Epilog

Alhamdulillaahi Rabbil ‘Alamiin. Wal ‘aqibatu lil muttaqiin wa-shalatu wa-salamu ‘alaa Rasuulina Muhammad wa aalihi wa shahbihi ‘ajma’in. Allaahumma nadhdhim ahwalana wa hassin af’alana wa khalishna min alamil faqri wa li-dzulli wa’shimna minal bala’I wal waba’I wa tha’uun, wa min syuruuril a’da’I wa-syayathiin wa-nafsil ‘ammarati bissuu’i. Allaahumma bassirlanal intidhama fi jamii’il ‘umuuriddunyawiyyah wa-diiniyyah wa hashshil muradana bil khair. Allaahumma ba’idna minasysyarri wal ‘ishyaan. Allaahumma inna na’udzubika min juhdil bala’I wa darkisysyaqa’I wa suu’il qadha’I wa syamatatil a’da’i. Yaa Muhawwilal hauli wal ‘ahwali hawwil halana ilaa ahsani hal. Allaahumma Yaa Katsiirannawal wa Yaa Khaliqu jamii’il af’ali wa-fiqna li-niyatil khair fi jamii’il ‘aqwali wal ‘ahwal. Allaahumma sallimna wa sallim diinana wa taslub waqtannaz’I iimaanana wa la tusallith ‘alaina man la yakhafuka wa la yarhamuna warzuqna khaira’iddunya wal aakhirati innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir.

 

Yaa lathifu. Yaa maw wasi’a luthfuhhuu ahhlas samaawaati wal ardli nas-aluka bikhofiyyi khofiyyi luthfikal khofiyyi ang tukhfiyanaa fii khofiyyi khofiyyi luthfikal khofiyyi innaka qulta wa qoulukal haqqulloohhu lathiifum bi’ibaadihhii yarzuku may yasyaa-u wa hhuwal qowiyyul ‘aziizu alloohhumma innaa nas-aluka yaa qowiyyu yaa ‘aziizu yaa mu’iinu biquwwatika wa ‘izzatika yaa matiinu ang takuuna lanaa ‘aunaw wa mu’iinam fii jamii’il aqwaali wal ahwaali wal af’aali wa jamii’i maa nahnu fiihhi mim fi’lil khoirooti wa ang tadfa’a ‘annaa kulla syarriw wa niqmatiw wa mihnating qodistahqoinaahha min ghoflatinaa wa dzunuubinaa fa-innaka angtal ghofuurur rohiimu wa qod qulta wa qoulukal haqqu wa ya’fuu ‘ang katsiiri alloohhumma mal lathofta bihhii wa wajjahtahhuu ‘ingdaka wa ja’altal luthfal khofiyya taabi’aa lahhuu haytsu tawajjahha nas-aluka ang tawajjihhanaa ‘ingdaka wa ang tukhfiyanaa biluthfika innaka ‘alaa kulli syai-ing qodiiruw washollalloohhu ‘alaa sayyidinaa muhammadiw wa ‘alaa aalihhii wa shohbihhi wa sallama wal hamdulillaahhi robbil ‘aalamiina.

 

Segala puji bagi Allah seru sekalian alam, dan kesudahan yang nikmat semoga diberikan kepada orang-orang yang takwa. Shalawat dan salam untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad, keluarga dan sahabatnya semua. Yaa Allah tertibkanlah keadaan kami, baguskanlah tindak langkah kami, dan selamatkanlah kami dari derita faqir dan kehinaan, dan jagalah kami dari segala marabahaya dan wabah penyakit, terutama sakit tha’un, dan juga dari segala kejahatan para musuh dan setan, dan dari segala kejahatan bisikan nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Yaa Allah mudahkanlah bagi kami mengurusi semua persoalan dunia dan agama, serta sampaikanlah kepada cita-cita kami dengan baik. Yaa Allah jauhkanlah kami dari kejahatan dan perlakuan durhaka. Yaa Allah sesungguhnya kami memohon perlindungan kepada Engkau dari tekanan marabahaya, derita sengsara, kepastian yang buruk serta kegirangan musuh. Yaa Allah Yang Maha Merobah masa dan keadaan, robahlah keadaan kami kepada nasib yang lebih baik. Yaa Allah Yang Maha Berlimpah Karunia-Nya, Yang Menciptakan Segala Yang Ada, tolonglah kami untuk berniat bagus dalam segala ucapan dan tindakan. Yaa Allah selamatkanlah kami dan agama kami, serta janganlah Engkau cabut iman kami sewaktu akan mati. Dan janganlah Engkau kuasakan pimpinan diatas kami orang-orang yang tidak takut kepada Engkau serta tidak ada kasih sayang kepada kami, dan berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat, sesungguhnyalah Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Wahai Dzat Yang Maha Lembut. Wahai Dzat yang kelembutannya menaungi seluruh penduduk langit dan bumi. Kami memohon kepada-Mu dengan segala rahasia kelembutan-Mu agar dirahasiakan kami di dalam rahasia kelembutan-Mu. Sesungguhnya Engkau telah berfirman dan semua firman-Mu itu adalah benar. Allah itu Maha Lembut kepada hamba-hamba-Nya, memberikan rizki kepada yang dikehendaki-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu. Wahai Dzat Yang Maha Perkasa, Maha Mulia, Maha Penolong. Dengan keperkasaan-Mu dan kemuliaan-Mu wahai Dzat Yang Maha Kuat semoga Engkau menolong dan melingkupi kami dalam segala perkataan, prilaku, pekerjaan dan segala sesuatu kebaikan yang kami kerjakan, dan semoga Engkau menghindarkan kami dari setiap kejelekan, kecelakaan dan malapetaka karena kelalaian kami dan dosa-dosa kami, sekalipun itu pantas bagi kami, karena Engkau Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan sesungguhnya Engkau telah berkata, sedangkan kata-kata-Mu itu adalah benar, dan Engkau akan mengampuni dari semuanya. Ya Allah, dengan kebenaran orang yang telah Engkau kasihi dan telah Engkau hadapkan di sisi-Mu dan telah Engkau jadikan rahasia kelembutan-Mu padanya tatkala dia menghadap-Mu, kami semua mohon kepada-Mu agar dihadapkan kami di sisi-Mu dan dirahasiakan kami dengan kelembutan-Mu. Sesungguhnya Engkau atas segala sesuatu Maha Kuasa. Dan semoga Allah memberi rahmat dan keselamatan pada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

 

TENTANG PENULIS

gusblero_bw

Gusblero, bukan keturunan atau sebutan anak kyai dan bahkan bukan nama sebenarnya. Frasa “gus” yang tidak terpisah dengan “blero” sudah menjelaskan kondisi itu.

 

Ia hanya orang biasa yang mencoba menanggung-jawabi keresahan jiwanya dengan cara sorogan (mendatangi orang-orang alim untuk mendapatkan pencerahan). Buku-buku karyanya yang lain: Novel “Daun Gugur di Manggarai”, (Grahamedia, Jakarta, 2006), sastra religi “The Khidr Code” (Taheyya, Yogyakarta, 2007).

50. Coro

gusblero - coro

 

Coro (kecoa) itu termasuk binatang yang senangnya hidup berkelompok. Penampilannya klimis, kalau lagi keluar sarang seperti tidak kenal takut merambahi apa saja, namun sekalinya terjengkang, terlentang, sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Banyak manusia masih menyisakan kesombongan serupa coro, padahal dalam kitab pun telah digambarkan posisi ketakberdayaan manusia di hadapan cahaya, ‘ia seperti anai-anai yang untuk sekali hidup, sudah itu punah beterbangan kemana-mana’.

 

Pedoman hidup dalam kitab kebaikan juga mengajarkan banyak iktibar seperti itu. Tingkah laku semut, laba-laba, dan juga lebah bahkan terpapar begitu rinci menggambarkan karakter mahluk di hadapan semesta raya. Ada orang berperilaku sebagai pekerja keras, disiplin kerjanya sangat keras, seperti semut, yang hobinya menumpuk dan terus menumpuk harta perniagaan melebihi kesanggupannya untuk memelihara perbendaharaan itu secara amanah, dus akhirnya sepanjang hidupnya hanya bekerja dan bekerja namun kehilangan nikmat syukur akan apa yang telah diusahakannya.

 

Ada lagi yang memasang perangkap seperti laba-laba. Kalau semut sanggup melangkah jauh kemana saja untuk mendapatkan mangsanya, maka laba-laba tak ubahnya seorang pertapa yang sabar menunggu mangsa datang. Dua-duanya adalah contoh karakter yang hebat, namun disisi lain memiliki sisi buruk dalam perangainya. Laba-laba tega membunuh pasangan yang telah menyatu dengannya paska pembuahan sel telur telah terjadi, sementara hidup seperti semut hanya membuat kita tak lebih sebagai robot bagi ambisi yang tak ada habisnya.

 

Lalu Islam mencontohkan perilaku lebah, ia yang secara koloni memiliki proteksi maksimal terhadap satu sama lainnya, kehidupannya tak hanya menghisap sari kembang untuk kemudian diolahnya menjadi madu yang mujarab bagi pengobatan, namun juga membantu putik sari berkembang menuju siklus kehidupan yang baru.

 

Maka begitulah puncak spiritualitas adalah hal apapun yang kemudian menumbuhkan hikmah. Ia tidak melulu berisi pergulatan tentang ayat-ayat qauliyah (firman Allah) ansich, namun ia juga mencakup pemahaman tentang ayat-ayat kauniyah (yang tersebar di alam raya), mengambilnya sebagai pelajaran, ibarat lautan tinta ilmu yang di kedalamannya menyimpan beragam mutiara tak ternilai mutu.

 

Seseorang yang dikarunia kepintaran kemudian akan ditanya untuk apa sesungguhnya kepandaiannya tersebut dipergunakan, seseorang yang dianugerahi keluasaan pengaruh akan ditanya untuk apa kekuasaannya tersebut dipergunakan pula. Di titik inilah seseorang bisa mati karena kesewenang-wenangannya dalam mendarmakan ilmu, di titik inilah seseorang akan menjadi tidak berkutik atas kesalahan yang telah dilakukannya sendiri atas kelalaiannya dalam mengemban tanggung jawab.

 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra menyampaikan: “Ada dua orang yang membinasakanku: orang bodoh yang ahli ibadah dan orang alim yang mengumbar nafsunya.”

 

Orang yang bodoh adalah yang menganggap dirinya tahu tentang makrifat ilmu yang sebenarnya tidak diketahuinya, dan dia merasa cukup dengan pendapatnya saja. Orang yang alim mengetahui orang yang bodoh karena dia dahulunya adalah orang yang bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang alim karena dia tidak pernah menjadi orang alim.

 

Orang bodoh adalah kecil meskipun dia orang tua, sedangkan orang alim adalah besar meskipun dia masih remaja. Allah tidak memerintahkan kepada orang bodoh untuk belajar sebelum Dia memerintahkan terlebih dahulu kepada orang alim untuk mengajar. Segala sesuatu menjadi mudah bagi dua macam orang: orang alim yang mengetahui segala akibat dan orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.

 
Bertanyalah engkau untuk dapat memahami, dan janganlah engkau bertanya dengan keras kepala. Sebab, sesungguhnya orang bodoh yang terpelajar serupa dengan orang alim, dan orang alim yang sewenang-wenang serupa dengan orang bodoh yang keras kepala.

 

Engkau tidaklah aman dari kejahatan orang bodoh yang dekat denganmu dalam kekerabatan dan ketetanggaan. Sebab, yang paling dikhawatirkan terbakar nyala api adalah yang paling dekat dengan api itu.

 

Alangkah buruknya orang yang berwajah tampan, namun dia bodoh. la seperti rumah yang bagus bangunannya, tetapi penghuninya orang yang jahat, atau seperti taman yang penghuninya adalah burung hantu, atau kebun kurma yang penjaganya adalah srigala.

 

Janganlah engkau berselisih dengan orang bodoh, janganlah engkau mengikuti orang pandir, dan janganlah engkau memusuhi penguasa. Yang engkau lihat dari orang yang bodoh hanyalah dua hal: melampaui batas atau boros.

 

Sebodoh-bodoh orang adalah orang yang tersandung batu dua kali. Menetapkan hujjah terhadap orang bodoh adalah mudah, tetapi mengukuhkannya yang sulit. Tidak ada kebaikan dalam hal diam tentang suatu hukum, sebagaimana tidak ada kebaikan dalam hal berkata dengan kebodohan. Tidak ada penyakit yang lebih parah daripada kebodohan. Dan tidak ada kefakiran yang sebanding dengan kebodohan!

 

Maka begitulah puncak spiritualitas adalah hal apapun yang kemudian menumbuhkan hikmah. Ia tidak melulu berisi pergulatan tentang ayat-ayat qauliyah (firman Allah) ansich, namun ia juga mencakup pemahaman tentang ayat-ayat kauniyah (yang tersebar di alam raya), mengambilnya sebagai pelajaran, ibarat lautan tinta ilmu yang di kedalamannya menyimpan beragam mutiara tak ternilai mutu.

 

Gusblero Free

49. Engkau Tak Sendiri

gusblero - engkau tak sendiri

 

Banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, derita, sakit, kekurangan, adalah keniscayaan dalam hidup di dunia. Jakarta banjir, gunung Sinabung meletus, dan banyak gejolak alam lagi di belahan wilayah negeri kita. Semuanya berlaku sama, untuk diderita kita semua, tidak hanya untuk mereka yang pemenuhan hajat kesehariannya masih kekurangan. Yang menengah, yang kaya, yang sopir mikrolet, yang tukang bubur, yang pegawai negeri, yang politikus, yang pengusaha, semuanya mengalaminya.

 

Banjir yang melanda, diluar siklus alam yang memang sudah jadi galibnya, bisa jadi juga untuk mengingatkan, membenam-benamkan wajah kita ke dalam kubangan air untuk menyadarkan bahwa hidup di dunia ini tidak sendiri. Biar kita tidak lalai, bahwa di pinggiran kemewahan yang setiap harinya kita kebut tanpa menoleh ke kanan kiri itu ada juga tetangga-tetangga kita, lingkungan-lingkungan kita, yang perlu juga kita longok bagaimana kondisinya hari perhari.

 
Begitu juga dalam hal gunung meletus. Tetua kita telah lama menyadarkan, di mana bumi dipijak di situ hendaknya langit dijunjung. Bumi juga tak boleh diinjak semena-mena, karena di atasnya kita bisa menunjukkan diri sebagai mahluk yang hidup, tidak seperti setan yang hidupnya hanya melambung di alam antara, ditolak bumi dan langit enggan menerimanya.

 

Di dunia ini kita manusia tidaklah hidup sendiri. Jin, setan, mambang peri marakayangan, juga memiliki hak kehidupannya di dunia ini. Alam raya, gunung, langit, angin, samudera juga memiliki hak dan ruang kehidupannya sendiri.

 

Bencana tsunami di Aceh diawal abad 21 barangkali bisa menjadi gambaran yang paling menjelaskan, bahwa air juga memiliki kehendaknya sendiri diluar nalar hukum-hukum mekanika fluida. Bagaimana gelombang air pasang dari samudera itu kemudian hanya menjadi pusaran yang berputar-putar di sekitar masjid Agung Banda Aceh, dan bahkan tanpa sedikit pun meruyak dan menyentuh serambi dan halaman masjid, diketika segala bangunan di sekitarnya diluluh lantakkan hantaman tsunami. Bahkan air bisa memilih sasaran di hadapannya.

 

Manusia sebagai mahluk diistimewakan Allah, diberi kesempatan untuk melihat fenomena-fenomena itu, tanda-tanda Keagungan Allah itu. Melihat keajaiban-keajaiban yang terbentang disegenap alam raya, baik dalam diri manusia, apa saja yang dibumi, sampai segala sesuatu yang dialam raya, termasuk disebalik keganjilan fenomena yang ada. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahmaan 32)

 

“Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al An’am 63–64)

 

Begitu dimuliakan dan disitimewakannya kita manusia, hingga Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa siapakah yang dapat menyelamatkan dan melepaskan mereka dari kegelapan daratan bila mereka tersesat? Siapa yang sanggup melepaskan mereka dari kesengsaraan dan penderitaan hidup? Siapa yang sanggup melepaskan mereka dari kegelapan lautan bila mereka berlayar di tengahnya, lalu datanglah angin topan disertai dengan ombak yang besar, sehingga mereka tidak mengetahui arah dan tujuan lagi?. Yang dapat menyelamatkan manusia dari segala kegelapan dan kesengsaraan itu hanyalah Allah, tidak ada yang lain.

 
Bahwa sudah menjadi tabiat manusia, jika mereka dalam keadaan kesulitan dan dalam marabahaya, mereka ingat kepada Allah. Mereka menyerahkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah disertai dengan doa dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan dalam keadaan demikian mereka berjanji akan tetap berserah diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya jika kesulitan dan marabahaya itu dihindarkan dari mereka. Tetapi baru saja kesulitan dan marabahaya itu terhindar mereka lupa akan janji yang telah mereka ikrarkan itu, bahkan mereka menjadi orang-orang yang dzalim dan mempersekutukan Allah.

 

Istimewanya manusia adalah bahkan diketika waktu ia bisa berbuat dengan keimanan malaikat, namun dikali yang lain bisa berlaku seumpama iblis. Terhadap yang demikian Allah Maha Tak Pernah Lalai dalam menjaga dan memelihara hamba-hamba yang dipilih-Nya.

 

Seperti kisah Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash Shiddiq saat berada di dalam gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy yang telah berencana akan membunuh sang Nabi. Kegentingan memuncak saat kaum kafir Quraisy berhasil menyusul mereka dan sudah tiba di bukit Tsur.

 

Langit di atas bukit Tsur berkilat, dengan kegelapan sama-sama memuncak siap menerkam siapapun yang hendak mengganggu Rasulullah Sang Penakluk Zaman yang saat itu justru tengah pulas tertidur di pangkuan Abu Bakar. Bahkan seandainya sebuah jarum jatuh akan terdengar dentingya dalam situasi yang di atas puncak kecemasan itu.

 

Dan drama makin bertambah menghunus di ujung kepasrahan tatkala tiba-tiba seekor ular berbisa menyengat kaki Abu Bakar Sang Pemercaya. Rasa ngilu dan perih yang tak tertahankan menjalar membuat tubuhnya bergemetar, namun ia tak hendak se-inchi-pun menggeser posisinya. Abu Bakar menguatkan rahangnya untuk menahan sakit agar Rasulullah SAW tidak terganggu istirahatnya.

 

Sementara di luar gua beberapa lelaki Quraisy tampak mulai mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu gua. Saat itulah kegelisahan Abu Bakar mencapai titik puncak. Tubuhnya bergetar dilanda ketakutan yang teramat sangat, hingga tak terasa sebutir airmata yang tak mampu lagi ditahannya menetes menimpa pipi Rasulullah SAW dan membuatnya terbangun. Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakar “La Tahzan, Innallaha ma’ana….”(Jangan bersedih, Sesungguhnya Allah bersama kita).

 

Hilanglahlah kekhawatiran dan ketakutan Abu Bakar. Ucapan Rasulullah SAW itu seolah menghilangkan rasa sakit yang mengancamnya sendiri menuju kematian karena gigitan ular berbisa. “Ya Rasulullah, andai orang-orang itu melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah mereka mengetahui keberadaan kita.” Mendengar itu Rasulullah menjawab: “Bagaimana pendapatmu, hai Abu Bakar, jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”

 
Kemudian turunlah bala tentara bantuan Allah yang tak tampak oleh kaum Quraisy berupa laba-laba yang membangun sarang yang tampak lapuk di bibir gua. Orang-orang kafir Quraisy itu menduga bahwa tidak mungkin kedua orang buruan mereka masuk kedalam gua sementara di mulut gua tersebut terdapat sarang laba-laba dan sarang sepasang burung dara. Akhirnya keduanya lolos dari kejaran kaum Quraisy saat itu.

 

Kisah ini diceritakan jelas dalam Al Qur’an: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qur’an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah 40)

 

Maka begitulah setiap orang adalah pribadi yang istimewa. Miskin, kaya, profesi, status yang kemudian melekat dalam diri adalah juga kehendak-Nya. Tuhan Yang Maha Kuasa akan menilai seberapa positif kita bisa mendapatkan nilai plus dalam sekalian peran-peran itu. Dan yang begini tentu tidak ada hubungannya dengan kenapa seseorang bisa begini dan sementara yang lainnya tidak bisa begitu. Ke-Maha Adil-an tidak bisa dimaknai bahwa setiap orang itu harus mendapatkan sembarang-barangnya sama. Contohnya dalam hal rejeki.

 
Seandainya pertengah malam nanti tiba-tiba seluruh jiwa di alam raya ‘makbyuk’ ketiban duit semilyaran aja misalnya. Bisa dibayangkan esok hari seluruh kehidupan manusia di alam raya pasti sudah akan kalang kabut amburadul lumpuh total tidak karuan. Bakul sayur yang sedianya berangkat ke pasar akan mokong jualan, karena untuk apa jualan sayur lagi dengan di tangan sudah ada duit bermilyar-milyar. Begitu juga yang pegawai pombensin. Malas masuk kerja dan berniat mengundurkan diri karena uang yang sepanjang hari dicari-cari toh sudah ada di tangan. Begitu juga dengan yang pegawai negeri, sudah tidaklah penting yang namanya mengabdi. Lalu hidup Anda akan seperti apa?

 
Bangun pagi sekeluarga kita sarapan. Mematut diri, mengambil kunci mobil di laci meja rias, lalu siap-siap pakansi dengan keluarga. Namun apa yang didapat? Setiap orang telah disibukkan dengan keinginan-keinginannya sendiri. Mau membeli sayur kali ini sudah tidak ada yang mau berjualan, mau beli bensin siapa juga yang mau melayani. Pergi ke mall seluruh toko tutup karena tidak ada pegawai yang mau jadi buruh lagi, dan kantor-kantor pemerintahan pun tutup. Sesuatu yang ironis akan terjadi. Ketika semua orang merasa hidup, justru ketika itu seluruh kehidupan terhenti. Subhanallah!

 
Maka begitulah seharusnya kita bisa belajar dari kondisi terkini. Banjir dan bencana alam adalah keniscayaan. Tidak usahlah kita hanya menggerutu, toh semua itu juga bagian dari sebuah kepastian. Yang utama harus disadari adalah bahwa disebalik semua peristiwa-peristiwa itu ‘kowe ora ndeweki’, kita tidak sendiri. Karena barangkali dengan jalan seperti itulah Allah menumbuhkan kasih sayang diantara kita. Bukan hanya politikus, pejabat, petinju, tukang sulap, bahkan seorang petani di pucuk gunung sekali pun, sesungguhnya memiliki eksotika bagi orang-orang di sekelilingnya!

 

Saat itulah kegelisahan Abu Bakar mencapai titik puncak. Tubuhnya bergetar dilanda ketakutan yang teramat sangat, hingga tak terasa sebutir airmata yang tak mampu lagi ditahannya menetes menimpa pipi Rasulullah SAW dan membuatnya terbangun. Rasulullah mengatakan kepada Abu Bakar “La Tahzan, Innallaha ma’ana….”(Jangan bersedih, Sesungguhnya Allah bersama kita).

 

Gusblero Free

48. Hidayah dan Pertolongan Allah

Suatu hari orang-orang Khawarij yang mengagungkan pendapat akalnya bertanya kepada Imam Hanafi, “Di muka terbaring dua sosok jenazah. Yang satu jenazah seorang pria yang mati akibat terlalu  banyak menenggak minuman keras. Yang lainnya adalah mayat seorang wanita yang mati bunuh diri disebabkan dirinya hamil diluar nikah. Ia seorang pezina yang nista. Bagaimanakah nasib mereka di akhirat kelak menurut pendapat Tuan?”

Imam Hanafi balik bertanya, “Nasib yang manakah yang Saudara-saudara maksudkan?”

Kaum Khawarij itu menjawab, “Ya. Bagaimanakah kelanjutan perjalanan mereka sesudah mati?”

Imam Hanafi masih juga berkilah, “Apakah kedua orang mendiang itu beragama Yahudi?”

“Tidak,” sahut orang-orang Khawarij.

“Apakah mereka beragama Nasrani?”

“Tidak, “ sanggah mereka dengan tegas.

“Atau mungkin mereka beragama Majusi, penyembah api?”

“Tidak juga.”

“Jadi, beragama apakah mereka?” desak Imam Hanafi.

Orang-orang Khawarij itu dengan ragu-ragu menjelaskan, “Mereka beragama yang mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

 

Hening…….

 

“Lalu, bagaimana pendapat kalian, apakah syahadat semacam itu merupakan separuh iman, sepertiga, seperempat, atau seperlima?” kata Imam Hanafi.

 

Tanpa mengerti kemana arah pertanyaan tersebut, orang-orang itu menjawab, “Iman tidak terbagi-bagi menjadi separuh, sepertiga, seperempat, ataupun seperlima.”

 

“Jika demikian, dalam peringkat apakah mutu iman mereka?” desak Imam Hanafi makin menyudutkan lawan-lawannya tanpa bisa berdalih-dalih.

 

Dengan sejujurnya orang-orang Khawarij itu menjawab, “Iman adalah suatu kesatuan.”

 

Oleh karena itu, Imam Hanafi lantas berkata, “Kalau begitu, apa gunanya kalian bertanya kepadaku tentang nasib dan kelanjutan perjalanan kedua jenazah tersebut?”

 

“Kami ingin tahu, apakah mereka bakal masuk sorga atau neraka?”

 

Hening…..

 

Seraya tersenyum, Imam Hanafi menjawab, “Kalian tentu ingat, bukan, manakala Kanjeng Nabi Ibrahim berhadapan dengan suatu kaum yang melakukan dosa melebihi kadar maksiat kedua jenazah itu? Bagaimana Kanjeng Nabi Ibrahim berkata kepada kaum itu: “Barang siapa mengikuti agamaku, mereka adalah golonganku. Dan barang siapa mendurhakaiku, maka Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (QS. Ibrahim ayat 36)

 

Atau seperti ucapan Kanjeng Nabi Nuh kepada kaumnya yang durhaka, sebagaimana termuat dalam Al Qur’an: “Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman pula kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu hanyalah orang-orang hina dina?’ kala itu Kanjeng Nabi Nuh menjawab, ‘Aku tidak tahu apa yang dikerjakan mereka. Sebab perhitungan mereka hanya terpulang kepada Tuhanku jika kamu mau mengerti. Aku sekali-kali tak kan mengusir kaum yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara ayat 11-14)

 

Mendengar ucapan Imam Hanafi ini, orang-orang Khawarij itu cuma bisa menganggukkan kepala meskipun terpaksa. Lantaran begitulah adanya. Hanya Allah yang berhak menilai iman dan perbuatan hamba-hamba-Nya.

 

 

 

gusblero - pertolongan Allah

 

Jauh di lereng sebuah gunung, guru saya pernah menyampaikan: “Susah-susahe manungsa niku nopo? Mboten saget diarani iso, mboten gadhah diarani duwe. (Susah-susahnya manusia itu apa? Tidak menguasai dikira mampu, tidak mempunyai dikira memiliki).”

 

“Lan kesrakat-kesrakate mangungsa niku nopo? Mboten saget ngakune iso, mboten kagungan ngakune nduweni. (Dan ketakaburannya manusia itu apa? Tidak mampu ngakunya bisa, tidak punya ngakunya memiliki).”

 

Banyak orang merasa telah mendapatkan hidayah, namun apa artinya jika hidayah itu kemudian hanya serupa biji pohon yang ditanam di ladang tandus. Apa yang seharusnya bisa menjadi penerang dalam kehidupan itu menjadi tak berarti, atau bahkan kehilangan makna peran sama sekali.

 

Hidayah adalah serupa petunjuk yang diberikan Allah, yang dhahir-nya bisa didapat dari pengalaman dengan melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dimunculkan dari sebab akibat pengalaman yang dialami diri sendiri maupun orang lain. Orang yang tadinya pemabuk menjadi sadar tidak minum-minuman keras lagi dikarenakan tahu pengaruh mabuk  itu tidak saja bisa merusak badan, merusak pikiran, dan tidak saja bisa merugikan situasi kebatinan orang banyak, namun juga bisa meracuni diri yang berakibat pada ujung kematian, misalnya.

 

Orang yang tadinya biasa berbuat semena-mena pada orang lain, lalu mendapat pencerahan bagaimana keluarganya bisa hidup dengan tenang kalau kelakuannya sendiri tidak memberikan rasa ketenangan dan kenyamanan pada kehidupan orang lain, misalnya lagi. Kesadaran-kesadaran semacam itu disebut hidayah.
Hidayah adalah kesadaran pada diri yang melahirkan petunjuk pada setiap orang untuk kemudian berperilaku tidak seperti biasanya dan perlahan-lahan merubah sikap menuju cara hidup yang lebih baik.

 

Akan halnya sesudah mendapatkan hidayah ini, bagaimana seseorang kemudian bisa merefleksikan secara dhahir dan menjadikan jati dirinya sebagai seorang manusia utama? Disinilah harapan sesungguhnya kita bergantung.

 

Kitab kebajikan menyampaikan bahwa sesungguhnya manusia itu sangat sekali bersikap tergesa-gesa. Omong besar ingin begini begitu walau sejatinya bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja tidak mampu. Banyak orang tahu mabuk-mabukan itu salah, namun karena ia tak mampu membebaskan hidup dari ketergantungan lingkungan yang suka mabuk (entah itu perkara minuman, mabuk pangkat, mabuk harta, atau mabuk hubungan gila dan sebagainya), terpaksanya ia masih terus dan harus terus mengikuti adab dan adat lingkungannya berada.

 

Banyak sekali orang sadar tindakan menyuap dan disuap, memperdagangkan kuota PNS, menutup mata terhadap persoalan kedzaliman yang dilakukan petinggi atau penguasa itu salah, namun ketergantungan hidup pada profesi yang selama ini ditekuni menjadikannya semua itu sebagai hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Disinilah perlunya kesadaran hidup untuk mencari solusi cara hidup yang lebih baik dan lebih sempurna lagi. Disinilah kembalinya seorang hamba untuk mengakui segala keterbatasannya sebagai mahluk, lalu menghadap dan memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk berkenan memberikan pertolongannya.

 

Bahwa apa yang saya lakukan selama ini salah, dan jika Engkau tidak berkenan memberikan pertolongan kepadaku niscaya aku akan menjadi orang yang merugi dan celaka. Maka sesudah Engkau berikan datangnya petunjuk atasku, berikanlah pula pertolongan-Mu agar aku bisa berbuat seperti hikmah yang telah Engkau berikan kepadaku, Yaa Allah. Sesungguhnyalah Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Bahwa boleh jadi seseorang sebenarnya sudah kasinungan (mendapatkan) hidayah, akan tetapi tanpa adanya pertolongan Allah maka itu hanya sekadar penunjuk jalan bagi orang yang lumpuh.

 

Begitulah hikmatnya apa yang disebut hidayah, dan begitulah perlunya kenapa selanjutnya kita harus juga memohon pertolongan Allah. Sama halnya juga saya tidak ingin menjadi orang yang munafik, kepingin ‘ngono-ngene’ begini begitu nyatanya kesehariannya masih ‘ngono-ngono’ begini begitu. Maka begitu pulalah keinginan saya berbagi tulisan ini, diantara dan sebagai sesama seorang sahabat barangkali kita bisa saling tolong-menolong dalam merumuskan kebajikan untuk kebaikan sesama dan taqwa!

 

Gusblero Free

47. Maulid: Ritual Mistik Seorang Muslim

Jika engkau mencintai seseorang, pasti engkau akan memujanya serta terus menyebut namanya…

 

gusblero - maulid nabi

 

Seseorang bertanya kepada saya, apa perlunya Maulidan, dan saya tak merasa harus tergesa-gesa untuk menjawab pertanyaan itu. Di dunia ini banyak sekali orang yang saya rasa anti sosialnya sangat tinggi, hingga jangankan untuk memahami kesenangan orang lain, bahkan kalau bisa urusan dunia ini harus sesuai versi isi kepala mereka. Ini aneh?

 

Ada orang yang tidak bisa memahami urusan cinta, hingga menganggap kelakuan orang yang menanggap waktu dengan mengenangkan pada hal-hal dan sosok yang dicintainya dianggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Ada orang yang tak bisa memahami bahwa yang namanya kecintaan itu adalah nadi dari sebuah keyakinan yang menumbuhkan harapan hidup disegala zaman. Lalu kenapa dengan Maulid?

 

Annemarie Schimmel, lewat bukunya And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, merekam kebiasaan umat Islam di berbagai belahan bumi, dan dengan yakin ia menyampaikan kepada kita bahwa melalui kecintaan kepada Muhammad-lah Islam itu dapat hidup hingga abad ini. Dan kecintaan itu diekspresikan melalui gubahan puisi dan prosa tentang Rasulullah. Dalam literatul Islam, kumpulan puisi dan prosa itu dikenal dengan istilah maulid. Jadi, maulid adalah ekspresi kecintaan umat Islam kepada Nabi SAW dengan membacakan shalawat, sejarah dan perilaku Nabi dalam bentuk prosa dan puisi untuk mengambil berkah darinya. Menurut Schimmel, melalui tradisi maulid inilah Nabi yang mulia dikenang, dan dihadirkan di tengah-tengah masyarakat Islam, bahkan hidup dalam hati anak-anak sepanjang sejarah.

 

Annemarie Schimmel jelas tidak sedang mengada-ada. Ia juga jelas tidak sedang ingin mengatakan, kalau untuk ukuran seorang Michael Jackson yang biduan pop saja hari lahirnya bisa diperingati dengan penuh ratap tangis dan histeria massa yang sebegitunya, kenapa untuk seorang tokoh yang spiritualnya mengilhami dunia kita tidak boleh memuliakannya? Bukankah, bahkan dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Sekiranya  bukan karena kecintaan-Ku kepadamu (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta ini berserta isinya.

 

Melalui tradisi maulid, kita ingin menghidupkan jiwa kita yang telah mati dengan bershalawat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Dan jiwa kita hanya dapat bisa hidup jika disentuh oleh ruh Muhammad yang menghidupkan. Dan kasih Nabi itu adalah kehidupan bagi mahluk Tuhan seluruhnya. Tanpa kasih itu, manusia dan mahluk seluruhnya tidak akan tercipta.

 

Dan itu yang terjadi. Tatkala untuk beberapa saat setelah Rasulullah meninggal dunia, para sahabat mendatangi kuburan beliau dan mengambil tanah untuk diusapkan ke wajah mereka, karena mereka mengetahui bahwa tanah itu bersentuhan dengan tubuh Rasulullah yang mulia. Dari kecintaan itulah, mereka mengusapkan tanah itu; dan ini bukan termasuk kemusyrikan. Ini adalah ekspresi kecintaan yang menggelora pada Nabi, karena dengan begitu iman dan tubuh mereka menjadi hidup kembali.

 

Sama atau mirip dengan kalau banyak jamaah haji yang mencium hajar aswad dengan tanpa sabar, bukan berarti mereka menuhankan hajar aswad. Begitu pula dengan orang Islam yang menjenguk kuburan Rasulullah dengan linangan air mata, ketahuilah bahwa itu timbul karena kecintaan mereka terhadap beliau; tidaklah dimaksudkan untuk menuhankan Rasulullah.

 

Bagi orang Islam di kampung saya, menghormati dan memuliakan Rasulullah adalah kewajiban utama. Salah satu tanda cinta adalah menyebut nama orang yang dicintai. Dan menyebut namanya tentu saja akan berbeda dengan menyebut nama yang lain, kerena ada getaran tertentu di dalamnya. Menyebut nama orang yang kita cintai telah menjadi demam yang menggetarkan, telah menjadi ‘acute fever’. Begitu pula kecintaan kita kepada Rasulullah. Kita akan menyebut namanya berbeda dengan nama-nama lain. Ia menjadi obat bagi rindu yang diderita. Intinya, kalau ada orang tidak suka Maulidan karena dianggapnya itu mengada-ada, pastinya jelas: dia bukan orang dari kampung saya.

 

Ya. Maulidan adalah wajah dari kampung saya yang tidak sekadar menempatkan ingatan atau peringatan bulan lahirnya Kanjeng Nabi sebagai sebuah tradisi. Lebih dari semua itu, maulid menjadi bulan penuh mata air yang selalu kita ingat-ingat agar kita tak terlepas tali dari cahaya hidup yang sinarnya tak putus-putusnya kita harap akan menerangi diri dari gelapnya hidup, gelapnya zaman, gelapnya kubur sampai diakhir zaman.

 

Di kampung saya, maulid adalah hayya yaa hayyu hayya, akar dari mistikisme ruh seorang Islam, yang oleh Will Durant (penulis yang tidak percaya kepada agama mana pun), dalam bukunya The Lessons of History ditulis: “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu!”

 

Maulidan adalah wajah dari kampung saya yang tidak sekadar menempatkan ingatan atau peringatan bulan lahirnya Kanjeng Nabi sebagai sebuah tradisi. Lebih dari semua itu, maulid menjadi bulan penuh mata air yang selalu kita ingat-ingat agar kita tak terlepas tali dari cahaya hidup yang sinarnya tak putus-putusnya kita harap akan menerangi diri dari gelapnya hidup, gelapnya zaman, gelapnya kubur sampai diakhir zaman.

 

gusblero - cinta nabi

 

Gusblero Free

46. Kun Fayakun

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’am 73).

 

Perhatikan kata “Kun” pada “Kun Fayakun” yang menunjukkan betapa cepat dan mudahnya Allah menciptakan sesuatu. Jika dalam alam fikiran manusia tidak bisa namun jika Allah sudah berkehendak maka tidak akan mustahil dan akan sangat mudah bagi-Nya.

 

Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul adalah berapa kali sesungguhnya Allah menyampaikan kalimat ‘Kun’ pada proses penciptaan alam semesta dan seluruh isinya ini, serta kemudian dalam pemeliharaan-Nya.

 

Di dalam surah-surah yang terdapat di Al Qur’an ada beberapa ayat-ayat yang terdapat kalimat ‘Kun Fayakun’ :

 

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: ‘Jadilah!’ Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah 117).

 

Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: ‘Jadilah’, lalu jadilah dia. (QS. Ali ‘Imran 47).

 

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. Ali ‘Imran 59).

 

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: ‘Jadilah, lalu terjadilah’, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’am 73).

 

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: ‘kun (jadilah)’, maka jadilah ia. (QS. An Nahl 40).

 

Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: ‘Jadilah’, maka jadilah ia. (QS. Maryam 35).

 

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia. (QS. Ya Sin 82).

 

gusblero - kun fayakun1

 

Melalui ayat-ayatnya yang tersebut di atas Allah menerangkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan pengaruh-Nya. Jika Allah berkehendak dalam sekali Firman maka akan ‘terjadi’. Sesuatu itu ‘terjadi’ setelah diperintahkan oleh Allah tanpa ada barang keterlambatan sedikitpun. Hanya cukup satu kali perintah saja tidak perlu pengulangan maka hal itu akan terjadi dengan cepat bahkan sebelum kedipan mata.

 

Pertanyaan berapakali sesungguhnya Allah berfirman ‘Kun’ ini menjadi ada, karena begitu banyaknya ayat-ayat Allah menyampaikan kalimat-kalimat itu. Dan pasti bukan karena satu kejadian kemudian Allah menyampaikan kalimatnya ‘Kun’ untuk menjawab adanya sebuah fenomena, karena bila hal demikian yang terjadi menunjukkan Allah itu terpojok, lalu berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa. Tidak, bukan seperti itu.

 

Allah menyampaikan ‘Kun’ lalu ‘jadilah’ itu dalam sekali firman, kemudian seluruh alam raya beserta mahluk hidup di dalamnya ini menjadi sebuah sistem makro yang bergerak teratur seperti kehendak-Nya. Mudah bagi Allah jika Dia sudah berkehendak, dan bukan persoalan apapun untuk kemudian semua kehendak-Nya terjadi.

 

Dalam bahasa hakikat, ‘Kun’ Allah itu terus berproses, namun itu bukan berarti sesuatu yang bersifat accidental atau tiba-tiba. ‘Kun’ Allah telah mulai berproses sejak pertama Allah menyampaikannya dijaman azali, dan terus berproses dalam perkembangan semesta beserta kehidupan seluruh mahluk dan habitat-habitat-Nya.

 

Ia yang memilihkan satu dari sekian juta sperma untuk kemudian dipilih-Nya satu menjadi embrio dalam janin seorang perempuan, Ia yang membuka Laut Merah menjadi belahan samudera bagi pelarian Kanjeng Nabi Musa AS, Ia yang mengatur open up system mengalirnya mata air zam-zam di kaki kecil Kanjeng Nabi Ismail AS saat ‘apa yang harus terjadi, terjadilah’ itu saatnya tiba. Ia yang Maha Menentukan apakah langit akan berwarna biru atau berubah jingga, Ia Yang Maha Mengendalikan apakah putik akan terus berkembang menjadi bunga atau kemudian luruh diterpa angin seketika.

 

Tidak ada sesuatu yang mendadak dalam seluruh isi kehidupan ini, melainkan semua dalam pengawasan Allah Subhana wa Ta’ala, Yang Maha Tidak Lalai dan Maha Tidak Tidur dalam mengatur segalanya!

Gusblero Free

45. Neraka Yang Tidak Membakar

Neraka. Kata yang sering dilekatkan dengan perangkap setan ini begitu menakutkannya, hingga banyak orang merasa enggan bahkan untuk menelaahnya. Orang berfikir tentang pencapaian sorga, namun luput membahas bahwa setiap mahluk juga akan melewati neraka terlebih dahulu.

 

Kitab memberitahukan adanya neraka dunia dan neraka akhirat. Neraka dunia adalah keterkutukan diri karena hukuman sosial berkaitan dengan kemungkinan kedzaliman yang kita lakukan, pendurhakaan terhadap orang tua, persekutuan dengan kejahatan, dan penghilangan sifat kemanusiaan itu sendiri. Sementara neraka akhirat adalah wahana pencucian dari dosa yang mutlak Haq bagi Allah sebagai pengadilan terakhir terhadap apa yang telah dilakukan mahluk-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Kamu boleh menyebut tentang neraka sesukamu, maka tiada kamu menyebut sesuatu melainkan api neraka itu jauh lebih ngeri dan lebih keras daripadanya.”

 

Begitu kerasnya gambaran siksa di neraka akhirat, hingga ketika itu terjadi tak satu pun akan mampu berfikir lain kecuali menolong dirinya sendiri. Akan tetapi pertolongan seperti apakah yang bisa diharapkan dalam tungku yang begitu berkobar-kobar? Disaat itu setiap mahluk tak lagi berdaya untuk mengkalkulasi bahkan perbuatan amalnya sendiri. Semuanya tergantung pada Kehendak Allah, semuanya bergantung pada ke-Maha Pengampun-an Allah, semuanya hanya bisa terus menjalani penghisaban sampai datang pertolongan Allah.

 

Lalu perbuatan seperti apakah yang kiranya bisa ‘mengambil hati’ Allah agar kelak di neraka dalam perjalanan menuju sorga nanti dapat disegerakan melewatinya? Kuncinya, barangkali, kesaksian diri pada sekalian perbuatan di dunia yang tak dikufuri dengan lain sebab alasan, kecuali segala apa yang dilakukannya itu semata-mata karena Allah.

 

Rabbi inni ‘audzubika ‘an as-alaka ma laisa li bihii ‘ilmun. Dengan memohon perlindungan kepada Allah dari segala sesuatu hal yang saya tidak memahami hakikatnya, ijinkan saya sedikit mengilustrasikan.

 

Bi idznillah….

 

Katakan bahwa ujung awal neraka itu ada di perbatasan Papua (note – hanya untuk mengilustrasikan), untuk kemudian kita bisa melewatinya hingga sampai di gerbang sorga di Jakarta. Dalam tahapan ini manusia harus bersusah payah melintasi jalan terjal, laut, hujan, badai, panas terik, dan hadangan pencoleng dan sekalian marabahaya lainnya. Maka jika kita tak memiliki bekal apapun dalam perjalanan yang demikian, tentu semua halangan itu tak mustahil atau sudah pasti harus kita alami. Derita lapar, haus, kepanasan, terancam dari marabahaya, semuanya harus dijalani. Ibarat orang berjalan kaki (apalagi yang merangkak), waktunya pasti akan lebih lama, dan semua cobaan itu pasti. Perjalanan hidup adalah perjalanan neraka, begitulah orang kadang mengeluarkan serapah.

 

Berbeda dengan yang naik sepeda angin, waktunya pasti akan lebih cepat, walau pun kemungkinan diperjalanan masih juga terjadi. Berbeda lagi dengan yang naik sepeda motor, berbeda lagi dengan yang naik mobil. Pastinya walau pun segala kemungkinan masih bisa terjadi, namun sudah pasti waktunya akan lebih cepat dilampaui.

 

Berbeda lagi dengan yang naik pesawat. Yang demikian tentu saja akan lebih nyaman dalam melintasi perjalanan. Akan halnya ini tentu saja tidak mudah. Sebelumnya kita harus banyak menabung, terus bersabar, dan tidak menyia-nyiakan apapun yang telah dititipkan Allah kepada kita. Apalagi jika Allah berkehendak, mengetahui bahwa kita sangat menjaga amanah-Nya hingga tak ingin setiap mahluk pun bisa menodai amanah itu, tentu Allah akan berkenan untuk menarik kita secepat kilat, lebih cepat dari pesawat, lebih cepat dari gelombang sms, menuju tempat yang diberkahi-Nya, Jannah.

 

Bahwa setiap mahluk akan melewati neraka, iya. Sama seperti dari ujung perbatasan Papua ke Jakarta, itu ada jarak yang harus ditempuhnya. Semuanya melewati perjalanan itu. Yang merangkak, yang berjalan, yang berlari, yang naik motor, yang naik mobil, yang naik pesawat, semuanya akan berupaya menyelesaikan perjalanan itu secepat-cepatnya. Dan semuanya juga akan menghadapi hambatan yang sama, ujian yang sama, kesulitan-kesulitan yang sama.

 

Namun kesulitan-kesulitan itu, adakah juga berlaku sama bagi setiap orang? Jawabannya tentu tidak. Apapun birokrasi perjalanan yang berlaku, apakah kemudian masih akan tetap berlaku ketika seseorang telah diberikan rekomendasi ‘kasih jalan selamat’ dari ‘penguasa wilayah’?

 

Kita sering mendengar orang berkata, hidup di Jakarta itu susahnya minta ampun. Setiap hari berjejal orang saling mencari pekerjaan, saling mencuri kesempatan, tindas-menindas di belantara ibukota yang panasnya sangat tidak bersahabat sungguh tak ubahnya hidup di neraka. Hidup di dunia seperti ini sungguh-sungguh seperti hidup di neraka bagi siapa pun yang tak memiliki bekal hidup. Nah!

 

Namun Jakarta yang seperti neraka itu, apakah juga berlaku sama bagi setiap orang? Jawaban untuk pertanyaan ini tentu saja tidak. Apakah panasnya Jakarta masih berlaku bagi seseorang yang, diberi kekhususan oleh Gubernur atau Presiden misalnya? Hidup di ruang dengan air conditioning, kemana jalan diantar pengawal dan mobil pribadi, tentu ‘neraka Jakarta’ ini tak akan sanggup menjamah keberadaannya.

 

Dan neraka, yang diciptakan dari unsur api jahanam. Dan neraka, yang dimaksudkan sebagai jurang menganga dengan sepenuhnya siksaan, apakah mungkin akan mampu menyentuh bagi mahluk-mahluk yang diberkahi dengan perlindungan-Nya?

 

Api tetaplah api yang berkobar-kobar tak ada habisnya. Namun seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim AS yang dibakar di tungku yang menyala, api itu menjadi bunga nyala yang haram menyentuh bahkan ujung kulitnya. Neraka tetaplah neraka sebagaimana gambaran tempat siksa yang tidak ada bandingannya. Namun seperti kisah Kanjeng Nabi Idris AS yang melewatinya, neraka adalah sebuah alam yang tetap tunduk pada Yang Maha Penciptanya.

 

Kuncinya adalah ampunan Allah, dan teruslah memohon ampun dan berharap kepada ampunan Allah. Kuncinya adalah keridhoan Allah, maka teruslah memohon ridho dan  berharap keridhoan Allah. Semua kesaktian akan menjadi pudar di hadapan ke-Maha Kuasa-an-Nya. Seluruh amalan akan menjadi berantakan di ujung ke-Maha Mutlak-an-Nya.

 

Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra: “Nabi Muhammad SAW bersabda: Allah memanggil Malaikat Jibril dan menyuruhnya melihat sorga dengan segala persiapannya untuk ahlinya, maka ketika kembali berkata Jibril: Demi kemuliaan-Mu, tiada seorang yang mendengarnya melainkan ia akan masuk kedalamnya, dengan diliputi berbagai kesukaran. Dan Allah menyuruh Jibril kembali melihatnya, kemudian Jibril berkata: Demi kemuliaan-Mu saya kuatir kalau-kalau tiada seorangpun yang masuk kedalamnya. Kemudian Jibril disuruh melihat neraka dan semua yang disediakan untuk ahlinya, maka kembali Jibril dan berkata: Demi kemuliaan-Mu tidak akan masuk kedalamnya orang yang telah mendengarnya, kecuali ia yang senantiasa memuaskan syahwatnya. Jibril lalu diperintah supaya kembali melihatnya, kemudian setelah dilihatnya kembali, berkatalah Jibril: Saya kuatir kalau tiada seorangpun melainkan akan masuk kedalamnya.”

 

Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Maimun bin Nahran: “Ketika turun ayat Wa inna jahannam lamau’iduhum ajma’in (sesungguhnya neraka jahanam itu sebagai ancaman bagi mereka semua), Salman meletakkan tangan di atas kepalanya (merasa takutnya) lalu berlari keluar dan sesudah tiga hari baru ditemukan keberadaannya.

 

Yazid Arraqqasyi dari Anas bin Malik ra berkata: “Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW pada saat yang tidak biasa, dengan keadaan yang berubah mukanya. Maka ditanya oleh Nabi Muhammad SAW: Mengapa aku melihat kau berubah muka?”

 

Jawab Jibril: “Ya Muhammad, aku datang kepadamu pada saat dimana Allah menyuruh supaya dikobarkan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui bahwa neraka jahanam itu benar, siksa kubur itu benar, siksa Allah itu sungguhlah besar yang tiada mungkin seseorang akan bisa merasa aman daripadanya.”

 

Lalu Kanjeng Nabi Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ya Jibril, jelaskan kepadaku sifat jahanam.”

 

Jawab Malaikat Jibril: “Tatkala Allah menjadikan jahanam, maka dinyalakan selama seribu tahun sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun hingga putih, kemudian seribu tahun sehingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah yang mengutuskan engkau dengan hak, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar penduduk dunia semuanya karena panasnya. Demi Allah yang mengutuskan engkau dengan hak, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung diantara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karena panas dan baranya. Demi Allah yang mengutus engkau dengan hak, andaikan satu pergelangan dari rantai yang disebut Allah dalam Al-Quran itu diletakkan di atas bukit niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yang ketujuh. Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, andaikan seorang di ujung barat harus disiksa niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur karena sangat panasnya. Jahanam itu sangat dalam dan perhiasannya besi dan minumannya air panas campur nanah dan pakaiannya potongan api. Api neraka itu ada mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu ada bagian yang tertentu dari orang laki-laki dan perempuan.”

 

Kanjeng Nabi Muhammad SAW bertanya: “Apakah pintu-pintunya bagaikan pintu-pintu rumah-rumah kami?”

 

Jawab Malaikat Jibril: “Tidak, tetapi selalu terbuka, setengahnya di bawah dari lainnya, dari pintu ke pintu jarak perjalanan tujuh puluh ribu tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain tujuh puluh ribu tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain tujuh puluh kali lipat. Maka digiring ke sana musuh-musuh Allah SWT, dan bila telah sampai ke pintunya disambut oleh malaikat-malaikat Zabaniyah dengan rantai dan belenggu. Lalu rantai itu dimasukkan ke dalam mulut mereka hingga tembus ke pantat, dan diikat tangan kirinya ke lehernya, sedang tangan kanannya dimasukkan dalam dada dan tembus ke bahunya, dan tiap-tiap manusia itu digandeng dengan setannya lalu diseret tersungkur mukanya sambil dipukul oleh para malaikat dengan palu besi, hingga tak bisa keluar dari dalamnya.”

 

Kanjeng Nabi Muhammad SAW bertanya lagi: “Siapakah penduduk masing-masing pintu itu?”

 

Jawab Malaikat Jibril: “Pintu yang terbawah disebut Alhawiyah. “Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah, yaitu api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah 8-11).

 

Pintu kedua bernama Jahim. Dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat.” (QS. Asy-Syura’ 91).

 

Pintu ketiga bernama Saqar. “Tahukah kamu apakah neraka Saqar itu? Saqar itu adalah pembakar kulit manusia.” (QS. Al-Muddatsir 26-29).

 

Pintu keempat bernama Ladha. “Sesungguhnya neraka (Ladza) itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala” (QS. Al-Ma’arij 15-16).

 

Pintu kelima bernama Huthomah. “Dan tahukah kamu apa Hutamah itu? Ialah api yang disediakan Allah yang dinyalakan dan naik sampai ke hati.” (QS. Al-Humazah 4-7).

 

Pintu keenam bernama Sa’ir. “Dan segolongan masuk ke neraka Sa’ir.” (QS. Asy-Syura’ 7).

 

Kemudian Malaikat Jibril diam segan pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW bertanya: “Mengapa tidak kau terangkan penduduk pintu ketujuh?”

 

Jawab Malaikat Jibril: “Di dalamnya orang-orang yang berdosa besar dari umatmu yang sampai mati belum sempat bertaubat.” “Sesungguhnya neraka Jahanam itu (padanya) ada tempat pengintai.” (QS. An-Naba 21).

 

Maka Kanjeng Nabi Muhammad SAW jatuh pingsan ketika mendengar keterangan Malaikat Jibril itu, sehingga Malaikat Jibril meletakkan kepala Kanjeng Nabi Muhammad SAW di pangkuannya hingga sadar kembali. Dan tatkala sudah sadar Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ya Jibril, sungguh besar kerisauanku dan sangat sedihku, apakah ada seorang dari umatku yang akan masuk neraka?”

 

Jawab Malaikat Jibril: “Ya, yaitu orang yang berdosa besar dari umatmu.”

 

Kanjeng Nabi Muhammad SAW menangis, Malaikat Jibril juga menangis. Setelah itu Kanjeng Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang kemudian masuk kembali dan tidak berbicara dengan orang, dan bila sembahyang selalu menangis. Dihari ketiga datang Abu Bakar ra ke rumah Kanjeng Nabi Muhammad SAW mengucapkan: “Assalamu’alaikum ya ahla baiti rahmah, bisakah saya menjumpai Nabi Muhammad SAW?” Maka tidak ada yang menjawabnya, hingga ia menepi untuk menangis.

 

Kemudian Umar datang dan berkata: “Assalamu’alaikum ya ahla baiti rahmah, apakah saya diperkenankan bertemu dengan Rasulullah SAW?” Dan ketika tidak mendapat jawaban, dia pun menepi dan menangis.

 

Kemudian datang Salman Alfarisi dan berdiri di muka pintu sambil mengucapkan: “Assalamu’alaikum ya ahla baiti rahmah, apakah saya diperbolehkan menghadap Junjunganku Rasulullah SAW?” Dan ketika dia pun tidak mendapat jawaban, dia menangis terhuyung-huyung jatuh bangun hingga sampai di depan rumah Fatimah ra, yang kebetulan saat itu Ali ra sedang tidak berada di rumah.

 

Di muka pintunya ia mengucapkan: “Assalamu’alaikum hai puteri Rasulullah SAW.” Lalu belum lagi dijawab, Salman Alfarisi telah meneruskan perkataannya seraya mengguguk: “Hai puteri Rasulullah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah beberapa hari tidak keluar kecuali untuk sembahyang dan tidak berkata apa-apa kepada orang dan juga tidak mengizinkan orang-orang bertemu dengannya.”

 

Maka segeralah Fatimah memakai baju yang panjang dan pergi menuju rumah Rasulullah SAW: “Saya Fatimah, ya Rasulullah.” Saat itu dilihatnya Rasulullah SAW tengah bersujud sambil menangis. Dan ketika dilihatnya wajah Rasulullah SAW yang begitu pucat dan sembab karena banyak menangis, sontak Fatimah ra pun ikut menangis: “Ya Rasulullah, apakah yang menimpamu?”

 

 

gusblero - neraka yang tidak membakar

Kuncinya adalah ampunan Allah, dan teruslah memohon ampun dan berharap kepada ampunan Allah. Kuncinya adalah keridhoan Allah, maka teruslah memohon ridho dan  berharap keridhoan Allah. Semua kesaktian akan menjadi pudar di hadapan ke-Maha Kuasa-an-Nya. Seluruh amalan akan menjadi berantakan di ujung ke-Maha Mutlak-an-Nya.

 

Rasulullah SAW: “Jibril datang kepadaku dan menerangkan sifat-sifat neraka jahanam dan menerangkankan bahwa bagian yang paling atas dari semua tingkat neraka jahanam itu adalah untuk umatku yang berbuat dosa-dosa besar, maka itulah yang menyebabkan aku menangis dan berduka cita.”

 

Fatimah bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana caranya masuk?”

 

Jawab Rasulullah SAW: “Digiring oleh Malaikat ke neraka, tanpa dihitamkan wajah juga tidak biru mata mereka dan tidak ditutup mulut mereka dan tidak digandengkan dengan setan, bahkan tidak dibelenggu atau dirantai.”

 

Lalu Fatimah ra bertanya lagi: “Lalu bagaimana cara Malaikat menuntun mereka?”

 

Jawab Rasulullah SAW: “Adapun kaum lelaki ditarik janggutnya sedangkan yang perempuan ditarik rambutnya, maka beberapa banyak dari orang-orang tua dari umatku yang mengeluh ketika diseret ke neraka: alangkah tua dan lemahku. Demikian juga yang muda mengeluh: wahai kemudaanku dan bagus rupaku. Sementara wanita mengeluh: wahai alangkah maluku sehingga dibawa Malaikat Malik.

 

Hingga Malaikat Malik bertanya: “Siapakah mereka itu, maka tidak pernah saya dapatkan orang yang akan tersiksa seperti orang-orang ini. Wajah mereka tidak hitam, matanya tidak biru, mulut mereka juga tidak tertutup dan tidak juga diikat bersama setannya, dan tidak dibelenggu atau dirantai leher mereka? Jawab Malaikat: Demikianlah kami diperintahkan membawa orang-orang ini kepadamu sedemikian rupa. Lalu ditanya oleh Malaikat Malik: Siapakah wahai orang-orang yang celaka ini?”

 

Dalam lain riwayat dikatakan ketika mereka diiring oleh Malaikat Malik selalu memanggil Ya Muhammad. Namun setelah dilihatnya wajah Malaikat Malik lupa akan nama Rasulullah SAW saking gemetarnya, hingga kemudian ditanya: “Siapakah kamu?” Jawab mereka: “Kami umat yang dituruni Al-Quran dan kami telah puasa bulan Ramadhan.”

 

Lalu Malaikat Malik berkata: “Al-Quran tidak diturunkan kecuali kepada umat Rasulullah SAW.” Maka ketika itu mereka menjerit: “Kami umat Nabi Muhammad SAW.”

 

Maka Malaikat Malik bertanya: “Tidakkah telah ada larangan dalam Al-Quran dari maksiat terhadap Allah subhanahu ta’ala.” Dan ketika berada di tepi neraka jahanam dan diserahkan kepada Malaikat Zabaniyah, mereka berkata: “Ya Malik, izinkan saya menangis.” Lalu mereka menangis sampai habis airmata, kemudian menangis lagi dengan darah, sehingga Malaikat Malik berkata: “Alangkah baiknya menangis ini andaikata terjadi di dunia karena takut kepada Allah SWT, niscaya kamu tidak akan disentuh oleh api neraka pada hari ini.

 

Lalu Malaikat Malik berkata kepada Malaikat Zabaniyah: “Lemparkan mereka ke dalam neraka.” dan bila telah dilempar mereka serentak menjerit La illaha illallah, maka surutlah api neraka. Malaikat Malik berkata: “Hai api, sambarlah mereka.” Jawab api: “Bagaimana aku menyambar mereka, padahal mereka menyebut La illaha illallah.” Malaikat Malik berkata: “Demikianlah perintah Tuhan Rabbul arsy.”

 

Maka ditangkaplah mereka oleh api, ada yang hanya sampai tapak kaki, ada yang sampai ke lutut, ada yang sampai ke wajah. Malaikat Malik berkata: “Jangan membakar wajah mereka karena mereka telah lama sujud kepada Allah SWT, juga jangan membakar hati mereka karena mereka telah haus pada bulan Ramadhan.”

 

Maka mereka tinggal di dalam neraka beberapa lama sambil menyebut: “Ya Arhamar Rahimin, Ya Hannan, Ya Mannan.” Kemudian bila telah selesai hukuman mereka, maka Allah SWT memanggil Jibril dan bertanya: “Ya Jibril, bagaimanakah keadaan orang-orang yang maksiat dari umat Nabi Muhammad SAW?” Jawab Jibril: “Ya Tuhanku, Engkau lebih mengetahui.”

 

Lalu diperintahkan: “Pergilah enkau lihat keadaan mereka.” Maka pergilah Jibril AS kepada Malaikat Malik yang sedang duduk di atas mimbar di tengah-tengah jahanam. Ketika Malaikat Malik melihat Jibril segera ia bangun hormat dan berkata: “Ya Jibril, mengapakah kau datang kesini?”

 

Jawab Jibril: “Bagaimanakah keadaan rombongan yang maksiat dari umat Rasulullah SAW?”

 

Jawab Malaikat Malik: “Sungguh ngeri keadaan mereka dan sempit tempat mereka, mereka telah terbakar badan dan daging mereka kecuali muka dan hati mereka masih berkilauan iman.”

 

Jibril berkata: “Bukalah tutup mereka supaya saya dapat melhat mereka.” Maka Malaikat Malik menyuruh Malaikat Zabaniyah membuka tutup mereka dan ketika mereka melihat Jibril mereka mengerti bahwa ini bukan Malaikat yang menyiksa manusia, lalu mereka bertanya: “Siapakah hamba yang sangat bagus rupanya itu?” Jawab Malaikat Malik: “Itu Jibril yang biasa membawa wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.”

 

Ketika mereka mendengar nama Nabi Muhammad SAW, maka serentaklah mereka menjerit: “Ya Jibril, sampaikan salam kami kepada Nabi Muhammad SAW dan beritakan bahwa maksiat kamilah yang memisahkan kami dengannya serta sampaikan keadaan kami kepadanya.”

 

Maka kembalilah Jibril menghadap kepada Allah SWT lalu ditanya: “Bagaimana kamu melihat umat Muhammad?” Jawab Jibril: “Ya Tuhanku, alangkah jeleknya keadaan mereka dan sempit tempat mereka.”

 

Lalu Allah SWT bertanya lagi: “Apakah mereka menyampaikan sesuatu?”

 

Jawab Jibril: “Ya, mereka minta disampaikan salam mereka kepada Nabi Muhammad SAW dan diberitakan kepadanya keadaan mereka.”

 

Maka Allah SWT menyuruh Jibril menyampaikan semua pesan itu kepada Nabi Muhammad SAW yang tinggal dalam kemah dari permata yang putih, mempunyai empat ribu buah pintu dan tiap-tiap pintu terdapat dua daun pintu dari emas. Berkata Jibril: Ya Muhammad, saya datang kepadamu dari rombongan orang-orang yang durhaka dari umatmu yang masih tersiksa dalam neraka, mereka menyampaikan salam kepadamu dan mengeluh bahwa keadaan mereka sangat jelek dan sangat sempit tempat mereka.”

 

Maka pergilah Nabi Muhammad SAW ke bawah arsy dan bersujud dan memuji Allah SWT dengan ucapan yang tidak pernah diucapkan oleh seorang mahluk pun, hingga Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW: “Angkatlah kepalamu dan mintalah niscaya akan diberikan, dan ajukan syafa’atmu pasti akan diterima.”

 

Maka Nabi Muhammad SAW berkata: “Ya Tuhanku, orang-orang yang durhaka dari umatku telah menjalani hukum-Mu dan balasan-Mu, maka terimalah syafa’atku.”

 

Allah SWT berfirman: “Aku terima syafa’atmu terhadap mereka, maka pergilah ke neraka dan keluarkan daripadanya orang yang pernah mengucap Laa ilaha illallah.”

 

Maka pergilah Kanjeng Nabi Muhammad SAW ke neraka. Dan ketika dilihat oleh Malaikat Malik, maka segera ia bangkit hormat. “Hai Malik, bagaimanakah keadaan umatku yang durhaka?” Jawab Malaikat Malik: “Alangkah jeleknya keadaan mereka dan sempit tempat mereka.”

 

Lalu malaikat diperintahkan membuka pintu dan mengangkat tutupnya. Dan ketika orang-orang di dalam neraka itu melihat Kanjeng Nabi Muhammad SAW, mereka menjerit serentak: “Ya Nabi Muhammad SAW, api neraka telah membakar kulit kami.”

 

Selanjutnya dikeluarkanlah semuanya yang sudah serupa arang, lalu dibawa ke sungai di depan pintu syurga yang bernama Nahrulhayawan. Di sana mereka mandi kemudian keluar sebagai orang muda yang gagah, elok, cerah matanya, sedangkan wajah mereka bagaikan bulan, dan tertulis di dahi mereka Aljahanamiyun atau orang-orang jahannam yang telah dibebaskan oleh Allah SWT. Dari seberang neraka kemudian mereka dimasukkan ke dalam pintu sorga, hingga mereka-mereka yang masih tinggal di neraka dapat melihatnya dan berkata: “Aduh, sekiranya kami dahulu Islam, tentu kami dapat keluar dari neraka.” (Kitab Tanbihul Ghafilin)

 

Penduduk neraka tetap diberi makanan walaupun makanan ini tidak menyuburkan badan mereka. Firman Allah SWT: ”Mereka tidak memperolehi makanan selain daripada pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al-Ghasiyah 6-7)

 

Minuman ahli neraka terdiri dari:

  1. Hamim (air yang mendidih). “Inilah neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa. Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang memuncak panasnya.” (QS. Ar-Rahman 43-44).
  2. Ghassaq (nanah dan darah). “Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada makanan sedikit pun kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Haqqah 35-37).
  3. Sadid (air danur (nanah) yang keluar dari tubuh ahli neraka). “Dihadapan mereka ada neraka Jahanam, dan ia diberi minum dari air danur (nanah) yang keluar dari tubuh ahli neraka.” (QS. Ibrahim 16).
  4. Air seperti tembaga cair. “Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti tembaga yang mendidih yang menghanguskan muka mereka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat peristirahatan yang paling hina.” (QS. Al-Kahfi 29).

 

Pakaian ahli neraka:

  1. Pakaian dari api. “Inilah dua golongan (mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (QS. Al-Haj 19).
  2. Pakaian dari minyak tar. “Pakaian mereka adalah dari minyak tar dan muka mereka diliputi oleh jilatan api neraka.” (QS. Ibrahim 50).

 

Bahan bakar neraka adalah terdiri daripada manusia dan jin yang kafir dan ingkar kepada Allah SWT, serta batu-batu termasuk patung berhala. Firman Allah: “Hai orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat yang kasar, dan keras, serta tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mengerjakan apa yang diperintahkanNya.” (QS. At-Tahrim 6).

 

Imran bin Husin meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku melihat ke dalam sorga dan mendapati sebagian besar penduduknya adalah orang miskin, dan aku melihat ke dalam neraka, aku mendapati sebagian besar penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari).

 

Maka begitulah sebagai sebentuk salam kepada ahlus salamah (ahli keselamatan) tulisan ini ditujukan untuk saling mengingatkan. Dan bagi mereka yang belum mengerti, ambillah iktibar ini, takutlah kepada Allah SWT, dan berharaplah kepada Rahmah Kasih Sayang-Nya. Jika engkau melihat api, namun lebih takut pada kemurkaan Allah, jika engkau menderita siksa di dunia, namun lebih percaya keadilan Allah, maka engkau telah menempuh jalan setapak menuju pengampunan Allah, Yang Maha Melindungi dan Maha Kuasa berbuat sesuatu atas hamba-Nya. Dan jika itu terjadi, maka tak ada yang mustahil bagi Allah. Engkau akan melewati neraka secepat arus listrik meniti helaian kawat di tengah bara, engkau akan melintasi massa yang penuh api membara sekilat pesan ini bisa diterima. Secepat cahaya!

 

Gusblero Free

44. Teman Yang Baik

“Aku mencintai orang-orang shalih, meski aku bukan termasuk golongan mereka, semoga aku bisa mendapatkan keberkahan dari berkumpul dengan mereka.

 

Dan aku membenci kelakuan orang-orang yang dzalim, meski mungkin kelakuanku tidak lebih baik dari mereka, semoga Allah menyelamatkanku dari keburukan dan perbuatan yang bisa mencelakakanku.”

 

Itulah status yang ditulis oleh Imam Syafi’i pada kurang lebih tiga belas abad silam. Status, yang bahkan setelah melewati abad demi abad waktu, masih tetap relevan dan secara kontekstual bisa mengikuti perubahan zaman.

 

Peradaban berbenah, namun kecenderungan manusia tak berubah, karena pada asalnya karakter manusia itu sama, dipenuhi hawa nafsu. Secara umum manusia menggunakan nafsunya sendiri sebagai kendaraan dalam meraih keinginannya, dan sedikit dari mereka berhasil mengendalikan ini, lalu berhasil dalam mewujudkan cita-cita.

 

Seorang manusia shalih ibarat air jernih yang bisa diraup oleh kedua telapak tangan, diteguk ke dalam kerongkongan demi menghilangkan dahaga. Keshalihan seseorang tidaklah gelap tak tampak atau sebuah nama tanpa bentuk. Ia bak cermin bening yang memantulkan cahaya. Engkau akan merasakan keshalihan seseorang saat bertatap mata dengannya, mendekatkan lutut pada lututnya, berdialog dan berbicara dengannya. Keshalihan hampir selalu akan dan dapat terbaca, meski dalam kilas waktu yang sangat singkat. Karena ia adalah bahasa indah hati yang terpancar dalam gerak, perbuatan dan ucapan. Bila keshalihan tak terbaca maka bagaimana engkau bisa menemukan pemiliknya, apalagi menobatkan dirimu sebagai temannya.

 

Begitulah hendaknya kita dalam memilih teman. Teman yang baik adalah sahabat-sahabat kita disepanjang kehidupan kita di dunia ini, dan ia juga akan menjadi sahabat-sahabat kita dikehidupan akhirat nanti. Namun semua bentuk-bentuk kedekatan ini tidak bisa diciptakan disebabkan kesamaan kepentingan duniawi semata, persahabatan secara ruhaniah memunculkan nilai-nilai spiritualitas lebih tinggi. Seseorang memikirkan sahabatnya karena Allah, itu merupakan bentuk rasa syukur dari keinginan untuk berbagi.

 

Seorang yang alim menyampaikan, jika dikehidupan yang lalu kita tidak pernah saling mengenal apalagi bersinggungan, maka dikehidupan kini dia juga tidak akan dipertemukan, begitu pun dikehidupan yang akan datang, mustahil keduanya akan bisa saling membantu dan berjalan seiring sejalan.

 

Suatu saat beberapa sahabat bertanya, “Karib seperti apa yang baik untuk kami?” Rasulullah SAW menjawab, “Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah.” (HR. Abu Ya’la, dihasankan Al-Busrin). Sabda Rasulullah SAW yang lain, “Sesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah.” (HR. Ibnu Hibban, disahihkan oleh beliau).  

 

“Pemisalan seorang teman yang shalih adalah seperti penjual minyak wangi. Kalaupun ia tidak memberikan minyak wanginya, setidaknya kita mendapatkan aromanya yang semerbak. Sementara perumpamaan teman yang jahat, tak ubahnya pandai besi. Kalaupun kita tak terkena asap hitamnya, setidaknya kita akan mencium bau busuk dari tungkunya.” (HR. Abu Dawud)

 

Perkataan seorang yang shalih itu menyejukkan, tutur katanya indah untuk dicerna dan dirasa. Tindak tanduknya santun berusaha menepati petunjuk Al Qur’an dan tuntunan Nabi SAW. Sahabat Nabi SAW dengan gamblang menjelaskan pribadi beliau, “Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam adalah pribadi yang tidak suka berbicara keji atau membiasakan diri berkata keji, tidak suka mengutuk dan mencaci maki.”

 

Ali bin Abi Thalib menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang selalu ceria, supel, santun, tidak kasar dan bengis, tidak suka berteriak-teriak, tidak suka mencaci dan tidak kikir.”

 

Sebaliknya, seorang yang ahli maksiat tak akan mampu berlama menyembunyikan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Selalu saja perbendaharaan keburukan yang ada di dalam hati akan tersingkap dalam ucapan dan perbuatan. Benarlah sebuah ungkapan: “Setiap kali seseorang menyembunyikan sesuatu dalam hatinya, pasti akan ditampakkan oleh Allah Azza wa Jalla melalui mimik wajahnya dan gerakan lisannya.”

 

Memilih seorang teman yang shalih bukan saja sebuah keniscayaan, namun juga merupakan kebutuhan. Karena bagaimana mungkin engkau akan mampu tenang hati saat kepalamu dijejali dengan kata-kata kasar seorang yang tak shalih. Bagaimana mungkin pandanganmu akan tenteram menyaksikan tingkah polah seorang yang kasar perilaku. Teman yang shalih adalah kebutuhan dimasa ini dan mendatang. Ia masih ada dan bisa dicintai dalam suasana apapun, kapan pun, dan di mana pun saatnya kau berada!

 

 

gusblero - teman yang baik

 

Seorang yang alim menyampaikan, jika dikehidupan yang lalu kita tidak pernah saling mengenal apalagi bersinggungan, maka dikehidupan kini dia juga tidak akan dipertemukan, begitu pun dikehidupan yang akan datang, mustahil keduanya akan bisa saling membantu dan berjalan seiring sejalan.

 

Gusblero Free

43. Murid Khidr

Dijaman modern ini kegaiban masih menjadi tema yang menarik. Kian terhimpitnya manusia dari segudang persoalan-persoalan kehidupan membuat banyak orang menoleh pada sesuatu yang bersifat supranatural. Satu sisi ada nilai-nilai kebangkitan spiritual dari insomnia panjang yang membuat orang menoleh pada pelajaran-pelajaran lama yang berisi hikmah, namun celakanya proses penghidmatan pengetahuan itu tidak dibarengi kesadaran faktual bahwa mereka hidup dijaman terkini.

 

Perbincangan tentang kedatangan Imam Mahdi terus dibahas, segala gejala mengenai isyarat zaman akhir terus diperdengungkan. Dijaman ini kelakuan banyak orang seperti siswa pandir yang gagal mengambil intisari halaman demi halaman sunatullah, hukum kejadian Allah, lalu tergesa-gesa kepingin membaca isi buku di bagian-bagian terakhir.

 

Hipotesa-hipotesa tentang makrifat juga disusun, dan tak jarang orang melengkapinya dengan berbagai ilmu linuwih yang bisa menunjukkan keistimewaan-keistimewaan di hadapan manusia. Kenyataannya, semua itu tak menumbuhkan hikmah, kecuali hanya mengangkat derajatnya sendiri, membuat orang terpesona dengan gayanya, lalu mengikuti apa maunya.

 

Di titik inilah kita melihat bangunan-bangunan peribadatan tinggi menjulang, namun isinya sepi dari keselamatan. Masing-masing orang berfikir tentang dirinya sendiri, mencoba menggapai sorga untuk dirinya sendiri, namun ketika terjebak persoalan kehidupan, bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja ia tak mampu.

 

Banyak orang bingung, dan berita-berita tentang kerusakan menjadi menu paling sedap dan menguntungkan bagi para pewarta. Dengan sedikit ilmu, orang bermain sulap, ditambahi banyak bumbu orang menerobos batas-batas dunia lain, dan tak sadar semua itu masuk dalam perangkap jebakan permainan setan.

 

Kita terlalu jumawa untuk menyadari tingkatan ilmu yang baru kita miliki, sehingga kesadaran tentang keragaman permainan dunia membuat kita seakan sudah jago beneran. Kita lupa pelajaran-pelajaran bahkan dari orang tua kita, yang besar ngalah biar yang kecil bisa merasa senang, kita pura-pura salah biar yang kecil merasa dibenarkan. Pada akhirnya kita masuk dalam fragmen situasi yang membuat kita akan tetap bodoh karena sudah kadung puas dengan yang itu-itu saja.

 

Demikianlah tanpa sadar kita masuk dalam lingkaran halusinasi popularitas semu belaka. Orang berlomba-lomba menuntut ilmu, apapun, tujuan utamanya agar digampangkan untuk mendapatkan rejeki. Wilayah-wilayah keramat dijelajahi, peninggalan-peninggalan purba ditelusuri, mencari jejak-jejak spiritual lama agar dengan begitu namanya ikut dikenal.

 

Padahal Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak mengajarkan begitu. Dunia dan peradaban berputar dan terus melaju, dan sebagai orang beriman hendaknya juga terus meng-up date jurus-jurus ilmunya agar tetap dinamis dan ikutan melaju. Kehendak pelajaran Islam adalah kehendak yang dinamis, seperti gerakan semesta raya yang kaya dengan gaya dan perubahan, menuju garis finish, ketentuan Allah yang statis, yang tetap, namun merangkum dan melingkupi segala zaman yang ada.

 

Anehnya kita membaca segala gerak dunia itu hanya melalui primbon, anehnya kita selalu jatuh bangun terpontang-panting mengejar kegaiban yang mempunyai tarikh dan masanya sendiri-sendiri itu, tanpa kesadaran agung kenapa kita tidak menyediakan diri sebagai pilihan-pilihan terbaik bagi iradah Allah untuk melakonkan kehendak-kehendak-Nya terkini.

 

Karena bisa jadi kita akan mendapatkan hikmah yang berguna bagi keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat ini, justru dari guru yang tak disangka-sangka. Bukan dari sekadar ilmu titen berkat segenap pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dan dialami manusia, namun mungkin juga dari waliyullah tak terkenal yang tiba-tiba saja hadir dikehidupan kita.

 

Maka disinilah kita akan bertemu Khidr sebagai guru jati, guru bagi siapapun yang tak punya almamater perguruan hikmah, guru tak tergantung syarat jarak dan waktu, kecuali kesadaran diri menemukan hikmah disebalik kejadian, yang penuh kekinian, tanpa perlu meninggalkan kewajiban-kewajiban fitrah kita pada umumnya. Untuk mendapatkan ilmu, karena Allah, untuk membuka hijab semesta, karena kehendak Allah.

 

Kisah-kisah berikut ini barangkali akan bisa jadi sedikit gambaran, bahwa keutamaan ilmu itu tidak sekadar didapat dengan mencari, namun yang lebih utama adalah kesiapan diri dalam menerima sebagian dari petunjuk-Nya.

 

gusblero - murid khidr

 

Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh yang sangat luas kekuasaannya. Kemanapun dia pergi, empat puluh bilah pedang emas dan empat puluh batang tongkat emas kebesarannya diusung di depan dan di belakangnya oleh para hulubalang dan prajurit sang raja.

 

Pada suatu malam, ketika Ibrahim tidur di kamar istananya, mendadak langit-langit kamar berderak-derak seolah ada seseorang sedang berjalan di atasnya. Ibrahim pun terjaga dan berteriak, “Siapakah itu?“

 

“Seorang sahabat. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atap ini.“ terdengar sebuah jawaban dari atas sana.

 

“Goblok! Engkau hendak mencari unta di atas atap, mana mungkin ada di sana,“ sergah Ibrahim menahan kekesalan.

 

“Wahai manusia yang lalai, apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutra dan tidur di atas ranjang emas?“ jawab pemilik suara misterius yang tak lain adalah Kanjeng Nabi Khidr AS, penuh dengan sindiran.

 

Kata-kata itu ternyata mampu menggetarkan hati Ibrahim. Dia amat gelisah sehingga malam itu tak mampu meneruskan tidurnya lagi.

 

Saat hari telah siang, Ibrahim menuju keruang pertemuan dan duduk di singgasananya dengan pikiran yang galau memikirkan sensasi yang dialaminya semalam. Sementara itu, para menteri telah berdiri di tempatnya masing-masing, dan para hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Semuanya siap menunggu titah sang Raja.

 

Ketika acara pertemuan akan dimulai, tiba-tiba seorang lelaki berwajah amat menakutkan masuk kedalam ruangan. Wajah si lelaki yang teramat menakutkan telah membuat tak ada seorang pun yang berani menegurnya, apalagi menanyakan nama dan maksud kedatangannya. Lidah mereka mendadak kelu. Sementara, dengan langkah yang tenang, lelaki itu melangkah menuju ke singgasana Raja.

 

“Apakah yang engkau inginkan?“ tanya Ibrahim dengan memberanikan diri.

“Aku baru saja sampai di persinggahan ini,“ jawab lelaki itu.

“Ini bukan tempat persinggahan para kalifah. Ini adalah istanaku. Apakah engkau sudah gila!“ hardik ibrahim yang sudah habis kesabarannya.

“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?“ tanya lelaki itu.

“Ayahku!“ jawab ibrahim, memendam kekesalan.

“Dan sebelum Ayahmu?“

“Kakekku!“

“Dan sebelum kakekmu?“

“Ayah dari kakekku!“

“Dan sebelum dia?“

“Kakek dari kakekku!“

“Kemanakah mereka sekarang ini?“

“Mereka telah tiada, wafat.“

“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?“

 

Setelah berkata demikian, lelaki yang sesungguhnya adalah Kanjeng Nabi Khidr itu langsung menghilang. Demikianlah, dengan seizin Allah, Khidr adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim. Dan dikemudian hari, Ibrahim menjadi salah seorang tokoh sufi terkenal, dan perbuatannya banyak menghiasi kitab tasawuf.

 

Kisah lain seorang tua berwajah cerah berseri-seri dan mengenakan jubah yang anggun, pada suatu hari melewati gerbang Banu Syaibah dan menghampiri Abu Bakar Al-Kattani yang sedang berdiri dengan kepala menunduk. Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata, “Mengapakah engkau tidak pergi ke maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan dia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”

 

“Siapakah perawi dari hadits-hadits yang dikhutbahkannya itu?” tanya Kattani.

“Dari abdulah bin ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad,“ jawab orang tua itu.

“Sebuah rangkaian panjang. Segala sesuatu yang dia sampaikan melalui rangkaian panjang para perawi, dan kita dapat mendengar langsung khutbahnya di tempat tersebut dari tempat ini,“ kata Kattani.

“Melalui siapakah engkau mendengar?“ tanya lelaki tua itu.

“Hatiku menyampaikannya kepadaku, langsung dari Allah.“ jawab Kattani.

“Apakah kata-katamu dapat dibuktikan?“ tanya orang tua itu lagi.

“Inilah buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidr AS.”

Orang tua itu tersenyum. “Selama ini aku mengira tak ada sehabat Allah yang tidak kukenal. Namun ternyata engkau, Abu Bakar Kattani, tidak kukenal tetapi engkau mengenalku. Maka, sadarlah aku masih ada sahabat-sahabat Allah yang tidak kukenal namun mereka mengenalku.‘ kata Kanjeng Nabi Khidr AS.

 

Cerita lain lagi pada suatu waktu, ketika masih kanak-kanak, Muhammad bin Ali Tarmidzi (yang kemudian dikenal dengan nama Al Hakim) bersama dengan dua anak lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan guna menutut ilmu. Ketika akan berangkat, ibunya pun nampak sangat bersedih.

 

“Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda pergi, tak ada seorang pun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini ananda tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?” kata sang bunda dengan berurai air mata.

 

Kata-kata itu menggoyahkan Tarmidzi. Dia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara untuk mencari Ilmu.

 

Suatu hari, Tarmidzi duduk di sebuah pemakaman sambil meratapi nasibnya. ”Di sinilah aku. Tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, sedang kedua sahabatku itu, nanti akan kembali sebagai orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi,“ keluhnya lagi.

 

Tiba-tiba di hadapan Tarmidzi muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Dia menegur Tarmidzi, “Nak, mangapakah engkau menangis hingga sesedih itu?“

 

Tarmidzi lalu menceritakan segala persoalan yang tengah dihadapinya.

 

“Maukah engkau menerima pelajaran dariku setiap hari sehingga dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?” tanya orang tua itu kemudian.

“Aku bersedia.“ jawab Tarmidzi dengan kegirangan.

 

Sejak itu, orang tua itu memberikan pelajaran kepada Tarmidzi. Setelah tiga tahun berlalu, barulah dia menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Kanjeng Nabi Khidr AS. Tarmidzi memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena dia berbakti kepada Ibunya.

 

Menurut Abu Bakr Al Warraq (salah seorang murid Tarmidzi yang kemudian menjadi seorang sufi besar dan dijuluki guru para wali), setiap hari minggu, Nabi Khidr mengunjungi Tarmidzi dan kemudian memperbincangkan berbagai persoalan.

 

Dikisahkan pada suatu hari Tarmidzi menyerahkan buku-buku karyanya kepada Al Warraq untuk dibuang kesungai Oxus. Ketika diperiksa, ternyata buku-buku tersebut penuh dengan seluk beluk dan kebenaran kebenaran mistis (Tasawuf). Al Warraq tak tega untuk melaksanakan perintah Tarmidzi, buku-buku tersebut dia simpan di dalam kamarnya. Kemudian dia katakan kepada sang guru bahwa buku-buku itu telah dilemparkannya ke sungai.

 

“Apakah yang engkau saksikan setelah itu?“ tanya Tarmidzi.

“Tidak satupun,“ jawab Al Warraq.

“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu kedalam sungai. Pergilah dan buang segera buku-buku itu,“ perintah Tarmidzi.

 

Al Warraq tak bisa lagi membantah perintah gurunya. “Mengapa dia ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Apakah gerangan yang akan kesaksikan nanti?“ Tanya Al Warraq dalam hati sambil berjalan menuju ke sungai Oxus.

 

Setibanya di tepi sungai, Al Warraq melemparkan buku-buku yang sangat tinggi nilainya itu. Ajaib! Seketika itu juga air sungai terbelah. Lalu nampak sebuah peti yang terbuka tutupnya dan buku-buku itu pun jatuh kedalamnya. Setelah tutup peti itu mengatup. Air sungai pun bersatu kembali. Al Warraq terheran-heran menyaksikan kejadian itu.

 

“Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia dibalik semua ini?“ tanya Al Warraq setibanya kembali di hadapan sang guru dan menceritakan segala kejadian yang disaksikannya.

 

“Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu tasawuf dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk difahami oleh manusia-manusia biasa. Saudaraku Khidr meminta buku-buku itu. Dan peti yang engkau lihat tadi dibawa oleh seekor ikan atas pemintaan Khidr, sedang Allah Yang Maha Besar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya,“ jelas Tarmidzi.

 

Subhanallah!.

 

Di titik inilah kita melihat bangunan-bangunan peribadatan tinggi menjulang, namun isinya sepi dari keselamatan. Masing-masing orang berfikir tentang dirinya sendiri, mencoba menggapai sorga untuk dirinya sendiri, namun ketika terjebak persoalan kehidupan, bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja ia tak mampu.

 

Gusblero Free

42. Tentang Cinta

Ada teman bertanya, apakah makna cinta yang sebenarnya? Saya tercenung, menurut saya apa yang ditanyakan teman saya itu bukanlah pertanyaan sederhana. Melihat cinta, seperti apa yang dilakukan Rumi pada Syam, jelas bukan semata perasaan ingin memiliki. Kedua-duanya yang sama-sama alim adalah sama-sama lelaki, namun dua-berdua mereka juga menyatakan cinta. Lalu seperti apakah bentuk cinta yang sesungguhnya dalam gambaran mereka?

 

Kisah Layla Majnun sebenarnya juga bukan kisah cinta antar dua manusia. Kisah ini bermula dari ‘para pecinta malam’, mereka yang saking sukanya menggunakan keheningan malam untuk ber-taqarub, asyik masyuk memuja-muja pada Allah sendiri, dengan penuh ungkapan kata cinta tentu saja. Jika cinta harus menggambarkan pengorbanan seseorang yang secara hati berani melakukannya sampai mati, bukankah mereka juga bersedia melakukannya? Lalu apa sebenarnya hakikat cinta, diluar sekadar kenyataan bersatunya sepasang lelaki perempuan yang kemudian diwujudkan dalam pernikahan dan sebagainya dan seterusnya.

 

Orang-orang yang rela maju ke medan peperangan meninggalkan keluarganya yang dicintai, apakah mereka mencari cinta yang lebih tinggi lagi? Bukan sekadar cinta yang dikerangkeng dalam perangkap kecantikan dan keelok bagusan wajah nan rupawan, kepada siapa sebenarnya orang-orang seperti itu menautkan penghambaan diri? Seluruh pertanyaan-pertanyaan ini saya yakin tidak akan pernah terjawab, saat kita tidak memahami sampai dititik mana sesungguhnya kita ingin meletakkan kebahagiaan sejati bersama orang-orang yang kita cintai yang dengannya dan dengan mereka kita ingin berbagi.

 

Seorang pecinta itu selalu ingat akan apa yang dicinta. Melihat benda-benda yang disukai teringat pada yang dicintai, karena pada dasarnya kepada yang dicintai ia ingin selalu berbagi. Melihat lagi terbayang yang dicintai, karena pada setiap nafasnya teringat pada yang dicintai. Melihat apapun selalu terfikir pada yang dicintai, karena pada setiap yang dijumpai merindukan kebersamaan dengan yang dicintai.

 

Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana atau sampai kapan seseorang ingin bersama yang dicintai. Pada awalnya orang pasti akan menjawab sampai akhir hayat. Apakah itu cukup? Tidak. Setelah mengarungi banyak kebersamaan, seseorang akan merasa mendapatkan kebahagiaan dalam kurun kebersamaan itu, dan ini menumbuhkan sikap syukur atas anugerah Allah yang telah dikaruniakan kepadanya. Lalu ia mulai berfikir untuk membuka jalan agar kebahagiaan yang dirasakan bersama bisa sampai di alam kelanggengan. Inilah yang kemudian menjadi kunci, kenapa seseorang berani terus berjuang dalam kebaikan dan ketakwaan yang mumpuni, agar Allah Yang Maha Memiliki dan Menguasai Cinta memberikan keridhoan baginya untuk bisa terus bersama dengan orang yang dicintai.

 

Dan cinta yang begini, tentu saja tak terhijab hanya pada sebatas fisik lelaki dan perempuan. Ia melampaui batas-batas itu. Gambaran penyerahan Kanjeng Nabi Ibrahim AS yang mengikhlaskan Kanjeng Nabi Ismail AS dalam peristiwa diujinya iman dengan permintaan pengorbanan, jelas bukan semata sikap ketundukan ibarat seorang hamba terhadap Maharaja, namun merupakan manifestasi cinta yang kaffah, cinta yang total pada Ilahi, yang tak terbebani hal yang lain, cinta yang esensi, cinta yang nukleus, sumber inti dari dzatnya cinta.

 

Begitu juga apa yang dilakukan Kanjeng Nabi Ismail AS, ia sungguhlah mendapat jalan lapang yang sangat istimewa. Ia mencintai Allah, dan mendapat jalan pembuktian cinta itu melalui Kanjeng Nabi Ibrahim AS, bapaknya sendiri yang tentu saja juga sangat ia cintai. Inilah kemutlakan cinta dua insan yang tak ternodai lagi oleh logika. Cinta segitiga yang saling merelakan. Cinta antara Kanjeng Nabi Ibrahim AS, Kanjeng Nabi Ismail AS, dan Allahnya sendiri. Sama seperti cintanya Rumi, cintanya Syam, dan cintanya Allah sendiri pada mereka berdua.

 

Maka jika cinta bisa dinyatakan sebagai sumbernya kebahagiaan, terhadap siapapun ternyata itu bisa saja terjadi. Ketika dua insan saling merasa ‘klop’, ketika dua insan merasa ‘paling pas’ jika dalam hidup ini apapun bisa dilakukan mereka bersama, ketika dua insan merasa terbuka sesama hati untuk menerima dan mengakui bahwa semua itu adalah anugerah dan hidayah dari Allah, disinilah letak cinta mulai bermula dalam kehidupan ini.

 

Dari Anas r.a., Kanjeng Nabi SAW bersabda: “Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada di dalam diri seseorang, maka orang itu dapat merasakan manisnya keimanan. Yaitu: jikalau Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada yang selain keduanya. Jikalau seseorang itu mencintai orang lain dan tidak ada sebab kecintaannya itu melainkan karena Allah, dan jikalau seseorang itu membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke dalam api neraka.”

 

Begitulah nampaknya ‘gambaran senyatanya’ tentang cinta. Keikhlasan berbuat sesuatu bukan karena ‘ketundukan’, bukan karena perintah, bukan disebabkan tekanan, namun karena ‘perhatian agar terus bisa dalam kebersamaan’ kebahagiaan. Sama seperti keadaan orang tua yang mau bekerja keras untuk kebutuhan anaknya. Ia bekerja bukan lantaran disuruh-suruh, namun karena cinta yang ada dalam dirinya menuntut hak-haknya. Ia mencintai keluarganya karena menyayangi cinta yang ada dalam dirinya sendiri yang membutuhkan hidup. Untuk cinta terhadap dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban kepada Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi.

 

Dari Abu Hurairah ra, Kanjeng Nabi SAW bersabda: “Ada tujuh macam orang yang
akan dapat diberi naungan oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu: Imam (pemimpin atau kepala negara) yang adil, pemuda yang tumbuh (sejak kecil) dalam beribadat kepada Allah Azza wa jalla, seseorang yang hatinya tergantung (sangat memperhatikan) tempat-tempat peribadatan, dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah, keduanya berkumpul atas keadaan yang sedemikian serta berpisah pun demikian pula, seorang Ielaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan serta kecantikan wajah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya ini takut kepada Allah,” ataupun sebaliknya yakni yang diajak itu ialah wanita oleh seorang Ielaki, seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu menyembunyikan amalannya itu (tidak menampak-nampakkannya), sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang ingat kepada Allah di dalam keadaan sepi lalu melelehkan airmata dari kedua matanya.”

 

Begitulah kiranya cinta antara dua orang, cinta yang bukan Romeo dan Juliet, cinta yang bukan Julius Caesar dan Cleopatra, cinta yang bukan Roro Mendut dan Pranacitra, cinta yang bukan Marlon Brando dan Elizabeth Taylor, namun bisa jadi cinta antara dua lelaki atau dua perempuan yang saling bersahabat dan berbuat untuk terus saling mengingatkan, serta mengharap keduanya bisa terus bersama dalam kelanggengan keselamatan.

 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, engkau semua tidak dapat masuk sorga sehingga engkau semua beriman dan engkau semua belum disebut beriman sehingga engkau semua saling cinta-mencintai. Sukakah engkau aku beri petunjuk pada sesuatu yang apabila ini engkau semua lakukan, maka engkau semua dapat saling cinta-mencintai? Sebarkanlah ucapan salam antara engkau semua.” (HR. Muslim).

 

Dari Hurairah ra bahwa Kanjeng Nabi SAW pernah menyampaikan ada seorang Ielaki berziarah kepada seorang saudaranya di suatu desa lain, kemudian Allah memerintah Malaikat untuk melindunginya di sepanjang jalan. Lalu sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.” (Riwayat Muslim).

 

Dari Mu’az ra, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman, orang-orang yang saling cinta-mencintai karena keagungan-Ku, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid, mereka yang mati dalam peperangan untuk membela agama Allah.”

 

Dari Abu ldris al-Khawlani rahimahullah, katanya: “Saya memasuki masjid Damsyik, tiba-tiba di situ ada seorang pemuda yang bercahaya giginya (suka sekali tersenyum) dan sekalian manusia besertanya. Jikalau orang-orang itu berselisih mengenai sesuatu hal, mereka lalu menyerahkan persoalan itu kepadanya dan meminta pendapatnya. Lalu saya bertanya mengenai dirinya, dan menerima jawaban: “Ini adalah Mu’az bin Jabal.”

 

Setelah hari esoknya saya datang pagi-pagi sekali ke masjid, dan mendapati Mu’az sudah mendahului lebih pagi. Saya lihat ia sedang bersembahyang, hingga saya menantikannya menyelesaikan shalatnya. Seterusnya sayapun mendatanginya dari arah depannya dan mengucapkan salam. Dan saya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya saya ini mencintaimu karena Allah.”

Ia berkata: “Karena Allah?”

Saya menjawab: “Ya, karena Allah.”

Ia berkata lagi: “Karena Allah?”

Saya menegaskan lagi: “Ya, karena Allah.”

 

Tiba-tiba Mu’az mengambil belitan selendangku, dan menarik tubuhku kepadanya, lalu berkata: “Bergembiralah engkau, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, dalam Hadis Qudsi: Wajiblah kecintaanKu itu kepada orang-orang yang saling cinta-mencintai karena Aku, duduk-duduk bersama karena Aku, saling ziarah-
menziarahi (mengunjungi) karena Aku, dan saling hadiah-menghadiahi karena Aku.”

 

Kecintaan terhadap seseorang memang harus dinyatakan. Keutamaan mencintai karena Allah menganjurkan sikap yang demikian agar kita bisa saling mengingatkan, saling memberikan nasehat dan menguatkan semangat menuju jalan keselamatan yang diridhoi-Nya.

 

Dari Abu Karimah al-Miqdad, Rasulullah bersabda: “Jikalau seseorang itu mencintai saudaranya, maka hendaklah memberitahukan pada saudaranya itu bahwa ia mencintainya.” (HR. Imam Abu Dawud dan Tarmidzi).

 

Dari Anas ra, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Diceritakan bahwa ada seorang lelaki yang berada di sisi Kanjeng Nabi, kemudian ada seorang lelaki lain berjalan melaluinya. Maka ketika orang yang lewat itu melintas di dekatnya, orang pertama berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mencintai orang itu.”

 

Rasulullah bertanya: “Adakah engkau sudah memberitahukan padanya tentang itu?”

Ia menjawab: “Tidak, belum saya beritahukan.”

Rasulullah bersabda: “Beritahukanlah padanya.”

 

Orang itu lalu menyusul orang yang melaluinya tadi, dan berkata: “Sesungguhnya saya mencintaimu.”

Orang itu lalu menjawab: “Engkau juga dicintai oleh Allah, yang karena Allah itulah engkau mencintai aku!”

 

gusblero - tentang cinta

 

Seorang pecinta itu selalu ingat akan apa yang dicinta. Melihat benda-benda yang disukai teringat pada yang dicintai, karena pada dasarnya kepada yang dicintai ia ingin selalu berbagi. Melihat lagi terbayang yang dicintai, karena pada setiap nafasnya teringat pada yang dicintai. Melihat apapun selalu terfikir pada yang dicintai, karena pada setiap yang dijumpai merindukan kebersamaan dengan yang dicintai.

 

Gusblero Free