Kita Akan Berjalan

gusblero kita akan berjalan

 

Kita akan berjalan

Kita akan berjalan dalam keheningan

Saat angin lirih, daunan luruh di musim hujan

Kita akan berjalan dan membiarkan

Keheningan lirih meluruh di musim hujan

 

Langit terang

Di atas tanah kita berdiri satu-satu

Segalanya terang

Pada keakuan yang terus membeku

 

Kita akan berjalan

Hingga di jalan berkelok kita akan sampai

Itu bukan ujung perjalanan, Sayang

Hanya tempat untuk memutuskan

Kita akan berjalan dan membiarkan

Keheningan lirih meluruh di musim hujan

 

Di tempat ini aku tak akan membiarkan air mata jatuh

Walau seribu kali kau gigit bibirmu hingga berdarah

 

Gusblero Free, 29 Oktober 2016

Mawar Gunung

gusblero mawar gunung

Malam di gunung gelap, Ida, begitu gelap

Berkali-kali aku hanya bisa meraba jariku sendiri

saat menggoreskan tulisanku untukmu

 

Ada harum mawar, dan ini mengingatkanku padamu.

Mawar matamu, mawar hidungmu, mawar dengus nafasmu

membawa cerita sendiri dalam hidupku

 

Tentang cinta dan kesetiaan, begitu kau bilang

Tentang kemurnian bunga parasufi,

Tentang misteri yang bersinar,

Tentang legenda Persi yang mengisahkan burung bulbul

yang sangat mencintai mawar putih

dan menggenggamnya begitu erat,

hingga duri menembusi dadanya

lalu mengubah sang mawar menjadi merah

 

Hahaha kamu lucu, Ida

Tetapi seluruh cerita darimu selalu membuatku terpesona

Dan ingat, kamu masih yang paling mengerti tentang diriku

Lelaki yang mencintai malam

 

Aku juga ingat bagaimana kamu pernah pura-pura jadi bidadari

Saat datang menghibur kesepianku

Sekali lagi aku harus tertawa, karena

Kita tahu benar, Ida

Dalam hidup kita bisa saja kehilangan sesuatu

Tetapi itu tidak berarti kita dikalahkan

 

Gusblero, 25 Oktober 2016

Daun Jatuh Melayang Jauh

gusblero - daun jatuh

Daun jatuh melayang jauh

Selembar wajah tak selesai ku sketsa

Itu bukan wajahmu

 

Mawar luruh keharuman merapuh

Engkau tahu siapa itu yang punya, sayangku

 

Pernah sekali ku miliki mimpi

Walau tak terbayang akan terbakar begitu rupa

Lalu cinta tinggal abunya

 

Maka kelak jika kita jadi menikah

Akan kau beri nama apa pernikahan kita, sayangku?

 

Hujan berlalu kueja kehampaan satu-persatu

Dengan merindukanmu

 

(Gusblero Free)

35. Hikayat Cinta Zulaykha dan Yusuf

Berpisah dari Layla, Majnun jatuh sakit. Badan semakin lemah, dan suhu badannya semakin tinggi. Para tabib menyarankan bedah, “Sebagian darah dia harus dikeluarkan, sehingga suhu badannya bisa menurun.”

 

Majnun menolak, “Jangan, jangan melakukan bedah terhadap saya.”

 
Para tabib pun bingung, “Kamu takut? padahal selama ini kamu masuk-keluar hutan seorang diri. Tidak takut menjadi mangsa macan, tuyul atau binatang buas lainnya. Lalu kenapa takut sama pisau bedah?”

 
“Tidak, bukan pisau bedah itu yang kutakuti,” jawab Majnun.

“Lalu, apa yang kau takuti?”

“Jangan-jangan pisau bedah itu menyakiti Layla.”

“Menyakiti Layla? Mana bisa? Yang dibedah badanmu.”

“Justru itu. Layla berada di dalam setiap bagian tubuhku. Mereka yang berjiwa cerah tak akan melihat perbedaan antara aku dan Layla….” (Jalaludin Rumi – Menyatu Dalam Cinta)

 

zulaikha yusuf

 

Cinta adalah kecenderungan tabiat atau karakter untuk menyukai pada sesuatu yang menyenangkan. Jika kecenderungan itu menjadi teguh dan kuat, ia dinamakan ’isyq (kerinduan). Kerinduan itu terus meningkat hingga pecinta menjadi budak bagi kekasihnya. Ia akan memberikan segala yang dimilikinya untuk kekasihnya.

 
Perhatikanlah kisah Zulaykha yang jatuh cinta kepada Kanjeng Nabi Yusuf AS. Dengan menghabiskan uang dan untanya, ia mempunyai mutiara, kalung, dan beban tujuh puluh unta yang dihabiskan demi kecintaanya kepada Kanjeng Nabi Yusuf. Kepada setiap orang yang mengatakan, ”Hari ini aku melihat Yusuf”, ia memberikan kalung yang membuat orang itu kaya, hingga tidak sedikit pun tersisa baginya. Setiap sesuatu ia namai Yusuf. Ia telah melupakan segala sesuatu kecuali Yusuf karena kecintaannya yang demikian rupa. Apabila mengangkat kepalanya ke langit, ia melihat nama Yusuf tertulis di angkasa raya.

 
Kanjeng Nabi Yusuf yang ketampanannya membuat cermin jadi malu dan meredupkan cahaya matahari menyamakan kesengsaraan Zulaykha sekarang ini dengan kecantikannya yang dulu memadamkan sinar rembulan dan menyebabkan para pemuda gagah berani bertekuk lutut di hadapannya. Lantaran tiba-tiba merasa sangat kasihan dan kemudian menengadahkan tangannya ke hadirat Allah Yang Maha Esa, Kanjeng Nabi Yusuf memohon kepada-Nya untuk mengembalikan kemudaan dan keelokan Zulaykha seperti sediakala. Doanya dikabulkan sebagaimana tersurat dalam syair:

 
Saat isyarat cinta ditangkap,

Kekasih Tercinta pasti didapat

 
Seketika itu pula Zulaykha berubah jadi muda, segar, dan jelita kembali. Selanjutnya Kanjeng Nabi Yusuf menikahi perempuan yang hidup sengsara dan merana selama bertahun-tahun demi cintanya kepadanya. Kanjeng Nabi Yusuf membuatnya menuai hasratnya. Setelah menikahi Zulaykha, dia menjadikannya permaisuri yang saking besar cintanya dulu rela menjadi pengemis.

 
Akan tetapi, seperti tertulis dalam syair di atas, Zulaykha akhirnya menyadari siapa Sang Terkasih Sejatinya, dan mengetahui kepada siapa ia seharusnya jatuh cinta. Dalam cermin Yusuf, ia melihat keindahan Sang Terkasih, dan tak memerlukan Kanjeng Nabi Yusuf lagi sebagai personifikasi penampakan wujud-Nya.

 
Diriwayatkan, setelah beriman dan menikah dengan Kanjeng Nabi Yusuf AS., ia menyendiri untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan segala sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika pada suatu siang Kanjeng Nabi Yusuf mengajaknya ke tempat tidur, ia meminta Kanjeng Nabi Yusuf menunggu hingga datang malam. Ketika pada suatu malam Kanjeng Nabi Yusuf memanggilnya, ia meminta Kanjeng Nabi Yusuf bersabar hingga tiba waktu siang.

 
Ia berkata, ”Yusuf, sebelum aku mengenalmu, aku hanya mencintaimu. Namun, setelah aku mengenalmu, kecintaan kepada-Nya tidak menyisakan kecintaan kepada selain-Nya. Aku tidak ingin ada yang menggantikan-Nya.”

 
Lantas, Kanjeng Nabi Yusuf AS. pun menjawab, ”Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan hal itu kepadaku. Allah mengabarkan kepadaku bahwa akan keluar dua anak darimu, dan Dia akan menjadikan mereka nabi.”

 
Akhirnya, Zulaykha berkata, ”Jika Allah memerintahkan hal itu kepadamu dan menjadikanku sebagai jalan menuju-Nya, niscaya ketaatan kepada-Nya merupakan urusan Allah SWT. Dengannya aku merasa tenteram.”

 
Setelah Kanjeng Nabi Yusuf wafat (dalam usia 120 tahun), Zulaykha rutin mengunjungi makamnya. Di atas pusara suaminya tercinta, dia berdoa, berdiam diri dalam kenangan bahagia bersamanya dan bergumam lirih sebagai ungkapan cintanya yang tak berkesudahan. Seorang pujangga besar Arab melukiskan rintihan lirih Zulaykha itu:

 
Cintaku tak pernah berakhir

Manis madunya tak memudarkannya

Cintaku adalah lingkaran

Penghujungnya adalah permulaannya

 
Konon kabarnya, Zulaykha wafat tak lama setelah kewafatan Kanjeng Nabi Yusuf. Ada yang mengatakan empat bulan setelahnya, saat masa iddah-nya habis, beliau jatuh sakit dan wafat. Tuhan seolah tak menghendaki derita berkepanjangan menderanya, Tuhan juga tak menghendaki janda Zulaykha (yang ketika itu masih cantik dan kaya raya) dipinang orang lain. Agar di akhirat dapat bersatu kembali ke pangkuan Yusuf dengan cintanya yang sejati.

 
Zulaykha tidak diketahui di mana pusaranya. Diduga, setelah kunjungan-ziarah terakhir ke makam suaminya, langkah kakinya tak menuntunnya kembali pulang ke istana, melainkan melangkah gontai entah kemana. Meninggalkan segala kekayaan, kemewahan dan kemegahan istana yang baginya tanpa Yusuf apalah gunanya.

 
Maka begitulah sebuah cinta berawal dan tak berkesudahan, kecuali bagi mereka yang memuja hanya sekadar tubuh fana. Untuk itu mari kita saling belajar dan mengambil hikmah dari hikayat cinta yang mengalir jauh ini. Yang terbaik dan abadi!

 

engkau bebas

Gusblero Free

34. Sandal Kanjeng Nabi Idris AS

Nama Kanjeng Nabi Idris AS yang sebenarnya adalah Akhnukhí. Ia dikaruniai Allah SWT beberapa kepandaian. Menguasai ilmu hitung, ilmu perbintangan, menunggang kuda, dan menjahit pakaian. Selain itu, Kanjeng Nabi Idris juga sangat tekun. Ia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Karena kepandaiannya itulah ia dinamakan Idris. Ia telah pandai membaca Sahifah (lembaran tertulis) yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Syits, dan beliau menerima wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril sebanyak 30 Sahifah. Isinya adalah ajaran agama yang harus disampaikan kepada umatnya. Diutus untuk mengingatkan umat keturunan Kabil yang telah bersikap durhaka, Kanjeng Nabi Idris yang merupakan keturunan keenam Kanjeng Nabi Adam, dikalangan bangsa Ibrani juga dikenal dengan nama Khunuh. Ia berdakwah kepada kaumnya dengan gigih, sehingga mendapat sebutan Asad al-usud, yang berarti ‘singanya singa’.

 

Setiap hari Kanjeng Nabi Idris menjahit qamis (baju kemeja), setiap kali beliau memasukkan jarum untuk menjahit pakaiannya, beliau mengucapkan tasbih. Jika pekerjaannya  sudah selesai, kemudian pakaian itu diserahkannya kepada orang yang memintanya dengan tanpa meminta upah. Walaupun demikian, Kanjeng Nabi Idris masih sanggup  beribadah  dengan amalan yang sukar untuk digambarkan. Sehingga Malaikat Maut sangat rindu berjumpa dengan Idris.

 

Dikisahkan Allah lalu memberinya ijin, hingga Malaikat Maut pun pergi mengunjungi Kanjeng Nabi Idris AS dalam bentuk manusia dan duduk disampingnya. Pada saat itu Kanjeng Nabi Idris sedang melakukan puasa satu tahun, dan ketika waktu berbuka sudah dekat, maka Malaikat datang dengan membawa makanan dari surga dan Kanjeng Nabi Idris memakannya. Dia berkata kepada malaikat maut: “Mari makanlah bersama.” Namun Malaikat maut tidak memakannya.

 

Kemudian Kanjeng Nabi Idris berdiri dan bersibuk diri dengan ibadah sedangkan Malaikat Maut duduk di dekatnya hingga fajar muncul dan matahari sudah keluar dari tempatnya. Kanjeng Nabi Idris menjadi heran dan berkata, “Hei kamu! Maukah kamu berjalan-jalan bersamaku hingga kamu menjadi bahagia?” Malaikat maut berkata, “Aku mau.”

 

Keduanya lalu berdiri dan berjalan hingga keduanya sampai pada perkebunan. Malaikat maut berkata, “Apakah kamu memberi ijin aku untuk mengambil dari perkebunan ini beberapa bulir saja untuk kita makan?”  Kanjeng Nabi Idris berkata, “Subhanallah. Kemarin kamu tidak mau memakan makanan yang halal, tetapi sekarang kamu ingin memakan barang haram.”

 

Keduanya lalu berjalan hingga empat hari dan Kanjeng Nabi Idris melihat sesuatu yang tidak biasanya pada diri orang yang menyertainya itu. Dia berkata, “Sebenarnya kamu ini siapa?” Malaikat menjawab, “Aku adalah Malaikat Maut.”

 

“Apakah kamu yang mencabut para ruh?”

“Iya.”

“Kamu telah bersamaku selama empat hari, lalu apakah kamu telah mencabut ruh seseorang?”

“Iya, aku telah mencabut banyak sekali ruh. Ruh semua makhluk bagiku adalah seperti nampan yang aku mengambilnya seperti kamu mengambil suapan makanan.”

 

Idris bertanya, “Hei malikat maut, apakah kamu datang kemari untuk berkunjung ataukah untuk mencabut nyawaku?” Dia menjawab, “Aku datang kemari untuk berkunjung dengan seijin Allah.”

 

“Hei malaikat maut, aku punya hajat kepadamu.”

“Apa hajatmu?”

“Hajatku adalah kamu mencabut ruhku kemudian Allah menghidupkan aku lagi hingga aku bisa beribadah kepada Allah setelah aku merasakan pahitnya kematian.”

“Aku tidak akan mencabut ruh seseorang kecuali dengan mendapatkan ijin Allah ta’ala.”

 

Kemudian Allah menurunkan wahyu: “Cabutlah ruh Idris.” Seketika itu juga malaikat maut mencabut ruh Kanjeng Nabi Idris, hingga Kanjeng Nabi Idris pun menjadi mati. Malaikat Maut kemudian menangis dan ber-tadlarru’ kepada Allah dan meminta supaya dia menghidupkan kembali Kanjeng Nabi Idris.

 

Allah lalu mengabulkannya  dan menghidupkan kembali Kanjeng Nabi Idris. Malaikat Maut bertanya, “Hei saudaraku. Bagaimana kamu menemukan rasanya kematian?” Kanjeng Nabi Idris menjawab, “Ibarat hewan yang dikelupas kulitnya pada saat dia masih hidup, maka rasa pahitnya kematian seribu kali lipat sakitnya dari itu.” Malaikat Maut berkata, “Yang aku lakukan kepadamu adalah yang paling halus yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.”

 

Kanjeng Nabi Idris berkata, “Wahai Malaikat Maut, aku punya hajat lain kepadamu. Aku ingin melihat neraka Jahannam sehingga aku bisa beribadah kepada Allah dengan bersungguh-sungguh setelah aku melihat siksa, belenggu dan segala sesuatu yang ada didalamnya.” Malaikat menjawab, “Bagaimana aku bisa pergi bersamamu ke neraka Jahannam tanpa mendapatkan ijin.”

 

Kemudian Allah memberikan wahyu, “Pergilah bersama Idris ke neraka Jahanam.” Malaikat lalu pergi bersama Kanjeng Nabi Idris ke neraka Jahanam dan dia bisa melihat segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah untuk musuh-musuh-Nya yang berupa rantai, belenggu dan siksa berupa ular, kalajengking, api, kayu zaqum dan air panas.

 

Setelah keduanya kembali, Kanjeng Nabi Idris berkata lagi, “Aku punya hajat lagi, yaitu aku ingin engkau bisa membawaku ke surga hingga aku melihat apa yang ada di dalamnya yang telah diciptakan oleh Allah untuk hamba-Nya sehingga akan menjadi bertambah ketaatanku.”

 

Malaikat Maut berkata, “Bagaimana aku bisa pergi membawa kamu ke surga tanpa mendapatkan ijin dari Allah?” Lalu Allah menurunkan wahyu, “Pergilah bersama Idris ke surga.” Keduanya lalu pergi dan berhenti di pintu surga. Kanjeng Nabi Idris lalu melihat kenikmatan yang ada di dalam surga, malaikat yang agung, pemberian yang sempurna, pepohonan dan buah-buahan.

 

Kanjeng Nabi Idris berkata, “Wahai saudaraku. Aku telah merasakan pahirnya kematian dan aku telah melihat menakutkannya Jahanam, lalu apakah engkau mau memintakan kepada Allah untuk memberiku ijin masuk ke dalam surga dan aku meminum airnya supaya menjadi hilang rasa pahitnya kematian dan menakutkannya Jahanam?” Lalu Malaikat Maut meminta ijin kepada Allah dan Allah memberinya ijin untuk masuk kedalam surga lalu keluar lagi.

 

Di dalam surga Kanjeng Nabi Idris menaruh kedua sandalnya di bawah sebuah pohon dan meninggalkannya di sana, lalu berjalan keluar dari surga. Sesampainya di luar, dia kemudian berkata kepada Malaikat Maut, “Astaghfirullah, aku telah meninggalkan sandalku di dalam surga. Kembalikan aku ke surga lagi.”

 

 

sandal nabi idris

 

Maka masuklah Kanjeng Nabi Idris ke dalam surga, namun beliau tidak keluar lagi, hingga Malaikat Maut memanggilnya: “Wahai Kanjeng Nabi Idris, keluarlah!” Namun Kanjeng Nabi Idris menjawab: “Tidak, wahai Malaikat Maut, kerana Allah SWT telah berfirman : Setiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS. Ali-Imran 185), sedangkan saya telah merasakan kematian.

 

Dan Allah berfirman: “Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan pasti akan mendatangi Neraka itu (QS. Maryam 71), dan bukankah aku pun telah mendatangi Neraka itu. Lalu firman Allah lagi: “…..dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya (Surga) (QS. Al-Hijr 48). Nah, Malaikat Maut, aku telah menjalani semua itu, maka sekarang aku tidak mau keluar lagi dari Surga.”

 

Kanjeng Nabi Idris, seperti halnya arti namanya, memang luar biasa bukan? Bahkan Malaikat Maut pun dibuatnya bingung. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Malaikat Maut: “Biarkanlah dia, karena Aku telah menetapkan di azali, bahwa ia memang akan bertempat tinggal di Surga.”

 

Begitulah kisah itu terjadi, seperti apa yang telah Allah SWT sampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW: “Dan ceritakanlah (hai  Muhammad kepada mereka) kisah Idris  yang tersebut di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat  membenarkan, lagi seorang Nabi. Dan sesungguhnyalah Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.(QS. Maryam 56-57)

 

Begitulah Allah telah memuliakan hambanya. Jika kemudian muncul fakta ‘gara-gara sandal’ menjadi hujjah alasan Idris untuk kemudian bisa kembali dan terus menetap di Surga, sesungguhnya tak segampang itu persoalan yang melatar belakanginya. Logika arif kisah ini barangkali bisa juga menjadi pelajaran bagi kita semua: jangan menggampangkan, walau hanya seonggok sandal!

 

Seonggok sandal di halaman masjid, bisa jadi itu yang akan menjadi kendaraan yang mengantarkanmu sampai ke ‘Pintu Anugerah’ Allah. Disisi lain, bisa jadi pula hanya gara-gara seonggok sandal yang kamu curi di halaman masjid, itu yang kemudian membuat perjalanan ke-akhirat-anmu mendadak tergelincir ke dalam lembah jurang neraka!

 

Menguasai ilmu hitung, ilmu perbintangan, menunggang kuda, dan menjahit pakaian. Selain itu, Kanjeng Nabi Idris juga sangat tekun. Ia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Karena kepandaiannya itulah ia dinamakan Idris.

 

Gusblero Free

33. Khowariq Lil ‘Adah

Suatu ketika ada seorang tamu dari Kendal sowan kepada Mbah Hamid di Pasuruan. Sesudah bla bla bla wes hewes hewes howos howos, singkat cerita sebelum tamu itu pulang Mbah Hamid menitipkan salam untuk Wali Samud di pasar Bulu. seseorang yang kesehariannya berada di pasar dan dianggap gila oleh masyarakat Kendal dan Semarang.

 

Yang disebut Samud sebagai ‘wali’ oleh mbah Hamid itu kesehariannya memang berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya. Terkadang beliau membantu bongkar muat barang-barang di pasar dan tidak mau dikasih upah.

 

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk Samud yang dianggap gila oleh dirinya dan juga oleh orang-orang di sekitar Kendal dan Semarang.

 

Tak habis bingung, tamu tersebut lantas minta penjelasan, benar nggak Samud yang akan dititipi salam oleh Mbah Hamid itu adalah Samud si orang gila seperti yang selama ini dikenalnya. “Samud, yang di pasar? Bukankah Samud tersebut adalah orang gila Kyai?”

 

Kemudian Mbah Hamid menjawab, “Beliau adalah Wali besar yang menjaga Kendal dan Semarang, Rahmat Allah turun, bencana ditangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku!”

 

Kemudian, setelah si tamu pulang ke Kendal, ia menunggu keadaan pasar sepi. Dihampirinyalah Wali Samud yang dianggap ‘orang gila itu, yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal dan Semarang.

 

“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu.

 

Wali Samud memandang dengan sorot mata tajam dan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar. “Wa’alaikumussalam.. ada apa?!!”

 

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri. “Panjenengan dapat salam dari Mbah Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”

 

Tak beberapa lama, Wali Samud berkata, “Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras, “Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan.”

 

Lalu di depan si tamu yang masih terbengong-bengong menyaksikan kejadian tersebut, tiba-tiba Mbah Samud berteriak: “Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, nggak sanggup aku hidup di dunia”

 

Kemudian Wali Samud membaca sebuah do’a, dan bibirnya mengucap ‘Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah’. Seketika itu, langsung wafatlah Wali Samud di hadapan orang yang diutus Mbah Hamid agar menyampaikan salam. Hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang dicap sebagai orang gila oleh masyarakat Kendal dan Semarang itu adalah Wali besar, tak satu pun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang meninggal di pasar adalah seorang Wali. Malah kemudian si tamu juga dicap sebagai orang gila oleh orang-orang karena meyakini Samud sebagai Wali.

 

khowariq lil adah

 

Khowariq lil ‘Adah adalah perilaku nganeh-anehi, yang terdapat pada seorang Wali. Banyak ragamnya keanehan dari masing-masing Wali tersebut, namun satu hal pasti, masyarakat sekitarnya biasanya tidak mengetahui keluar biasaan yang dimiliki orang tersebut dibalik perilaku nyelenehnya.

 

Seperti Wali Samud misalnya. Setiap harinya ia biasa menenteng-nenteng daun jati yang masih basah dan dijadikan alas duduk dan tiduran di pasar. Tapi anehnya kalau pas hari Jum’at dia sama sekali jarang terlihat di pasar. Dia suka mengenakan peci putih layaknya orang yang sudah menunaikan haji, tapi kelakuannya tetap nyentrik, hingga tetap saja orang-orang menganggapnya ‘wong edan macak kaji’ (orang gila bergaya haji).

 

Subhanallah. Begitulah para Wali-Walinya Allah. Begitu inginnya mereka berasyik-asyikan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya diganggu oleh orang-orang. Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing. Oleh karena itu, janganlah kita keburu su’udzan terhadap orang-orang ‘gendheng’ di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang ‘bersembunyi’.

 

La ya’riful wali illal wali, tidak akan mengetahui kewalian seseorang kecuali orang tersebut adalah juga seorang wali. Pada awalnya seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah. Demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas.

 

Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Kanjeng Nabi Isa AS berkata. “Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.” (QS Al-Maidah: 116).

 
Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak. Penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.

 
Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dan dipakai untuk menetapkan ittiba’-nya (ketaatannya) kepada Kanjeng Nabi SAW, dengan didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh.

 

Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma’unah. Ma’unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, serta dengan mengikuti Kanjeng Nabi SAW.

 
Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Kanjeng Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang ‘arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya. Waliyullah senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa’di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-‘Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.

 
Dalam kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, “Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid’ah. Anehnya, semua ini disebabkan mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka. Padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka. Mereka seakan tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham ra di Basrah dan Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir. Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka’bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, “Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Kanjeng Nabi SAW yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.” Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi’i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat.

 
Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja’far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi. Kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.

 
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi’i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama’ah dan para syeikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu diluar adat yang muncul dari karamah para wali. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin ‘Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi’i berkata, “Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama’ah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat.”

 
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah. Dalilnya adalah bahwa ilmu ma’rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.

 
Banyak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti yang dimiliki para nabi.

 
Imam Abu Bakar bin Faurak ra menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki perbedaan yang nyata.

 
Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy’ari ra yang menyatakan, “Mukjizat dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat.” Al-Qusyairi menegaskan, “Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat pengakuan kenabian saja.”

 
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.

 

Al-Qusyairi berkata, “Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain.”

 
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang muncul pada dirinya, serta tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli ma’rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir (berurutan) tentang eksistensi karamah, baik berupa kabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan kabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.

 
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur’an tentang sahabat Kanjeng Nabi Sulaiman yang berkata, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip.” (QS Al-Naml]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga riwayat tentang Umar bin Khattab ra yang tiba-tiba berkata, “Hai para kabilah di atas gunung!” padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.

 
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali diatas mukjizat para nabi, dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan mukjizat Kanjeng Nabi Muhammad SAW, karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya. Jika seorang rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma’ (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.

 
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Diantara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang ternak, atau hewan-hewan lain.

 
Al-Qusyairi mengungkapkan, “Wali adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah SWT, maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, “Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS Al-A’raf: 196). Para wali bukan orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa.”

 
Sahal bin ‘Abdullah berkata, “Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah, berarti zuhudnya tidak benar.” Lalu ada yang bertanya kepada Sahal, “Bagaimana cara karamah tampak padanya?” Sahal menjawab, “Dengan memperoleh segala yang diinginkannya.” Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.

 
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi ra mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi’ al-Nujum wa Mathali’ Ahl al-Asrar wa al-‘Ulum bahwa Kanjeng Nabi Isa AS memperoleh kedudukan yang mulia dan penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga Kanjeng Nabi Ibrahim AS mampu menghidupkan burung-burung, mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingnya. Kanjeng Nabi Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah. Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat Kanjeng Nabi SAW adalah karamah bagi wali. Namun ada juga yang menolak pendapat ini, bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat bagi Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 
Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf (tersingkapnya rahasia) dan dzauq (kemabukan pada Allah). Jika dalam mengungkapkan karamah-karamah yang muncul dari cerita-cerita orang-orang tsiqah (terpercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya. Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.

 
Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang berkata, “Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi.”

 

Ibnu ‘Arabi mengomentari orang itu, “Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta cahaya mata hatinya.”

 
Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqat berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Kanjeng Nabi SAW, ia berkata, “Peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki bashirah (penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka.

 

Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadits yang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan. Bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehnya. Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.

 

GBF_Khidr3

 
Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya’rani ra berkata, “Ketahuilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu’tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfaraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya.

 

Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan.”

 
Syihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, “Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat para nabi.” Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa.

 
Hikmah banyaknya karamah para wali di kalangan umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah menunjukkan kepemimpinan Kanjeng Nabi SAW atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan sesudah wafatnya. Dan karena Kanjeng Nabi SAW adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa Alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenarkan Nabi juga terus berlangsung. Diantara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Kanjeng Nabi SAW, yang memperkuat eksistensi Al-Qur’an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Kanjeng Nabi SAW tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan adanya karamah, seolah-olah Kanjeng Nabi SAW berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Kanjeng Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, “Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (QS Al-Muddatsir: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.

 
Banyaknya karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Kanjeng Nabi SAW yang muncul di setiap masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadits yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Kanjeng Nabi SAW. Jadi, mukjizat Kanjeng Nabi SAW itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas.

 
Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal ra, hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan penguat iman dengan menampakkan karamah.

 
Syaikh Suhrawardi ra berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit daripada karamah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan memandang Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah terbesar. Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

 
Imam Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi’i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.

 
Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menjelaskan dalam Mawaqi’ al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, “Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda (wali-wali penerus). Adapun permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain. Saya tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa rahasia yang samar.”

 
Al-Qusyairi ra menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah SWT memuliakan mereka dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa.

 

Para da’i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.

 
Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta’dil (menganggap adil).

 
Apabila seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut dhahir syara’, maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya. Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang diharamkan syara’ tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari hukuman di dunia jika menyalahi syara’. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan mereka. Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu.” Allah tidak berkata kepada mereka, “Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman syara’ yang ditetapkan atasmu di dunia.” Di dunia, wali tetap terkena hukum syara’. Seorang wali yang dikenai pasal hudud (melanggar batas) akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.

 
Sikap wali yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana yang dikatakan Sayyid Abu Su’ud bin al-Syibli al-Baghdadi ra, seorang rasionalis pada masanya. Ada seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Allah menganugerahi Anda karamah?” Ia menjawab, “Ya, sejak umur 25 tahun Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil.” Si penanya bertanya lagi, “Kemudian perintah apa lagi?” Al-Syibli menjawab, “Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah.” Si penanya berkata, “Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya berikut ini: Kakinya memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya.”

 
Demikianlah sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin berkata, “Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku secara rahasia, ‘Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.’ Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa diganti: “Kebenaran tetap kebenaran, mahluk tetap mahluk, hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan.”

 
Bukti-bukti kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai wali Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat Kanjeng Nabi SAW dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita tentang kejadian-kejaidan gaib.

 

Dan dikarenakan karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Kanjeng Nabi SAW, berarti mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Kanjeng Nabi SAW. Sebagaimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, “Para wali harus mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak. Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara’. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya tujuan lain yang sesuai dengan syara’, meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikannya atau menampakkan kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini.”

 
Janganlah berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena dipaksakan dan tanpa ikhtiar.

 
Imam Yafi’i menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, “Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai macam. Ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya, seperti Ma’ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily ra, dikatakan, ‘Demi Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Kanjeng Nabi Musa tetapi mendustakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Kanjeng Nabi Musa. Ada sebagian orang yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali pun yang hidup pada masanya. Mereka ini terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik).”

 

Imam Yafi’i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, “Barangsiapa menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia inginkan.” Menurut Imam Yafi’i, sikap para penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, hadits-hadits sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya.

 

Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang saleh terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya, “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata, Ini benar-benar sihir yang nyata.” (QS Al-An’ am: 7)

 

Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan memeranginya.” Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama, dunia, dan akhirat!

 

Para da’i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.

 

Gusblero Free

32. Syeh Bela Belu

Majapahit runtuh, invasi dari Demak telah memporak-porandakan seisi kraton. Sebagai generasi terakhir keturunan Brawijaya yang masih tersisa, dalam usia yang masih terbilang muda, Raden Dhandhun dan adiknya harus terpisah dari keluarganya. Melanglang keluar masuk hutan, terlunta-lunta tak jelas arah tujuannya, ia menyusuri sepanjang tepian pantai kidul ke arah barat hingga sampai di pinggiran Prangtritis. Memasuki sebuah desa bernama Mancingan, akhirnya ia bertemu dengan seorang pendeta bernama Ki Selapawening. Di sinilah kemudian Raden Dhandhun tinggal, sekaligus berguru ilmu kesejatian. Lalu untuk keperluan penghilangan identitas lamanya sebagai warga kerajaan, namanya diganti menjadi Bela Belu.

 
Sebagai orang kraton, tentu saja Bela Belu mempunyai ke-khas-an seperti kalangan trah biru lainnya, gemar melakukan olah kebatinan. Oleh Ki Selapawening, ia lalu disuruh melakukan tirakat di sebelah barat Gunung Sentana. Cara Bela Belu bertapa bernyata lain dari yang lain. Ia bisa kuat untuk tidak tidur hingga seminggu, akan tetapi tidak kuat kalau disuruh menahan lapar (berbeda dengan adiknya, Dami Aking, yang sepanjang harinya melakukan tirakat dengan banyak tidur tetapi jarang makan).

 

Kesukaannya adalah nasi ayam liwet yaitu nasi yang dimasak menggunakan santan kelapa dan dalamnya diisi dengan daging ayam. Karenanya, kemudian Ki Selapawening meminta Raden Dhandhun untuk mencuci beras di Sungai Beji, sebelah utara Parangendhog, kira-kira 5 kilometer dari padepokan. Dengan cara seperti itu nafsu makannya dapat dikurangi menjadi sekali dalam sehari. Lalu setelah sekian lama melakukan olah batin, akhirnya Bela Belu pun kemudian memperoleh kelebihan yang bisa digunakan untuk menolong warga desa sekitarnya.

 
Selang beberapa tahun kemudian, datanglah seorang ulama bernama Syekh Maulana Mahgribi. Ia adalah utusan Raden Patah yang diperintahkan untuk menyiarkan agama Islam di wilayah itu. Setelah menyaksikan keindahan alam Pantai Parangtritis dan mengetahui bahwa banyak orang yang tinggal di puncak Bukit Pemancingan, ia dan para pengikutnya memutuskan untuk menetap dan mendirikan pondok di atas Bukit Sentana. Setelah pembangunan pondok itu selesai, Syekh Maulana Maghribi mulai mengajak masyarakat sekitar untuk bergabung, juga kepada Ki Selapawening dan juga Bela Belu.

 
Singkat cerita akhirnya Syekh Maulana Maghribi berhasil menarik simpati segenap warga Pemancingan untuk mengenal dan mendalami agama Islam. Setelah Ki Selapawening masuk Islam, Bela Belu juga ikut pula masuk Islam. Dan karena kepandaian yang dimiliki, Bela Belu kemudian juga digelari sebagai Syekh yang berarti sang guru, meskipun beliau adalah seorang putra raja. Dengan demikian, para pengikut dan murid-muridnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Syekh Bela Belu pun merubah fungsi padepokannya menjadi pondok. Dalam waktu tak berapa lama, orang-orang pun berdatangan berguru kepadanya.

belabelu

 

Di sela-sela kesibukannya mengajar di pondoknya, Syekh Bela Belu tetap mengisi waktunya dengan tapa mangan (tirakat dengan banyak makan). Syekh Maulana Maghribi yang mengetahui hal itu pun memakluminya. Disebabkan Syekh Bela Belu sebagai keturunan ningrat, tentu masih memiliki egositas tersendiri, dan selain itu yang terpenting Syekh Bela Belu masih menjalankan kewajibannya, seperti shalat lima waktu. Namun, lama-kelamaan, ia merasa jengkel juga karena kebiasaan buruk muridnya itu semakin menjadi-jadi, semakin hari porsi makannya semakin berlebihan. Hingga suatu hari, sang Guru mendatangi pondoknya untuk menasehatinya.

 
“Hai, Bela Belu. Tidakkah engkau bisa menghentikan kebiasaan makanmu yang berlebihan itu?” kata Syekh Maulana Maghribi. “Cara tirakatmu itu sungguh berbeda dengan cara yang pernah kuajarkan kepadamu!”

 
Syekh Bela Belu menjawab bahwa setiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri bertapa untuk mencapai tujuannya. Rupanya, ia tetap ingin bertapa dengan caranya sendiri dan tidak mau meninggalkan kegemarannya makan nasi.

 
“Maaf, Tuan Guru, Aku akan tetap bertapa dengan caraku sendiri,” jawab Syekh Bela Belu.

 
Mendengar jawaban itu, Syekh Maulana Maghribi merasa sedikit jengkel, dan lalu (sekaligus untuk menguji kekuatan ilmu muridnya) mengajak Syekh Bela Belu untuk saling adu kesaktian.

 
“Baiklah kalau begitu, Bela Belu. Bagaimana kalau kita saling adu kesaktian untuk membuktikan siapakah diantara kita yang pendapatnya lebih benar?” kata Syekh Maulana Maghribi.

 
Syekh Bela Belu tidak bersedia menerima tantangan gurunya. “Maaf, Tuan Guru. Jika bertanding hanya untuk mengetahui siapa diantara kita yang lebih benar, saya kira tidak ada gunanya. Bukankah sudah ada Yang Maha Benar, yaitu Allah SWT?” jawab Syeh Bela Belu.

 
Syekh Maulana Maghribi yang merasa tidak puas dengan jawaban itu, menantang muridnya itu dengan cara yang lain.

 
“Bagaimana kalau aku tantang kamu berlomba adu cepat?” ajak Syekh Maulana Maghribi.

 
Terus diprovokasi, akhirnya Syekh Bela Belu menerima tantangan itu. Kemudian guru dan murid itu pun bersepakat akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk mengikuti shalat Jum’at. Perlombaan itu baru akan dilaksanakan pada pekan keempat bulan depan, karena keduanya harus mengasah kekuatan mereka dengan cara bertapa selama satu bulan. Guru dan murid itu pun mulai bertapa dengan cara mereka masing-masing. Syekh Maulana Maghribi bertapa dengan cara meninggalkan segala kesenangan dunia, tidak makan dan minum. Sementara Syekh Bela Belu melaksanakan tapanya seperti biasanya, yaitu menanak nasi dan makan. Bahkan, ia masih terlihat sibuk menanak nasi hingga hari yang telah ditentukan telah tiba.

 
“Hai, Bela Belu! Apakah engkau sudah lupa bahwa sekarang sudah hari Jum’at? Bukankah pagi ini kita akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk melaksanakan shalat Jum’at di sana?” tanya Syekh Maulana.

 
Syekh Bela Belu hanya tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan nada santai. “Saya tidak lupa ketentuan itu, Guru! Tapi saya harus menunggu sampai nasiku matang dan makan dulu. Jika Guru tidak keberatan, silahkan berangkat terlebih dahulu, saya akan segera menyusul, dan saya pasti terlebih dahulu tiba di sana!” ujar Syekh Bela Belu sambil meneruskan menanak nasi.

 
Tanpa menghiraukan lagi perkataan sang Murid, Syekh Maulana Maghribi pun berangkat ke Mekah dengan membawa bekal seperlunya. Ia merasa yakin bahwa dia pasti akan sampai terlebih dahulu di Mekah. Sementara Syekh Bela Belu masih asyik menikmati nasinya yang sudah matang. Di wajahnya sama sekali tidak terlihat perasaan cemas atau khawatir akan dikalahkan oleh gurunya.

 
Sementara itu, Syekh Maulana Maghribi telah tiba di Mekah. Ia melihat sudah banyak orang yang datang ke Masjidil Haram hendak menunaikan shalat Jum’at. Ia pun segera masuk ke dalam masjid. Alangkah terkejutnya ia ketika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat duduk, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada seorang jamaah yang sangat dikenalnya.

 
“Hai, bukankah itu Bela Belu? Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini terlebih dahulu? Bukankah tadi dia masih sibuk memasak nasi ketika aku meninggalkannya?” gumam Syekh Maulana Maghribi dengan heran.

 
Syekh Bela Belu yang melihat gurunya sedang berdiri di antara jamaah segera melambaikan tangan dan memberi isyarat agar sang Guru duduk di sampingnya. Dengan perasaan malu, Syekh Maulana Maghribi pun segera duduk di samping Syekh Bela Belu.

 
“Hai, Bela Belu! Bagaimana kamu bisa mendahuluiku tiba di sini?” bisik Syekh Maulana Maghribi.

 

“Maaf, Tuan Guru. Tuan Guru berangkat ke sini dengan kekuatan sendiri, sedangkan saya hanya dengan menyandarkan diri kepada kekuatan Allah SWT, karena kekuatan Allah SWT berada di atas segala-galanya,” jawab Syekh Bela Belu sambil tersenyum.

 
Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi menyadari bahwa dirinya mempunyai batas kemampuan dan mengakui keunggulan Syekh Bela Belu, meskipun dia bekas muridnya!

 

Guru dan murid itu pun mulai bertapa dengan cara mereka masing-masing. Syekh Maulana Maghribi bertapa dengan cara meninggalkan segala kesenangan dunia, tidak makan dan minum. Sementara Syekh Bela Belu melaksanakan tapanya seperti biasanya, yaitu menanak nasi dan makan. Bahkan, ia masih terlihat sibuk menanak nasi hingga hari yang telah ditentukan telah tiba.

 

Gusblero Free

31. Lubdaka

Lumajang, 1260 Masehi (1338 tahun Caka). Lubdaka yang namanya menjulang antara Kalilusi dan gunung Penanggungan itu hidup menyepi di sebuah perdikan dengan puteranya. Mereka hidup bertani dan hanya memiliki seekor kuda betina kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda Lubdaka satu-satunya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan.

 

Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: “Wahai Lubdaka, malang benar nasibmu!”.Mendengar komentar itu Lubdaka hanya menjawab, “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Fantastis. Keesokan harinya, ternyata kuda Lubdaka kembali ke kandangnya dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang Lubdaka yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang-orang seluruh kampung berbondong datang dan segera mengerumuni kuda-kuda tiban yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Blantik-blantik (makelar binatang) segera menawar kuda-kuda tersebut dengan harga tinggi dan lalu menjualnya ke kotaraja. Lubdaka pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan seekor kuda jantan liar untuk kuda betinanya.

 

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: “Wahai Lubdaka, betapa beruntungnya dirimu!”.Kembali Lubdaka hanya berujar singkat, “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Pagi hari berikutnya, Saka, anak Lubdaka yang beranjak remaja pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda barunya. Tanpa dinyana, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, hingga mengakibatkan Saka terjatuh dan patah kakinya.

 

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata dengan sedikit nyinyir: “Benar kamu Lubdaka. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Lubdaka tersenyum, dan kembali hanya menjawab, “Ya, kalian benar. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kakinya, dan nampaknya memang perlu waktu cukup lama hingga tulangnya yang patah itu akan bisa baik kembali seperti sediakala. Keesokan harinya, tiba-tiba datanglah Panglima Perang Kerajaan ke desa itu. Atas nama sang Raja memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung dalam pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda di perdikan itu pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak Lubdaka pun selamat dari keharusan ikut berperang karena dia cacat.

 

Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putranya, dan diantaranya berkata: “Wahai Lubdaka, alangkah jauh lebih beruntungnya nasibmu!”.

 

Lubdaka hanya menjawab lirih, pandangan matanya jauh menembus batas langit: “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

lubdaka

 

Maka begitulah kawan. Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang telah diskenariokan Sang Maha Sutradara. Sikap kita kemudian itulah yang menentukan seberapa nilai kemuliaan kita dihadapan-Nya, sikap ini juga, yang menurut Imam Ghazali, kemudian menempatkan kita dalam golongan-golongannya sendiri:

 

Orang yang mengetahui, dan dirinya mengetahui kalau dia mengetahui (Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri).

 

Orang seperti ini biasanya disebut ‘Alim, atau Orang Yang Berpengetahuan. Terhadap orang yang seperti ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Ini adalah jenis manusia yang paling baik berdasarkan ilmu pengetahuannya, ia tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tetapi juga dia menyadari hikmah disebalik perkara atau kejadian. Manusia jenis ini adalah manusia unggul, manusia seperti inilah yang mampu merubah dunia kearah yang lebih baik, mereka layak menjadi lifemaking. Jumlah manusia seperti ini tidaklah banyak, tapi setiap dimana ia berada ia akan menjadi nyawa bagi kehidupan umat manusia lainnya.

 

Orang yang mengetahui, tapi dirinya tidak mengetahui kalau dia mengetahui (Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri)

 
Untuk tipe yang seperti ini, mungkin bisa kita umpamakan orang yang tengah tertidur, lalu bagaimana sikap kita dengan orang yang seperti ini? Bangunkan dia! Manusia seperti ini sesungguhnya memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya dia memiliki potensi yang luar biasa tersebut. Sekali lagi orang-orang seperti ini harus segera dibangunkan, karena ilmunya yang tidak segera diamalkan bisa bagaikan pohon yang tidak berbuah, adanya dia menjadi seperti tidak ada. Untuk itu yakinkan bahwa dia memiliki potensi untuk bisa!

 

Orang yang tidak mengetahui, dan dirinya mengetahui bahwa dia tidak mengetahui (Rojulun Laa Yadri Annahu Laa Yadri)

 
Orang-orang seperti ini adalah orang yang masih awam, masih lemah pengetahuannya. Maka adalah tugas bagi orang-orang yang berilmu yang berada disekitarnya berkewajiban untuk merangkul dan mengajarinya. Jenis manusia seperti ini masih tergolong baik. Sebab manusia seperti ini menyadari akan kekurangannya, ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan diri sepantasnya. Tipe manusia ini dengan kesadaran dan akal sehatnya tidak akan menghalangi sebuah proses perubahan kearah yang lebih baik. Dia tidak akan berani nekat memegang amanah yang ia rasa tidak memiliki kemampuan untuk memegangnya, sebab ia tahu (sadar diri) siapa dirinya.

 

Orang yang tidak mengetahui, dan dirinya tak mengetahui kalau dia tak mengetahui (Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri)

 
Inilah jenis manusia yang paling buruk, tidak tahu diri dan tidak berguna. Orang Jawa bilang pokomen. Ia selalu merasa mengerti, merasa benar, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia seperti ini susah sekali untuk disadarkan. Bahkan ketika pendapatnya sudah patah dan lemah sekalipun ia tetap mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya tersebut. Kalau diingatkan ia akan membantah, atau bahkan merasa lebih tahu. Jenis seperti ini paling susah dicari kebaikannya. Jangan ikuti orang seperti ini, kalau memang kita merasa tidak sanggup untuk menyadarkannya maka lebih baik meninggalkannya ketimbang kita yang akan terpengaruh oleh dia. Ingat, ilmu yang palsu (keliru) jauh lebih berbahaya dari kebodohan.

 

Jelaslah kini. Apa-apa yang kita sebut hari ini sebagai musibah, barangkali di masa depan baru ketahuan hikmahnya bahwa itu adalah sebuah berkah. Seperti Lubdaka, ia telah mampu berhenti untuk menghakimi dan menilai kejadian dalam kehidupan ini sekadar dengan istilah keberuntungan dan air mata, pengorbanan dan hilangnya harga diri!

 

orang yang masih awam, masih lemah pengetahuannya. Maka adalah tugas bagi orang-orang yang berilmu yang berada disekitarnya berkewajiban untuk merangkul dan mengajarinya. Jenis manusia seperti ini masih tergolong baik. Sebab manusia seperti ini menyadari akan kekurangannya, ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan diri sepantasnya.

 

Gusblero Free

Avatar Pengendali Api dari Surabaya

Pengenalan tentang seorang tokoh pengendali api yang ada di Indonesia berawal dari kisah Edward Richards yang sudah hampir lima tahun mengembara untuk mencari seorang ‘guru’ yang diketahuinya melalui buku dan penayangan sebuah program televisi di negaranya, Chicago, Amerika Serikat.

 

Kisah itu kemudian menjadi Head Story yang ditampilkan Koran Harian Jawa Pos, edisi Sabtu 29 Januari 2005. Targetnya jelas, barangkali ada masyarakat yang bisa memberikan informasi seputar John Chang, tokoh dimaksud Edward Richards dalam buku.

 

Beruntung bagi Edward Richards, tayangan berita itu kemudian direspon oleh ‘seseorang’ yang lalu benar-benar bisa mempertemukannya dengan master John Chang (Djiang) secara langsung.

 

Berikut sedikit ulasan kisah yang bisa dikumpulkan dari narasumber David Kuntadi (by email), tentang upaya Edward Richards dalam menemukan ‘guru’ yang dikabarkan mampu membakar koran dari jarak 1 meter dengan tangan kosong, mampu membunuh orang hanya dengan memegang saja, dan mampu memukul/menggerakkan benda-benda dari jarak jauh.

 

avatar api dari surabaya

 

Jawa Pos Sabtu, 29 Januari 2005
Edward Richards adalah pria asli Chicago, Amerika Serikat. Sudah hampir lima tahun ini dia mengembara untuk mencari seorang “guru”. Guru ini hanya dikenalnya lewat buku dan program televisi di negaranya. Pencariannya itu menghantarkan Edward ke Surabaya.

 

Kamis (27/1/2005) malam lalu adalah hari kedua Edward Richard berada di Surabaya. Dengan memakai kaus oblong dan celana pendek, dia datang ke redaksi Jawa Pos. Bule berkumis itu membawa sebuah buku yang sudah hampir lima tahun dimilikinya. Buku setebal 208 halaman itu berjudul The Magus of Java: Teachings of an Authentic Taoist Immortal. Pengarangnya adalah Kosta Danaos, penulis dari Yunani.

 

Tak tampak kelelahan di wajah Edward. Padahal, seharian penuh dia mengelilingi Surabaya. Pria 44 tahun itu mendatangi satu persatu tabib dan shinshe di kota ini. Salah satu tempat yang sudah diubek-ubek adalah kawasan Jalan Jagalan. Tak ketinggalan beberapa klenteng pun disambanginya.

 

Gerangan apa yang sedang dicari Edward? “I’m looking for this man,” katanya kepada Jawa Pos. Saat mengucapkan kalimat itu, Edward menunjuk salah satu halaman pada buku yang dibawanya. Halaman itu berisi foto seorang pria yang sedang bermeditasi. Nama pria itu adalah John Chang.

 

Ya. John Chang adalah seorang master yang kisahnya diangkat dalam buku karangan Kosta Danaos tersebut. Dia adalah seorang “paranormal” keturunan Tionghoa di Indonesia. Buku itu menjelaskan secara rinci kemampuan John Chang.

 

Di situ tertulis bahwa John Chang adalah seorang telekinesis (mampu menggerakkan benda dari jauh), pyrokinesis (mampu menciptakan api), telepatis dan kemampuan lainnya.

 

Selain itu, John Chang juga disebut menguasai teknik akupunktur dan thai chi. “Dia menguasai aliran yang disebut nei kung,” terang Edward.

 

Nah, kemampuan inilah yang membuat hati pria yang masih lajang itu terpikat. Apalagi, dia mengaku mengalami masalah kesehatan. “Saya ingin berobat kepada orang itu,” katanya. Menurut Edward, dia punya gangguan di punggung bawah dan hernia yang sudah menahun.

 

Mengapa tidak dioperasi di Amerika saja? Edward hanya menggeleng sambil tersenyum. Menurutnya, dia lebih tertarik kepada John Chang itu. Sebab, yang dilakukan suhu itu tak hanya menyembuhkan. Tetapi, John Chang juga punya metode untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Yaitu, dengan membangkitkan energi chi seseorang.

 

Inilah yang membuat Edward rela menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari sang guru. Pencarian ini sudah dimulai pertengahan 2000 lalu saat Edward tak sengaja membeli buku The Magus of Java itu. “Saat saya membaca, saya ingat bahwa saya pernah melihat orang ini di televisi, sekitar 10 tahun lalu,” katanya.

 

Memang benar. Pada 1988, John Chang memang pernah ditampilkan di salah satu televisi di Amerika. Saat itu John tampil pada sebuah acara dokumenter bertajuk Ring of Fire. Dokumenter ini dibuat oleh Lourne dan Lawrence Blair. Dan, film ini sangat fenomenal. Sebab, kemampuan John Chang terekam dengan jelas. Misalnya, bagaimana John menunjukkan penguasaannya menguasai fenomena chi atau bio energi. Bahkan, film itu juga menunjukkan bagaimana John mampu menyembuhkan penyakit mata sang pembuat film. Atau, bagaimana John bisa membakar koran dengan tangannya.

 

Sejak itu, ribuan orang berusaha mencari identitas John. Konon, hanya ada lima orang yang berhasil. Dan, salah satu di antaranya adalah Kosta Davaos, sang penulis buku. Kosta bahkan sempat magang selama beberapa tahun kepada John Chang.

 

Sayangnya, walaupun ada buku dan film yang merekam kemampuan John, ada satu hal yang tak pernah diterangkan. Yaitu, identitas sang guru. “Mereka tak menyebut alamatnya. Bahkan saya rasa, nama John Chang juga bukan nama asli,” tutur Edward.

 

Tetapi, Edward tak mau putus harapan. Sebisa mungkin dia berusaha mencari video yang pernah diputar di televisi di negaranya itu. Dan dia mendapatkannya. Berbekal buku dan video itulah dia memulai pencariannya.

 

Pada November 2002 lalu, Edward pergi ke Jakarta. Dia mengaduk-aduk kawasan pecinan. Ketika itu, dia bertemu dengan salah satu murid John Chang. Ucapan syukur sempat meluncur. “Saya rasa, saya sudah dekat kepada guru itu,” katanya. Tetapi, murid tersebut ternyata tak mau menunjukkan alamat gurunya. “Dia sudah bersumpah tak mau membuka identitas sang guru,” sambung Edward. Meski demikian, murid itu sempat menyebut satu kota: Surabaya.

 

Edward pun kembali ke negaranya. Dia mencoba mengecek kembali keberadaan sang guru. Informasi baru pun dia peroleh. “Guru itu tinggal di kota besar di Jawa Timur. Sekitar 400 mil dari Jakarta,” katanya. Dan, Edward pun semakin pasti bahwa guru itu tinggal di Surabaya.

 

Awal pekan lalu, dia tiba di kota ini. Dengan diantar salah satu staf Hotel Novotel, tempatnya menginap, dia mengelilingi kota ini. Tetapi, hasilnya masih nihil. “Semua menjawab tak tahu,” katanya. “Mungkin mereka juga diberi pesan untuk merahasiakan alamatnya,” sambungnya.

 

Meski demikian, Edward belum menyerah. “Saya punya waktu dua minggu untuk mencarinya. Jika tidak ketemu, saya akan datang lagi lain waktu,” katanya. Bahkan, dia pun menghimbau jika ada orang yang tahu alamat sang guru, bisa mengirim surat atau email kepadanya. Alamatnya: Edward Richards, 3540 N. Southport #116, Chicago, IL 60657 USA. Atau email: [EMAIL PROTECTED].

 

Jawa Pos Rabu, 02 Februari 2005

Akhir Pengembaraan Edward Richards, Warga Amerika yang Mencari Guru Chi

 

Papa Tidak Sakti seperti Dewa Impian Edward Richard, warga Chicago, Amerika Serikat, yang ngebet ingin bertemu pakar chi (bio energi) John Djiang, akhirnya terkabul. Sabtu lalu (29/1/2005), Edward berhasil mendapatkan kontak, bahkan menemukan alamat John di Surabaya. Bagaimana perasaan Edward setelah menemukan jejak “sang guru” yang hampir lima tahun dicarinya itu?

 

Hari itu mungkin menjadi salah satu hari yang membahagiakan Edward Richard. Hari itu seakan menjadi akhir pencarian panjang yang dilakoni Edward sejak 2000. John Chang, pria yang dicarinya, sudah ditemukan. keberadaan dan identitas John Chang diberitahukan oleh seseorang yang menelepon Edward. Tak heran, pagi itu Edward langsung keluar dari kamar Hotel Novotel, tempatnya menginap selama ini, untuk menemui sang “guru” yang selama ini ingin ditemuinya.

 

Saat ditemui di loby hotel siang itu, wajah Edward tampak lega, plong. Saat turun dari van putih yang mengantarnya, pria 44 tahun itu tersenyum gembira. Dia lalu menjabat tangan Jawa Pos. “I found him (Saya sudah menemukan dia — John Chang–, Red.),” katanya. Namun, ketika itu Edward tak langsung bisa bertemu dengan John. “Saat saya ke rumahnya, dia memang belum pulang. Dia sedang ke luar kota. Saya belum bertemu langsung,” terangnya. Akhirnya bule berkumis itu berjanji akan menemui John lagi pada Senin (31/1/2005) lalu. Sayang, Edward tak bersedia menunjukkan alamat John. “Saya rasa, dia tak ingin publikasi,” kilahnya. Kok jadi mudah sekali Edward bisa menemukan John yang dicarinya hampir lima tahun ini? “No, no. It’s not easy at all (Sama sekali tak mudah, Red.),” katanya sedikit merengut. “Tetapi, karena kamu menulisnya di halaman depan koran, itu membuat sedikit mudah,” sambungnya.

 

Koran ini memang memuat features tentang “petualangan” Edward selama hampir lima tahun mencari guru chi John Chang pada Sabtu (29/1/2005) itu. Tulisan itu menceritakan tentang Edward yang mengaku penasaran dengan keberadaan John Chang. Edward tahu tentang John dari buku The Magus of Java: Teachings of an Authentic Taoist Immortal. Buku setebal 208 halaman itu dikarang oleh Kosta Danaos, penulis asal Yunani. Dalam buku itu disebutkan bahwa John ada di Jawa. Tapi tidak ada alamat detilnya. Tak heran jika Edward mesti merunut jejak John dari kota ke kota lain. Selain itu, Edward juga sempat menonton John di salah satu program televisi di negaranya. Film dokumenter itu berjudul Ring of Fire yang dibuat oleh Lourne dan Lawrence Blair, dari Inggris. Film itu diputar di AS pada 1988.

 

Yang membuat Edward terpikat dan penasaran, buku dan film tersebut menceritakan tentang keampuhan John Chang. John diprofilkan menguasai bio energy atau lazim disebut chi. Bahkan, John disebut-sebut mampu membuat api dari telapak tangannya (pyrokinesis) atau menggerakkan barang dari jauh (telekinesis). Di dalam buku itu disebutkan pula bahwa John adalah “suhu” aliran nei kung.

 

Memang, segala kemampuan yang ditulis tentang John itu seolah di luar akal sehat. Tapi, “kesaktian” John yang luar biasa itulah yang membuat Edward tertarik untuk mengobatkan sakit punggung dan hernianya kepada guru chi itu. Memang, setelah penayangan tulisan pencarian Edward itu, beberapa pembaca yang mengenal John sempat menginformasikan alamat yang bersangkutan di S (pihak keluarga John minta detil alamatnya dirahasiakan dengan alasan untuk privacy, Red.). Mereka memberi tahu bahwa John lebih dikenal dengan nama suhu Dji Djiang. Rumahnya di salah satu perumahan di kawasan Surabaya Barat.

 

Jawa Pos yang kemarin berusaha menemui John Chang di rumahnya, hanya ditemui putranya, Johan Chang. “Papa sedang ke luar kota,” katanya sambil tersenyum ramah. Johan menceritakan, setelah kasus pengembaraan Edward itu diberitakan koran ini, banyak orang yang tiba-tiba menelepon rumahnya. “Kami sampai pusing,” sambung pria berkulit putih itu.

 

Keluarga John memang sempat puyeng. Sebab, mereka tak pernah memandang papanya sebagai orang berilmu. Menurut mereka John hanyalah salah satu praktisi akupuntur. Sederetan nama tokoh terkenal memang pernah berobat kepada John. Salah satu yang disebut Johan adalah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Red). Ketika disinggung bahwa orang mengenal John dari buku-buku atau film yang menceritakan tentang sosok John, Johan dengan cepat menjawab, “Buku-buku itu banyak yang membual dan melebih-lebihkan.”

 

Johan mengatakan bahwa ayahnya tak punya kesaktian seperti yang dibilang dalam buku tersebut. Memang, semua dokumentasi itu menulis bahwa John punya keampuhan bak dewa. “Tetapi, orang kan ada kelebihan dan kekurangannya,” kata Johan. Tentang Edward yang mencari papanya selama hampir lima tahun, Johan mengakui bahwa papanya sudah bertemu warga AS itu. Bahkan, John juga bersedia mengobati penyakit Edward. “Papa saya sebenarnya sudah pensiun. Dia kan sudah 66 tahun,” katanya.  “Papa mencoba menyembuhkan sakit punggung Edward,” kata Johan. Sebab, hanya penyakit yang berhubungan dengan saraf yang bisa disembuhkan lewat akupunktur. Sedangkan penyakit hernianya, menurut John sulit disembuhkan dengan ilmu akupunktur. “Apalagi papa saya kan bukan dewa,” tandas Johan.

 

Dan untuk diketahui, saat ini John Chang sudah tidak menerima pasien atau pun murid lagi.

 

Lebih detil tentang John Chang:

https://www.youtube.com/watch?v=TdYM0vNufwc

 

Catetan lain:

 

Perbedaan Chi Kung dan Nei Kung

Kalau chikung yang dilatih kebanyakan orang mengumpulkan chi yang (positif) belaka. Sementara tahap neikung adalah penggabungan dari tenaga yin dan yang dimana penggabungan kekuatan ini sangat dasyhat. Kekuatannya hampir sama dengan kayak film Dragon Ball Z.

 

Fenomena paranormal Nei Kung

Mungkin orang kebanyakan pasti menganggap konyol dan mengada-ada, tetapi itulah rahasia Tao sebenarnya. Di dunia ini konon memang hanya mendiang gurunya John Chang saja yang mencapai tahap tertinggi Taoist Immortal.

 

Seseorang yang berhasil mencapai tahap neikung dia akan menguasai beberapa kelebihan diantaranya pyrogenesis, telekinesis, levitation, dan komunikasi dengan tetua-tetua yang telah meninggal sebelumnya yang belum menjadi dewa. Terkait hal ini sekaligus untuk  menjelaskan bahwa kalau ada orang yang sembahyang katanya dirasuki dewa ataupun dewi itu hanya bohong belaka. Yang ada paling utusannya doang, bukan dewa atau dewi yang bersangkutan. Kalau sudah jadi Dewa tidak mungkin bisa dipanggil lagi karena dia sudah tidak ada urusan lagi dengan dunia.

 

Level tertinggi Nei Kung yang pernah dicapai

Di dunia ini yang berhasil mencapai chi tahap tinggi hanya dua orang yaitu Buddha Tatmo dan pendiri Wudang Thio Sam Hong (Zhang San Feng) yang bisa mencapai level 72 Taoist, yang mana bisa membuat jasmani rohaninya terjaga, hingga pas meninggal umurnya sudah 249  pada awal Dinasti Ming. Dan chi yang John Chang pelajari memang ada kaitannya dengan aliran Thio Sam Hong.

 

Metode berlatih Nei Kung

Yang (chi positif) itu datangnya dari matahari. Sedangkan yin (chi negatif) asalnya dari bumi. Makanya kalau hendak melatih Taoist Chikung harus latihan di lantai langsung tidak ada alas di bawahnya supaya kita bisa kontak langsung dengan bumi.

 

Ilmu ini hanya boleh dipelajari oleh kultur Chinese. Bukan rasialis, tetapi sudah aturan dari tetua (para Cenpei yang sudah meninggal). Ilmu ini adalah ilmu dewa jadi tidak bisa sembarang orang yang menguasainya. Serajin apapun dia untuk latihan tapi tidak direstui dari Thien tidak bakal bisa dia kuasai. Sampai sekarang sudah banyak murid dari master sifu (gurunya John Chang) yang berusaha untuk menguasainya, namun semuanya mentok pada level 3 dimana ini level penentuan chi-nya bisa lepas.

 

Bayangkan kalau chi bisa lepas, akibatnya gampang tidak bisa menahan emosi. Apalagi jaman sekarang orang sangat enteng mengumbar kemarahan, akibatnya bisa fatal dengan hilangnya nyawa seseorang.

 

Akan punahkah ilmu silat Tao?

Shan Mao, dulunya salah satu tetua yang pernah hidup tahun 1900an dia pernah melakukan tindakan ini dalam semalam dia membunuh +/- 200 orang penduduk karena emosi. Sejak kejadian itu Thien telah mengutuk aliran ini karena perbuatan karma yang dia lakukan dengan menggunakan ilmu dewa justru untuk membinasakan manusia bukannya untuk menolong. Tetua inilah yang jadi guru dari master sifu (gurunya John Chang).

 

Hanya manusia yang sangat beruntung di dunia ini bisa mengusai ilmu ini karena dia juga akan bisa tahu rahasia kehidupan di dunia. Entahlah siapa yang akan beruntung menjadi pewarisnya.

 

Johan mengatakan bahwa ayahnya tak punya kesaktian seperti yang dibilang dalam buku tersebut. Memang, semua dokumentasi itu menulis bahwa John punya keampuhan bak dewa. “Tetapi, orang kan ada kelebihan dan kekurangannya,” kata Johan.

 

Gusblero Free