Dieng banjir? Itu jelas penerapan kalimat yang sungguh membingungkan. Bagaimana bisa Dieng banjir, lokasinya saja berada di ketinggian 2090 meter diatas permukaan laut, berukuran panjang 1 kilometer dan lebar 0,8 kilometer.
Dieng jaman baheula adalah kaldera atau ceruk kawah dari gunung Prau purba yang kemudian membentuk semacam danau yang dikenal dengan nama Bale Kambang. Dan karena bentuknya yang seperti ceruk inilah bila turun hujan ekstrim sangat dimungkinkan airnya akan menggenang.
Penulis lokal yang pertama membahas mengenai Dieng adalah Soetjipto Wirjosuparto. Dalam bukunya yang berjudul Sedjarah Bangunan Kuna Dieng (1957). Secara ekplisit dituliskan juga perlunya sudatan yang berfungsi sebagai saluran air di wilayah ini.
Dikatakan kompleks Dieng pertama kali dikunjungi tahun 1814 oleh H.C.Cornelius, dan menurut laporannya, dataran Dieng masih berupa danau dan di antara candi-candinya ada yang terendam air. Baru tahun 1856 pemerintah Hindia Belanda menunjuk Isidore van Kinsbergen untuk memimpin upaya pengeringan lokasi dengan mengalirkannya melalui saluran Aswatama.
Proses pengeringan menuju level aman huni ini memakan waktu tidak kurang 8 tahun, hingga tahun 1864 pencatatan dan pengambilan gambar bisa dilakukan oleh Isidore van Kinsbergen.
Isidore van Kinsbergen (lahir di Bruges 1821, meninggal di Batavia 1905) adalah fotografer dari Belanda yang sangat populer pada abad kesembilan belas. Dedikasi karyanya diakui internasional dalam mengabadikan berbagai situs yang ada di seluruh pelosok dunia.
Ia menghasilkan tak kurang 400 karya monografi foto arkeologikal dan budaya pertama orang Jawa selama periode Hindia Belanda pada abad ke-19.
Isidore van Kinsbergen dikenal sebagai seniman flamboyan yang bisa menuangkan imajinasi dan gambaran kenyataan secara utuh dalam karya fotografi, hingga tak sedikit kalangan yang menjulukinya sebagai ‘sleeping beauty’ atau keindahan yang tertidur.
Pengabdiannya yang tak kenal lelah kemudian menempatkan Isidore van Kinsbergen dalam lingkaran elit pemerintah Hindia Belanda, bahkan dikatakan sebagai ‘jiwa’ dari kehidupan seni kolonial di Batavia. (GBF)