LAPOR NDAN, INI MAIYAH

Emha2
Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pendiri Maiyah Nusantara

 

LAPOR NDAN Maiyah Wonosobo sampun setaun. Jeneng sinau dereng wonten pintere, jeneng kangen dereng wonten mareme. Kangen Kanjeng Nabine, nyadhong rahmat Kang Maha Asihe.

 

Pada periode awal (jilid 1 dan 2) Maiyahan di Wonosobo digelar dengan menghadirkan seorang Kiai untuk membabarkan babakan agama. Temannya juga sudah ditentukan, dimaksud agar pak Kiai mantap ‘sangu’ materi. Liqo’an (likuk, lungguh mbulet, kupengan – bahasa Wonosobo) waktu itu dilakoni sekitar 30 orang hadir.

 

Periode jilid 3, 4 dan seterusnya sudah tidak menghadiran Kiai. Pertimbangan utamanya waktu itu dengan menghadirkan Kiai, teman-teman Maiyah keenakan dan lumayan kemanjaan dalam ngaji. Dipikirnya jalan meraih surga itu cukup niat ibadah dengan cara nebeng truknya pak Kiai. Datang, duduk, diam, dan malas berpikir.

 

Yang penting datang, surga sudah ada yang memikirkan, kira-kira begitu. Padahal kuncinya menjadi muslim itu harus bisa berpikir. Bukan hanya soal apa yang benar, namun juga memilih tindakan mana yang lebih menyelamatkan.

 

Orang lapar ya harus makan, itu benar. Tetapi apa yang harus dimakan itu menjadi ukuran pertama tentang keselamatan. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

 

Perlombaan dalam hal ngaji bebrayan ini, menurut saya, memang terlihat lebih efektif dan mematangkan ruh spiritual teman-teman. Masing-masing membawa bekal sendiri-sendiri dari rumah, untuk kemudian di-sharing, dikaji bersama dalam lingkaran kebersamaan.

 

Yang hadir bisa gonta-ganti, walaupun begitu jumlahnya hampir selalu sama, sekitar tiga puluhan. Hermawan Slamet Ahmad jadi komandannya, dibantu Farhan Sangkakala, Zuhud, Dedi, Huda, dan lainnya. Kadang-kadang dalam penyelenggaraan Maiyah juga dihadiri teman-teman dari DPRD Wonosobo, tokoh organisasi, dan ‘orang tidak biasa’ lainnya. Bukan masalah.

 

Paling menarik adalah sikap enjoy sekalian teman-teman Maiyah Wonosobo. Saya sendiri terkesima bagaimana Kafilah Syafa’at Lingkar Maiyah Wonosobo mampu terus berjalan, bahkan periode ini sudah genap setahun.

 

Setiap pertemuan selalu ada wedang kopi, teh, dan beberapa makanan kecil sebagai nyamikan. Tanpa ada iuran, dan entah dari siapa, yang penting ada. Jangan lihat nilai suguhan, tetapi cobalah renungkan hari ini masih ada sekelompok teman-teman muda yang bertemu rutin tiap tanggal 10 kalender nasional untuk sama-sama belajar agama. Apa itu tidak hebat?

 

Anda boleh tidak merasa apa-apa, saya sendiri masih terkesima. Shollu ‘ala Muhammad dan jabat erat buat semuanya!

 

Wonosobo, 9 April 2017

 

Gusblero

PEPELING ELING SANGKAN PARANING DUMADI

 

Eling dalam dimensi kearifan lokal (Jawa/Sunda) memiliki makna sangat dalam yang bukan sekadar ‘ingat’. Ingatan dalam kata ‘ingat’ yang dimaksud bukan semata misal ingat pacar, ingat rumah, ingat pekerjaan, atau pun ingat sesuatu lainnya. itu semua nilainya pasif.

 

Hakikat ‘eling’ secara spiritual adalah kesadaran ruhaniyah yang membawa manusia pada pemahaman kondisi diri darimana ia berasal (sangkan) dan hendak kemana sesungguhnya arah hidup menuju (paraning dumadi). Man anta wa liman anta.

 

Dalam konsepsi agama samawi, kondisi ‘eling’ menjadi bidayah (pembuka) hadirnya hidayah (rahmat) Tuhan Semesta Alam. Bahkan berulangkali dalam Al Qur’an disebutkan ‘udzkuru’, ingatlah kamu, ingatlah ketika, ingatlah bahwa, dan sebagainya. Semua itu merujuk pada kondisi manusia untuk melakukan tindakan aktif mengambil hikmah dari gambaran kejadian yang pernah ada agar tidak terjerumus dalam kesesatan yang serupa.

 

Paraluhur kita juga tidak kurang-kurangnya mengingatkan ihwal ‘eling’ ini. Entah dalam bentuk mocopat atau pun juga dalam beragam tembang daerah semisal Lir-Ilir, Gundul-Gudul Pacul, Menthok-Menthok, dan sebagainya. Agak mengherankan juga tembang-tembang yang kalau dikupas isinya bertabur petuah hidup itu kita mengenalnya hari ini hanya sebagai tembang dolanan tak lebih.

 

Cerita tentang cah angon (gembala), pitik (ayam), menthok (Entok), jaran (kuda), jamur, kupu, sebenarnya bukan hanya gambaran denotatif yang sebatas kandungan kata (benda) tersebut. Kata ‘makan’ yang bukan semata ‘memasukkan’ sesuatu ke dalam mulut, namun juga ‘mencerna’ dengan pikiran dan ‘merasakannya’ dengan hati.

 

Ini sama halnya dengan perintah pertama yang diterima oleh Kanjeng Nabi. Kata ‘iqra’’ dalam peristiwa turunnya wahyu ini tidak bisa dimaknai sebagai ‘membaca’ atau ‘mengeja’ sesuatu semata. La sautin wala harfun, disebabkan tidak ada huruf tidak ada suara, secara verbal bisa dikatakan apa yang harus dibaca?

 

Begitulah Kitabullah diturunkan bukan hanya mengisahkan kejadian yang telah lampau. Bukan hanya mendiskripsikan kondisi keduniawian dan jagat semesta secara presisi dan aktual. Namun bahkan juga mewartakan kehidupan mendatang paska jasad manusia menjadi renik abu untuk kemudian resurrection dibangkitkan kembali untuk melihat apa yang telah diperbuatnya.

 

Dan begitu pulalah kata ‘eling’ berkali-kali dan berulangkali terus diulang dalam Al Qur’an agar manusia menjadi waspada dan tidak terjebak sikap grusa-grusu, tindakan gegabah yang menyamarkan kesombongan sebagai sebuah kebenaran, atau hilangnya kesadaran lainnya.

 

Di titik ini kita akan belajar memahat di batu untuk segenap kebaikan yang dilakukan orang lain sebagai syiar tentang kemaslahatan, dan untuk apapun kebaikan yang pernah kita lakukan biarlah hanya bumi yang bersaksi bahwa kita tidaklah pernah berlaku sombong sepanjang hidup dan berjalan di atasnya.

 

Wonosobo, 4 April 2017

 

Gusblero Free

 

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid tiga belas KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Senin Kliwon 10 April 2017, Pukul 20.00 WIB – Selesai, di Kampus UNSIQ Kalibeber Wonosobo.

SUPER SEMAR, SUPER SAMAR

kasyaf-jiid-12

 

Sesudah Raja Salman datang ke negeri ini, akhirnya kita bisa melek bahwa seorang raja bisa saja sepuh, tetap butuh khadam (pengawal) untuk melayani keperluannya, makan seukuran perut, butuh piknik, ora mung mikir bondo thok, dan lain sebagainya. Manusiawi sekali, wong urip yo butuh srawung karo liyane.

 

Kita tidak usah terjebak dalam saling ribut silang pendapat lainnya lagi. Urusi saja uripe dhewe. Ikhtiar, doa, tawakal, cukup. Urusan hasil biarlah Allah yang membagikan. Kita ambil porsi kita dengan memperjuangkannya semampu kita, selebihnya biarlah Allah yang menentukannya.

 

Yang demikian ini penting untuk menghadapi kesamsaraan hidup yang seedang penuh hoax, baik kenyataan samar maupun kepalsuan yang sering diperan utamakan dalam kehidupan kita saat ini.

 

Biar hidup tidak sekadar mendasarkan asumsi, karena kalau itu yang terjadi sudah pasti akan banyak kecele. Melihat ayam jago berkaok-kaok, bawaannya mendongak ke langit. Walau pun ia juga punya sayap, nyatanya toh tidak bisa terbang.

 

Sama juga asumsi dasar pada rajawali. Berada di tempat tinggi dengan pandangan menunduk ke bawah. Jangan langsung mengira ia pasti binatang paling rendah hati dan bijaksana karena selalu menunduk ke bawah, siapa tahu justru tengah getol mencari mangsa.

 

Jadilah pemimpin bagi dirimu sendiri, hingga jika orang lain melihat kebaikan muncul dalam dirimu sendiri akan tak segan memintamu untuk menjadi pemimpin dalam kebaikan yang sama.

 

Bulan Maret ini mengingatkan kembali kepada sebuah sejarah estafet kepemimpinan di negeri kita. Yang terjadi sudahlah terjadi. Pastinya Maret selalu mengandung sesuatu yang samar, bahkan dalam karakter rasi bintang pun digambarkan sebagai sesuatu yang jauh dari keberuntungan. Sifatnya harus tegas, tidak ada untung-untungan, dalam budaya Jawa disebut mati opo mukti, mati atau jaya, wani mati iso mukti, berani mati bisa jaya.

 

Entah apapula hubungannya antara tekad kliwat (niat sepenuh hati) Surat Perintah jaman dulu kalau harus dikait-kaitkan dengan Semar, Sang Pamomong, yang selalu muncul seiring goro-goro. Apakah ia juga semata  pemeran utama figur pengadem (penyejuk) yang dimunculkan untuk melegitimasi sejarah kekuasaan?

 

Apapun yang terjadi semoga Raja Salman bisa sedikit ‘ngadem’ dari persoalan huru-hara di Timur Tengah dengan sejenak ‘kungkum’ di Bali. Kalau kurang puas nanti kita perkenankan pula nambah weekend dekat-dekat goa Semar di Dieng sambil menikmati kopi Bowongso rasa Arabica. Tafadhdhol.

 

Wonosobo, 6 Maret 2017

 

Gusblero Free

 

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid duabelas KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Jumat Legi 10 Maret 2017, Pukul 20.00 WIB – Selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

BEGADANG UNTUK JAKARTA, BEGADANG UNTUK INDONESIA

kasyaf-jilid-11-pebruari-2017

Maha Besar Allah yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kekuatan, dan Maha Terpujilah Allah yang telah memberikan warga Indonesia dengan beragam ampunan, serta Maha Perkasalah Allah yang telah mengangkat derajat rakyat Indonesia dengan kemuliaan tanpa peperangan.

Hidup di negeri dengan bermacam-macam polusi debu knalpot, asap rokok, dan cerobong asap industri toh ternyata kita tetap masih bisa menahan sakit. Hidup merancang kemajuan dengan memberikan sedikit kelonggaran menyediakan dana taktis untuk dikorupsi toh nyatanya kita masih diberikan kewarasan untuk tidak menjadi semakin edan.

Alangkah damainya negeri yang diberikan kekuatan untuk membaca kekisruhan hanya sebagai bagian dari drama kehidupan yang tengah dilakonkan para pemimpinnya, lalu lebih memilih menyibukkan diri  agar secara cepat bisa melupakan rasa dicurangi, diobok-obok, diadu domba dan dikhianati.

Hari-hari ini seluruh mata dipaksa untuk melihat Jakarta, hingga seakan kalau tidak ada gunung meletus atau ombak merambahi daratan, tak ada persoalan lebih dipikirkan Indonesia kecuali Jakarta. Ibu dari seluruh kota-kota di Indonesia dimana seluruh jagoan berkumpul dan menampilkan kesaktiannya.

Itu tidak salah. Jakarta adalah kahyangan Batara Narada, pusat para raja Nusantara mengadu, berfoto selfie dan mempublikasikan popularitasnya.

Bisa dibayangkan betapa repotnya kalau Jakartanya sendiri lagi duwe karep, lagi punya mau. Percaturan bola yang genah ada aturan dan ada wasitnya saja bisa geger, apalagi percaturan politik yang hanya punya panitia, sementara ukuran lapangan dan waktunya tidak ada batasan hingga tiba waktu pelantikan.

Maka bersyukurlah bagi orang-orang yang bisa membebaskan diri dari pusaran persoalan yang bisa membelit seseorang dalam kumparan tragedi, agitasi, orkes sakit hati, juga kepongahan yang bisa membuat orang gila kekuasaan.

Jakarta boleh punya gawe. Tetapi kalau urusannya soal politik kita punya sikap jelas, itu soal rumah tangga orang.

 

Silakan membikin drama apapun untuk mengais simpati. Kita akan ikut begadang untuk nonton pertunjukan. Syukur-syukur bisa berjalan dua putaran. Itu akan asyik. Biar yang menang bisa tambah imannya, dan yang kalah habis modal jika hendak bikin ulah dikemudian hari.

Kita akan begadang untuk Jakarta, begadang untuk Indonesia. Menyaksikan bagaimana kekuatan uang akan di-takwir, digulung dan digulung-gulungkan ambisi sekuat raksasa yang menyerang balik tuannya sendiri.

Idzaasy syamsu kuwwirat, wa idzaan nujuumun kadarat, ‘alimat nafsum ma ahdharat. Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.

Wonosobo, 6 Pebruari 2017

Gusblero Free

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid sebelas KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Jumat Legi 10 Pebruari 2017, Pukul 20.00 WIB – Selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

FUTUHUL GHAIB : JALAN RAHASIA MENUJU ALLAH

kasyaf-jilid-8

Hatta ada seorang kakek penyembah berhala. Umurnya sudah lebih dari 70 tahun, dan sepanjang hidupnya itu ia gunakan untuk menyembah berhala dari batu.

Suatu ketika, kakek ini mempunyai sebuah keinginan. Maka ia pun kemudian mendatangi Sang Tuhan Berhala agar permohonannya dapat dikabulkan. “Oh Tuhanku Batu, tujuh puluh tahun aku terus menerus menyembahmu. Selama itu, tak ada sesuatupun yang aku mohonkan kepadamu. Sekarang, aku mempunyai permohonan kepadamu. Mohon, kabulkanlah permohonanku ini“.

Kakek itu memohon sambil merengek-rengek kepada Tuhan Batu agar kiranya doanya dapat dikabulkan. Demikian seterusnya dia lakukan. Setelah sampai tujuh puluh kali doa` itu ia panjatkan, tak ada sedikitpun pengabulan dari berhala tuhannya yang ia peroleh. Maka kakek itu sedih sekali dan akhirnya putus asa.

Terpojok oleh keinginan. Dalam keputusasaannya itu, sebentuk kesadaran datang memberinya hidayah. Ia teringat ucapan yang disampaikan seorang gembala yang kemudian didengarnya telah menjadi seorang pemuka umat. Ia lalu memohon kepada Allah. “Ya Allah Tuhan Dari Sekalian Manusia, baru sekarang aku menghadap-Mu. Aku memohon sesuatu kepada-Mu. Kabulkanlah permohonanku ini, Ya Allah.”

Tak berapa lama waktu kemudian perubahan dalam hidup terjadi seperti apa yang dimohonkan kakek itu. Sesuatu yang kemudian terwujud, dan sempurna.

Dikisahkan di alam malakut terjadi kegaduhan. Selesai kakek itu bermunajat kepada Allah SWT, maka sesaat kemudian Allah SWT menjawabnya. “Apa-apa yang telah Aku janjikan, Aku tak akan menguranginya sedikitpun. Maka mintalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu.

Malaikat bertanya, “Ya Allah SWT, tujuh puluh tahun lamanya orang itu musyrik dan menyembah berhala. Dan telah tujuh puluh kali pula ia telah memohon kepada berhalanya agar dikabulkan permohonannya, namun itu tidak terjadi. Sekarang, ia baru sekali saja berdoa` kepada-Mu, mengapa Engkau kabulkan permohonannya itu?

Mendengar pertanyaan para malaikat itu, Allah SWT memberikan penjelasan. “Wahai para malaikatku, jika berhala yang benda mati itu tidak bisa mengabulkan permohonannya dan Aku-pun juga tidak, lalu dimana letak perbedaannya antara Aku dan berhala itu?

Ting…..ada banyak pilihan dalam kamu menjalani hidup, kawan. Bahkan seandainya pun kamu tak berbuat sesuatu, akan ada daya hidup yang bergerak mendatangimu. Engkau boleh memilih jalan kematian terbaikmu, walau kesempatan itu mungkin tidak akan pernah datang. Di sisi lain, di ruang sunyi yang engkau menganggapnya jalan terburuk bagi seseorang yang engkau pikir tak ada bahkan telah mati, bisa jadi jalan rahasia menuju Allah telah diperolehnya.

Lakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabmu, sisanya biarkan Tuhan melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

Allahummaj al fii Qolbi nuron, wafii lisaani nuuron, wafii sam’i nuron, wafii bashorii nuron, wamin fawqii nuron, wamin tahtii nuuron, wa an yamiinii nuron, wa an syamaali nuron, wamin amaamii nuron, wamin kholfii nuuron, wajj al fii nafsii nuron, wa a’dzimlii nuuron, wa adzzim lii nuuron, wajj allii nuuron, wajj alni nuron, Allahumma a’thinii nuuron, wajj al fii ashobii nuron, wafii lahmi nuuron, wafii damii nuuron, wa fii sya’rii nuuron, wafii basyarii nuuron…
Yaa Allah, tempatkan cahaya di dalam hatiku dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di hadapanku dan cahaya di belakangku, cahaya di tangan kananku dan cahaya di tangan kiriku, cahaya di atasku dan cahaya di bawahku, cahaya dalam penglihatanku dan cahaya dalam persepsiku, cahaya dalam air mukaku dan cahaya dalam dagingku, cahaya di dalam darahku dan cahaya di dalam tulangku.

Tambahkan padaku cahaya dan berikan padaku cahaya, dan tunjukkan untukku cahaya dan berikan padaku lebih banyak cahaya. Berikan padaku lebih banyak cahaya.

GBF, 5 Nopember 2016

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid delapan KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Kamis Wage 10 Nopember 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

Memahami Budaya

14520613_10207644960586368_5563291212941704022_n

BULAN MUHARAM atau bulan Suro dalam kalender masyarakat Jawa senantiasa dimeriahkan dengan berbagai ritual. Bukan hanya yang bersifat nguri-nguri tradisi ngumbah keris, nyuwargakake luhur, mesu raga matek ilmu ngolah kasampurnan, dan segala tetek-bengeknya, bulan Suro sering disifati secara personal sebagai ‘pintu’ terbukanya channel gaib untuk serangkaian tujuan yang secara galib susah diwujudkan.

Anda yang bukan ‘Jawis’ jangan keburu alergi dengan local wisdom habit seperti ini. Kalau ditelisik lebih jauh, semua tindakan yang dilakukan itu bukannya tanpa dasar. Seperti kita ketahui, landasan kearifan lokal masyarakat Jawa berasal dari ‘titen’, ‘tengara’, ilmu pengamatan yang kemudian menjadi serangkaian pedoman manusia Jawa dalam menjalani hidup. Bagaimana ia harus bersikap terhadap alam, bagaimana ia harus menjaga laku ‘mestakung’, semesta mendukung, agar jagat makro tidak menjadi liar dan hilang kendali.

Dan tentang apa yang disebut ilmu ‘titen’ itu, sejatinya juga bukan ilmu fiksi, ilmu karangan. Justru disebut ‘titen’ itu karena fenomena sama telah terjadi dan terus berulang pada waktu alam memberikan tanda yang sama dari waktu ke waktu sebelum dan pada saat kemunculannya. Contoh simpel, ketika kera, macan, ular dan segala macam binatang turun gunung, pastilah akan terjadi sesuatu dengan puncak gunung.

Itu contoh ‘titen’ terhadap perilaku biotik dan abiotik di sekitar lingkungan. Tengara atau ‘titen’ terhadap waktu pun ada rumus-rumusnya sendiri. Walaupun simbah-simbahnya terlihat ‘wangkot’ keras kepala kalau diajak merumuskan segala sesuatu dengan logika, namun dalam prinsip hidup para ‘Jawis’ kolot ini bukan asal-asalan memasukkan unsur ‘titen’ dalam ilmu antropologinya.

Bulan Suro atau bulan Muharam dalam kalender Islam, adalah waktu dalam kurun sebulan yang ditandai oleh banyak penghayat kehidupan sebagai waktu-waktu datangnya pertolongan Allah untuk segala hal yang selama ini didambakan.

Sekadar melembutkan ingatan misalnya Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit, Nabi Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya sesudah bumi ditenggelamkan selama 6 bulan, Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud, Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa, Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara, Penglihatan Nabi Yakub yang kabur dipulihkkan Allah, Nabi Ayyub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritainya, Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam, Laut Merah terbelah dua untuk menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari tentera Firaun, Kesalahan Nabi Daud diampuni Allah, Nabi Sulaiman dikaruniakan Allah kerajaan yang besar, Nabi Isa diangkat ke langit, dan beberapa kejadian lainnya semuanya terjadi di bulan Suro, bahkan lebih gila lagi, tepat tanggal 10 Muharam.

Kalau sudah begitu, apa iya salah orang menandai Suro sebagai waktu-waktu spesial bagi mereka-mereka yang memiliki kebutuhan khusus dalam hidupnya. Bahkan dalam sebuah kitab klasik karangan Imam Yusuf bin Hasan bin Abd al-Hadi al-Maqdisi ad-Dimasyqi al-Hanbali yang berjudul ‘Ma’arif al-In’am wa Fadhl as-Syuhur wa al-Ayyam’ juga mengungkapkan fakta lain, bahwa ternyata semut (binatang) pun berpuasa pada tanggal 10 Muharam.

Suatu ketika, Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Qadir Billah, terheran dengan semut yang enggan memakan roti pemberiannya, padahal sudah tiap hari kebiasaan itu ia lakukan. Tapi entah mengapa pada siang hari itu roti-roti yang ia berikan masih utuh. Ia pun lantas menanyakan kejadian aneh itu kepada para penasehatnya. Mereka menjawab, alasan semut tidak menyantap roti tersebut lantaran hari itu adalah 10 Muharam. Kisah yang sama juga pernah dicermati oleh seorang alim, Fath bin Syukhruf. ”Roti yang tiap hari aku berikan kepada semut, tidak mereka makan ketika 10 Muharam,” katanya.

Tindakan semut ini, bagi yang sudah mempelajari ‘Daqoiqul Akhbar’ kitab kejadian, konon didasari pengenalan isi alam semesta yang diciptakan pada bulan Muharam. Ajibnya, tanggal 10 Muharam juga. Itu adalah hari pertama Allah menciptakan alam, hari pertama Alllah menurunkan rahmat, hari pertama Allah menurunkan hujan, Allah menjadikan ‘Arasy, Allah menjadikan Luh Mahfuz, Allah menjadikan alam, Allah menjadikan Malaikat Jibril, dan hari saat nabi Adam bertaubat kepada Allah.

Nah, mumpung 10 Muharam belum kelewat dan waktunya juga sudah dekat. Tidak ada salahnya kita meniru kearifan semut, kearifan simbah-simbah, kearifan alam semesta dalam menyambut kedatangannya. Sebagai ‘tamu khusus’ manfaatkan waktu 10 Muharam untuk hal-hal yang ‘khusus’ pula. Tidak usah takut bayangan di-bid’ah-bid’ah-ke, sepanjang yang kita imani bukan tindakan khurafat bin takhayul binti bukhul.

Salam kemerdekaan Maiyah!

Gusblero, 5 Oktober 2016

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid tujuh KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Senin Pon 10 Oktober 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

KEMERDEKAAN MAIYAH, KEMERDEKAAN CINTA

kasyaf jilid 5

Kemerdekaan Maiyah adalah kemerdekaan cinta, kemerdekaan untuk memilih bukan saja apa yang benar namun juga apa yang paling tidak memberatkan engkau lakukan dalam hidupmu.

 

Siapa bilang ngaji itu salah, siapa mengatakan mendengarkan ceramah itu tidak ada gunanya. Tetapi kalau hal itu engkau lakukan saat keluargamu sakaratul jau’an sedang menderita kelaparan yang sangat, kompor habis, dan besok anak batal masuk sekolah karena tidak mampu membayar iuran, maka bersiaplah menerima laknatullah untuk sorga yang engkau impi-impikan sendiri.

 

Kami cinta perdamaian, tapi kami lebih mencintai kemerdekaan, begitulah Jenderal Soedirman mengatakan. Hari ini kita begitu getolnya berbicara tentang HAM, mulut berbusa hingga ludah muncrat kesana-kemari, tapi sering luput mencermati lingkungan sosial kita sendiri. Dengan baju intelektualitas kita sering merasa menjadi dewa, orang paling penting untuk menegakkan peradaban dunia yang gersang spiritual, namun engkau tidak adil dan engkau menjadi orang dzalim yang paling dzalim karena mendzalimi dirinya sendiri.

 

Engkau lupa menghitung berapa pintu kemiskinan engkau lewati dan kau biarkan saja menganga menuju tempatmu kini berdiri. Engkau takluk pada kedudukan yang tak kasat mata, dan engkau menjadi buta karenanya.

 

Kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak asasi manusia. Kedamaian lebih mungkin tercipta dalam situasi semua bangsa menghargai hak kemerdekaan bangsa lain. Jadi, kemerdekaan adalah prasyarat untuk terciptanya perdamaian. Penjajahan disingkirkan, perdamaian diciptakan.

 

Tujuh puluh satu tahun sesudah negara Indonesia diproklamirkan, apakah sekarang kita sudah benar-benar merdeka? Merdeka, tapi bingung. Negara yang sudah terbebaskan dari penjajahan bangsa lain ini ternyata masih bingung mengatur kemerdekaannya untuk mensejahterakan bangsanya sendiri. Ditengah persoalan biaya sekolah yang melambung, pengangguran membubung, usaha perekonomian menggantung, negara masih terjerat persoalan politik anak-anaknya yang tak kunjung dewasa.

 

Negara belum merdeka. Karena bagaimana mungkin di sebuah negara yang sudah merdeka masih berkeliaran orang-orang yang tidak memperbolehkan warga lainnya untuk hidup dan memilih cara hidup laiknya orang yang merdeka. Kemerdekaan harus menjadi pintunya orang yang beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur. Motivasi untuk melakukan tindakan baik bukan karena tekanan rasa takut atau karena adanya imbalan. Dan semua ini hanya bisa termanifestasikan melalui cinta, sebentuk praktek kekuatan manusia yang hanya dapat dipentaskan dalam kebebasan dan kemerdekaan.

 

Desa mawa cara, negara mawa tata, desa memiliki kearifan, negara memiliki aturan. Berapa kali lagi negara harus mendapatkan pelajaran bahwa arogansi suatu kaum dengan faham-faham yang destruktif sungguh membuat sebuah bangsa akan terpecah belah. Berapa banyak kekacauan dunia harus dihidangkan di meja hingga kita tahu nikmatnya persaudaran senasib sepenanggungan mangan ora mangan sik penting ngumpul. Inna ma’iya Rabbii sayahdiini, sesungguhnya Tuhanku besertaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.

 

Ngumpul, maiyahan, artinya bukan sak amben dadi siji gubetan sarung, tetapi kalau pun satu di Papua, satu Nusa Tenggara, satu di Aceh Raya, semuanya berpikiran satu, saling mengabarkan, saling menyabarkan, saling menguatkan, bahwa apapun yang kita alami ini ora ndeweki. Hingga dari situlah rasa keadilan menjadi muara.

 

Hakikat kemerdekaan dan kebebasan (al-hurriyah) adalah kemerdekaan dan kebebasan spiritual. Banyak orang yang secara fisik bebas merdeka tetapi ruhaninya terbelenggu dan menjadi budak hawa nafsu. Sebaliknya banyak orang menjadi budak secara fisik tetapi secara ruhani ia adalah seorang yang berjiwa bebas merdeka, karena ia terbebaskan dari perbudakan hasrat-hasrat rendah.

 

Orang boleh bekerja pada tuannya yang Cina, Arab, Bule, Kristen, Hindu, Budha, Khong Hu Cu, dan lain-lainnya. Tetapi sepanjang secara profesional ia hanya bekerja, dan ia mendapatkan toleransi untuk melakukan hak-hak privasinya secara spiritual, maka ia adalah orang yang merdeka. Sebaliknya walau pun engkau berkoar-koar tentang moral tetapi sebab ambeganmu mung dibayar, itu berarti dirimu masih dijajah kepentingan.

 

Seorang yang terbelenggu kebebasannya hanya akan bertindak menuruti kontrak kepentingan, dan walau hatinya menolak ia tetap takkan mampu mengekspresikan rasa cintanya. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prasyarat utama untuk terwujudnya cinta sejati. Cinta yang terbelenggu dan terkungkung ikatan-ikatan dan batasan-batasan tertentu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Cinta harus terpancarkan dan terbebaskan dari keterpendaman. Dititik ini kanjeng Imam Ali r.a. menyampaikan, “Janganlah engkau menjadi budak bagi orang lain, karena sungguh Allah telah menjadikanmu dalam keadaan merdeka.”

 

Orang-orang miskin yang termarginalkan, orang-orang yang tinggal di gang-gang yang sumpek dan berbau apek, anak-anak yang butuh sekolah, para gelandangan, tukang tambal ban, tukang sapu, intelektual fakir, dan orang-orang yang mengakali kartu jaminan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang semestinya, semuanya adalah saudara kita. Dan jika untuk bertindak menyantuni mereka engkau masih memerlukan ijin resmi, berarti engkau belumlah menjadi manusia yang merdeka sepenuhnya.

 

Wonosobo, 29 Juli 2016

Gusblero Free

 

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid lima KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Rabu Pahing 10 Agustus 2016, Pukul 19.30 WIB – selesai, di Pendopo Wakil Bupati Wonosobo.

APAKAH SEMUT BERPUASA?

kasyaf jilid 4
Pertanyaan yang saya ajukan ini bukannya tanpa dasar. Mungkin teman-teman sempat memperhatikan, beberapa waktu lalu betapa semut rasanya ada di mana-mana, bahkan yang namanya sambel garing aja disemuti. Nasi takir disemuti, sayur sop disemuti, apalagi jajan pasar, wuaaahh.

Awal-awal Ramadhan saya masih menyempat-nyempatkan segala macam sisa makanan saya masukkan di kulkas. Tempe kemul, pisang goreng, sambel urap, semuanya masuk di kulkas. Takut disemuti. Hingga suatu ketika saya lupa menjalankan ritual itu, dan sudah sedikit panik takutnya bekal buat berbuka jadi berantakan gegara semut menyerbu. Tetapi yang saya dapati tak terduga. Ikan salem siap saji di meja yang bahkan lupa saya tutupi tersebut benar-benar steril dari jarahan semut.

Tidak berhenti di situ, saya coba menyelidik. Sekumpulan semut saya dapati berkumpul di dekat toples, tapi aneh mereka kok tidak menjarah makanan-makanan yang tersaji di meja seperti selama ini mereka lakukan?

Ramadhan 1437 H segera berakhir. Dan sesungguhnyalah ini pengalaman nyata, minimal yang terjadi dan saya amati di rumah sayaa. Semut ternyata tidak pernah menyentuh makanan yang ada di meja sepanjang hari-hari puasa, baru ketika malam tiba beberepa dari mereka terlihat bergerak menggerayangi meja.

Penasaran dengan kejadian ini lalu saya mencoba mencari tahu via mbah google. Dan sedikit dari pencerahan yang saya terima mengisahkan apa yang dialami Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Qadir Billah.

Khalifah tersebut memiliki kebiasan memberi makan atau menyediakan roti untuk dimakan semut setiap harinya. Namun entah mengapa pada suatu hari roti-roti yang ia berikan masih utuh. Ia pun lantas menanyakan kejadian aneh itu kepada para penasehatnya.

Mereka menjawab, alasan semut tidak menyantap roti tersebut lantaran hari itu adalah 10 Muharram. Kisah yang sama juga pernah dicermati oleh seorang alim, Fath bin Syukhruf. ”Roti yang tiap hari aku berikan kepada semut, tidak mereka makan ketika 10 Muharram,” katanya. Tegasnya, semut pun bahkan ikut berpuasa ketika jatuh tanggal 10 Muharram.

Subhanallah, ternyata semut pun berpuasa. Dan demi Allah apa yang saya tulis ini berdasarkan pengalaman nyata. Keheranan saya memang sedikit terjawab, meski masih ada pertanyaan tersisa : ini bulan Ramadhan, apakah di bulan ini semut pun juga ikut berpuasa?

Kalau sunatullahnya iya, maka alangkah ruginya manusia yang tidak mengetahui keistimewaan Ramadhan hingga meninggalkannya dengan tidak berpuasa.

 

la ilaha illa anta Subhanaka inni kuntu minazzhilimin

 

Wonosobo, 4 Juli 2016

Gusblero Free

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid empat KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Minggu Legi 10 Juli 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

PUASA & SEPAK BOLA

kasyaf jilid 3

Puasa Ramadhan 2016 kali ini adalah ‘puasa ndilalah’ yang memunculkan puji syukur wal hamdulillah untuk golongan anti sektarian seperti mang Syarif. Faktor ‘ndilalah’nya adalah awal puasa bisa dijalani bareng-bareng, sehingga tidak perlulah ada warga muslim saling lirik-lirikan lagi ‘o kae Muhammadiyah, o kae NU’ dan lain sebagainya.

Puasa Ramadhan kali ini, bisa jadi juga merupakan waktu puasa paling enak untuk masyarakat borju sekelas Farhan. Paling enak diakali, paling enak dilakoni. Pasalnya puasa kali ini nyaris berbarengan dengan waktu dilangsungkannya kejuaraan sepak bola Piala Eropa yang akan berlangsung mulai tanggal 10 Juni hingga 10 Juli di Perancis.

Enak. Cukup puasa ‘yo puoso nggo ngajen-ngajeni’ diawal Ramadhan, terus beli tiket pesawat ke Perancis, lalu absahlah dia untuk boleh meninggalkan puasa disebabkan statusnya sebagai musafir. Hahahahaha, sudrun. Benarkah demikian? Coba kita sandingkan dengan argumentasi berikut ini.

Robin Van Persie. Siapa yang tidak mengenali pemain yang satu ini. Pemain mualaf dari Belanda ini adalah sosok pemain yang luar biasa dan patut dibanggakan oleh umat Muslim. Banyak beredar isu yang menyebutkan bahwa meskipun ia menikahi seorang Muslimah, ia tidak masuk Islam.

Saat dia diwawancarai oleh media Inggris, ia berkata, “Itu tidak benar. Saya bukan seorang Muslim, bukan pula seorang Kristen, dan bukan juga seorang Yahudi. Jika Anda ingin menjadi seorang Muslim, itu harus datang dari hati,” dilansir laman robinvanpersienews.blogspot.

Oleh karena itu, mungkin sampai saat ini dirinya belum siap untuk sepenuhnya masuk Islam. Ia tak ingin masuk Islam hanya karena menikahi seorang Muslimah. Meski begitu, banyak orang yang menilai perkataan itu hanyalah sekadar menutup-nutupi bahwa dirinya sebenarnya memang mualaf.

Berikutnya, Frederic Kanoute. Jika banyak pemain yang memilih untuk tidak berpuasa saat Ramadhan, tidak begitu dengan Freddie Kanoute. Pemain yang lama membela klub La Liga, Sevilla, itu mengaku sebisa mungkin menjalankan kewajibannya tersebut.

“Saya coba menghormati kepercayaanku dan mengikutinya sebaik mungkin. Secara personal, kepercayaan saya membuat badan dan permainan saya sehat. Saya tahu kalau berpuasa menambah kekuatan dan tidak melemahkan seorang Muslim,” ujar Kanoute yang dikutip oleh BBC beberapa waktu lalu.

Ia juga mengungkapkan banyak pesepakbola tidak mau ditanya soal kewajibannya menjalankan ibadah puasa karena merasa itu adalah kepercayaan antara dirinya dengan Sang Pencipta.

Senada dengan Robin Van Persie dan Frederic konoute, pemain bola Kolo Toure juga menyatakan, akan tetap berpuasa meski harus bertanding saat Ramadhan. Baginya, puasa bisa tetap dijalankan meski harus bermain bola dalam kompetisi yang ketat.
“Dengan puasa Anda membersihkan tubuh Anda juga dan Anda merasa lebih kuat setelah Ramadhan. Saya pikir itu menakjubkan, bagaimana Ramadhan dapat membuat Anda benar-benar kuat,” ujar pemain timnas Pantai Gading itu.
Dalam kesempatan yang lain, striker Demba Ba yang selalu merayakan golnya dengan cara bersujud di lapangan mengatakan, “Agamaku adalah hal terpenting dalam hidup ini. Ya, Islam jauh lebih penting dari sepak bola,” tutur sang pemain kepada BBC.

Puasa dan sepak bola, dalam terminologi spartan yang menganut gaya hidup yang menuntut untuk selalu aktif dan sehat barangkali benar nyaris susah untuk disatukan. Namun fakta, bahwa beberapa pemain sepak bola bisa memperlihatkan tindakan hebat walau dalam kondisi berpuasa jelas juga menunjukkan, bahwa esensi spartan itu adalah sifat gagah-berani, tangguh, tak kenal menyerah, disiplin ketat, yakin dan percaya diri.

Ini tentu saja menjadi sebuah anomali besar, jika di sebuah negeri dengan pemeluk muslim terbesar sedunia, alih-alih untuk ngotot bagaimana caranya agar tetap bisa melangsungkan peribadatan, orang justru mencari alibi untuk mencari-cari dan mengakali ibadah dengan cara mudah.

Baru juga pergi dari Jogja ke Jakarta, itu juga pake naik pesawat, ‘isih dalam negeri tur yo mung pirang wektu’, lha kok gampang saja memaklumatkan diri sebagai musafir. Lhah klo sudah begini, kapan juga kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri?

Wonosobo, 6 Juni 2016

Gusblero Free

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid tiga KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Jumat Legi 10 Juni 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

AIR MATA & MATA AIR PERADABAN

Jika Anda ingin bertanya tentang peradaban yang tidak tertulis dalam sejarah, atau yang tertulis dalam berlembar-lembar buku tebal ensiklopedia namung Anda menyangsikannya karena kadung dirasuki kepercayaan sejarah cenderung dicatat sesuai selera penguasa, maka saran saya, mau tidak mau bertanyalah pada kanjeng nabi Khidr AS.

 

Akan tetapi pilihan yang terakhir ini juga tidak mudah. Kanjeng nabi Musa AS yang ketika ditanya oleh kaumnya pernah menahbiskan diri sebagai orang paling pandai dan paling berpengetahuan di muka bumi saja dibuat mati kutu dalam tiga episode perjalanan bersamanya, apalagi kelas kita. Derajat kita barangkali hanya sebatas mengajak foto selfie. Itu juga kalau kanjeng nabi Khidr mau, dan tidak buru-buru mengeluarkan jurus ijo sekilan yang mengeluarkan fluoresensi hingga seutuhnya hilang dari pandangan.

 

Zona timeline Khidr adalah pemahaman tentang garis takdir. Satu garis inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un, garis linier yang menunjukkan asal-usul manusia dan tempat kembali, serta garis virtual (berupa titik-titik yang berisi berjuta titik) yang akan mau kita jadikan bentuk gambar apa terserah kita sendiri (ingat pelajaran sekolah dasar dulu, sambungkan titik-titik ini hingga membentuk benda/ gambar). Akan halnya sementara kita bermain dengan persepsi gambar bayangan, Khidr melihat karakter secara lebih utuh dan nyata, akan kemana dan seperti apa sesungguhnya konsep gambar kehidupan akan terbentuk dengan pedoman karakter alami kemanusiaan kita. Itu sebabnya Khidr (dalam kasus pembunuhan anak kecil dijaman kanjeng nabi Musa AS) berani mengambil sikap yang sangat tegas dalam tindakannya.

 

Pemahaman tentang ini bukan berarti Khidr menyerobot hakikat dari takdir seseorang. Ada hal-hal yang harus juga dipahami sebagai Sunatullah. Pada pilihan bukan cuma persoalan mana yang benar, namun juga mana yang paling tidak memberatkan. Terhadap yang terakhir ini Khidr melihat kejadian, dan ia tidak berpangku tangan sebagaimana laiknya tangan takdir yang merobah masa dan kehidupan.

 

Takdir adalah zona dimana sebuah garis nasib tak mungkin bisa bergerak kemana-mana lagi disebabkan sudah di-nash oleh Allah SWT. Kita ambil satu contoh, manusia lahir manusia mati, itu pasti, dua-duanya sama-sama merupakan rumus kepastian. Akan tetapi soal panjang pendeknya masih ada unsur atau elemen lain yang bisa merubah atau menentukan.

 

Lalu terhadap pertanyaan, orang takdir kok bisa dimaju-undurkan, kalau begitu ‘kepastian Allah’ itu adalah ‘sesuatu yang tak juga pasti’, inkonsistensi keilahian? Jelas tidak, dan pasti bukan begitu. Apa artinya firman Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tak mau berupaya melakukan perubahan dimulai dari diri sendiri misalnya. Apa maknanya bahwa silaturahim itu bisa memperpanjang usia, jika kimia spiritualnya tak bisa dilacak. Apakah isi seluruh kitab kebajikan itu hanya isapan tahayul yang tidak ada benarnya sama sekali? Tentu saja tidak.

 

Pada batu yang terus kita gosok kita akan menemukan inti dari kekerasan yang menjadi permatanya. Itu yang secara umum kita kenal sebagai proses. Lalu kesadaran tentang proses inilah yang kemudian akan mengantarkan kita pada pemahaman, apakah pertemuan kanjeng nabi Musa dan kanjeng nabi Khidr adalah peristiwa jasad atau pertemuan ruh?

 

Apa yang disaksikan sebagai tanah menjorok dengan lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yang berada diluar diri manusia. Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh), dua lautan itu yang disebut lautan makna (bahr al ma’na) perlambang alam tidak kasat mata (alam ghaib), dan lautan jisim (bahr al ajsam) perlambang alam kasat mata (alam asy-syahadat).

 

Tempat dimana kanjeng nabi Musa berdiri di hadapan kanjeng nabi Khidr adalah wilayah perbatasan antara alam kasat mata dan alam tidak kasat mata. Jika itu yang terjadi, sesungguhnya mereka (Musa dan Yusya’) telah memasuki perbatasan alam ghaib. Dan pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasat mata, yang dibalik keberadaan pemuda itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Itu pulalah sebabnya saat perjalanan kanjeng nabi Musa bertemu dengan kanjeng nabi Khidr, pemuda itu tidak disebut-sebut lagi.

 

Adapun bekal makanan berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik, yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun bagi pencari Kebenaran Sejati pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain), itu kenapa sebabnya sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.

 

Saat itulah purnama rohani zawa’id (tambah berkilau) dan kanjeng nabi Musa dapat melihat kanjeng nabi Khidr. Hamba yangg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim, dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yang memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).
Dan sesungguhnya kanjeng nabi Khidr AS itu tidak lain dan tidak bukan adalah ar-ruh al-idhafi, guru jati, cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia, ‘Sang Penuntun’ bani Adam menuju jalan kebenaran jati.

 

Logika spiritualistik kanjeng nabi Khidr jelas tidak bisa ditimbang dengan adab umum (momen pembunuhan anak kecil, contoh hal paling kerasnya). Namun kita tahu, untuk menghilangkan berbagai keraguan dan kesangsian kanjeng nabi Musa, dan agar kanjeng nabi Musa meyakini bahwa seluruh perbuatan ini dilakukan berdasarkan contact person from baqa’, kanjeng nabi Khidr berkata, “Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri” melainkan sesuai dengan firman dan perintah Allah SWT.“ Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi 82)
Kita tahu itu, dan karena sesungguhnyalah Allah memberikan firman-firman-Nya dalam Al Qur’an, agar kita juga bisa belajar dari kisah-kisah orang terdahulu. Termasuk kemudian jawaban dari peristiwa pembunuhan anak kecil oleh kanjeng nabi Khidr, dalam beberapa literatur Islam kita membaca: “Allah SWT menggantikan anak laki-laki itu dengan seorang anak perempuan, yang dari keturunannya kemudian lahir tujuh puluh nabi.”

 

Dia yang mengetahui tidak memakai, dia yang memakai tidak mengetahui, dia yang mengambil akan mendapatkan.

 

Wonosobo, 29 April 2016

 

Gusblero Free

 

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid dua KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Selasa Kliwon 10 Mei 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Kafe Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.kasyaf jilid 2.jpg