Santri Gunung Pring

 

gusblero - santri gunung pring

Bayat tertawa terkekeh-kekeh melihat Hadi garuk-garuk kepala. Tebakannya mengenai berapa butir jumlah jagung yang ada dalam tampah yang sedang dijemur di halaman samping dekat pondok benar belaka. “Jangankan hanya jagung yang sudah terhidang di depan mata. Aku disuruh menghitung berapa jumlah rambut di kepala kamu, atau kapan pelepah pinang di seberang itu akan jatuh saja bisa kok. Hahahahaha!”

Hadi tersenyum. Ia mengakui sahabat satu pondoknya itu memang dikarunia sesuatu yang lebih dibanding teman-teman santri lainnya. Dan itu bukan merupakan sebuah kelebihan yang gampang dicemburui. Bukan baru sekali ini sahabatnya itu mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam ‘membaca hal’ atau ‘kejadian’, dan sejauh ini apa yang ia sampaikan terbukti tepat.

Dalam pandangan Hadi, sahabatnya itu termasuk unik. Bayat terkenal sebagai santri yang paling sering bolos, juga paling boros. Bawaannya royal kepada sesama santri. Kapan dikirim uang dari orang tuanya tidak pernah awet sampai seminggu, kalau sudah begitu pasti ia kemudian banyak tidurnya. Herannya seminggu dua minggu berikutnya ia sudah punya uang lagi, lalu royal lagi mengajak para santri sedikit bersenang-senang. Ia sering mengajak para santri menyelinap malam-malam keluar pondok untuk makan sate, memborong martabak dan sebagainya.

Guru-guru pengasuhnya juga sering dibuat repot dalam mengurusi sahabat santrinya yang satu itu. Bayangkan saja malam hening saat seisi pondok lelap, tiba-tiba Bayat kedapatan mewiridkan ismul adhom di halaman dengan suaranya yang sangat keras. Jelas yang demikian tidak hanya mengganggu santri atau guru yang tengah beristirahat, yang tengah melakukan peribadatan malam pun bisa jadi buyar konsentrasinya.

Tindakan lainnya yang membuat Bayat pernah dihukum guru adalah saat tiba-tiba ia menceburkan diri ke dalam kedung, padahal jelas-jelas ia tidak bisa berenang. Perbuatan yang bodoh dan harus dihukum, begitu guru pengasuh menyampaikan. Tetapi kepada Hadi, Bayat bilang perbuatannya disalahkan karena sebenarnya guru pengasuhnya juga tidak bisa berenang.

Kejadian itu membuat Bayat dipanggil Mbah Muhammad di kediamannya. Mbah Muhammad adalah pendiri dan pengasuh pondok di benteng gunung Merapi itu. Entah apa yang dialami, namun yang jelas tiga hari kemudian Bayat baru bisa berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat santrinya di kamar pondoknya. Sesudah itu Bayat memang nampak lebih pendiam, namun soal sering ‘ngilang’nya kapan hari sudah tengah malam justru bertambah.

“Entah sekadar suluk, atau mencari guru yang bisa dijadikan sandaran dalam tarekat, seorang murid hendaknya tidak membuang-buang waktu hanya dengan menunggu sang guru memberikan pelajaran. Percuma saja kita memiliki guru yang muktabar keramatnya jika sudah jauh-jauh meninggalkan rumah namun tindakan kita tak lebih hanya sebagai tape recorder usang yang menyamar sebagai santri.” Begitu Bayat pernah bicara.
“Akan tetapi bukankah tugas guru yang nantinya akan mengarahkan si murid?” tanya Hadi.
“Iya, sarengat-nya begitu. Namun hakekat penerimaan sebuah ilmu tak akan pernah bisa dicapai tanpa kesiapan dari si murid itu sendiri. Engkau bisa saja mendaftar jadi santri di sebuah pondok, lalu diterima. Makrifatnya engkau adalah santri pondok, walau pun hakekatnya belum tentu engkau menjadi murid dari sang guru.”
“Itu tidak mungkin. Seorang santri pasti menjadi murid sang guru. Menjadi santri itu bukankah sama saja menjadi murid?”
“Oke. Kita elaborasi lagi sedikit, kita selami lagi lebih dalam. Sudah berapa lama kamu nyantri di sini?”
“Hampir satu tahun.”
“Pernahkah Mbah Muhammad mengajarimu secara langsung?”
“Iya belum.”
“Kalau ada seseorang bertanya kepadamu, kamu itu santrinya Mbah Muhammad atau muridnya Mbah Muhammad, kamu akan menjawab bagaimana?”
“Emm……santrinya.”
“Nah.”

Ting…..

“Akan tetapi bukankah guru-guru yang mengajar kita juga menyampaikan apa-apa yang menjadi kaidah ilmunya Mbah Muhammad?”
“Intinya pada kesiapan sang murid. Kamu harus fokus pada cara me-riyadhoh-i diri kamu sendiri. Kalau menjadi santri hanya tindakan ‘uqul untuk mencari derajat biar nanti kapan pulang kampung dianggap sebagai orang ‘alim, lebih baik sudahi saja usahamu.”
“Teruskan.”
“Kamu bisa mendapatkan banyak pengetahuan termasuk kajian kitab bahkan cukup melalui internet. Namun menjadi santri itu bukan hanya soal menghapal. Ada tindakan-tindakan khusus jika kita kita memang ingin mencari guru pembimbing dalam perjalanan menuju liqa’ullah (perjumpaan dengan Allah). Itulah pentingnya kita mencari guru tidak cukup yang ‘alim namun juga harus ‘alamah. Tidak cukup cuma guru yang hanya bisa menyampaikan si fulan itu tinggalnya di kota ini dan itu, namun ia juga harus bisa menjelaskan di mana alamat rumahnya, bagaimana kesehariaannya, dan bagaimana sebaiknya adab kita jika hendak menjumpainya, misalnya begitu.”
“Bukankah itu bisa dipelajari?”
“Artinya itu semua juga kembali tergantung pada dirimu sendiri khan, bukan melulu tugas dari sang guru?”

Ting…..

Wa ‘indahu mafaatiihul ghaib laa ya’lamuha illa huwa wa ya’lamu maa fiil barri wal bahri wa maa tasquthu min waraqatin illaa ya’lamuha wa laa habbatin fii dzulumatil ardli wa laa wa laa yaabisin illa fii kitaabin mubiin.

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).(QS. Al-An’am 59)

Keikhlasan dan kesungguhan. Barangkali itulah kata kunci bagi para santri yang tidak sekadar ingin mencari ilmu namun juga menempuh jalan Salik (pemula jalan al-Haqq). Minat dan dorongan mereka dalam banyak hal tidak didorong oleh sesiapa, akan tetapi kebutuhan mereka sendiri agar tetap bisa hidup ditengah pernak-pernik dunia yang tidak membuat mereka bisa menjalani hidup tanpa kehadiran Yang Maha Hidup.

Kekhususan yang demikian tentu saja membuat keseharian mereka menjadi sulit beradaptasi dengan lingkungan. Mereka hanya mencari kebenaran dan keikhlasan dalam setiap hal. Puncaknya, mereka akan mengalami banyak hal dan keadaan yang pelik yang ditunjuki oleh Allah SWT sebagai bayyinah (bukti) bahwa mereka sedang dalam perjalanan yang diridhoi.

Bukti-bukti utama antaranya ialah mereka bermimpi dengan para-para Nabi AS dan kemudian para wali qutub . Sampai satu peringkat mereka akan bertemu dengan para waliyullah yang masih hidup dan mereka akan mulai diajar oleh mereka. Jika usaha dan niat mereka tidak benar pada peringkat ini mereka tidak ditemukan kepada waliyullah sebaliknya ditemukan dengan para wali syaitan. Pada peringkat ini jika mereka menerima dan mengamalkan ajaran para wali syaitan ini mereka berakhir dengan menjadi bomoh atau dukun.

Seorang salik akan mendapatkan pemahaman ladunni melalui para nabi (termasuk Nabi Khidr AS yang masih hidup) dan juga para wali qutub (contohnya Sheikh Abdul Qadir al-Jilani, Sheikh Abi Madyan dan lain-lain). Dalam manhaj yang seperti ini seorang salik biasanya akan dibimbing oleh seorang guru mursyid yang masih hidup, dengan pentarbiyahan meliputi bai’at, amalan dan aurad berterusan (contohnya dzikir nafas dan dzikir huruf) dan banyak lagi amalan yang mendekatkan diri dengan Allah SWT setiap waktu. Laku paling penting lainnya ialah cara melaksanakan shalat secara fana’ baqa’ billah

Dan dikarenakan seorang salik juga perlu bekerja dan berkeluarga, guru mursyid juga akan mengajarnya bagaimana melakukan dzikir nafas sambil kita bercakap dengan orang atau dalam kesibukan kerja. Pengamalan tentang ilmu dzikir ini penting agar tidak jatuh ke dalam syirik khafi. Guru mursyid akan membimbing mereka cara membaca dan memahami makna-makna, tafsir dan takwil Al-Qur’an termasuk rahasia-rahasia huruf muqotho’at (huruf diawal surah), ayat-ayat mutasyabihat dan lain-lain sehingga jelas dan terbukti Al-Quran itu adalah mukjizat sepanjang zaman. Contohnya, apabila membaca surah Al-Fatihah dalam shalat mereka mendengar Allah SWT menjawab bacaan mereka, atau melihat huruf-huruf yang dibaca itu bangun dan memberi pelajaran kepada mereka dan sebagainya.

Biasanya cara belajar orang sufi ini sangat berbeda dengan orang awam sebab mereka ini dianggap orang khawas. Dari segi kebolehan para salik itu, mereka akan menjalani berbagai ujian dari guru mursyid mereka. Kadang-kadang mereka diminta untuk membantu orang di dalam kubur atau membantu orang yang diganggu makhluk halus atau memindahkan perkampungan jin dan sebagainya. Akan halnya demikian mereka tidak pernah menjadikan semua itu sebagai aktivitas utama, justru sebisa mungkin mereka akan menghindar dari tuntutan kesibukan seperti itu karena takut menjadi terkenal hingga melalaikan diri dari kegiatan amal lain yang lebih khusus untuk dirinya.

Nasehat mereka akan membuat manusia menangis meraung-raung dan menyesali diri disebabkan mereka berbicara dengan hikmah. Orang yang kasyaf akan dapat melihat apa yang tertulis pada lidah-lidah dan badan ahli Sufi ini saat ia menutupi rahasia dirinya dengan kalimah tertentu. Dan walau secara kasat mereka kelihatan sama dengan orang lain, tetapi keruhanian mereka senantiasa tak lekang dari haqiqah Al-Haqq.

Jalan makrifatullah menuju haqiqatullah penuh liku dan perangkap samar. Ini yang menyebabkan takkan pernah lepas seorang salik dari bimbingan gurunya yang mursyid dan hadirnya hidayah serta pertolongan Allah SWT. Kedudukan orang sufi, mereka dicintai oleh Allah dan dikehendaki oleh Allah baru mereka mencintai dan menghendaki Allah. Mereka ber-iltizam (bersungguh-sungguh) untuk menemui Allah semenjak kecil, lalu Allah akan membukakan jalan untuk mereka dalam waktu tertentu seperti pada umur dua puluhan, tiga puluhan atau empat puluhan.

Bagi yang diridhoi Allah, mereka melalui jalan singkat dan tidak berliku, dikarenakan mereka mengenali tanjakan-tanjakan jalan yang ada serta perhatian mereka yang tuntas terhadap af’al (perbuatan) Allah. Lalu disebabkan adab yang mereka lakukan terhadap Allah, maka Allah pun kemudian mengangkat mereka. Diantaranya sebagai permulaan, Allah SWT menjadikan mereka tempat berkumpul barang-barang peninggalan para waliyullah, kemudian juga barang-barang pelik dari seluruh dunia dan kemudian barang-barang peninggalan sahabat nabi dan Rasulullah SAW. Namun demikian salik ini tidak bangga dan terus bersyukur sebab dia tahu ini adalah hadiah (tanda) dari Kekasihnya.

“Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur`an surah ar-Ra’du ayat 2, Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu. Allah mengatur urusan makhluk-Nya.” lanjut Bayat terhadap Hadi.
“Itukah yang membuat kamu bisa menghitung apakah besok hari akan turun hujan, atau siapa yang akan menang dalam Pilkada misalnya?”
“Tidak begitu. Itu barokahnya ilmu, keramatnya al ‘ilm. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surah al-Hadiid ayat 22, tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
“Mudah bagi Allah, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Mudah bagi Allah menumbuhkan hujan, mengatur kehidupan. Lalu bagaimana engkau melakukan semua keampuhan-keampuhan itu?”
“Yang mana?”
“Menghitung tepat jumlah jagung dalam seisi karung misalnya.”
“Aku hanya menjawab pertanyaanmu, dan aku tidak pernah menyatakan itu sebagai tindakanku.”
“Tentang jatuhnya hujan misalnya lagi?”
”Aku hanya menyampaikan yang aku tahu, dan aku bukanlah yang mengatur hujan.”
“Engkau bahkan bisa bertanya hanya pada sebatang pohon pisang siapa-siapa yang akan menang dalam Pilkada, dan walau itu sangat tidak masuk logika ternyata tebakanmu tidak meleset sedikit pun.”
“Aku tidak pernah menebak. Jawabanku terhadap pertanyaan itu adalah jawaban alam tentang siapa yang akan jadi pemimpin kemudian.”

Ting…..

“Ajari aku sesuatu, Bayat.” ucap Hadi suatu saat.
“Aku telah berbagi kepadamu banyak hal yang tidak pernah aku perlihatkan kepada teman-teman santri lainnya.”
“Apa itu artinya?”
“Aku telah melihatmu sebagai seorang yang ihsan.”
La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin . Kenapa engkau menyampaikan hal sampai demikian terhadapku.” Hadi menangis.
“Jangan pernah memohon sesuatu yang engkau tidak memahami hakekatnya. Jangan pernah meminta sesuatu yang bukan pada ukurannya.” Bayat menatap tegas. Tajam dan tegas.

Ting…..

 

 

(Nukilan Buku KAFILAH SYAFA’AT Gusblero Free)

Juara Wonosobo Mencari Bakat #2

WONOSOBO MENCARI BAKAT (WMB#2) 2016, Produksi Manyarkesit didukung Kantor Parekraf Wonosobo

  • Juara 1: Yodha Janardanu Darumaulana (12 Tahun), vokal
  • Juara 2: Akustika (Devita, Elda, Kayung, Kafia), ansambel
  • Juara 3: Asih Dian Lestari (10 Tahun), Tari
  • Harapan 1: Annisha Nicken Lacessa (17 Tahun), vokal, Juara 1 Solo Vokal FLS2N SMA Wonosobo Th. 2015, Juara 1 Solo Vokal FLS2N SMA Wonosobo Th. 2016
  • Harapan 2: Nosi Anggana (11 Tahun), vokal, Juara 1 Kid Singing Contest Yogyakarta, Juara 1 FLS2N Kecamatan Wonosobo, Juara 1 FLS2N Kabupaten Wonosobo, Juara 2 Solo Song HUT Bhakti Mulia Wonosobo
  • Harapan 3: Melody Sumpena, duet campursari beatbox

Final digelar 10 Desember 2016 di Kaninga Cinema Wonosobo, Juri : Widiyartono Radyan (Ketua), Olivia Zalianty, Joko Genk Kobra