PAHING PON WAGE KLIWON LEGI TERUSLAH WAHING

Tuhan sedang mengambil satu penyakit dan menggantinya dengan penyakit yang lain. Menurut saya itulah fenomena yang tengah terjadi dalam beberapa bulan ini. Seseorang

menyampaikan kepada saya awal-awal mulai mewabah Corona, kata simbah-simbah dahulu, orang yang tidak pernah wahing dalam empat puluh hari itu memberi tanda orang yang sudah dekat-dekat dengan kematian.

Saat itu kami berdua tertawa. Tidak untuk mentertawakan apapun, hanya gojekan biasa acapkali berjumpa.

Bulan demi bulan berganti, dan musim pancaroba datang lagi. Dari kemarau ke penghujan, dari situasi gersang kemudian wabah air melanda hinggu siklus badai taufan. Banyak hilang jiwa karena bencana, juga penyakit tanpa gejala. Sore sakit sore mati, pagi sakit pagi mati.

Semua luput memperhatikan, kecuali Corona. Padahal musim peralihan biasanya membawa dampak banyak flu pada siapa saja. Namun hampir pasti dalam beberapa bulan ini kita jarang mendengar ada orang terserang flu, atau wahing sebagai pengiring gejalanya. Atau bisa jadi ketakutan akan Corona membuat orang takut flu, lalu rencana periksa kesehatan menumbuhkan trauma takut-takut kena klaim Covid 19 Corona.

Sekitar setengah bulan lalu saya bertemu sahabat kiai muda yang juga sering dimintai tolong soal pengobatan. Kata dia, dalam beberapa bulan terakhir tak kurang dari tiga ratus orang telah datang meminta pertolongannya. Keluhan sebagian besarnya sama, hilangnya indra perasa.

Cerita yang nyambung. Tetapi kali ini kami berdua tidak ada yang tertawa.

Pagi hari saat saya dan istri pulang dari sawah dan mendengar ibu mertua wahing saya baru tertawa.  Ketika ibu mertua bertanya kenapa tertawa, saya menjawabnya Pahing Pon Wage Kliwon teruslah wahing, dan semoga Allah memberi kita usia yang panjang untuk bisa terus mengurus sawah ladang dan seluruh keluarga kita. Aamiin.

Pada segala peristiwa yang kami tiada mengetahui hakikatnya, sungguh kami memohon perlindungan kepada-Mu Yaa Allah. Lindungilah kami dan sesungguhnyalah kami bersandar pada belas kasih-Mu.

Gusblero, 29 November 2020

NB: Abah Guru Sekumpul mewasiatkan, dawamkan pagi dan sore sekurang-kurangnya baca LAA ILAAHA ILLALLAH 3X (mata tertutup, pikiran tenang, khusu’) lalu ditutup dengan MUHAMMADAR RASULULLAH 1X (sambil membuka mata).

RASA MANIS DALAM BUTIRAN GULA

Waktu dulu kecil, tak jauh dari rumah kami tinggal Mbah Semar. Saya sering kesana, karena di sana banyak jajan. Walau begitu tak mudah untuk sekadar mendapatkan jajanan itu, sebab sebelumnya saya harus menjawab dulu pertanyaan sebagai test kecil-kecilan lah.

Suatu ketika saya minta minum teh. Diseduhkanlah teh dalam cangkir jadul dengan air hangat. Saya masih ingat betul Mbah Semar lalu mengambilkan gula pasir. Tidak menggunakan sendok, namun dijumputnya dengan jari, lalu dimasukkannya dalam cangkir. Barangkali ada tiga atau paling banter lima butir sepengamatan saya. Lalu diaduknya.

“Sudah ini diminum. Cari gulanya biar kamu bisa merasakan manisnya,”katanya sambil tersenyum.

Saya melongo. Disuruh mencari adukan gula yang cuma berapa butir dalam cangkir raksasa untuk ukuran saya waktu itu.

“Kalau kamu bisa mendapatkan gulanya, pasti akan bisa kamu rasakan manisnya walau airnya segentong,”lanjutnya sambil memamerkan moho (sejenis kue basah pasaran).

Mau nggak mau sayapun kemudian belajar minum air yang ukuran umum pasti nggak bisa untuk dibilang manis. Tetapi dari sini saya belajar mengabaikan rasa tawar untuk menemukan titik manis dari unsur yang telah bercampur begitu rupa.

Hingga kini. Saat saya bisa memahami manisnya rasa walau hanya sebutir gula dalam wadah apapun yang terhidang di depan mata.

Gusblero, 28 November 2020