Membaca lalu menilai sekumpulan puisi dari penyair yang bukan kenamaan itu rasanya asyik. Asyiknya, tanpa embel-embel nama besar yang sudah disandangnya kita bisa bebas memberikan komentar tanpa terpengaruh sosok imaji seseorang seperti yang sudah dibentuk pasar.
Lalu, apakah kumpulan puisi 90 halaman yang berisi 48 judul karya puisi Erna Neong ini memang asyik? Menilai karya sastra jelas muaranya pada subyektifitas. Bicara subyektifitas kita tentu tidak bisa melepaskan faktor emosionalitas, apakah secara personal puisi-puisi yang dirangkum dalam judul “Poem in G Mayor” itu bisa menyentuh jiwa-jiwa pembacanya atau justru sebaliknya.
Membaca prakata penulis dalam lembar Introduction, yang konon tidak terpikir sama sekali catatan-catatannya adalah benar-benar sebentuk karya puisi, apalagi kemudian bahkan menjadi sebuah buku puisi, kita bisa menangkap sesuatu yang murni. Sesuatu yang barangkali bisa dan layak dimasukkan sebagai sebuah karya sastra tanpa harus mengada-ada.
Premis ini mungkin akan segera terjawab saat kita sampai pada puisi yang berjudul “Perempuan di Seberang Pulau”, //Delapan belas jejakmu ludes terjamah./Ribuan mata mungkin sudah menelusurinya/sampai lancar sampai hapal,/tapi aku yakin mereka telah menutupnya kembali tanpa bertanya-tanya.//Ketahuilah hanya aku yang tergelincir berkali-kali,/hanya aku yang mencari-cari,/di bait mana kau letakkan hatimu?/Di syair yang mana kau melupakanku?//Aku tak tahu sajak itu ditujukan untuk cinta yang mana,/tetapi sebagai perempuan yang pernah kau inginkan sedemikian buta,/aku berterima kasih.//
Alegori dalam bait pertama puisi ini memiliki majas yang sangat kuat. Ada majas yang menggambarkan sebuah perasaan berisi konflik tanpa harafiah, yang tidak terjebak pada metafora sebagai umumnya penulis kebanyakan. Kontradiksi yang sunyi, namun tidak terhenti, dari seorang perempuan yang mempertanyakan kedudukannya, untuk selanjutnya mengakhirinya dengan pisau kata yang tak terbayang ketajamannya.
//Delapan belas jejakmu sudahku baca berulangkali./Ada beberapa bagian yang ingin kukonfirmasi,/tapi sungguh tak sopan jika aku menggali sampah yang sedang kau kubur./Maka kubalas sajakmu melalui keresahan sepanjang hari,/kubalas sajakmu dengan kopi pahit yang kutenggak beserta aromamu,/kubalas sajakmu dengan hidupku yang sepi.//Di sini, perempuan yang pernah kau beri judul “untuk perempuan di seberang pulau”/sedang tersesat menuju kesembilan belas jejakmu./Semoga selalu ada jejak baru yang bisa kujadikan alasan/supaya tingkahku masih bisa kau jangkau.//
Kita barangkali sudah terbiasa menafsirkan isi puisi dari sekadar membaca judulnya, dan itu tidak salah. Sebagian puisi memang kadangkala sudah tidak menarik bagi pembaca ketika isinya sudah bisa diterka. Juga persoalan lagi terkait silogisme pada puisi yang mengunggulkan bunyi rima. Ibarat sebuah pertunjukkan drama yang terlalu didramatisir hingga kehilangan greget dramatiknya.
Pada sebagian besar puisi ErnaNeong imajinasi tentang puisi yang ‘anteng’ itu terbantahkan. Puisinya cair, dan kalimat yang disuguhkan sedikit surealis, tetapi tidak perlu banyak mengernyitkan dahi untuk kita memahami maksudnya. Dan ini juga sungguh tidak penting.
Puisi, untuk dekade terkini menurut saya adalah yang enak dibaca. Itu rumus agar puisi juga bisa menjadi bahasa yang kekinian dalam arus budaya global. Dan walau puisi tidak bisa disamakan dengan segala macam produk kebudayaan instan, tetap saja ia harus memiliki ruang yang longgar dalam inklusifitas sastra.
Buku ini diresensi oleh Gusblero, budayawan yang juga ketua komite seni dan pertunjukkan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Wonosobo. Erna Neong sendiri merupakan penyair kelahiran Wonosobo yang telah menyelesaikan studi di Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo (2013) dan saat ini tinggal di Bali bekerja sebagai Wartawan Biografi.
Sekumpulan puisi cantik, dengan bahasa yang renyah, tanpa sok berpuisi, buku ini wajib dikoleksi oleh anak-anak muda jaman sekarang. Simak ini, //Di keheningan kau kusentuh berkali-kali./Ku senggamai kesepianmu menjadi anak-anak yang riang bermain sepeda.//Di keheningan kau kupermainkan.// (Poem in G Mayor). ***