LAPOR NDAN Maiyah Wonosobo sampun setaun. Jeneng sinau dereng wonten pintere, jeneng kangen dereng wonten mareme. Kangen Kanjeng Nabine, nyadhong rahmat Kang Maha Asihe.
Pada periode awal (jilid 1 dan 2) Maiyahan di Wonosobo digelar dengan menghadirkan seorang Kiai untuk membabarkan babakan agama. Temannya juga sudah ditentukan, dimaksud agar pak Kiai mantap ‘sangu’ materi. Liqo’an (likuk, lungguh mbulet, kupengan – bahasa Wonosobo) waktu itu dilakoni sekitar 30 orang hadir.
Periode jilid 3, 4 dan seterusnya sudah tidak menghadiran Kiai. Pertimbangan utamanya waktu itu dengan menghadirkan Kiai, teman-teman Maiyah keenakan dan lumayan kemanjaan dalam ngaji. Dipikirnya jalan meraih surga itu cukup niat ibadah dengan cara nebeng truknya pak Kiai. Datang, duduk, diam, dan malas berpikir.
Yang penting datang, surga sudah ada yang memikirkan, kira-kira begitu. Padahal kuncinya menjadi muslim itu harus bisa berpikir. Bukan hanya soal apa yang benar, namun juga memilih tindakan mana yang lebih menyelamatkan.
Orang lapar ya harus makan, itu benar. Tetapi apa yang harus dimakan itu menjadi ukuran pertama tentang keselamatan. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Perlombaan dalam hal ngaji bebrayan ini, menurut saya, memang terlihat lebih efektif dan mematangkan ruh spiritual teman-teman. Masing-masing membawa bekal sendiri-sendiri dari rumah, untuk kemudian di-sharing, dikaji bersama dalam lingkaran kebersamaan.
Yang hadir bisa gonta-ganti, walaupun begitu jumlahnya hampir selalu sama, sekitar tiga puluhan. Hermawan Slamet Ahmad jadi komandannya, dibantu Farhan Sangkakala, Zuhud, Dedi, Huda, dan lainnya. Kadang-kadang dalam penyelenggaraan Maiyah juga dihadiri teman-teman dari DPRD Wonosobo, tokoh organisasi, dan ‘orang tidak biasa’ lainnya. Bukan masalah.
Paling menarik adalah sikap enjoy sekalian teman-teman Maiyah Wonosobo. Saya sendiri terkesima bagaimana Kafilah Syafa’at Lingkar Maiyah Wonosobo mampu terus berjalan, bahkan periode ini sudah genap setahun.
Setiap pertemuan selalu ada wedang kopi, teh, dan beberapa makanan kecil sebagai nyamikan. Tanpa ada iuran, dan entah dari siapa, yang penting ada. Jangan lihat nilai suguhan, tetapi cobalah renungkan hari ini masih ada sekelompok teman-teman muda yang bertemu rutin tiap tanggal 10 kalender nasional untuk sama-sama belajar agama. Apa itu tidak hebat?
Anda boleh tidak merasa apa-apa, saya sendiri masih terkesima. Shollu ‘ala Muhammad dan jabat erat buat semuanya!
Wonosobo, 9 April 2017
Gusblero