BEGADANG UNTUK JAKARTA, BEGADANG UNTUK INDONESIA

kasyaf-jilid-11-pebruari-2017

Maha Besar Allah yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kekuatan, dan Maha Terpujilah Allah yang telah memberikan warga Indonesia dengan beragam ampunan, serta Maha Perkasalah Allah yang telah mengangkat derajat rakyat Indonesia dengan kemuliaan tanpa peperangan.

Hidup di negeri dengan bermacam-macam polusi debu knalpot, asap rokok, dan cerobong asap industri toh ternyata kita tetap masih bisa menahan sakit. Hidup merancang kemajuan dengan memberikan sedikit kelonggaran menyediakan dana taktis untuk dikorupsi toh nyatanya kita masih diberikan kewarasan untuk tidak menjadi semakin edan.

Alangkah damainya negeri yang diberikan kekuatan untuk membaca kekisruhan hanya sebagai bagian dari drama kehidupan yang tengah dilakonkan para pemimpinnya, lalu lebih memilih menyibukkan diri  agar secara cepat bisa melupakan rasa dicurangi, diobok-obok, diadu domba dan dikhianati.

Hari-hari ini seluruh mata dipaksa untuk melihat Jakarta, hingga seakan kalau tidak ada gunung meletus atau ombak merambahi daratan, tak ada persoalan lebih dipikirkan Indonesia kecuali Jakarta. Ibu dari seluruh kota-kota di Indonesia dimana seluruh jagoan berkumpul dan menampilkan kesaktiannya.

Itu tidak salah. Jakarta adalah kahyangan Batara Narada, pusat para raja Nusantara mengadu, berfoto selfie dan mempublikasikan popularitasnya.

Bisa dibayangkan betapa repotnya kalau Jakartanya sendiri lagi duwe karep, lagi punya mau. Percaturan bola yang genah ada aturan dan ada wasitnya saja bisa geger, apalagi percaturan politik yang hanya punya panitia, sementara ukuran lapangan dan waktunya tidak ada batasan hingga tiba waktu pelantikan.

Maka bersyukurlah bagi orang-orang yang bisa membebaskan diri dari pusaran persoalan yang bisa membelit seseorang dalam kumparan tragedi, agitasi, orkes sakit hati, juga kepongahan yang bisa membuat orang gila kekuasaan.

Jakarta boleh punya gawe. Tetapi kalau urusannya soal politik kita punya sikap jelas, itu soal rumah tangga orang.

 

Silakan membikin drama apapun untuk mengais simpati. Kita akan ikut begadang untuk nonton pertunjukan. Syukur-syukur bisa berjalan dua putaran. Itu akan asyik. Biar yang menang bisa tambah imannya, dan yang kalah habis modal jika hendak bikin ulah dikemudian hari.

Kita akan begadang untuk Jakarta, begadang untuk Indonesia. Menyaksikan bagaimana kekuatan uang akan di-takwir, digulung dan digulung-gulungkan ambisi sekuat raksasa yang menyerang balik tuannya sendiri.

Idzaasy syamsu kuwwirat, wa idzaan nujuumun kadarat, ‘alimat nafsum ma ahdharat. Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.

Wonosobo, 6 Pebruari 2017

Gusblero Free

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid sebelas KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Jumat Legi 10 Pebruari 2017, Pukul 20.00 WIB – Selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.

NUN, DZUN NUN

1

Di sebuah perkampungan yang gemerlap jelang tengah malam ia mendengar rampak suara gendang ditabuh mengiringi nyanyian. Bunyi siulan dan tawa keras diantara orang-orang yang berkumpul jelas menunjukkan di tempat itu tengah digelar sebuah hajatan. “Ada apa ini?” ia bertanya. “Sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik,” jawab orang yang di sampingnya.

 

Tak sampai 1 kilometer. Tidak jauh dari tempat itu terdengar suara memilukan seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. “Fenomena apa lagi ini?” Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab: “Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga.“

 

Astaghfirullah.

 

Lelaki yang ternyata seorang wali itu memejamkan matanya. Di suatu tempat pada suatu saat di belahan bumi ini ada sebuah kesenangan yang dirayakan dengan begitu tiada tara, sementara di sebagian lainnya ada kedukaan yang diratapi tiada habisnya. Dengan suara lirih, ia mengadu: “Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka yang diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi yang cobaan tidak mampu bersabar.“ Dengan hati yang pedih ia pergi meninggalkan kota.

MEREKA YANG DIBERI ANUGERAH TIDAK PANDAI BERSYUKUR. DI SISI LAIN MEREKA YANG DIBERI COBAAN TIDAK MAMPU BERSABAR.
(Nukilan Buku KAFILAH SYAFA’AT Gusblero Free)