Puisi Cantik Karya Sastrawan Wonosobo

wawasan-1-oktober-2016resensi

Membaca lalu menilai sekumpulan puisi dari penyair yang bukan kenamaan itu rasanya asyik. Asyiknya, tanpa embel-embel nama besar yang sudah disandangnya kita bisa bebas memberikan komentar tanpa terpengaruh sosok imaji seseorang seperti yang sudah dibentuk pasar.

 

Lalu, apakah kumpulan puisi 90 halaman yang berisi 48 judul karya puisi Erna Neong ini memang asyik? Menilai karya sastra jelas muaranya pada subyektifitas. Bicara subyektifitas kita tentu tidak bisa melepaskan faktor emosionalitas, apakah secara personal puisi-puisi yang dirangkum dalam judul “Poem in G Mayor” itu bisa menyentuh jiwa-jiwa pembacanya atau justru sebaliknya.

 

Membaca prakata penulis dalam lembar Introduction, yang konon tidak terpikir sama sekali catatan-catatannya adalah benar-benar sebentuk karya puisi, apalagi kemudian bahkan menjadi sebuah buku puisi, kita bisa menangkap sesuatu yang murni. Sesuatu yang barangkali bisa dan layak dimasukkan sebagai sebuah karya sastra tanpa harus mengada-ada.

 

Premis ini mungkin akan segera terjawab saat kita sampai pada puisi yang berjudul “Perempuan di Seberang Pulau”, //Delapan belas jejakmu ludes terjamah./Ribuan mata  mungkin sudah menelusurinya/sampai lancar sampai hapal,/tapi aku yakin mereka telah menutupnya kembali tanpa bertanya-tanya.//Ketahuilah hanya aku yang tergelincir berkali-kali,/hanya aku yang mencari-cari,/di bait mana kau letakkan hatimu?/Di syair yang mana kau melupakanku?//Aku tak tahu sajak itu ditujukan untuk cinta yang mana,/tetapi sebagai perempuan yang pernah kau inginkan sedemikian buta,/aku berterima kasih.//

 

Alegori dalam bait pertama puisi ini memiliki majas yang sangat kuat. Ada majas yang menggambarkan sebuah perasaan berisi konflik tanpa harafiah, yang tidak terjebak pada metafora sebagai umumnya penulis kebanyakan. Kontradiksi yang sunyi, namun tidak terhenti, dari seorang perempuan yang mempertanyakan kedudukannya, untuk selanjutnya mengakhirinya dengan pisau kata yang tak terbayang ketajamannya.

 

//Delapan belas jejakmu sudahku baca berulangkali./Ada beberapa bagian yang ingin kukonfirmasi,/tapi sungguh tak sopan jika aku menggali sampah yang sedang kau kubur./Maka kubalas sajakmu melalui keresahan sepanjang hari,/kubalas sajakmu dengan kopi pahit yang kutenggak beserta aromamu,/kubalas sajakmu dengan hidupku yang sepi.//Di sini, perempuan yang pernah kau beri judul “untuk perempuan di seberang pulau”/sedang tersesat menuju kesembilan belas jejakmu./Semoga selalu ada jejak baru yang bisa kujadikan alasan/supaya tingkahku masih bisa kau jangkau.//

 

Kita barangkali sudah terbiasa menafsirkan isi puisi dari sekadar membaca judulnya, dan itu tidak salah. Sebagian puisi memang kadangkala sudah tidak menarik bagi pembaca ketika isinya sudah bisa diterka. Juga persoalan lagi terkait silogisme pada puisi yang mengunggulkan bunyi rima. Ibarat sebuah pertunjukkan drama yang terlalu didramatisir hingga kehilangan greget dramatiknya.

 

Pada sebagian besar puisi ErnaNeong imajinasi tentang puisi yang ‘anteng’ itu terbantahkan. Puisinya cair, dan kalimat yang disuguhkan sedikit surealis, tetapi tidak perlu banyak mengernyitkan dahi untuk kita memahami maksudnya. Dan ini juga sungguh tidak penting.

 

Puisi, untuk dekade terkini menurut saya adalah yang enak dibaca. Itu rumus agar puisi juga bisa menjadi bahasa yang kekinian dalam arus budaya global. Dan walau puisi tidak bisa disamakan dengan segala macam produk kebudayaan instan, tetap saja ia harus memiliki ruang yang longgar dalam inklusifitas sastra.

 

Buku ini diresensi oleh Gusblero, budayawan yang juga ketua komite seni dan pertunjukkan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Wonosobo. Erna Neong sendiri merupakan penyair kelahiran Wonosobo yang telah menyelesaikan studi di Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo (2013) dan saat ini tinggal di Bali bekerja sebagai Wartawan Biografi.

 

Sekumpulan puisi cantik, dengan bahasa yang renyah, tanpa sok berpuisi, buku ini wajib dikoleksi oleh anak-anak muda jaman sekarang. Simak ini, //Di keheningan kau kusentuh berkali-kali./Ku senggamai kesepianmu menjadi anak-anak yang riang bermain sepeda.//Di keheningan kau kupermainkan.// (Poem in G Mayor). ***

Poem in G Mayor – Erna Neong

book-cover-promo_ok

cover-puisi-ema_ok

Judul: Poem in G Mayor
Penulis: Erna Neong
Kategori: Puisi
Penerbit: ISTANA PUBLISHING & MANYARKESIT PUBLISHER
Cetakan: Pertama, September 2016
Ukuran: 13 x 20 cm
Tebal: xx + 90 halaman
ISBN : 978-602-72639-6-3

Harga : 35 Ribu (belum ongkir)

Order : 0822 2335 5740, 0856 4115 8358, 0821 3525 4617

Sample poem has taken from Poem in G mayor :

 

Erna Neong:
PEREMPUAN DI SEBERANG PULAU

 

Delapan belas jejakmu ludes terjamah. Ribuan mata  mungkin sudah menelusurinya sampai lancar sampai hapal, tapi aku yakin mereka telah menutupnya kembali tanpa bertanya-tanya. Ketahuilah hanya aku yang tergelincir berkali-kali, hanya aku yang mencari-cari, di bait mana kau letakkan hatimu? Di syair yang mana kau melupakanku?
Aku tak tahu sajak itu ditujukan untuk cinta yang mana, tetapi sebagai perempuan yang pernah kau inginkan sedemikian buta, aku berterima kasih.

 

Sejak kuhadiahi lambaian tangan terakhir dan kuberi gigitan yang membekas di bibirmu, kausemakin lihai saja merubah berontak jadi puisi yang teriak. Aku mendengar jeritanmu, sungguh! Aku mendengar luka yang hingar, aku mendengar marahmu, aku mendegar makianmu, aku mendengar kau memanggilku.
Bukan, bukan aku tak ingin menyahut. Aku hanya merasa malu. Aku pantas merasa malu sebab bagimu aku hanyalah bocah kecil yang kau maklumi kesalahannya padahal aku perempuan yang menjinjing tas untuk selalu pergi dan bermain-main di luar rumah.

 

Aku masih ingat betul. Malam itu setelah bertahun-tahun kau redam harapmu, ternyata kau tak pernah bisa berpaling. Kau masih menjadi lelaki yang kukagumi dengan rambut panjangmu, dengan lukisan dari ingatanmu, dengan bola matamu yang mencoba menghindari tatapanku, dan lelaki dengan tangan gemetar dalam genggamanku. YaTuhan, Subhanallah. Ternyata malam itu menjadi malam penting bagi kita.
Malam itu ialah jalan menuju pagi yang tanpa sapaan, tanpa gurauan dua orang yang sedang bingung. Malam itu ialah sebuah pertigaan dimana kau berjalan di sisi kiri dan aku berjalan berlawanan. Sempat kau bertanya lagi “Masihkah kau mau menungguku agar kita kembali berjalan di garis yang sama?”, aku diam, tapi kau terjemahkan diamku sebagai bahasa yang tak punya kesempatan.
Tak apa, terserah pengertianmu sajalah. Aku pun jengah mengartikan keinginanku sendiri.

 

Delapan belas jejakmu sudahku baca berulangkali. Ada beberapa bagian yang ingin kukonfirmasi, tapi sungguh tak sopan jika aku menggali sampah yang sedang kau kubur. Maka kubalas sajakmu melalui keresahan sepanjang hari, kubalas sajakmu dengan kopi pahit yang kutenggak beserta aromamu, kubalas sajakmu dengan hidupku yang sepi.

 

Disini, perempuan yang pernah kau beri judul “untuk perempuan di seberang pulau” sedang tersesat menuju kesembilan belas jejakmu. Semoga selalu ada jejak baru yang bisa kujadikan alasan supaya tingkahku masih bisa kau jangkau.

 

300 Detik, Irene

gusblero - irene

aku pengembara malam yang selalu tak selesai menjelajahi dahimu
apa yang kau simpan, Irene
apa yang kau simpan diantara dua alismu
malam terang bulan dan aku terpukau pada dahimu

 

aku gandrung
apa yang kau simpan di dahimu, Irene
semesta meruang, segala rasa kosong tanpamu
tubuh dan hatiku lunglai, tak beranjak
tak berdetak, tak ternoda

 

kunikmati cinta saat tidurmu
malam terang bulan dan aku terpukau pada dahimu

 

Gusblero, Agustus 2016