd.

 

Tan Jin Sing kemudian menyampaikan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil. Demikian ditulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.

 

Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan.

 

Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. Kata Paimin namanya candi Borobudur, tulis Werdoyo.

 

Kondisi candi saat itu menyedihkan. Ditumbuhi tanaman dan bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali.

 

Borobudur tempo dulu

 

Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha.

 

“Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo.

 

Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia.

 

Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro.

 

Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813.

 

Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan.

 

Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro.

 

Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.”

 

Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius.

 

Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan.

 

Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat.

 

Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

 

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing yang kemudian terkenal sebagai Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu?

 

Tan Djing Sin_gusblero_1

 

Menyebut nama Kapitan Tan Jin Sing bisa jadi sebagian kita banyak yang tidak mengenalnya. Namun  bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya Tan Jin Sing adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Menilik dari sejarahnya, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.

 

Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.

 

Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Ternyata salah, Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.

 

Dalam riwayatnya Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau lebih dikenal dengan panggilan Bah Teng Long.  Namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.

 

Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.

 

Pendapat ini merujuk dari silsilah Bupati Banyumas Raden Tumenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.

 

Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Raden Ayu Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.

 

Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada Raden Ayu Patrawijaya agar diperkenankan mengasuh dan membesarkan Raden Luwar.

 

Tan Djing Sin_gusblero_6

 

Singkat cerita permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari Raden Ayu Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.

 

Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan Raden Ayu Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya Raden Ayu Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.

 

Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.

 

Tan Djing Sin_gusblero_5

Para Pemimpin Kabupaten Wonosobo

Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Mahkota Raja jaman dulu

Kabupaten Wonosobo sesungguhnya merupakan penerus kejayaan kraton Majapahit. Rajanya bernama Prabu Brawijaya V 1448 – 1478. Prabu Brawijaya V menikah dengan Ratu Wandan Kuning, putri Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Dari pernikahan ini lahir Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.

Setelah dewasa Raden Bondan Kejawan dijodohkan dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan Raden Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih ini lahir tiga putra, yaitu Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendawa dan Nyi Ageng Ngerang.

Sebetulnya Ki Ageng Tarub merupakan anak dari Syekh Magribi. Ibunya adalah Dewi Rasawulan, putri Bupati Wilwatikta Tuban. Dengan demikian Ki Ageng Wonosobo itu cucu langsung Ki Ageng Tarub. Jadi Ki Ageng Wonosobo masih trahing kusuma rembese madu.

Keturunan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng menjadi orang penting dalam sejarah Jawa. Tiga bersaudara selalu berperan dalam perjuangan kraton Demak Bintara, Pajang, dan Mataram. Keturunan Ki Ageng Wonosobo yang menonjol ditunjukkan oleh Ki Ageng Juru Martani. Keturunan Ki Ageng Getas Pendawa diperankan oleh Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan Ki Ageng Ngerang diwakili oleh Ki Ageng Penjawi.

Nama kecil Ki Ageng Wonosobo adalah Syekh Ngabdullah Al Akbar. Ki Ageng Wonosobo menikah dengan Dyah Plobowangi, putri Demang Selomerto. Kediaman Dyah Plobowangi ini terkenal dengan sebutan Plobangan Selomerto. Atas usul Ki Demang Selomerto, daerah yang selama ini dipimpin dinamakan Wonosobo.

Kademangan Wonosobo makin maju. Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Status Kabupaten Wonosobo waktu itu masih dalam pembinaan kerajaan Demak Bintara. Wajar sekali pendirian daerah pemekaran harus diampu oleh kekuasaan induk. Posisi itu tetap berlangsung setelah bergesernya kekuasaan dari Demak, Pajang, Mataram dan Kraton Surakarta Hadiningrat.

Dan urutan Pemimpin Kabupaten Wonosobo versi Dr. Purwadi SS, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), sebagi berikut:

1. Tumenggung Adipati Wonosobo I, 1489-1529. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Raden Patah.

2. Tumenggung Adipati Wonosobo II, 1529-1540. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Adipati Unus.

3. Tumenggung Adipati Wonosobo III, 1540-1582. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Sultan Trenggono.

4. Tumenggung Adipati Wonosobo IV, 1582-1607. Dilantik pada jaman kerajaan Pajang. Rajanya Sultan Hadiwijaya.

5. Tumenggung Adipati Monconagoro I, 1607-1647. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Prabu Hadi Hanyakwati.

6. Tumenggung Adipati Monconagoro II, 1647-1670. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

7. Tumenggung Adipati Monconagoro III, 1670-1699. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

8. Tumenggung Adipati Monconagoro IV, 1699-1712. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Amral.

9. Tumenggung Adipati Monconagoro V, 1712-1728. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana I.

10. Tumenggung Adipati Wonokusumo I, 1728-1750. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana II.

11. Tumenggung Adipati Wonokusumo II, 1750-1790. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana III.

12. Tumenggung Adipati Wonokusumo III, 1790-1821. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IV.

13. Tumenggung Adipati Wonokusumo IV, 1821-1825. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana V.

14. Tumenggung Adipati Setjonagoro 1825-1832. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VI.

15. Tumenggung Adipati R Mangunkusumo 1832-1857. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

16. Tumenggung Adipati R Kertonegoro 1857-1863. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

17. Tumenggung Adipati Tjokroadisoerjo 1863-1869. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

18. Tumenggung Adipati Suryohadikusuma, 1889-1898. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

19. Tumenggung Adipati R Suryohadinagoro, 1898-1919. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

20. Tumenggung Adipati RA Sosrohadiprojo, 1919–1944. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

21. Tumenggung Adipati Singgih Hadipuro, 1944-1946. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana XI. Patihnya RMAA Sosrodiningrat yang menjadi anggota BPUPKI.

22. R Soemindro, 1946-1950. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

23. R Kadri, 1950-1954. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

24. R Omar Soerjokoesoemo, 1954-1955. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

25. R Sangidi Hadisoetirto, 1955-1957. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

26. Rapingoen Wimbohadi Sedjono, 1957-1959. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

27. R Wibowo Helly, 1960-1967. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

28. Drs. Darodjat AWS, 1967-1974. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

29. R Mardjaban 1974-1975. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

30. Drs. Soekamto 1975-1985. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

31. Drs. Poedjihardjo 1985-1990. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

32. Drs. H Soemadi 1990-1995. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

33. Drs. H Margono 1995-2000. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

34. Drs. Trimawan Nugrohadi, 2000-2005. Dilantik pada jaman Presiden Abudurrahman Wahid.

35. Drs. H. Abdul Khaliq Arif, 2005-2015. Dilantik jaman Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

36. Eko Purnomo SE. MM., 2016-2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

37. H. Afif Nurhidayat S.Ag, menjabat sejak 2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

Source: https://arbaswedan.id/sejarah-kabupaten-wonosobo/

Maiyah, Tarjumangah Rasa

Saya mrabang (kata ini belum ada terjemahan resminya). Beberapakali ke wilayah dusun hampir selalu ada terdengar orang berbisik pada orang di sampingnya, “orang Maiyah,” bisiknya. Kadang lirih, kadang disengajakan keras untuk memberitahukan pada lainnya.

Kalau sudah begitu, saya harus mengatur ulang sikap bertamu saya. Karena bisa jadi niatan awal silaturahmi yang tadinya cuma ingin menanyakan berapa harga cabe sekarang di pasaran, lambat laun curcolnya bisa sharing bagaimana caranya agar Allah bisa terasa lebih berkenan hadir dalam ruang ‘Shohibu Baiti’ rumah kami singgah tersebut.

Cak Nun tidak ada. Sedulur-sedulur Kiai Kanjeng, Sabrang, Kiai Muzammil, mbah Tanto Mendut apalagi. Kadang saya mrabang disela pembicaraan membayangkan mereka tak ada. Saya tertawa, mereka sudah berhasil mengantarkan tema yang secara spektrum teofani menghadirkan Allah dan para Rasul-Nya, tanpa harus diribeti membahas nasab Maiyah yang ada.

Teologi Maiyah memang begitu, menurut saya. Dasar hukumnya Rahmatan lil ‘alamin. Derajat ruhaniahnya berkoloni sendiri-sendiri, padanan nurnya tidak sama, tetapi tidak ada yang lantas mendominasi. Ketika orang berbicara Maiyah, masing-masing sudah memahami potensi inti dalam hidup manusia adalah kesadaran dharurat untuk terus selalu berharap hadirnya hidayah dan pertolongan Allah.

Maiyah lebih cocok sebagai tarjumangah rasa, dimana orang mentaddaburi khasanah kosmologi jagat semesta dan seluruh penghuninya selaras pengenalan-pengenalan dalam dirinya. Maiyah adalah bidayah (pembuka, budi pekerti, akar budaya) dari risalah (agama langit yang dibawa Rasul) yang tarikatnya didirikan atas pertimbangan rasa.

Maiyah saya tarikate wong utun, majlisnya orang dusun, yang lebih mengutamakan wejangan orang tua dan guru. Santri ngesot, yang berjalan sambil menggeser pantat, ndepe-ndepe, mendekat pada Allah mengharap kemurahan rahmah kasih-Nya.

Tidak ada dan tidak berlaku jabatan atau gelar apapun dalam Maiyah. Tetapi ada nilai ketahuan diri, ada etos menghormati. Beragama tidaklah boleh menjadi sesuatu yang memberatkan, orang beragama harus nyaman. Bermula dari yang demikian beragam tindakan bersama akan bisa disusun menuju kerahmatan.

Selamat Tahun Baru 2021

Semoga kita diberikan kemudahan kelancaran kesuksesan keberkahan keselamatan dalam segala hal

Wonosobo, 27 Desember 2020

(Sambil mancing di pinggir kali)

Gusblero

PAHING PON WAGE KLIWON LEGI TERUSLAH WAHING

Tuhan sedang mengambil satu penyakit dan menggantinya dengan penyakit yang lain. Menurut saya itulah fenomena yang tengah terjadi dalam beberapa bulan ini. Seseorang

menyampaikan kepada saya awal-awal mulai mewabah Corona, kata simbah-simbah dahulu, orang yang tidak pernah wahing dalam empat puluh hari itu memberi tanda orang yang sudah dekat-dekat dengan kematian.

Saat itu kami berdua tertawa. Tidak untuk mentertawakan apapun, hanya gojekan biasa acapkali berjumpa.

Bulan demi bulan berganti, dan musim pancaroba datang lagi. Dari kemarau ke penghujan, dari situasi gersang kemudian wabah air melanda hinggu siklus badai taufan. Banyak hilang jiwa karena bencana, juga penyakit tanpa gejala. Sore sakit sore mati, pagi sakit pagi mati.

Semua luput memperhatikan, kecuali Corona. Padahal musim peralihan biasanya membawa dampak banyak flu pada siapa saja. Namun hampir pasti dalam beberapa bulan ini kita jarang mendengar ada orang terserang flu, atau wahing sebagai pengiring gejalanya. Atau bisa jadi ketakutan akan Corona membuat orang takut flu, lalu rencana periksa kesehatan menumbuhkan trauma takut-takut kena klaim Covid 19 Corona.

Sekitar setengah bulan lalu saya bertemu sahabat kiai muda yang juga sering dimintai tolong soal pengobatan. Kata dia, dalam beberapa bulan terakhir tak kurang dari tiga ratus orang telah datang meminta pertolongannya. Keluhan sebagian besarnya sama, hilangnya indra perasa.

Cerita yang nyambung. Tetapi kali ini kami berdua tidak ada yang tertawa.

Pagi hari saat saya dan istri pulang dari sawah dan mendengar ibu mertua wahing saya baru tertawa.  Ketika ibu mertua bertanya kenapa tertawa, saya menjawabnya Pahing Pon Wage Kliwon teruslah wahing, dan semoga Allah memberi kita usia yang panjang untuk bisa terus mengurus sawah ladang dan seluruh keluarga kita. Aamiin.

Pada segala peristiwa yang kami tiada mengetahui hakikatnya, sungguh kami memohon perlindungan kepada-Mu Yaa Allah. Lindungilah kami dan sesungguhnyalah kami bersandar pada belas kasih-Mu.

Gusblero, 29 November 2020

NB: Abah Guru Sekumpul mewasiatkan, dawamkan pagi dan sore sekurang-kurangnya baca LAA ILAAHA ILLALLAH 3X (mata tertutup, pikiran tenang, khusu’) lalu ditutup dengan MUHAMMADAR RASULULLAH 1X (sambil membuka mata).

RASA MANIS DALAM BUTIRAN GULA

Waktu dulu kecil, tak jauh dari rumah kami tinggal Mbah Semar. Saya sering kesana, karena di sana banyak jajan. Walau begitu tak mudah untuk sekadar mendapatkan jajanan itu, sebab sebelumnya saya harus menjawab dulu pertanyaan sebagai test kecil-kecilan lah.

Suatu ketika saya minta minum teh. Diseduhkanlah teh dalam cangkir jadul dengan air hangat. Saya masih ingat betul Mbah Semar lalu mengambilkan gula pasir. Tidak menggunakan sendok, namun dijumputnya dengan jari, lalu dimasukkannya dalam cangkir. Barangkali ada tiga atau paling banter lima butir sepengamatan saya. Lalu diaduknya.

“Sudah ini diminum. Cari gulanya biar kamu bisa merasakan manisnya,”katanya sambil tersenyum.

Saya melongo. Disuruh mencari adukan gula yang cuma berapa butir dalam cangkir raksasa untuk ukuran saya waktu itu.

“Kalau kamu bisa mendapatkan gulanya, pasti akan bisa kamu rasakan manisnya walau airnya segentong,”lanjutnya sambil memamerkan moho (sejenis kue basah pasaran).

Mau nggak mau sayapun kemudian belajar minum air yang ukuran umum pasti nggak bisa untuk dibilang manis. Tetapi dari sini saya belajar mengabaikan rasa tawar untuk menemukan titik manis dari unsur yang telah bercampur begitu rupa.

Hingga kini. Saat saya bisa memahami manisnya rasa walau hanya sebutir gula dalam wadah apapun yang terhidang di depan mata.

Gusblero, 28 November 2020

Debu Corona

gusblero - debu corona

Suatu ketika adalah seseorang

Yang datang memasuki sebuah kota yang terang

Matahari menyengat tak ada air

Pada burung lapar yang berdiri di tiang

Kita tahu kota diselimuti bencana

 

Ada ngeri yang bernama kesunyian

Orang-orang enggan berjabat tangan

Karena itu berarti kematian

Peradaban menjadi pusara bagi warganya

Seluruhnya menjadi zona merah

Karena wabah

 

Kota terang dengan air tak berguna

Karena bahkan pada genangan yang tersisa

Telah menjadi rumah singgah

Bagi kematian seluruh warganya

 

Orang itu tinggal satu-satunya

Atau kalaupun ada lain yang tersisa

Masihkah itu bisa disebut kehidupan

Ketika tegur sapa dianggap bahasa kematian?

 

Sunyi senyap angin kering membawa bau flamboyan

Orang itu mematahkan dahannya

Lalu menghisap sisa getah yang ada

Ia mencecap rasa, kebahagiaan terakhir

Dari sebatang pohon di tengah kota

 

Lalu ia melihat debu

Tetapi berkilaun pula wajah Corona

Ia tersenyum

Bahkan seandainya engkau hendak menghanguskanku

Aku tetap akan mengambilmu, Corona

 

Perlahan ia mengambil debu untuk wudhu

Debu Corona yang panik pun kemudian berlompatan dari kedua tangannya

Apakah engkau akan membunuhku, Corona?

 

Debu Corona berjatuhan ditiupnya

Tetapi banyak yang kemudian menempel di badannya

Wajahnya dipenuhi Corona

Lengannya dipenuhi Corona

Siang itu ia mendirikan shalat dengan debu Corona menempel di sekujur tubuhnya

Apakah engkau hendak membunuhku, Corona?

 

Kota yang penuh dengan kematian

Karena hanya itulah yang dicatat oleh semua orang

Tetapi apakah kita pernah melihat wajah Corona sesungguhnya?

 

Wajah yang berlari berhamburan dan terbakar

Saat dibawa bersama menghadap Allah pemilik seisi dunia

Wajah pucat pasi dan kepasrahan tak terduga

Wajah Corona diantara lantunan doa orang yang menghadap pada Sang Khaliknya

 

Engkau bisa membunuhku, Corona

Tetapi engkau tak akan bisa menghilangkan kehambaanku sebagai seorang manusia

Doa apa yang engkau punyai ketika hendak membunuh manusia, Corona?

Apakah engkau hendak berbuat sekehendakmu?

 

Siang hari itu hikayat kemudian mencatat

Adalah sesorang lelaki yang tersungkur dalam wabah

Namun kembali bangkit menjalani kehidupan kedua

Dan Corona melihat kematian yang indah

Yang berlumuran dari tangannya sendiri

 

Wonosobo, 24 Mei 2020

Ya Arwahul Muqoddasah

Wahai jiwa yang menari dalam kegirangan Ramadhan

Wahai yang telah terbebas dari sangkar menuju yang dicintai

Engkau yang tak lagi tertawan

Apakah engkau masih melihatku kini?

.

Malam-malam kita berbincang, dalam diam kita berikrar

Engkau yang mengajariku mengunci rahasia

Tentang Kekasih yang sama-sama kita cintai

Yang memberiku secawan air di telaga gunung

.

Wahai jiwa riang bebas yang selama ini membimbingku tenang

Engkau yang tahu ruh takkan terpisahkan

Semoga tak tertutup perjumpaan bagi kami sesudah kepergiannya

Semoga tak terputus ilmu bagi kami sesudah kehilangannya

.

Allahummansyur nafahatir ridwani alaih

wa amiddana bil asrorillati auda’taha ladaih

.

GBF, 25/4/2020

Gusblero_Maret 2020