Banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, derita, sakit, kekurangan, adalah keniscayaan dalam hidup di dunia. Jakarta banjir, gunung Sinabung meletus, dan banyak gejolak alam lagi di belahan wilayah negeri kita. Semuanya berlaku sama, untuk diderita kita semua, tidak hanya untuk mereka yang pemenuhan hajat kesehariannya masih kekurangan. Yang menengah, yang kaya, yang sopir mikrolet, yang tukang bubur, yang pegawai negeri, yang politikus, yang pengusaha, semuanya mengalaminya.
Banjir yang melanda, diluar siklus alam yang memang sudah jadi galibnya, bisa jadi juga untuk mengingatkan, membenam-benamkan wajah kita ke dalam kubangan air untuk menyadarkan bahwa hidup di dunia ini tidak sendiri. Biar kita tidak lalai, bahwa di pinggiran kemewahan yang setiap harinya kita kebut tanpa menoleh ke kanan kiri itu ada juga tetangga-tetangga kita, lingkungan-lingkungan kita, yang perlu juga kita longok bagaimana kondisinya hari perhari.
Begitu juga dalam hal gunung meletus. Tetua kita telah lama menyadarkan, di mana bumi dipijak di situ hendaknya langit dijunjung. Bumi juga tak boleh diinjak semena-mena, karena di atasnya kita bisa menunjukkan diri sebagai mahluk yang hidup, tidak seperti setan yang hidupnya hanya melambung di alam antara, ditolak bumi dan langit enggan menerimanya.
Di dunia ini kita manusia tidaklah hidup sendiri. Jin, setan, mambang peri marakayangan, juga memiliki hak kehidupannya di dunia ini. Alam raya, gunung, langit, angin, samudera juga memiliki hak dan ruang kehidupannya sendiri.
Bencana tsunami di Aceh diawal abad 21 barangkali bisa menjadi gambaran yang paling menjelaskan, bahwa air juga memiliki kehendaknya sendiri diluar nalar hukum-hukum mekanika fluida. Bagaimana gelombang air pasang dari samudera itu kemudian hanya menjadi pusaran yang berputar-putar di sekitar masjid Agung Banda Aceh, dan bahkan tanpa sedikit pun meruyak dan menyentuh serambi dan halaman masjid, diketika segala bangunan di sekitarnya diluluh lantakkan hantaman tsunami. Bahkan air bisa memilih sasaran di hadapannya.
Manusia sebagai mahluk diistimewakan Allah, diberi kesempatan untuk melihat fenomena-fenomena itu, tanda-tanda Keagungan Allah itu. Melihat keajaiban-keajaiban yang terbentang disegenap alam raya, baik dalam diri manusia, apa saja yang dibumi, sampai segala sesuatu yang dialam raya, termasuk disebalik keganjilan fenomena yang ada. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahmaan 32)
“Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al An’am 63–64)
Begitu dimuliakan dan disitimewakannya kita manusia, hingga Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa siapakah yang dapat menyelamatkan dan melepaskan mereka dari kegelapan daratan bila mereka tersesat? Siapa yang sanggup melepaskan mereka dari kesengsaraan dan penderitaan hidup? Siapa yang sanggup melepaskan mereka dari kegelapan lautan bila mereka berlayar di tengahnya, lalu datanglah angin topan disertai dengan ombak yang besar, sehingga mereka tidak mengetahui arah dan tujuan lagi?. Yang dapat menyelamatkan manusia dari segala kegelapan dan kesengsaraan itu hanyalah Allah, tidak ada yang lain.
Bahwa sudah menjadi tabiat manusia, jika mereka dalam keadaan kesulitan dan dalam marabahaya, mereka ingat kepada Allah. Mereka menyerahkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah disertai dengan doa dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan dalam keadaan demikian mereka berjanji akan tetap berserah diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya jika kesulitan dan marabahaya itu dihindarkan dari mereka. Tetapi baru saja kesulitan dan marabahaya itu terhindar mereka lupa akan janji yang telah mereka ikrarkan itu, bahkan mereka menjadi orang-orang yang dzalim dan mempersekutukan Allah.
Istimewanya manusia adalah bahkan diketika waktu ia bisa berbuat dengan keimanan malaikat, namun dikali yang lain bisa berlaku seumpama iblis. Terhadap yang demikian Allah Maha Tak Pernah Lalai dalam menjaga dan memelihara hamba-hamba yang dipilih-Nya.
Seperti kisah Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash Shiddiq saat berada di dalam gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy yang telah berencana akan membunuh sang Nabi. Kegentingan memuncak saat kaum kafir Quraisy berhasil menyusul mereka dan sudah tiba di bukit Tsur.
Langit di atas bukit Tsur berkilat, dengan kegelapan sama-sama memuncak siap menerkam siapapun yang hendak mengganggu Rasulullah Sang Penakluk Zaman yang saat itu justru tengah pulas tertidur di pangkuan Abu Bakar. Bahkan seandainya sebuah jarum jatuh akan terdengar dentingya dalam situasi yang di atas puncak kecemasan itu.
Dan drama makin bertambah menghunus di ujung kepasrahan tatkala tiba-tiba seekor ular berbisa menyengat kaki Abu Bakar Sang Pemercaya. Rasa ngilu dan perih yang tak tertahankan menjalar membuat tubuhnya bergemetar, namun ia tak hendak se-inchi-pun menggeser posisinya. Abu Bakar menguatkan rahangnya untuk menahan sakit agar Rasulullah SAW tidak terganggu istirahatnya.
Sementara di luar gua beberapa lelaki Quraisy tampak mulai mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu gua. Saat itulah kegelisahan Abu Bakar mencapai titik puncak. Tubuhnya bergetar dilanda ketakutan yang teramat sangat, hingga tak terasa sebutir airmata yang tak mampu lagi ditahannya menetes menimpa pipi Rasulullah SAW dan membuatnya terbangun. Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakar “La Tahzan, Innallaha ma’ana….”(Jangan bersedih, Sesungguhnya Allah bersama kita).
Hilanglahlah kekhawatiran dan ketakutan Abu Bakar. Ucapan Rasulullah SAW itu seolah menghilangkan rasa sakit yang mengancamnya sendiri menuju kematian karena gigitan ular berbisa. “Ya Rasulullah, andai orang-orang itu melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah mereka mengetahui keberadaan kita.” Mendengar itu Rasulullah menjawab: “Bagaimana pendapatmu, hai Abu Bakar, jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kemudian turunlah bala tentara bantuan Allah yang tak tampak oleh kaum Quraisy berupa laba-laba yang membangun sarang yang tampak lapuk di bibir gua. Orang-orang kafir Quraisy itu menduga bahwa tidak mungkin kedua orang buruan mereka masuk kedalam gua sementara di mulut gua tersebut terdapat sarang laba-laba dan sarang sepasang burung dara. Akhirnya keduanya lolos dari kejaran kaum Quraisy saat itu.
Kisah ini diceritakan jelas dalam Al Qur’an: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qur’an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah 40)
Maka begitulah setiap orang adalah pribadi yang istimewa. Miskin, kaya, profesi, status yang kemudian melekat dalam diri adalah juga kehendak-Nya. Tuhan Yang Maha Kuasa akan menilai seberapa positif kita bisa mendapatkan nilai plus dalam sekalian peran-peran itu. Dan yang begini tentu tidak ada hubungannya dengan kenapa seseorang bisa begini dan sementara yang lainnya tidak bisa begitu. Ke-Maha Adil-an tidak bisa dimaknai bahwa setiap orang itu harus mendapatkan sembarang-barangnya sama. Contohnya dalam hal rejeki.
Seandainya pertengah malam nanti tiba-tiba seluruh jiwa di alam raya ‘makbyuk’ ketiban duit semilyaran aja misalnya. Bisa dibayangkan esok hari seluruh kehidupan manusia di alam raya pasti sudah akan kalang kabut amburadul lumpuh total tidak karuan. Bakul sayur yang sedianya berangkat ke pasar akan mokong jualan, karena untuk apa jualan sayur lagi dengan di tangan sudah ada duit bermilyar-milyar. Begitu juga yang pegawai pombensin. Malas masuk kerja dan berniat mengundurkan diri karena uang yang sepanjang hari dicari-cari toh sudah ada di tangan. Begitu juga dengan yang pegawai negeri, sudah tidaklah penting yang namanya mengabdi. Lalu hidup Anda akan seperti apa?
Bangun pagi sekeluarga kita sarapan. Mematut diri, mengambil kunci mobil di laci meja rias, lalu siap-siap pakansi dengan keluarga. Namun apa yang didapat? Setiap orang telah disibukkan dengan keinginan-keinginannya sendiri. Mau membeli sayur kali ini sudah tidak ada yang mau berjualan, mau beli bensin siapa juga yang mau melayani. Pergi ke mall seluruh toko tutup karena tidak ada pegawai yang mau jadi buruh lagi, dan kantor-kantor pemerintahan pun tutup. Sesuatu yang ironis akan terjadi. Ketika semua orang merasa hidup, justru ketika itu seluruh kehidupan terhenti. Subhanallah!
Maka begitulah seharusnya kita bisa belajar dari kondisi terkini. Banjir dan bencana alam adalah keniscayaan. Tidak usahlah kita hanya menggerutu, toh semua itu juga bagian dari sebuah kepastian. Yang utama harus disadari adalah bahwa disebalik semua peristiwa-peristiwa itu ‘kowe ora ndeweki’, kita tidak sendiri. Karena barangkali dengan jalan seperti itulah Allah menumbuhkan kasih sayang diantara kita. Bukan hanya politikus, pejabat, petinju, tukang sulap, bahkan seorang petani di pucuk gunung sekali pun, sesungguhnya memiliki eksotika bagi orang-orang di sekelilingnya!
Saat itulah kegelisahan Abu Bakar mencapai titik puncak. Tubuhnya bergetar dilanda ketakutan yang teramat sangat, hingga tak terasa sebutir airmata yang tak mampu lagi ditahannya menetes menimpa pipi Rasulullah SAW dan membuatnya terbangun. Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakar “La Tahzan, Innallaha ma’ana….”(Jangan bersedih, Sesungguhnya Allah bersama kita).
Gusblero Free