9. Ayam Jago

Banyak sudah penelitian ilmiah yang membuktikan kebenaran sabda-sabda Nabi SAW secara ilmiah. Berikut ini adalah salah satunya: “Bila engkau mendengar suara ayam jantan maka mintalah karunia kepada Allah karena ia melihat malaikat, sedangkan bila engkau mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari Setan karena dia melihat setan.” (Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

 
Kita sering kali mendengar hadits ini tetapi bisa jadi jarang memikirkannya dan tidak terlintas dalam benak kita untuk meneliti secara ilmiah mengapa itu terjadi.

 
Kemampuan sistem visual manusia di dunia ini terbatas. Dalam hal ini justru kalah dengan sistem visual keledai dan ayam jantan. Pandangan mata manusia terbatas dan tidak dapat melihat apa yang berada di bawah sinar infra merah atau di atas sinar ultraviolet. Tapi kemampuan indera ayam jantan dan keledai melewati batas itu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana keledai bisa melihat setan dan ayam jantan bisa melihat malaikat, dan bukan sebaliknya?

 
Keledai itu dapat melihat dengan sinar infra merah, sedangkan setan sendiri berasal dari jin yang diciptakan dari api. Artinya, setan termasuk dalam lingkup infra merah. Karena itulah, keledai dapat melihat setan, tetapi tidak bisa melihat malaikat.

 
Adapun ayam jantan, ia mampu melihat sinar ultraviolet, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya, artinya dari sinar ultraviolet. Karena itulah, malaikat dapat dilihat oleh ayam jantan.

 
Hal ini menjelaskan kepada kita mengapa setan melarikan diri saat disebutkan nama Allah. Penyebabnya adalah karena para malaikat datang ke tempat yang disebut nama Allah itu, sehingga setan melarikan diri.

 
Mengapa setan menghindar bila ada malaikat? Jawabannya adalah karena setan terganggu bila melihat cahaya malaikat. Dengan kata lain, jika sinar ultraviolet bertemu dengan sinar inframerah di satu tempat, maka sinar merah memudar!

Hal ini menjelaskan kepada kita mengapa setan melarikan diri saat disebutkan nama Allah. Penyebabnya adalah karena para malaikat datang ke tempat yang disebut nama Allah itu, sehingga setan melarikan diri.

ayam jago dan keledai

Catatan Kaki:

Seseorang bertanya kenapa daging babi haram, padahal daging babi lezat rasanya, begitu katanya. Kenapa sesuatu yang enak kok dilarang?

 
Terhadap pertanyaan ini jawabannya bisa menjadi pelik. Dalam kaidah fiqih Islam pertanyaan ini termasuk pertanyaan yang cukup dijawab dengan dalil tentang larangan memakan daging babi yang berasal dari Allah. Jangan memperdebatkan sesuatu yang sudah merupakan larangan atau petunjuk yang keduanya berasal dari Allah.

 

 

Sesuatu yang dilarang oleh agama tentu kewajiban bagi penganutnya untuk mematuhinya, karena itu adalah kebenaran normatif, yang mau ataupun tidak mau penganutnya harus tunduk dan patuh.

 
Membangun agama bukan dengan logika, tetapi agama mesti dibangun di atas dalil. Dalam meyakini suatu akidah dalam Islam mesti dengan dalil. Dalam menetapkan suatu amalan dan hukum pun dengan dalil. Kalau seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah sepatu (khuf) lebih pantas diusap daripada bagian atasnya, karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah. Kalau logika bertentangan dengan dalil, maka dalil tetap harus dimenangkan atau didahulukan.

 
Bahwa kemudian ada hikmah tersembunyi disebalik dalil yang membuat pemahaman menjadi terang benderang, adalah hidayah dari Allah juga saat petunjuk itu datang. Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian. demikian Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 44.

 

Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian?

 

Sebuah tim pernah melakukan riset ini. Mereka menyiapkan beberapa ekor babi jantan, seekor babi betina, beberapa ayam jago, dan seekor ayam betina dalam risetnya. Lalu ketika satu persatu babi dan ayam itu dilepaskan, segera babi betina dikerubuti babi jantan untuk dikawin bergiliran.

 

 

Sementara itu perilaku ayam berbeda dengan babi. Setelah salah seekor ayam jago mengawini, datang jago yang lain mencoba melakukannya. Sayangnya jago pertama tidak mau menerimanya, hingga keduanya bertarung sampai salah satu diantaranya jatuh tersungkur dan berhasil dikalahkan.

 
Ayam jago pun ternyata memiliki kehormatan versi ayam sehingga berani mempertaruhkan nyawa demi betinanya. Sementara tanpa ada belas kasihan, babi jantan pertama membantu pejantan kedua untuk bersama-sama melampiaskan nafsu kebinatangannya terhadap babi betina. Tak ada kehormatan versi babi!

 

Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian?

Gusblero Free

8. Santri Ngowos dan Kyai Ngewes

Setelah sekian lama belajar menimba ilmu di Pesantren Wes-hewes, Santri Ngowos merasa ilmunya masih dangkal alias cekak. Dia merasa ada diskriminasi, karena selama ini yang diajarkan kepadanya cuma ilmu yang biasa-biasa saja. Maka suatu hari Santri Ngowos nekad menemui sang guru Kyai Ngewes, mengadu hal ini dan memprotesnya.

 

Santri Ngowos: “Yai….mbok saya ini diajari ilmu yang tinggi-tinggi kayak santri-santri lainnya…”

 

Kyai Ngewes: “Maksud loooh…?!”

 

Santri Ngowos: “Mbok saya diajari semacam ilmu yang bisa menerawang aura orang, membaca pikiran orang, ilmu kanuragan, ilmu rogo sukmo, ilmu suwuk, ajian kebal bacok, mengusir jin dan sejenisnya lah…”

 

Kyai Ngewes: “Hahahaha….kamu gak pantas mendapat ilmu tingkat tinggi macam gitu. Kamu akan saya ajari ilmu tingkat rendah  saja yaa…..tingkat paaaliiing rendah…..hehehehe..!”

 

Santri Ngowos: “Kok Yai begitu sih…..ilmu rendahan begitu buat apaan, Yai?”

 

Kyai Ngewes: “Hwoakakak….dengar dulu bocah gemblung……ilmu terendah itu adalah sujud. Sujud sampai di dalam keningmu tak ada lagi gambaran apa-apa, Tak ada lagi gambaran jin, ilmu hipnotis, ilmu pelet, ilmu gendam,  wangsit dan sejenisnya…wes hewes bablas…habis biiiis…..La Ilaha Ilallah...tidak ada apa-apa sama sekali…babar blas!

 
Sampai batinmu tiba-tiba berteriak dengan keras: Subhana Rabbiyal A’la Wabihambih (Maha Suci Allah dan Maha Tinggi). Sehingga segala alammu tak mampu melampaui, selain engkau disucikan dan ditinggikan oleh Yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu sendiri…

 
Hingga engkau berada di wilayah Al A’raf tersembunyi Yang Suci…..hingga engkau dimampukan memandang suatu kejadian dengan cara pandang lebih luas dan disirnakan persangkaan buruk atas segala kejadian agung yang sedang digelar ini. Itulah yang dimaksud Karimal Ahlaq, sempurnanya dialog Tuhan atas manusia dalam ‘lelaku agung’ awal penciptaan Adam yang tak mampu dijawab oleh Jibril.

 

Dan disitulah maksud La Haula Wala Quwwata ila Billah….yang tak bisa lagi kau bantah dengan akalmu yang selalu merasa bisa ini bisa itu, padahal sesungguhnya dirimu tidak bisa apa-apa secuil pun…..lemah, pandir, faqir, dan fana.”

 

Santri Ngowos:…….(diam…nunduk….takliq…tekluk-tekluk…)

 

Kyai Ngewes: “Mau nggak ilmu itu?”

Santri Ngowos: ”Njih…njih….sendiko dawuuh. Njih mau, Yai…..”

 

santri ngowos kyai ngewes

Catatan Kaki:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepadamu sebuah kalimat yang berasal dari bawah ‘Arsy dari pusaka surga? Katakanlah olehmu: Laa Haula wa La Quwwata Illa Billah”, niscaya Allah akan mengatakan, ‘hambaKu telah menyerahkan dirinya dan meminta perlindungan.”(HR Al-Hakim dari Abu Hurairah r.a)

 

Laa haula wa laa quwwata illa billah sesungguhnya adalah ungkapan penyerahan diri dalam segala urusan  kepada Allah Azza wa Jalla sebagai Sang Pemilik. Tidak seorang hambapun mampu berbuat sesuatu bila Allah tidak berkehendak. Pun tidak kuasa menolak sekecil apapun bencana bila Allah menghendakinya.

 

Suatu ketika Al Asyja’i melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa anaknya yang bernama Auf telah ditawan oleh musuh. Maka Rasulullah berpesan kepadanya agar Al Asyja’i mengutus seseorang untuk menemui anaknya dan menyampaikan agar Auf memperbanyak membaca “La Haula wa La Quwwata Illa Billah”.

 

Maka setelah hal tersebut disampaikan dan Auf memperbanyak membaca “Laa Haula wa La Quwwata Illa Billah” terjadilah bermacam keajaiban. Betapa tidak, tali kulit yang mengikat tangan Auf tiba-tiba terlepas maka Auf pun kabur dengan menunggang onta milik musuh. Bahkan saat Auf di kejar dan bertemu dengan musuhnya kembali dia dapat terlepas setelah membaca “La Haula wa La Quwwata Illa Billah.”

 

Orang tua Auf menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullahpun mengijinkan Auf untuk mengambil onta yang telah dicurinya dari musuhnya tersebut. Setelah itu turunlah ayat Al-Qur’an: “Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar,” (QS. Ath-Thalaq:2)

 

Diceritakan Hubaib bin Salamah rahimmullah bahwa suatu hari ia mengepung sebuah benteng milik bangsa Romawi sehingga ia putus asa, lalu tentara kaum Muslimin membaca zikir tersebut sambil bertakbir, akhirnya benteng tersebut hancur.

 

Pengalaman luar biasa juga pernah diceritakan oleh Abu Khair, Ishaq Al Gharawi. Dia menceritakan bahwa mereka pernah diserang sebuah pasukan dengan delapan puluh ekor gajah. Akibatnya pasukan mereka, termasuk pasukan berkuda menjadi berantakan.

 

Peristiwa ini, ujar Abu Khair membuat Muhammad bin Qasum panik. Melihat kondisi ini dia kemudian membaca “La Haula wa La Quwwata Illa Billah” berkali-kali.

 

Tak lama kemudian tiba-tiba saja gajah-gajah tersebut berhamburan mencari sumber air. Para pawang mereka tak mampu mengendalikan tingkah aneh gajah-gajah peliharaan mereka itu. Ternyata Allah swt telah memberikan rasa panas dan haus yang amat sangat kepada para gajah ciptaan-Nya tersebut.

 

Akhirnya, para pasukan Ishaq Al Gharawi pun dapat melanjutkan perjalanan, bahkan dengan menaiki gajah yang sudah ditaklukkan tersebut.

Laa haula wa laa quwwata illa billah sesungguhnya adalah ungkapan penyerahan diri dalam segala urusan  kepada Allah Azza wa Jalla sebagai Sang Pemilik. Tidak seorang hambapun mampu berbuat sesuatu bila Allah tidak berkehendak. Pun tidak kuasa menolak sekecil apapun bencana bila Allah menghendakinya.

 

Gusblero Free

7. Orang Gila dari Persia

Banyak orang mengira mereka tak akan diuji dengan apa-apa yang mereka miliki. Tidak, sesungguhnya tidak begitu. Rejeki, jabatan, ilmu, bahkan suami istri dan anak, mencintai dan dicintai adalah juga ujian hidup bagi seseorang. Di pintu akhir interview kelak, orang akan ditanya bagaimana kehidupannya selama di dunia, digunakan seperti apa amanah ilmu, harta, jabatan yang dimilikinya dan seterusnya dan lain sebagainya. Hingga seorang Salamah bin Dinar pernah mengatakan dalam Shifatush Shafwah: “Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang membuatmu bahagia kecuali ia bercampur dengan sesuatu yang membuatmu bersedih.”

 

Hidup memang harus begitu. Orang harus terus berjuang, ibaratnya menggosok batu dan terus menggosoknya hingga batu itu kemudian bisa memunculkan mutiaranya. Hati juga harus terus diolah, agar yang namanya hati juga tidak gampang jatuh hati pada sembarang-barang yang akibatnya bisa meruntuhkan ajining diri, kemuliaan sebagaimana fitrahnya al-ins.

 

Tentang persahabatan juga begitu. Sahabat, kali lain kadang bisa menjengkelkan dengan terlalu, tapi tetap saja kehadiran seorang sahabat dalam kehidupan itu perlu. Persahabatan juga sebentuk ujian. Dengan cara-cara yang sangat misterius kadang Allah memilihkan sahabat kita yang sebenarnya. Ia yang selalu siap menemani bahkan ditengah lemparan batu, untuk membela yang benar, untuk meluruskan segala yang haq, untuk menunjukkan bahwa memang demikianlah seharusnya bentuk sebuah persahabatan dalam bingkai yang benar dan haq.

 

Berikut ini adalah kisah yang mengandung chemistry persahabatan itu, persahabatan dalam dunia spiritual, persahabatan dari ‘orang-orang bocor’ yang sudah terserang akut penyakit amnesia pada dunia.

 

Subhanallah…..

 

Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan. Nama Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

 

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly (semoga Allah merahmatinya). Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas. Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkannya pernah diseret ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

 

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

 

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis: “Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”

 

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata: “Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja Alam Semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku disamping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”

 

Sejak itu ia meninggalkan karir jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

 

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

 

Maka Junaid pun menjawab: “Jika kujual kepadamu, engkau tidak akan sanggup membelinya. Jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan. Apabila engkau dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

 

Lalu kata Asy-Syibli: ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid: “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

 

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid: “Sekarang sadarilah nilaimu. Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

 

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata: “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid: “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun.”

 

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

 

Setahun kemudian Junaid berkata: “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

 

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi: “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli: “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina diantara semua makhluk Allah.”

 

Junaid menimpali: “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya dimata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata: “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

 

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

 

Para sahabatnya bertanya-tanya: “Apakah arti dari semua ini?” Beberapa hari kemudian Syibli menjawab: “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah.”

 

Dilain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

 

Dilain waktu lagi, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

 

Subhanallah….

asy-syibli_orang gila dari persia

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata: “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ia berkata: “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

 

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata: “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan kutebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

 

Orang-orang berkata: “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan: “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

 

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya.”

 

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

 

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

 

Ia memekik: “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak binatang buas dan pegunungan!” lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

 

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata: “Orang ini sudah gila.” Ia menjawab: “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian agar kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

 

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

 

Saat As-Syibli tengah dikurung dan dibelenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

 

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

 

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar. Ia berteriak: “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

 

Subhanallah….wa masya Allah…..

 

Diriwayatkan bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu. Ia kerap berujar: “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku. Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

 

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

 

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu. Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

 

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya: “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan: “Aku takut ketika aku mengucapkan ‘tiada tuhan’ nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan ‘selain Allah’. Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.”

 

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia. Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

 

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab: “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?”

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

 

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

 

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli: “Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS. Shaad 78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

 

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasananya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

 

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

 

Maka jawabnya: “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!” Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.

 

Subhanallah…..wa masya Allah….

Gusblero Free

6. Guru Suci ing Tanah Jawi

 

Sunan Kalijaga adalah guru suci Tanah Jawi. Tanjakan spiritualnya sudah dapat merasakan ‘mati sajroning urip’, mati dalam kenyataan hidup. Pun demikian ia masih mempunyai himatulaliyyah (cita-cita yang tinggi), ingin memperoleh petunjuk dari seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.

Khidr-green-man

 

Ling lang ling lung…..Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami telah diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun ia merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur hidup hanya puas makan dan tidur.

 
Ling lang ling lung…..ia memohon pada Tuhan, agar hatinya bisa istiqomah (mantap), ‘tutug, tatag, teteg’ selaras hati (mantiq), selaras jalan menuju sembah dan puji. Tiada putusnya berdoa, namun tetap terselip kekhawatiran akan dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah.

 
Ling lang ling lung…..sekian lama beliau berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliau mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?

 
Ling lang ling lung…..akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Ia menyendiri, menempuh jalan sunyi menjauhi urusan duniawi (uzlah). Akan tetapi masih tetap saja ada gejolak saling bertempur dalam jagad batinnya sendiri.

 

 

Tersiksa dan terlunta-lunta ia membiarkan hidupnya membelukar seperti belantara liar yang lillah, terserah Tuhan saja. Ia membiarkan dirinya dibakar matahari dan bila malam menjelang dibiarkannya dingin yang mencekam itu membesutnya sebagai gelandangan fakir yang hingga anjing saja tak bernafsu mendekatinya. Jika ada yang menawarinya makan, ia makan dengan rakusnya, namun jika tak ada makanan maka dia bersiap tidak makan dan berlapar seumur hidupnya. Seperti itulah laku hidup pengemis jaman dulu, tidak berjalan dari rumah ke rumah meminta-minta, tetapi duduk diam menunggu disatu tempat, terserah ada yang mau memberi derma atau tidak.

 
Ling lang ling lung…..lama menempuh jalan pengemis, jalan menistakan diri, ia menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya ia menyadari kebodohannya dan tersenyum sendiri. Mengapa sampai teganya dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang. Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Kaya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepadanya.

 
Ling lang ling lung…..Raden Mas Sahid akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu akan terbukalah kunci mendapat petunjuk iman hidayah.

 

 

Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya dan bersunyi diri di Desa Bonang hingga digelari Kanjeng Sunan Bonang. Ia memohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Langkah pertama, ia disuruh ‘mantiq mantaq mantuq’ taqlid patuh taat pada perintah guru tanpa bertanya. Ia disuruh bertapa dengan ditandur di dekat pohon gurda, dan selamanya tak boleh meninggalkan tempat jika belum datang perintah.

 
Ling lang ling lung…..maka memancarlah kemudian, cahaya fitrah kemuliaannya yang tak terganggu oleh nafsu yang selama ini terus mengikutinya sebagai putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II.

 

 

Setahun lewat. Di tempat pertapaannya sudahlah rimbun tertutup oleh pohonan yang tumbuh liar, bersamaan dengan itu ‘tumbuh dan hidup’ pula sukma dalam diri Raden Mas Sahid. Dalam cermin mayapada yang luas, tak dilihatnya lagi ujud dirinya, namun hakekat hayyun hayat hayyu hayya yaa hayyu hayya.

 
Ling lang ling lung…..laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun, mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Diteruskan laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.

 
Ling lang ling lung…..nyatanya walau sudah sekian tahun ditinggal bersunyi meruwat diri, ketika ditengok, ditemui ia masih tarak brata (bertapa) saja. Hingga Kanjeng Sunan bonang berkata:

 
“Wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, engkau mulai sekarang sudah menjadi Wali, gelarmu Sunan Kalijaga dan engkau diangkat sebagai wali Sembilan penutup. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Engkau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung. Yang demikian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan), karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri kepada-Nya.”

 

 

Sunan Kalijaga berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang: “Sungguh hamba sangat berterima kasih, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut Iman Hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang dikerjakan.”

 
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Kalijaga benar ucapanmu. Namun ketahuilah, semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah hanya keterangan yang yakin bisa dipercayai secara pribadi ketika keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.

 
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga: “Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ‘ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama’ Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja.”

 
Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut: “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia.”

 
Sudah habis segala penjelasan yang harus disampaikan. Kanjeng Sunan Bonang kemudian meninggalkan tempat itu, membiarkan Sunan Kalijaga berjalan sendiri masuk ke hutan belantara.

 

 

Ling lang ling lung…..

 

Sunan Kalijaga lalu menjalankan laku kidang. Berbaur dengan kidang menjangan, segala gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang, pontang-panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.

 
Nyata sudah cukup setahun, Sunan Kalijaga menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Sunan Kalijaga bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat banyak kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau siswanya itu pastilah juga akan berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana ditemukan Sunan Kalijaga.

 
Maka yang berikutnya terjadi adalah adegan yang sangat seru. Sunan Kalijaga yang saat itu sedang tapa ngidang, bertingkah laku meniru kidang, sebenarnya tahu akan didekati gurunya. Namun beliau juga ingat ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia. Sementara gurunya adalah juga manusia, maka ia harus menghidari jangan sampai didekati, biarpun itu gurunya. Ia segera berlari tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing. Ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.

 
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, dalam hatinya merutuk: “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kidang. Bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal. Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”

Maka yang berikutnya terjadi adalah adegan yang sangat seru. Sunan Kalijaga yang saat itu sedang tapa ngidang, bertingkah laku meniru kidang, sebenarnya tahu akan didekati gurunya. Namun beliau juga ingat ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia. Sementara gurunya adalah juga manusia, maka ia harus menghidari jangan sampai didekati, biarpun itu gurunya.

Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliau segera mengepalkan nasi dalam genggaman. Sekejap di tangannya telah siap nasi tiga kepalan, segera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Kalijaga untuk melemparnya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati untuk menemukan Kalijaga yang sedang laku kidang. Ketika dilihatnya kidang Kalijaga itu tengah berlari, segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.

 
Kidang Kalijaga agak melambat larinya terkena lemparan itu. Lemparan kedua yang mengenai lambungnya memaksa kidang Kalijaga tersungkur. Dan pada lemparan yang ketiga baru kesadaran Sunan Kalijaga pulih dan ingat untuk berbakti dan taat kepada gurunya, Kanjeng Sunan Bonang.

 

 

Sunan Kalijaga berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang: “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam, itu adalah air yang suci, dan memohonlah berkah syafaat Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia.”

 

Ling lang ling lung……

 
Maka begitulah dimulai perjalanan Sunan Kalijaga ke Mekah. Dalam kisah ini beliau kemudian dikenal dengan nama Syekh Malaya.

antal mautu qoblal maut1

Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, melintasi rimba raya dan terjalnya tanjakan, hingga kemudian tiba di pesisir. Di sini hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas. Ia hanya diam tercenung, tubuhnya mematung, otak berputar-putar mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.

 
Ia menemu jalan buntu, namun hasrat hatinya untuk mendapatkan kesempurnaan dalam memahami hakikat hidup tak bisa lagi menunggu. Di ujung palung ia mengeraskan rahangnya, tangannya sejenak mengepal, lalu sekelebat kemudian tubuhnya telah mencebur ke dalam lautan, dengan kedua tangan menggantung di langit: Allaaaaaaaahu Akbaaarrr…!!

 
Syekh Malaya terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Ia bertaruh hidupnya sendiri dengan menyandarkan sisa-sisa tenaganya pada Yang Maha Memiliki Hidup, Yang Maha Memiliki Keperkasaan. Ia tahu Mekah masih jauh, lambat laun yang nampak di atas lautan hanyalah tubuhnya yang timbul tenggelam ibarat menunggu waktu menggelembung dan karam.

 
Lalu disaat-saat kritis itulah, mendadak sekelebat muncul seseorang yang tengah berjalan dengan tenangnya di atas ombak lautan. Syeh Malaya mencoba menegas siapa yang datang, namun tak mampu. Fisiknya yang sudah lemah membuatnya tak berdaya, dan ketika siuman tahu-tahu ia sudah duduk bersila di hadapan lelaki yang baru datang itu, sama-sama di atas air.

 
Adakah orang itu yang disebut Syekh Mahayuningrat, seperti cerita mitos yang selama ini ia dengar? Begitu Syeh Malaya membatin. Belum tuntas Syeh Malaya berfikir, lelaki di hadapannya telah menyapanya dengan lemah lembut: “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa. Tidak ada yang bisa ditemu-buktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian juga tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang kemudian tertiup angin dan jatuh di depanmu. Senangkah kamu melihat kenyataan ini semua?”

 

 

Syeh Malaya terpana. Lelaki itu meneruskan omongannya: “Di sini tempat yang sangat berbahaya. Mengandalkan pikiranmu saja itu bukan apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau maksudkan.”

 
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian. “Saya mohon petunjuk,” ucap Syeh Malaya memilukan pada lelaki di hadapannya. Lelaki itu tersenyum, pandangan matanya arif: “Apakah kamu sangat mengharapkan hidayatullah, Hidayah Allah?”

 
Ling lang ling lung…..

 
Lelaki itu berkata lagi: “Ikutilah petunjukku sekarang ini. Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini.”

 
“Jangan pergi kalau belum tahu yang akan engkau tuju, dan jangan makan kalau belum paham apa yang akan dimakan. Jangan berpakaian kalau belum tahu manfaatnya berpakaian Tanyakanlah kepada sesama manusia tentang tujuan hidupnya.”

 
“Ibarat ada orang dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Begitu pula halnya dengan orang berbakti, bila belum yakin benar pada siapakah yang harus disembah?”

 
Mendengar seluruh uraian itu, serentak Syekh Malaya duduk berlutut mohon belas kasihan, mendapati kenyataan lelaki itu betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata: “Sami’na wa atho’na, yang saya dengar akan saya laksanakan apa pun nanti jadinya.”

 
“Mohon sudilah diterangkan siapakah Tuan sebenarnya?” Tanya Syeh Malaya.

 

Lelaki itu, Sang Mahayuningrat itu, menjawab: “Akulah Khidr.”

 

Syekh Malaya berkata: “Saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat.”

 
Maka berkata dengan tenang Kanjeng Nabi Khidr kepada Syeh Malaya: “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya ke Mekah itu. Ketahuilah Mekah itu hanya tapak tilas saja, yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan.

 
Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja Wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenarnya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Kiblatullah, Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati.”

 
Kanjeng Nabi Khidr meneruskan perkataannya dengan memerintah: “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya, masuk ke dalam tubuhku.”

 
Ucapan itu membuat Syekh Malaya terhenyak, hingga tak dapat dicegah lagi keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata: “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata dengan lemah lembut: “Besar mana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku. Masuklah melalui jalan di telingaku ini.”

Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Kiblatullah, Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati.

Ling lang ling lung……

 
Birahi ananireku,

aranira Allah jati.

Tanana kalih tetiga,

sapa wruha yen wus dadi,

ingsun weruh pesti nora,

ngarani namanireki…

 
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidr. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidr, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin tak berbatas ruang, kemudian didengarnya suara Kanjeng Nabi Khidr bertanya keras-keras: “Wahai apa yang kamu lihat?”

 
Syekh Malaya segera menjawab: “Angkasa raya….yang kuamati kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak aku kenali lagi, bawah dan atas serta muka belakang, tidak mampu aku bedakan. Semuanya yang kulihat menjadi semakin membingungkanku.”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lemah-lembut: “Usahakan jangan sampai bingung hatimu.”

 
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang, dan di hadapannya kini nampak Kanjeng Nabi Khidr. Melayang di udara ia kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya kemudian melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidr, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lembut: “Jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu.”

 
Syekh Malaya menjawab: “Ada warna empat macam yang nampak padaku, semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih.”

 

 

Berkata Kanjeng Nabi Khidr: “Yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah Pancamaya. Semua itu sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri, yang mengatur dirimu, itulah yang disebut mukasyafah. Ia, yang bila engkau mampu, akan membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri.” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira.

 
Kanjeng Nabi Khidr melanjutkan penjelasannya: “Adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalangnya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku. Kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib. Itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi Maha Mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, hingga orang akan mencapai tingkatan Maqam Fana dan akan masuk Maqam Baqa’ atau abadi, senantiasa mendekat dan berdekatan rapat dengan Sang Pencipta.

 
Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam di hati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.

 
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah).

 
Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya menghalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik, isinya hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian.”

 
Kanjeng Nabi Khidr memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliau berkata: “Hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hal itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan erat antara manusia dan Penciptanya.”

 

 

Ling lang ling lung……

 
Nyala! Cahaya mulai menyala dalam kalbu. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.

be95dabb3c3b3e73f3f81798a572338a

Sipat jamal ta puniku,

ingkang kinen angarani,

pepakane ana ika,

akon ngarani puniki,

iya Allah angandika,

mring Muhammad kang kekasih…

 
Kanjeng Nabi Khidr kembali melanjutkan wejangannya: “Setelah hilang empat macam warna, ada hal lain lagi, nyala satu delapan warnanya,”

 
Syekh Malaya berkata: “Apakah namanya, ‘nyala satu delapan warnanya’, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah, warnanya menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya.”

 
Sang Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Semuanya itu sesungguhnya tunggal. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya. Rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia.

 
Di dunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong, kesulitannya tidak ada. Dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu.”

 
Syekh Malaya mengamati: “Yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”

 

 

Kanjeng Nabi Khidr menjawab dengan lemah lembut: “Itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keadaan. Yang kamu dambakan, tidak dapat kamu lihat. Tiada bentuk apalagi berwarna. Tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal, hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya. Hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.

 
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirimu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka. Tempat tinggalnya pada ragamu, namun tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita. Jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjadi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu. Sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.

 
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut ‘menggung’, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, Sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.”

 
Menjawablah Syekh Malaya: “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan kasat mata nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya.”

 
Syekh Malaya menyela pembicaraan: “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil.”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lembut dan manis, namun isinya bercampur perlambang dan sindiran: “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada disifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa.

 
Yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar. Ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika dimasa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri Jisim Lathif.”

 
Ling lang ling lung…..

 

 

Yen tanana sira iku,

ingsun tanana ngarani,

mung sira ngarani ing wang,

dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,

aranira aran mami….

 
Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidr berkata pelan: “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah Syahadat Jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup.

 
Jelasnya coba perhatikan orang mati, apa darahnya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif yang disebut Ruh Idhafi. Jisim Latif yang pertama, yang sudah ada terdahulu kala disebut Jisim Angling. Alif yang tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Menjadi Alif yang mengembang sebagai bagian dari Dzatullah.”

 
Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, yang bernama jauhar alif itu, asalnya dari Kalam Karsa, Kehendak Allah, Iradat Allah.

 
Kehendak Allah-lah yang menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri. Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya.

 

 

Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya; “Kalau tidak ada dirimu, Aku (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.

 
Dan untuk menjelaskan jati dirimu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik, itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna),”

 
Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidr bertanya: “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah.

 
Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, yang melahirkan Budi Jati. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan.

 

 

Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipta karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah.

 
Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu. Engkau lahir, mati, mengeluarkan kotoran, junub, jinabat, mencium aroma hidup, dan merasakan duka suka, menjadi ke-khas-an yang tidak bisa tidak akan engkau alami di alam dunia ini, walau pun seberapa lama, semua ketentuan itu telah digariskan dalam jauhar awal.

 
Dari keterangan tentang jauhar awal ini, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian: Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan dizaman azali. Kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak, bersidekap menciptakan keheningan hati, bersidekap menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu (perhatikan posisi bayi lahir)? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rahasia iman dapat kau resapi.

 
Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud, bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ihsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi. Sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata.

 
Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah, tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.

 
Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia yang sebenarnya harus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliau sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodaqoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat.”

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Tauhid hidayat sireku,

tunggal lawan Sang Hyang Widhi,

tunggal sira lawan Allah,

uga donya uga akhir,

ya rumangsana pangeran,

ya Allah ana nireki….

 
Kanjeng Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata: “Matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari Allah.

 
Sesungguhnya Allah itu, Allah yang hidup. Segala af’alnya (perbuatanya) adalah berasal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia, jika jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup) sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah.

 
Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nukad ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik, sehingga badanmu akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup.”

 
Syekh Malaya tercenung, kemudian berkata lemah lembut: “Mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya….”

 

 

Ling lang ling lung…..

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata seraya tersenyum manis: “Wahai Malaya, maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.

 
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.

 
Adapun yang dimaksudkan Ruh Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan, yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri, serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

 
Ruh Idhafi itu sudah ada sebelum semuanya ada. Ia adalah sesuatu yang paling awal, tunggal, kosong tapi isi, isi tapi kosong. Kalau dipecah-pecah isinya semua ini, semuanya berasal dari satu, akan tetapi tidak bisa dipersamakan, tidak bisa dipersekutukan. Syirik itu dapat terjadi tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning, yang keenam dari jauhar awal.

 
Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga, hingga sebutir mutiara akan menampakkan keindahan bentuk yang menawan. Bermula dari jauhar ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan segala yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak.

 

 

Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqam), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati). Orang yang tidak Shalat, orang yang tidak beribadat, itu menandakan ruh orang yang mati.

 
Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisyaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkan adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akhirat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.

 
Ruh ketundukan yang serba pasrah kepada Dzatullah itulah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula yang menimbulkan Shalat Daim yang tidak perlu mengunakan air wudhu untuk membersihkan hadats. Itulah shalat batin yang sebenarnya. Diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran, akan tetapi menjaga adab dan norma kesusilaan. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Bahwa kita ini ada karena ada yang mencipta, yaitu Allah. Itulah wajibnya, yang mustahil kalau tidak Maha Wujud sebelumnya.

 

 

Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah. Bukakah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan Allah.

 
(sampai di sini mudah-mudahan semua menjadi jelas. Ada yang disebut Nur Muhammad, dan ada yang disebut Nabi Muhammad. Nur Muhammad adalah kenyataan awal yang telah tersebut dalam jauhar awal, yang memiliki kesesuaian nama dengan Rasul Allah terakhir yang bernama Muhammad)

 
Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut juga iman maksum, kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan.

 
Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu mengingkari empat masalah prinsip? Diantaranya bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran mendekatkan pada kufur. Sebabnya karena kafir itu buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Itulah orang yang fakir dalam beribadah kepada Allah. Tidak mau memuji, tidak mau menyembah, karena fakir terhadap Dzatullah. Karena fakir tidak adanya pedoman, lalu mereka-reka ke-Tuhan-an, Allah yang dibentuk-bentuk. Padahal kepastian itu tak ada yang bisa mengetahui, kecuali Allah menggenggam rahasia-Nya sendiri.

(sampai di sini mudah-mudahan semua menjadi jelas. Ada yang disebut Nur Muhammad, dan ada yang disebut Nabi Muhammad. Nur Muhammad adalah kenyataan awal yang telah tersebut dalam jauhar awal, yang memiliki kesesuaian nama dengan Rasul Allah terakhir yang bernama Muhammad)

Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah, juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus menyadari ke-satu-an, ke-ahad-an Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Itu yang akan menumbuhkan makrifat sebutannya.

 
Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratul maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu terjadi karena Allah itu Hidup dan Menghidupi dirimu, dan juga menghidupi segala yang hidup.

 

 

Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik. Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah, sebagai sarana pengabdian hamba kepada Gusti Allah.

 
Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, Shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hamba-Nya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi.

 
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu, serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang menitipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat? Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata, karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, aku merasa kehilangan.

 
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratus pun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersumber dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada Allah sudah dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan.”

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Ruh idhofi neng sireku,

makrifat ya den arani,

uripe ingaranan Syahdat,

urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,

rukuk pamore Hyang Widhi…

 
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahayuningrat Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya senang hatinya sehingga beliau belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat.”

 
Kanjeng Nabi Khidr memperingatkan: “Yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian.”

 
Kanjeng Nabi Khidr semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. “Waspadalah terhadap hambatan upaya, dan memohonlah dengan benar. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia kalau tanpa seizin-Nya.

 
Sekiranya akan ada yang mempersolakan lalu memperbincangkan masalah ini, jangan sampai terlanjur, jangan sampai membanggakan diri. Jangan peduli terhadap gangguan cobaan hidup, namun terimalah dengan sabar. Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu. Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja, yang sebenarnya tak berbatas karena selalu di tubuh. Sungguh, selalunya ada dalam dirimu dan tak mungkin terpisahkan.

 

 

Cara mendengarnya adalah dengan ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya juga tanpa dengan mata. Adapun telinga dan mata yang diberikan oleh Allah kepadamu itu, secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat batang pohon yang dibakar, pasti asap apinya menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pula dengan Hyang Sukma, sekiranya kita ingin mengetahui wajah hamba Tuhan, akan diberitahukan tempatnya seperti wayang dalam ragamu. Bentuk-bentuk wayang dalam ragamu dengan jagad sebagai panggungnya. Bergerak-gerak bila digerakkan, dengan kehendak yang justru tanpa wujud dalam bentuknya.

 
Permisalan yang jelas adalah ketika kita berhias. Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan yang terbentuk dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia (ayang-ayang) sesungguhnya.

 

 

Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena bahkan dibandingkan lembutnya air, bukankah masih lebih lembut kematian manusia? Lembut, namun menguasai keseluruhan yang ada, lebih pula dalam menerima perintah.

 
Jangan hanya mengandalkan pada ajaran atau pengetahuan, bersungguh-sungguhlah menguasainya dengan laku kesempurnaan. Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia, dengan ajaran itu sebagai benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.

 
Misal kacang dan kedelai yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Dan bila engkau ingin bijaksana, musnahkanlah penglihatan hanya pada matamu, gunakanlah penglihatan sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu, serahkan kembali kepada yang Empunya suara.

 
Engkau yang mengakui sebagai pemiliknya, sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma, jika kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti.

 

 

Bicarakanlah sesuatu bila pendapatmu benar-benar meyakinkan. Bila masih merasakan ada sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud, apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan, apa yang kau pikir akan terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.

 
Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya, sekejap pun engkau tak boleh lupa. Dhahir-nya pengetahuan dasarilah dari empat penjuru, kelimanya engkau simpan dengan baik, dan gunakan pada saatnya. Itu artinya mematikan diri, meniadakan nafsu.

 
Artinya mati didalam hidup, selalu siap melewati pintu mati menuju hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati, tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu. Anugerah berupa wahyu akan datang kepadamu seperti bulan yang diterangi cahaya temaram, seperti dzat bening yang meninggalkan kotoran.”

 
Kemudian Kanjeng Nabi Khidr berkata dengan lembut dan tersenyum: “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.

 
Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinnya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Ke seluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Ibarat bunga yang selama ini masih dalam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya semerbak mewangi. Menghirup lagi alam padhang, keluar dari raga Kanjeng Nabi Khidr kembali ke mayapada semula, berdiri di atas lautan….

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Sekarat tananamu nyamur,

ja melu yen sira wedi,

lan ja melu-melu Allah,

iku aran sakaratil,

ruh idhofi mati tannana,

urip mati mati urip…..

 
Lalu Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Wahai Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan hati ialah rasa qana’ah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia.

 
Perhaluslah budi pekertimu dengan akhlak. Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.

 
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atau ikhtiar cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah hingga bisa dipercaya engkau kuasai sifat-sifatnya.

 
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat (masuknya Syeh Malaya ke dalam raga Kanjeng Nabi Khidr menjadi pertanda ketidak berdayaan wadag Syeh Malaya dalam wadag yang lain, yang demikian hematnya juga menjadi inspirasi tiap mahluk, bahwa di ruang sebebas apapun sebenarnya kita bergantung dan berada dalam kekuasaan keluasan ke-Maha Luas-an yang tak tertandingi, yang kasat mata namun ada), sebagai alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam.

 

 

Bukankah engkau banyak sekali melihat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar, tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar, akibatnya terperosok dalam penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya seperti burung, dimana ia hanya sekadar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru.

 

 

Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya dimasyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memilih jalan terpaksa. Menumpuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi, agar semua itu menjunjung harkat dan martabat.

 
Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa menghiraukan jerih payah dan tanpa hasil, itu artinya mengalami kegagalan total.

 
Setidak-tidaknya semua ini menjadi gambaran bagaimana hidupnya di dunia. Lalu ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan.

 
Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri, pada saat-saat menghadap ajalnya. Bila salah menjawab pertanyaannya bumi (ditolak bumi), lebih baik jangan jadi manusia, kalau matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Hilang dan mati bersama raganya menjadi diidamkannya, hingga mempertinggi semedinya untuk mengejar keberhasilan.

 
Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata yang tidak disertai dukungan ilmu. Akibatnya hasilnya kosong melompong, karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki. Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian, akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar karena terlalu serius. Adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung.

 

 

Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil, dan bila ilmu tanpa tapa rasanya hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya setengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya. Penyampaiannya hanya berdasarkan pikiran belaka.

 

 

Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sampai tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar, pendapatnya atau ilmunya adalah wahyu sebagai anugerah yang diberikan khusus secara pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luasnya pemaparan anggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah.

 
Kebaikannya, keduanya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu, harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah, dan biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung. Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Jika ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot, akibatnya rugilah mereka yang berguru.

 
Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan di tempatnya. Terangnya blencong (lampu suluh dalam pertunjukan wayang) itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, dengan kelir latar kayon alam jagad raya yang sepi dan kosong yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau budi kreasi manusia.

 

 

Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya.

 
Dialognya menyampaikan pesan, lisannya bercakap berbagai nasihat. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma. Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?

 
Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain, kesemua ini adalah Rahasia Allah. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, namun juga berisi segala macam titah. Manusia itu hanya satu, dengan Penguasa Yang Maha Satu yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi perjalananmu, kembalilah kau ke pulau Jawa. Bukankah niat kepergianmu sebenarnya kau mencari dirimu juga?”

 
Ling lang ling lung…..

 

 

Liring mati sajroning ngahurip,

iya urip sajtoning pejah,

urip bae selawase,

kang mati nepsu iku,

badan dhohir ingkang nglakoni,

katampan badan kang nyata,

pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,

Syekh Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira nampani,

Wahyu prapta nugraha…

 
Syekh Malaya bergegas, mengucapkan taqlid dan salam yang disebut Kalingga Murda ‘sami’na wa atho’na’. Sekejap Kanjeng Nabi Khidr lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera, dengan keringat masih membasah di dahinya. Air samudera mumbul, uap matahari mengepul, namun Syeh Malaya terus berjalan, tanpa tersentuh air!

Gusblero Free

5. Mendaki Gunung

Banyak orang ingin mendaki gunung dengan seribu alasan. Ada yang melakukannya untuk opsi tafakkaru fi aalaaillaahi walaa tatafakkaruu fii dzaatillaahi (berfikir/ pelajarilah tentang alam semesta ciptaan Allah itu, dan jangan kalian berpikir tentang hakikat Dzat Allah), hingga dengan begitu manusia akan menyadari betapa kecilnya diri sendiri di hadapan keluasan alam raya. Yang lainnya lagi melakukannya untuk menguji kekuatan fisik.
Memang benar orang yang rajin mempelajari alam semesta, maka akan menimbulkan daya keimanan yang sangat dalam kepada Allah, sebaliknya orang yang selalu memikirkan hakikat Dzat Allah, jika tidak pandai mengatur pikirannya dengan ilmu Tauhid yang memadai, maka rawan terjerumus ke dalam kesesatan beraqidah. Yang demikian seperti seseorang yang merasa tindakannya melabeli ‘harga diri Allah’, sementara hak-hak bagi mahluk lainnya adalah nonsense.

 

 

Maklumlah bani Adam makin beranak pinak dan penuh sesak, tumpah ruah dan bergejolak seperti kehidupan di pasar. Masing-masing mencoba menawarkan produk kebagusannya, keelokannya, keistimewaannya, padahal sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW : Khairu biqaa’il ardli masaajiduha wa syarru biqaa’il ardli aswaaquha  (sebaik-baik tempat di muka bumi itu adalah masjid dan seburuk-buruk tempat di muka bumi itu adalah pasar).

im-lost

Gunung dan pasar adalah dua tempat yang berbeda, namun untuk ukuran tanjakan spiritual apapun yang namanya hikmah di mana pun bisa ditemukan jika pintu hidayah memang sudah terbuka. Ditengah riuh dan hiruk pikuk pasar orang melakukan transaksi dengan niatan awal kerja sebagai ibadah, namun ketika hari berakhir mereka melupakan semboyan itu dan menganggap semua yang diupayakannya itu mutlak hasil dari usahanya. Disisi lain mereka yang menyadari semua bagian dari takdir Allah, mengesampingkan makna kehendak-Nya.

 

 

Di gunung juga seperti itu. Seribu kali pun engkau mendaki gunung dan berhasil melewatinya, sesungguhnya semua itu hanya capaian raga. Bisa saja engkau mengatakan ‘saya mendaki gunung untuk menemukan arti hidup’, namun arti hidup yang mana dan bagaimana kalau engkau tidak memahami darimana sesungguhnya sumber kehidupan itu sendiri berasal.

 

 

Suatu ketika adalah kisah Malik bin Dinar yang sedang berjalan untuk menunaikan ibadah haji. Ditengah perjalanan ia melihat seorang pemuda tengah berjalan kaki tanpa membawa bekal dan kendaraan. Anehnya, meski terlihat telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, si pemuda tak terlihat membawa bekal walau sekadar air untuk menghalau haus selama di perjalanan. Pun begitu si pemuda terlihat tenang-tenang saja.
Aneh. Begitu yang terlintas di benak Malik bin Dinar. Makanya Malik bin Dinar lalu menyambangi si pemuda seraya mengucapkan salam.

 

 

”Assalamu’alaikum.” Ucapnya.

”Wa’alaikum salam”. Tanpa rasa canggung, pemuda itupun menjawab salamnya.

 

 

Selanjutnya, perbincangan antara keduanya pun terjadi.
”Wahai pemuda, dari manakah engkau datang”? Tanya Malik bin Dinar.

”Dari sisi-Nya,” jawab si pemuda.

”Mau kemana?”

”Mau ke sisi-Nya.”

”Mana bekalmu?” Malik bin Dinar melanjutkan pertanyaannya.

”Dalam tanggungan-Nya,” jawab si pemuda.

”Jalan ini tidak bisa di tempuh tanpa bekal dan air,” kata Malik bin Dinar. Yang hanya dijawab diam oleh si pemuda.
”Baiklah,” Malik bin Dinar melanjutkan, ”Apakah engkau mempunyai sesuatu?”

”Kaf Ha Ya’ ‘Ain Shad,” jawab si pemuda. ”ketika aku memulai perjalanan, aku telah membawa lima huruf itu sebagai bekal.”

 

Malik bin Dinar bertanya,”Lima huruf yang manakah itu?”

 

Si Pemuda menjawab, ”Allah swt berfirman : Kaf Ha Ya’ ‘Ain Shad.”

 

”Apa maknanya?” tanya Malik bin Dinar.

 
Kaf artinya Kafi (Dzat Yang Mencukupi), Ha artinya Hadi (Pemberi Hidayah), Ya’ artinya Mu’wi (Dzat Pemberi Tempat), ‘Ain artinya ‘Alim (Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu), dan Shad artinya Shadiq (Yang Benar dalam Janji-Nya,” pemuda itu menjelaskan.

 
”Maka,” lanjut si pemuda, ”barang siapa yang temannya adalah Dzat Yang Mencukupi, Memberi Petunjuk, Memberi Tempat, Mengetahui Segala Sesuatu, dan Benar dalam Janji-Nya, Apakah masih memerlukan orang lain dan apakah masih takut kepada orang lain? Dan apakah masih perlu membawa bekal dan air bersama-Nya?”

 
Mendengar ucapannya, Malik bin Dinar bermaksud memberikan baju miliknya kepada si pemuda. Tetapi si pemuda menolaknya. Ia mengelak. ”Telanjang dari baju dunia itu lebih baik. Kalau halal pasti dihisab dan kalau haram pasti pasti akan mendatangkan azab,” ucap si pemuda.

 
Ketika malam mulai gelap, si pemuda menengadahkan wajahnya kelangit. Selanjutnya ia memanjatkan doa, ”Wahai Yang Maha Suci, yang gembira dengan ketaatan hamba-Nya, dan tidak rugi oleh dosa-dosa hamba-Nya, berikanlah kepadaku sesuatu yang menyebabkan Engkau senang, yaitu ketaatan. Dan ampunilah sesuatu yang karenanya Engkau tidak dirugikan sama sekali, yaitu dosa.” Dan lalu saat orang-orang terlihat memakai pakaian ihram dan mengucapkan Labbaik, si pemuda diam saja.

 

 

Malik bin Dinar penasaran. Makanya, ia bertanya, ”Mengapa engkau tidak mengucapkan Labbaik?”

 

 

Si pemuda menjawab, ”Aku takut bila aku mengucapkan Labbaik wa la Sa’daik (labbaik-mu tidak diterima dan Sa’daik-mu tidak di terima) Dia tidak mau mendengarkan suaraku dan Dia tidak akan memandangku.” Setelah itu si pemuda pergi. Sepanjang perjalanan, Malik bin Dinar tidak menjumpai si pemuda. Malik bin Dinar baru melihat kembali si pemuda ketika berada di Mina.

 
Di Mina, si pemuda tampak tengah membaca beberpa syair yang maknanya, ”Dia adalah kekasih yang menyukai darahku dialirkan. Darahku di tanah Haram pun Halal untuk-Nya. Dan di luar tanah Haram pun, demi Allah, seandainya ruhku tahu bahwa ia bergantung kepada Dzat Yang Maha Suci, maka ia akan berdiri dengan kepala, bukan dengan kaki. Dan orang yang biasa mencaci-maki, janganlah mencaciku karena mencintai-Nya. Seandainya kalian melihat apa yang aku lihat, maka sekali-kali kalian tidak akan mencaciku.

 
Orang-orang berthawaf di sekeliling Baitullah, seandainya mereka berthawaf di sekeliling Allah, maka mereka tidak akan bergantung kepada tanah Haram.

 
Pada hari raya orang-orang berkurban kambing. Akan tetapi pada hari itu Kekasihku mengorbankan jiwaku. Orang-orang telah telah selesai menunaikan ibadah haji, dan hajiku adalah sesuatu yang membuatku tenang. Orang-orang telah berkurban. Aku berkurban dengan darah dan nyawaku.”

 
Selanjutnya si pemuda berdo’a, ”Ya Allah, orang-orang telah mendekatkan diri kepada-Mu dengan melalui berkurban, sementara aku tidak mempunyai sesuatu yang bisa aku kurbankan. Dan aku hanya memilki nyawa. Aku persembahkan nyawaku kepada-Mu, maka terimalah Ya Allah.”

 
Tak lama setelah memanjatkan do’a, si pemuda itu menjerit dan jatuh. Ia meninggal dunia. Tak lama berselang terdengar suara gaib. Suara itu berkata demikian, ”Ia adalah temannya Allah SWT.”

 
Lalu, Malik bin Dinar mengurusi pengebumiannya. Sepanjang malam Malik bin Dinar terus memikirkan tentang si pemuda yang dijumpainya itu. Hingga suatu malam dalam tidurnya, Malik bin Dinar bermimpi bertemu dengan si pemuda.

 
”Bagaiamana keadaanmu?” tanya Malik bin Dinar.

Aku telah diperlakukan seperti para syuhada Badar, bahkan dilebihkan dari mereka,” jawab si pemuda.

”Mengapa engkau dilebihkan dari mereka?” lanjut Malik bin Dinar.

”Mereka Syahid dengan pedang musuh, dan aku syahid oleh pedang kerinduan kepada Allah SWT,” jawab si pemuda.

 
Begitulah tanjakan dari sebuah ritual peribadatan. Di gunung juga seperti itu. Seribu kali pun engkau mendaki gunung dan berhasil melewatinya, sesungguhnya semua itu hanya capaian raga. Bisa saja engkau mengatakan ‘saya mendaki gunung untuk menemukan arti hidup’, namun arti hidup yang mana dan bagaimana kalau engkau tidak memahami darimana sesungguhnya sumber kehidupan itu sendiri berasal.

 

 

Bertanyalah pada bumi tempatmu berpijak, apakah dirimu telah cukup adil memperlakukan hidup, hingga diketika engkau kembali bumi tak merasa ada alasan lagi untuk menolakmu!

Di gunung juga seperti itu. Seribu kali pun engkau mendaki gunung dan berhasil melewatinya, sesungguhnya semua itu hanya capaian raga. Bisa saja engkau mengatakan ‘saya mendaki gunung untuk menemukan arti hidup’, namun arti hidup yang mana dan bagaimana kalau engkau tidak memahami darimana sesungguhnya sumber kehidupan itu sendiri berasal.

Gusblero Free

Puasa Saya Untung-untungan

allahumma

Ramadhan hampir usai, dan mirip siswa yang tengah menghadapi ujian di madrasah, sekolah, pesantren, kampus, dan laboratorium akademis lainnya, selalu ada yang tak selesai, selalu berujung terasa kurangnya waktu untuk kita bisa yakin apakah yang kita kerjakan sudah paling sempurna dari segala rupa tugas yang bisa kita rampungkan. Bahkan sepanjang yang sudah saya jalani, saya merasa puasa saya untung-untungan.

 

Selalu susah mengerjakan tugas Ramadhan. Kalau perkara menahan haus dan lapar saja, menurut saya itu hanya ujian teori yang sangat gampang dilakukan. Namun di titik yang seakan gampang inilah justru nampak rumitnya, yang para Malaikat saja tidak bisa menilainya, semuanya kembali kepada Allah.

 

Seluruh amal barangkali bisa dihitung, hingga kemudian Malaikat bisa mencatatnya. Namun ujian Ramadhan selalu susah dimengerti, ini bukan semata rumusan salah atau benar yang menghasilkan nilai dosa atau pahala. Ramadhan sungguh membuat saya selalu merasa gemetar.

 

Saya sungguh amat sangat dhaif lemah, hingga tak pernah benar-benar berani menyerahkan hasil lembar-lembar puasa saya. Ada kalanya saya justru lebih berfikir untuk memberikan puasa saya bagi para pengayuh panggul yang karena asbab kondisional tidak mampu menjalankannya.

 

Sebentar lagi lebaran tiba, Ramadhan usai. Namun bagaimana dengan nilai yang bisa saya peroleh dalam sebulan ini. Takbir akan segera menggema, dan saya masih gemetar. Keagungan-Mu akan melimpah ruahi seisi langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Kemenangan-Mu, itulah ke-Maha Agung-an-Mu.

 

Puasa saya untung-untungan, tetapi saya percaya ke-Maghfirah-an-Mu. Sekeras apapun saya membentuk diri, Engkaulah yang paling berhak mengembalikan fitrah saya sebagai hamba-Mu. Astaghfirullahal’Adzim.

 

Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, 

Laa illaa haillallah-huwaallaahuakbar

Allaahu akbar walillaahil hamd

 

Wonosobo, 24 Juni 2017

 

Gusblero Free

4. Malaikat Yang Pemalu

Malaikat adalah mahluk Allah yang paling pemalu. Beberapa kali saya mendapati cerita entah dari teman entah dari orang yang kebetulan ketemu di warung lalu ngobrol ngalor-ngidul menguatkan kesimpulan itu. Coba hitung berapa banyak Anda mendengar beragam kisah tentang bagaimana perjuangan orang yang menunggui keluarganya yang sedang sakit. Tiap hari ditunggui, tiap saat didoakan, lalu ketika ditinggal sebentar saja sekadar keluar untuk mencari obat atau keperluan lainnya, begitu kembali si sakit sudah meninggal dunia.

 

Ada lagi yang momen terakhirnya ngobrol-ngobrol enak berdua. Lalu tiba-tiba si sakit minta dibuatkan bubur atau diambilkan minuman dan sebagainya. Secepat dia kembali, secepat itu pula si sakit sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Jarang sekali dan kalau pun ada jumlahnya mungkin bisa dihitung, bahwa ada seseorang menunggui entah itu keluarganya atau sahabatnya yang tengah sakit parah, lalu bisa mendekap perjalanan maut itu sampai hembusan nafas terakhirnya. Kondisi yang begini, utamanya berlaku pada orang yang sangat disayanginya, atau orang yang begitu men-tresna-ni si sakit. Apa pasal?

 

Menurut saya malaikat adalah mahluk Allah yang sangat pemalu, atau boleh dibilang paling pemalu. Ia tentu saja adalah juga mahluk Allah paling setia, paling penurut, dan selalu siap untuk melaksanakan tugas apapun yang diberikan oleh Allah. Akan tetapi karena sifat-sifatnya yang ‘khas’ begitu, membuatnya juga mempunyai ‘toleransi’ lebih terhadap hamba-hamba Allah lainnya.

 

Ia jelas tidak seperti debt collector yang gampang main sita, gampang main putus listrik dan sebagainya dalam memutuskan perkara antara si nasabah dan juragannya. Malaikat melihat kondisi pihak-pihak yang hendak didatanginya. Sepengetahuan saya ia tidak pernah main serobot saja mengambil nyawa orang yang tengah digendong, ditimang-timang dalam ayunan doa dan pengharapan keluarga terhadap mukjizat Allah SWT.

12244351_10153073216236008_1112293953566854258_o

Malaikat yang pemalu. Bisa jadi ia hanya hilir mudik mondar-mandir mengelilingi rumah calon si mati dan tak juga lekas-lekas masuk ke dalam rumah melaksanakan tugasnya karena mengetahui ada keluarga atau kekasih si calon mati tengah bersamanya. Malaikat, disini, jelas ia mengerti dan memahami bahasa kasih antar hamba, hingga ia tak tega mengambil begitu saja momen-momen indah tersisa, kenangan-kenangan terakhir hamba sebelum ia kemudian mengambil seluruhnya. Tentu, dengan penampakannya yang terbaik, yang indah, dan dalam penampilan yang sangat ramah.

 

Ia yang pemalu, ia yang sungguh setia, dan ia yang sejatinya penurut. Bisa dibayangkan kemudian, seperti apa jenis si calon mati, kalau ternyata kemudian malaikat yang hadir di situ muncul dengan penampakannya yang serba penuh amarah, keras, tak ubahnya algojo bertopeng besi. Si calon mati tentulah sebangsa orang yang khianat, orang yang sama sekali jauh dari peradaban ketuhanan yang sebenarnya sehingga malaikat bisa semurka itu.

 

Akan halnya pertanyaan apakah malaikat juga mempunyai keleluasaan atau kebebasan sesupel itu? Malaikat adalah mahluk yang paling setia. Perhatikan kata-kata setia ini. Setia adalah wujud dari makna mengabdikan diri, kesetiaan berarti pengabdian diri. Selalu responsif dan siap menjaga kemaujudan setia dengan melakukan segala hal (termasuk menjalankan perintah), dan menyukai semua perbincangan terhadap Dzat yang dijunjungnya Maha Tinggi, dengan dianya sebagai maha abdi.

 

Tahukah kita bahwa malaikat maut selalu mengawasi dan melihat wajah seseorang  70 kali dalam sehari? Seandainya manusia sadar akan hal itu, niscaya mereka tidak akan lalai mengingat mati. Tidak seorangpun tahu kapan akan menemui ajal, karena kematian adalah salah satu rahasia Allah. Memang Allah sudah memberikan tanda-tanda kematian itu kepada setiap orang. Tapi banyak yang tidak sadar akan tanda-tanda yang sudah disampaikan Allah itu, sehingga banyak diantara kita yang tidak bersiap-siap menantikan datangnya kematian.

 

Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra menyatakan Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia dimuka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah seseorang, ditemukan orang itu ada yang tertawa-tawa.” Lalu Izrail berkata: ‘Alangkah herannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih bersantai dan bergelak tawa.”

 

Jika dibuat survey, dari 100 orang di dunia ini barangkali hanya 1 yang selalu ingat mati. Dalam arti bahwa orang itu selalu menyiapkan dirinya untuk menghadapi maut yang bisa datang kapan saja. Orang yang ingat mati akan selalu berusaha mengumpulkan bekal untuk menghadapi dua tahap berikutnya yaitu alam barzah dan alam akhirat. Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat menggambarkan bagaimana perasaan dan pengalaman mereka menghadapi kematian. Ajal tidak mengenal usia, bisa muda atau tua. Juga tidak mengenal si kaya atau miskin.

malaikat maut memperhatikan wajah manusia dimuka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah seseorang, ditemukan orang itu ada yang tertawa-tawa.” Lalu Izrail berkata: ‘Alangkah herannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih bersantai dan bergelak tawa.”

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan  bahwa kesakitan ketika hampir mati itu seperti dipukul 100 kali dengan pedang tajam atau seperti dikoyak kulitnya dari daging ketika masih hidup. Bayangkanlah betapa sakit dan dahsyatnya saat menghadapi kematian, bahkan Nabi Idris yang minta cara terhalus dalam mencabut nyawanya pun masih merasakan sakit luar biasa. Maka sangat beruntunglah siapa yang matinya dalam keadaan khusnul khatimah.

 

Salman Al-Farisi meriwayatkan hadis Nabi SAW yang artinya: “Perhatikanlah tiga hal kepada orang yang sudah hampir mati itu. Pertama: berkeringat pada pelipis pipinya; kedua: berlinang air matanya dan ketiga: lubang hidungnya kembang-kempis. “Sedangkan jika ia mengeruh seperti tercekik, air mukanya nampak gelap dan keruh, dan mulutnya berbuih, menandakan bahwa azab Allah sedang menimpa dia.” (HR. Abdullah, al-Hakim dan at-Tarmizi)

 

Kematian ‘mengundang’ manusia secara perlahan-lahan atau bertahap mulai dari jasad, ujung kaki kemudian ke paha. Untuk orang kafir, ketika nyawanya hendak dicabut Izrail, wajahnya akan menjadi gelap dan keruh dan dia mengeruh seperti binatang yang disembelih. Itu pula tanda azab yang diterimanya karena dosa dan kekafiran mereka.

 

Al-Qamah bin Abdullah meriwayatkan hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Bahwa ruh orang mukmin akan ditarik oleh Izrail dari jasadnya dengan perlahan-lahan dan halus, sementara roh orang kafir akan direnggut dengan kasar oleh malaikat maut bagaikan mencabut nyawa seekor keledai himar.”

 

Mungkin ada juga orang kafir yang mati dalam ketenangan karena ketika hidupnya dia berbuat kebajikan dan itu adalah balasan terhadapnya karena setiap kebajikan pasti akan dibalas. Tetapi karena tidak beriman, maka itu tidak menjadi pahala baginya dan kekafirannya tetap diazab di akhirat.

 

Rasulullah SAW bersabda: “Bila telah sampai ajal seseorang maka akan masuklah satu kelompok malaikat ke dalam lubang-lubang kecil dalam tubuh dan kemudian mereka menarik rohnya melalui kedua telapak kakinya sehingga sampai ke lutut.

 

“Setelah itu datang pula sekelompok malaikat yang lain masuk menarik roh dari lutut hingga sampai ke perut dan kemudian mereka keluar. Datang lagi satu kelompok malaikat yang lain masuk dan menarik rohnya dari perut hingga sampai ke dada dan kemudian mereka keluar.

 

“Dan akhirnya datang lagi satu kelompok malaikat masuk dan menarik roh dari dadanya hingga sampai ke tenggorokan dan itulah yang dikatakan saat nazak orang itu.”

 

Malaikat Izrail menjalankan perintah Allah SWT dengan sempurna. Dia tidak diutus hanya untuk mencabut roh orang sakit saja ataupun roh orang yang mendapat kecelakaan dan bencana. Kematian mungkin terjadi karena sebab bencana seperti gempa bumi, banjir, kebakaran dan ada juga yang matinya karena kecelakaan, infeksi berbahaya seperti kanker, jantung, AIDS, demam berdarah dan lain-lain.

 

Seseorang yang sedang sakit keras, menjadi rahmat yang tinggi nilainya karena Allah masih memberi peluang agar mereka sadar akan kesalahan yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Sehingga mereka masih ada kesempatan bertobat dari dosa dan kesalahan. Begitu juga halnya dengan orang mati mendadak karena kecelakaan. Ia memberi pengajaran dan peringatan kepada mereka yang masih hidup agar berhati-hati dan tidak lalai dalam berusaha memperbaiki diri. Allah menjadikan sebab kematian itu untuk memenuhi janji-Nya kepada segenap hamba-Nya.

 

Sayyidina Abbas meriwayatkan sebuah hadits yang antara lain menjelaskan malaikat Izrail yang merasa sedih ketika ditugaskan mencabut roh makhluk bernyawa. Ini karena antara makhluk bernyawa itu adalah termasuk manusia yang terdiri dari kekasih Allah rasul, nabi, wali dan orang saleh.

 

Malaikat maut mengadu kepada Allah betapa dirinya tidak disenangi keturunan Adam AS. Dia mungkin dicemooh karena mencabut roh manusia yang mana menyebabkan orang berduka cita karena kehilangan orang tersayang dalam hidup mereka. Akan tetapi ketetapan Allah adalah mutlak, dan hanya Allah Yang Maha Tahu kenapa Ia harus menguji kesetiaan malaikat dengan tugas-tugas serupa itu.

 

Malaikat mungkin bisa saja merasa susah menjalankan tugas yang satu ini. Namun bukankah tak seperti manusia yang banyak dililit persoalan hidup, malaikat bahkan memiliki keleluasaan untuk menghadiri majlis-majlis yang tengah mencoba menyatukan diri dengan keberadaan Sang Khalik, Maha Junjungannya?

 

Dibalik kepasifannya yang sangat penurut, malaikat juga memiliki karakter dinamis untuk mendukung terwujudnya ke-hablum min Allah-an mahluk menjadi hamba Allah seperti dirinya. Ia juga mendoakan orang yang selalu mengajarkan kebaikan kepada sesama manusia. Disinilah terbentuk kemesraan antara mahluk dan Penciptanya, antara sang hamba dengan Khaliknya, antara malaikat, manusia dan Allahnya.

 

Doa dari Allah kepada orang-orang beriman adalah sanjungan dan pujian-Nya serta kasih sayangNya. Sedangkan yang dimaksud doa dari malaikat adalah permohonan ampun untuk dosa-dosa si hamba tadi. Termasuk orang yang akan didoakan oleh malaikat adalah mereka yang menjenguk dan mengunjungi orang yang sakit. Dalam hadits dikatakan, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang laki-laki pun yang menjenguk atau mengunjungi orang sakit pada sore hari, kecuali ia disertai oleh 70 ribu malaikat yang memohonkan ampun atas dosa-dosanya sehingga waktu pagi hari tiba, dan ia akan diberi musim yang sejuk kelak dihari kiamat. Dan barang siapa yang menjenguk orang yang sakit pada pagi hari, maka ia akan diiringi oleh 70 ribu malaikat yang memohonkan ampun atas segala dosa-dosanya sehingga waktu sore tiba, dan kelak di surga ia akan diberi musim yang sangat sejuk”, (HR. Abu Dawud). Demikian di antaranya orang-orang yang akan didoakan oleh para malaikat.

“Tidak ada seorang laki-laki pun yang menjenguk atau mengunjungi orang sakit pada sore hari, kecuali ia disertai oleh 70 ribu malaikat yang memohonkan ampun atas dosa-dosanya sehingga waktu pagi hari tiba, dan ia akan diberi musim yang sejuk kelak dihari kiamat.

Istimewanya malaikat, ia penurut dan pemalu. Namun bukan berarti tanpa hak-hak untuk melakukan interupsi dan peran aktif kemaujudan dirinya. Malaikat boleh saja mempertanyakan ‘Wahai Allah, kenapa Engkau harus ciptakan manusia yang hobinya bertengkar menyombongkan diri hingga berbunuh-bunuhan’, namun ketika dijelaskan ‘semua itu adalah Kehendakku, dan Akulah Yang Paling Tahu’, maka ia bersegera memohon ampun atas kelancangannya mempertanyakan itu. Dan hanya Kasih Sayang Allah-lah yang kemudian tetap menempatkannya dalam kekudusan serupa itu.

 

Malaikat adalah mahluk yang pemalu. Ke-khas-annya untuk tetap menjadi mahluk yang setia inilah yang meniadakan padanya nafsu. Malaikat tidak akan mendekati kita apabila kita membuka aurat karena malaikat sangat pemalu, seperti terjadi dalam satu kisah Nabi SAW. Saat itu datang Malaikat Jibril sewaktu baginda sedang bersama dengan Khadijah. Apabila Nabi SAW memberitahu Khadijah mengenai kedatangan Jibril, Khadijah meminta Nabi masuk ke dalam jubahnya (jubah Khadijah). Mengetahui yang demikian, sebentar kemudian sosok itupun pergi. Maka Khadijah pun yakin yang datang itu malaikat, bukan setan, karena malaikat tidak akan melihat aurat manusia.

 

 

Kegembiraan Allah adalah kegembiraan malaikat. Kegembiraan malaikat adalah ketika bisa melaksanakan tugas yang menghasilkan kegembiraan bagi Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila ada anak salah seorang hamba itu meninggal maka Allah bertanya kepada malaikat-Nya, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa buah hati hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab ‘Ya.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dengan membaca innaa lillaahi wa inna ilaihi raji’un’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku itu sebuah rumah di sorga, dan beri nama rumah itu dengan Bait al-Hamd.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah).

 

 

Malaikat juga mengalami mati. Semua makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian. Dan juga makhluk ghaib, seperti halnya jin, Malaikat,setan, tak ada satupun diantara mereka yang terhindar dari kematian. Dan yang kekal hanyalah Allah semata. Allah berfirman yang artinya: “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahmaan 27).

 
Dalam hal kematian ini, Syekh Muqatil bin Sulaiman dalam kitab “As-Suluuki”  mengatakan, bahwa malaikat maut di langit ketujuh mempunyai sebuah ranjang yang diciptakan oleh Allah dari cahaya. Dia memiliki 70.000 kaki dan 40.000 sayap. Mata dan mulutnya memenuhi sekujur tubuhnya. Semua makhluk mulai zaman Nabi Adam, hingga yang terakhir, serta makhluk yang lainnya berada dalam kekuasaan tubuh. Ia memiliki wajah, mata, tangan, dan telinga yang berjumlah sama dengan bilangan seluruh seluruh manusia. Maka ia mencabut nyawa dengan tangan itu, dan ia melihat dengan wajahnya yang bisa dengan tepat pada muka manusia yang akan dicabutnya. Demikianlah cara ia mencabut nyawa setiap makhluk dimana pun ia berada. Di manapun makhluk itu berada, niscaya tak kan mampu selamat darinya. Jika seseorang telah meninggal dunia, maka akan hilang gambarnya dari jasad malaikat Izrail itu.

 
Ada juga yang mengatakan, bahwa malaikat Izrail memiliki empat wajah. Satu wajah ada di depannya, wajah yang kedua ada di atasnya, yang ketiga ada di atas punggungnya, dan yang ke empat berada di bawah kedua telapak kakinya. Maka ketika ia mencabut ruh para Nabi dan para malaikat, maka ia mencabut dari wajah yang ada dikepalanya. Ketika ia mencabut ruh orang-orang mukmin, ia menggunakan wajah yang ada di hadapannya. Ketika ia mencabut nyawa orang-orang kafir, dari wajah yang ada di punggungnya. Dan ketika ia mencabut nyawa para jin, maka ia menggunakan wajah yang berada di kedua kakinya. Salah satu dari kakinya berada di atas titian neraka Jahanam, dan yang lainnya berada di atas ranjang surga.

 


Ada sumber lain menerangkan, bahwa Allah menciptakan pohon dibawah arsy, yang jumlah daunya sama dengan jumlah makhluk hidup. Empat puluh hari menjelang kematian salah satu makhluk, maka selembar daun itu akan gugur di tempat malaikat Izrail, maka hal semacam ini akan diketahuinya, bahwa Allah memerintahkan agar nyawa makhluk yang namanya tercantum diatas daun itu, selain tercantum nama juga tempat dan sebab-sebab kematian seseorang.

 

 

Telah diriwayatkan sebuah hadis dari Ka’ab Al-Akbar ra: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan pohon di bawah Arsy, dan di atas pohon itu tumbuh dedaunan yang jumlahnya sama dengan bilangan seluruh makhluk. Dan ketika telah sampai ajal seorang hamba, dan umurnya hanya tersisa 40 hari, maka daun itu akan jatuh di atas tempat dimana malaikat Izrail AS berada disitu. Maka ia pun akan paham, sesungguhnya ia telah diperintah untuk mencabut nyawa dari orang yang memiliki nama pada daun itu. Setelah jatuhnya daun itu, maka seluruh malaikat saat itu mulai menamakan (menyebut) orang itu dengan nama ‘mayit’ di alam langit, dan di atas hamparan permukaan bumi si ‘calon mayit’ masih akan hidup selama empat puluh hari lagi”.

 
Sedangkan untuk mengetahui tempat matinya seorang hamba, diriwayatkan bahwasanya Allah Ta’ala telah menciptakan malaikat yang ditugasi mengurus setiap bayi yang akan dilahirkan. Malaikat itu dinamakan malaikat Arham AS. Tatkala Allah Ta’ala menciptakan seorang anak (bayi), maka Allah Ta’ala akan memerintahkan kepada malaikat Arham AS untuk masuk pada sperma atau mani yang berada di dalam rahim seorang ibu dengan membawa tanah dari bumi dimana kelak sang bayi itu akan mati di bumi atau daerah itu. Dengan begitu, kematian seorang hamba telah ditentukan daerah atau tempatnya sebelum ia dilahirkan, bahkan sebelum berbentuk janin sekalipun.

 
Maka, setelah hamba itu dilahirkan, ia akan berputar (berjalan di permukaan bumi) sesuai dengan yang ia kehendaki. Ia akan berada dimanapun yang ia mau dan pada saat yang dia mau. Namun pada saat kematiannya akan tiba, ia akan menuju tempat dimana tanah (yang melekat di nuthfah atau mani yang menjadi asal kejadiannya dulu) diambilkan dari daerah itu. Dengan sendirinya, dia akan menuju tempat kematiannya atas Kuasa Allah Ta’ala. Sehingga ia akan mati di sana. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ketempat mereka terbunuh.” (Qs. Ali Imran: 154).

 
Diceritakan: “Sesungguhnya malaikat Maut  pernah suatu waktu menampakkan dirinya (dalam bentuk seorang lelaki). Pada suatu hari, ia masuk ke rumah Nabi Sulaiman, lalu malaikat Maut  itu menatap seorang pemuda yang berada di samping Nabi Sulaiman, hingga pemuda itu menjadi gemetaran karena ketakutannya pada tatapan malaikat tersebut. Ketika malaikat Maut pergi, pemuda itu berkata pada Nabi Sulaiman AS: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku menghendaki agar engkau memerintahkan kepada angin supaya membawaku pergi ke negeri Cina”. Maka Nabi Sulaiman pun menuruti permintaannya dengan memerintahkan kepada angin, dan angin pun membawa pemuda itu ke negeri Cina.

 

Lalu saat malaikat Maut kembali kepada Nabi Sulaiman, maka Nabi Sulaiman pun menanyakan tentang sebab kenapa malaikat Maut menatap pemuda itu dengan tatapan yang begitu rupa. Malaikat Maut menjawab: “Sesungguhnya aku diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mencabut nyawanya pada hari ini di negeri Cina. Tapi aku tadi melihatnya ia masih berada di sampingmu. Aku menjadi heran dengan hal yang demikian itu”.

 

Kemudian, Nabi Sulaiman menceritakan kepada malaikat Maut tentang permintaan pemuda itu yang meminta padanya untuk memerintahkan pada angin agar membawanya terbang ke negeri Cina. Maka malaikat Maut AS. Berkata: “Aku diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mencabut nyawanya hari ini di negeri Cina”. Dan setelah itu, malaikat Maut menyusulnya ke negeri Cina, tempat yang sekaligus menjadi saksi tentang pencabutan nyawa seorang pemuda yang tak akan mampu mengelak dari ketepatan dan tempat maut akan memisahkannya dari dunianya. Demikianlah semua ini agar menjadi petunjuk bagi kita semuanya.

 
Dalam hadits yang lain diceritakan: “Sesungguhnya malaikat Maut AS itu mempunyai beberapa pembantu, yang mana semuanya akan berdiri dihadapan malaikat Maut AS ketika ia sedang mencabut nyawa.”

 

 

Diceritakan pula dahulu kala, ada seorang lelaki yang dengan lisannya dia selalu berdo’a: “Allaahummaghfirlii wa limalakissysyamsi”…..Ya Allah, semoga Engkau mengampuniku dan mengmpuni malaikat yang menjaga matahari.” Disebabkan doa itulah, lalu membuat malaikat penjaga matahari memohon izin pada Allah Ta’ala untuk mengunjungi pemuda itu.

 

Ketika malaikat penjaga matahari telah bertemu dan melihatnya, maka malaikat itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkaulah orang yang paling banyak mendoakanku, maka sekarang apa yang engkau inginkan?”. Lalu, lelaki itu menjawab: “Keinginanku adalah agar engkau membawaku ke tempatmu. Dan aku menginginkan agar engkau mau bertanya kepada malaikat Maut AS tentang ajalku”. Lalu malaikat penjaga matahari itu segera membawa lelaki itu dan mendudukkannya di dekat matahari.

 

 

Setelah itu malaikat penjaga matahari mendatangi malaikat Maut dan mengatakan apa yang ingin diketahui sahabatnya itu: “Sesungguhnya ada seorang lelaki keturunan Adam AS yang berdoa dengan lisannya, seraya mengucapkan pada setiap sholatnya sebuah do’a: Allahummaghfirlii wa malakisysyamsi. Ia benar-benar telah meminta kepadaku agar bertanya kepadamu (tentang dekatnya ajalnya) supaya ia bisa bersiap-siap”. Kemudian malaikat Maut AS membuka dan melihat bukunya, dan mencari nama lelaki itu serta berkata: “Jauh sekali. Sesungguhnya temanmu itu berada dalam masalah yang besar hingga ia tidak akan mati kecuali ia telah duduk di tempat dudukmu (yaitu) di dekat matahari”.

 

Mengetahui hal itu malaikat penjaga matahari berkata: “Sekarang ia telah berada di tempat dudukku, di dekat matahari.” Maka malaikat Maut berkata: “Ia akan mati di hadapan utusanku di tempat itu, dan mereka semua tidak ada yang mengetahui”. Dan sudah takdir Allah, bahwa laki-laki itu mati di tempat tersebut.Subhanallah!

Gusblero Free

3. Hati Kecil

Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al-Ghazali bertanya: “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”.

 

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman dan kerabatnya. Imam Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah ‘mati’. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

 

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasai mati, dan bahwasanya pada hari kiamat sajalah akan disempurnakan balasan kamu. Ketika itu sesiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke sorga maka sesungguhnya ia telah selamat. Dan (ingatlah bahawa) kehidupan di dunia ini (meliputi segala kemewahannya dan pangkat kebesarannya) tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya.” (QS. Ali Imran 185).

 

Imam Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua: ” Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”

 

Murid-muridnya ada yang menjawab negara China, bulan, matahari dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahawa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah ‘masa lalu’. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

 

Kemudian Imam Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga: “Apa yang paling besar di dunia ini?”

 

Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah ‘nafsu’. Justru nafsu yang menguasai diri, menyebabkan manusia gagal menggunakan akal, mata, telinga dan hati yang dikurniakan oleh Allah SWT untuk hidup berlandaskan kebenaran . Fenomena ini menyebabkan mereka terjerumus ke dalam api neraka Jahanam .

 

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mau memahami dengannya (ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mau melihat dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mau mendengar dengannya (ajaran dan nasihat); mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’araaf 179).

 

Pertanyaan keempat adalah: ” Apa yang paling berat di dunia ini?”

 

Ada yang menjawab baja, besi dan gajah. Semua jawaban hampir benar, kata Imam Ghazali, tapi yang paling berat adalah ‘memegang amanah’.

 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-gunung (untuk memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan karena merasa berat untuk melakukannya; dan (lalu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.” (QS. Al Ahzaab 72).

 

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka kerana ia tidak bisa memegang amanahnya.

 

Pertanyaan yang kelima adalah: ” Apa yang paling ringan di dunia ini?”.

 

Ada yang menjawab kapas, angin, debu dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan shalat’. Gara-gara pekerjaan, kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita tinggalkan shalat.

 

Akhirnya sampai pada pertanyaan ke enam: ” Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.

 

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang! Benar kata Imam Ghozali, tetapi yang lebih tajam adalah ‘lidah manusia’. Karena melalui lidah, manusia dengan begitu mudah menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

thumb_HamMihan-20172949410673854601485535562.3492

Begitulah. Hati kecil itu konon tempatnya tidak ada rahasia. Jadi orang bisa dan boleh saja berbohong, bahkan atas nama hati boleh saja berdusta, akan tetapi dalam hati kecilnya pasti ada percakapan tersendiri yang mendasari kenapa tindakan yang demikian ia lakukan.

 

Hati kecil juga konon sering ditengarai sebagai muasalnya kejujuran. Dua orang bisa saja bertemu, bicara ke utara ke selatan sambil saling tertawa, namun masing-masing merasa dalam diri ada situasi untuk saling menjaga-jaga masih tersisa. Yang demikian bukan sepenuhnya refleksi fikiran, namun kesadaran hati yang mengirimkan semacam pesan ke otak.

 

Seorang suami seorang istri sejoli kekasih juga punya hati kecilnya sendiri. Engkau boleh berkata begitu, namun hati kecilku bicara bla bla bla bla, itu menurut syair sebuah lagu. Orang besar orang kecil juga mempunyai hati kecil. Hati kecil orang kecil yang suka mengadu kepada Sang Pemilik Hidup, karena merasa sering disia-sia, didholimi, dimarginalkan peradaban. Tetapi banyak pejabat orang besar yang emoh, yang ogah, yang tidak mau mengindahkan suara hati kecilnya, karena merasa itu bukan karakter sifat kasta orang besar. Ini penyakitnya orang besar, yang lambat laun menumbuhkan kedengkian karena hari-harinya isi hati kecilnya dipenuhi dengan kecurigaan melulu.

Orang besar orang kecil juga mempunyai hati kecil. Hati kecil orang kecil yang suka mengadu kepada Sang Pemilik Hidup, karena merasa sering disia-sia, didholimi, dimarginalkan peradaban. Tetapi banyak pejabat orang besar yang emoh, yang ogah, yang tidak mau mengindahkan suara hati kecilnya, karena merasa itu bukan karakter sifat kasta orang besar.

Penyakit peradaban memang aneh-aneh. Tidak hanya mereka yang berinteraksi dalam dimensi politik, bahkan sebagai insan sosial banyak sekali orang terjebak dalam jargon-jargon elitis yang istilahnya mulut bisa diungkapkan sampai berbusa-busa, namun dalam hati kecilnya bicara ‘luweh-luweh’, ‘sabodo teuing’, ‘nyonyor-nyonyor dah elo, nyang penting bukan gue’, dan sebagainya dan seterusnya.

 

Kita harus bersatu, kita harus jaga keutuhan NKRI, misalnya begitu. Namun sentimen sekte mempunyai tafsirannya sendiri, yang kemudian menghalalkan bagi sebagian orang untuk melakukan serangkaian tindakan penyeragaman dengan dalih demi persatuan, demi keutuhan. Agak aneh saja, justru ketika peradaban semakin maju, manajemen konflik perlahan-lahan berubah menjadi semacam profesi yang baik secara profit oriented, maupun political oriented kemudian terus digali sebagai satu sumber keuntungan satu dan lainnya.

 

Bersatu itu tidak penting, hati kecil saya berkata begitu, yang penting rukun. Belajar dari kebun binatang, macan yang galak, buaya yang buas, ular yang penuh bisa, semuanya memiliki potensi yang mematikan. Namun sepanjang masing-masing ‘ngerti kandange dhewe-dhewe’, sepanjang masing-masing memahami pagar batasnya sendiri-sendiri, ruang-ruang privasinya sendiri-sendiri, semuanya tidak menumbuhkan masalah.

 

Hati kecil manusia seperti halnya juga macan yang galak, buaya yang buas, ular yang penuh bisa. Rusaknya hati kecil ini selalu menjadi biang masalah terbesar dalam kehidupan manusia. Hati kecil yang terus bergolak, hati kecil yang sering rewel seperti nafas naga yang sukar ditundukkan, ‘diantengkan’, diheningkan. Dalam dunia spiritualistik, hati kecil itulah yang kemudian diistilahkan sebagai kalbu!

Gusblero Free

2. Menuju Cahaya

Alam semesta ini pada awalnya gelap. Gelap dan hampa seperti kain latar yang kosong, hingga Allah menyalurkan Nur-Nya. Lalu dengan cahaya itu mulai menampaklah garis-garis yang memunculkan bentuk-bentuk kehidupan. Disinilah dikatakan: hidup bermula dari Cahaya….Nur Allah! Lihatlah pada tumbuhan yang menjalar di gua-gua, dia merangkak ke atas mencari cahaya, mereka yang mati tak mendapatkan cahaya.

 

Ada bentuk ada bayangan karena ada cahaya, seperti lakon wayang yang kemudian dimainkan. Kita juga saling mengenal bentuk karena ada cahaya, tanpa itu kita tak akan bisa membedakan satu sama lainnya. Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada cahaya kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Jika hati tak tertutup cahaya, maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati, bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur Ilahi.

 

Allah berfirman: “Sesiapa yang buta di dunia, buta juga di akhirat”. (QS. Bani Israil 72). Bukan buta mata yang di kepala tetapi buta mata yang di hati yang menghalang seseorang daripada melihat cahaya hari akhirat. Firman Allah: “Bukan matanya yang buta tetapi hatinya yang di dalam dada”.

 

Bagi mereka yang permukaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang, itu seperti orang baru terbangun dari tidur dengan mata masih banyak kotoran. Walau pun begitu jika hatinya sudah menghadap arah yang benar, maka akan sampai juga ia melihat bentuk-bentuk kesadaran sejati dengan bantuan cahaya, yang lalu dengan petunjuk itu akan mengarahkannya menuju pusat, Cahaya dari segala cahaya.

the-good-samaritan-van-gogh

Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani berkata: “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi…” Jika ia mulai menyinari ruang hati kita, maka hati kita akan menyala. Lampu hati itu berada dalam kaca bening yang sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang. Kemudian kepada hati itu anak panah segala pencerahan menemukan tempatnya berlabuh dan hinggap. Anak panah kilat yang akan membawa kita kepada maksud ‘bukan dari timur atau barat, yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati’ dan memancarkan cahaya murni yang ‘lut sinar’ (sangat jernih dan transparan). Yang terus memancarkan cahaya walaupun tidak disentuh oleh api. Yang dengannya segenap pemahaman tentang makrifat (hikmah kebijaksanaan) akan menyala sendiri. Yang melaluinya Allah membukakan kunci atas segala rahasia hidup dan kehidupan di alam semesta.

Jika ia mulai menyinari ruang hati kita, maka hati kita akan menyala. Lampu hati itu berada dalam kaca bening yang sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang. Kemudian kepada hati itu anak panah segala pencerahan menemukan tempatnya berlabuh dan hinggap. Anak panah kilat yang akan membawa kita kepada maksud ‘bukan dari timur atau barat, yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati’ dan memancarkan cahaya murni yang ‘lut sinar’ (sangat jernih dan transparan).

Bermula dari itulah Yang Maha Hidup memperkenalkan asal muasal segala ciptaan-Nya. Seperti tinta dalam wadahnya, yang semua huruf terkumpul di dalamnya, saat huruf yang satu belum dibedakan dari huruf lainnya. Dari tinta inilah kemudian segala sesuatu itu terjadi: gambar rumah, gambar gunung, gambar manusia, batu, angin dan bentuk-bentuk lainnya.

 

Dan tinta itu tidaklah lalu menulis sendiri, akan tetapi Allah-lah yang menggerakkan, Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Gagah. Dengan demikian dimulailah kesaksian diri terhadap ‘Siapa yang sejatinya menggoreskan tinta itu.’ Semuanya bersandar kepada-Nya. Pepohonan, gunung, juga sorga dan neraka. Disebabkan semua itu muncul karena adanya Dzat Yang Maha Hidup, Yang Maha Berkehendak, Yang Maha Menggerakkan semuanya.

 

Sekarang menjadi jelas, kenapa cahaya menjadi inti spiritual dari seluruh agama yang ada di dunia ini. Dalam gulitanya pemikiran segala kejahiliyahan bisa saja terjadi, dan ketika orang kian tersadar untuk bangkit berbenah dan memperbaiki hidupnya, maka jalan satu-satunya kembali menuju cahaya. Menuju jalan terang, menuju sumber hidup menuju Pemilik Hakikat Asal. Bahwa segala yang ada ini dari segi hakikat adalah Allah, walau pun dari sisi lahir nampak beragam rupa dan warna. Sebagai misalnya uap, air, es, salju dan buih, dari segi hakikat adalah air, walau pun secara fisik bukan lagi air!

 

Gusblero Free

1. Membangun Sorga di Dunia

Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir ditengah perjalanannya ke tempat lain. Dalam dimensi fana keduniawian inilah mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan hidup dalam kelanggengan. Di sinilah manusia dengan menggunakan segenap panca inderanya, memperoleh sejumlah pengenalan dan pengetahuan tentang ciptaan-ciptaan Allah. Selanjutnya melalui olah rasa atau pengenalan tentang fakta-fakta teofani itu, fakta-fakta tentang iradah dan qudrah Allah akan tumbuh rasa syukur dan sikap ketawakalan yang akan sangat berperan menentukan kebahagiaan hari ini dan pada masa depannya.

 

Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke alam air dan lempung duniawi. Selama indera hidupnya masih tinggal dalam raganya, dikatakan bahwa ia berada di ‘alam ini’. Jika kesemuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke ‘alam lain’.

 

Begitulah kehidupan manusia di dunia ini hanya mempertahankan dua hal pokok sepanjang hayatnya, pemeliharaan jiwanya dan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan Allah. Terserap kedalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan akan musnah, sementara jiwa atau spiritnya akan terus abadi.

 

Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja, hanya terdiri dari tiga hal: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam falsafah Jawa, tindakan itu disebut: madhang, ngising, turu (makan, buang hajat, tidur). Tetapi nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.

 

Madhang, atau makan, adalah kebutuhan mendasar bagi segenap mahluk hidup. Tidak makan maka tidak hidup, seperti lampu yang kehabisan setruman. Ngising, atau buang hajat, adalah juga kebutuhan mendasar bagi mahluk yang hidup. Tanpa bisa melakukan tindakan ini maka sirkulasi kehidupan tidak akan sempurna. Seluruh kotoran bisa menumpuk, bercampur dan mencampuri energi hidup, hingga akhirnya menyebabkan kerusakan sistem hidup, lalu mati. Demikian juga halnya dengan turu, atau tidur, ini adalah juga kebutuhan yang penting bagi mahluk hidup. Kebutuhan tentang tidur yang tercukupi akan membuat sistem hidup tidak menjadi tegang, menimbulkan ketegangan yang terlalu dan mengakibatkan syaraf hidup terputus. Itu kalau kita mau membicarakan esensi mendasar hajat hidup kebutuhan satu mahluk.

 

Akan tetapi manusia, sebagai mahluk yang diciptakan dengan cita rasa kemuliaan Allah, tentu saja tidak boleh berhenti pada titik sekadar kebutuhan mahluk hidup. Dikaruniai indera perasa dan nalar yang berlebih, manusia juga harus bisa bertindak mewakili amanah Tuhan di bumi sebagai khalifah, sebagai penggarap ladang, yang pasti akan diminta pertanggung jawabannya nanti tentang apa-apa yang telah kita upayakan dalam memelihara ladang-Nya, sorga dunia sebagai wahana peleburan cita rasa Allah, sebelum akhirnya diberi kepercayaan atau hadiah memasuki sorga di akhirat kelak.

 

Disinilah lalu manusia dituntut tidak hanya bisa madhang ngising turu (makan buang hajat tidur), namun juga harus bisa madhangi sing turu (memberi pencerahan pada mereka yang berada dalam ketidak sadaran). Mengingatkan tentang arti sebenarnya hidup, mengingatkan pada kesadaran tentang tugas-tugas utama sebagai manusia mahluk yang hidup. Tanpa memiliki daya dan nalar berfikir yang demikian maka tak ubahnya manusia adalah mahluk hewani yang hanya bertindak pribadi untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Hukum rimba, yang kuat mengalahkan yang lemah, yang besar memangsa yang kecil dan sebagainya.

Disinilah lalu manusia dituntut tidak hanya bisa madhang ngising turu (makan buang hajat tidur), namun juga harus bisa madhangi sing turu (memberi pencerahan pada mereka yang berada dalam ketidak sadaran). Mengingatkan tentang arti sebenarnya hidup, mengingatkan pada kesadaran tentang tugas-tugas utama sebagai manusia mahluk yang hidup.

Naifnya, kesadaran tentang manusia sebagai mahluk tak cukup hanya makan buang hajat dan tidur ini, tidak menumbuhkan kesadaran iman yang sempurna. Manusia lupa untuk saling mengingatkan. Jangankan untuk saling mengingatkan, bahkan kalau perlu satu sama lain saling memanfaatkan atau mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Disisi inilah porsi kita sebagai khalifah yang harusnya madhangi sing turu, membangunkan kesadaran untuk kebaikan bersama menjadi tergadaikan oleh kepentingan pribadi.

 

Pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi semakin rumit dan menimbulkan kekacauan. Sebab utamanya adalah manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah semesta yang melupakan tujuan awal diciptakan. Oleh karena ingin membuktikan kebesaran dirinya, banyak manusia justru menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi keduniawiannya yang kini, sesuatu yang sejatinya kelak akan ditinggalkannya.

 

Dunia dengan segala gemerlapnya yang menyilaukan, tak ubahnya sihir yang membuatnya hilang kesadaran, dan lalu saat waktu bermain di dunia ini berakhir baru disadari bahwa sejauh ini dirinya telah tertipu dalam lamunan dalam dunianya semenjana.

 

Karakter tipuan dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Ia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kesuksesan dalam berkarier, lalu berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan kita, walau nyatanya pelan-pelan kemudian ia menyingkir dari kita, bahkan tanpa menyampaikan salam perpisahan. Dikali lain dunia bisa menampilkan dirinya di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai kita, menyayangi kita dengan seluruh ungkapan rasa, akan tetapi begitu kita lengah ia membelot kepada musuh dan meninggalkan kita mati merana dalam kepedihan karena rasa kecewa dan putus asa.

surrender_of_the_universe_by_alexgroseth

Dikisahkan Kanjeng Nabi Isa AS pernah melihat dunia terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua yang buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang dipunyainya, dan mendapat jawaban, jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah memenggal kepala mereka semua.

 

“Aku heran, atas kepandiran orang yang melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap juga menginginimu.” Kata Nabi Isa. Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dengan cadar, kemudian mulai merayu manusia. Begitulah manusia dalam gelimang pesonanya yang memabukkan kemudian terseret mengikutinya dan menuju kehancuran diri mereka sendiri.

 

Rasulullah SAW bersabda bahwa dihari pengadilan, dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, “Ampuuun…..siapakah dia?” Malaikat pun akan menjawab, “Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusakkan kehidupan satu sama lain.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara dia menjerit keras-keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.

 

Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang gambaran kejadian yang telah lalu, akan melihat bahwa kehidupan ini seperti sebuah perjalanan yang babakannya banyak menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan, karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.

 

Yang jago akan mati diadu,

Yang keras akan mati dipukul,

Yang pintar akan mati ditanya,

Yang kaya akan mati difitnah,

Yang suka dipuja-puja akan mati karena kesombongannya

 

Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi perutnya dengan bahan makanan terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak-enakannya tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka nikmati – taman-taman, budak-budak laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya – akan makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian, karena jiwa yang telah menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan tetap akan menderita di dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuaskan.

 

Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia.

 

Kanjeng Nabi Isa AS bersabda: “Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut, semakin banyak minum semakin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuaskan.” Dan sementara Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: “Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah”.

 

Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya tamu-tamu yang tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat semua itu direnggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan kecewa dan malu.

 

Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat pula bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik. Seseorang yang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke dunia yang akan datang, meski pun amal-amal baiknya telah lampau, efeknya tetap tinggal menjadi berkah bagi dirinya dan juga keluarganya. Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini termasuk ‘hal-hal yang baik’, dan sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an ‘tidak akan hilang’.

 

Ada hal-hal lainnya lagi yang baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian dan lain sebagainya, yang oleh orang yang bijaksana digunakan sekadarnya untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang. Benda-benda lain yang memikat pikiran dan menyebabkan kemabukan pada dunia ini dan menafikan keberadaan kehidupan akhirat adalah benar-benar sebentuk keburukan yang oleh Rasulullah SAW disebutkan dalam sabdanya: “Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu.”

 

Begitulah hendaknya manusia, tidak sekadar memenuhi hajat madhang, ngising, turu, memenuhi hawa nafsu kebutuhannya sendiri hingga melewati batas. Namun ia juga harus bisa madhangi sing turu, membangunkan kesadaran dan memberikan pencerahan bagi lainnya. Manusia tidak akan bisa membangun sorga di akhirat, jika di kehidupan ini mereka tak bisa membangun sorga di dunia. Lalu apakah sorga di dunia itu?

 

Sorga di dunia adalah saya merasa enak, aman, dan nyaman jika bertetanggaan dengan si anu. Saya merasa kehidupan bersama di sini tak ada persoalan sepanjang kepemimpinan si anu. Saya merasa bersyukur Allah telah menghadirkan si anu diantara kita, hingga esensi kemanusiaan satu sama lainnya bisa terjaga utuh dengan bimbingan dan sifat adil darinya. Tidak ada orang miskin di sini, kalau toh ada kekurangan itu juga menjadi bagian pertanggung jawaban kita sebagai sesama mahluk yang harus hidup bersama, sebagai al ins, mahluk terpilih yang dimuliakan Allah agar bisa memanusiakan manusia satu sama lainnya!

Gusblero Free