Sudah beberapa lama orang bertanya kepada saya tentang Cak Nun. Tidak hanya beberapa Ashabus Saba sahabat-sahabat di negeri Saba, lebih banyak lagi yang dari dunia maya, dan lebih banyak lagi bahkan teman-teman yang ada di seputaran Yogya. Ini cukup aneh.
Ada banyak orang menggambar Cak Nun terlalu rumit dengan imajinasi visual yang dimisterius-misteriuskan. Bukan hanya dari kalangan progresif yang sepemikiran dengannya, namun juga dari kelompok oposan yang berseberangan dengannya.
Padahal, menurut saya, Cak Nun adalah bagian dari diri kita semua yang simpelnya ingin melakukan pembaitan diri dalam hal peribadatan dengan semampu cara yang kita lakukan. Teologi yang membebaskan. Tidak menempatkan yang sunnah menjadi sebuah kewajiban, dan tidak pula menaruh karakteristik dogma menjadi sesuatu yang memberatkan.
Bagi saya Cak Nun adalah seorang Hujjatul Bidayah. Seseorang yang membukakan pemahaman utuh manifesto tertinggi dalam wilayah agama, yaitu adab. Kewajiban bagi orang yang berakal. Tentang membendung sakit dan bagaimana mengalirkannya dengan benar. Dan mengajarkan bagaimana mengolah cinta yang terlalu agar kemudian tidak menjadi benalu.
Untuk saya, bertemu dan berbicara dengannya itu paling enak satu jam. Saya mengukur diri, lebih dari itu bisa gawat. Itu sama dengan dua orang yang bertemu dalam sebuah kolam untuk ngadem, menenangkan diri.
Satu jam bertemu dengannya sudah cukuplah. Karena dua jam berikutnya pasti ia akan mengajak kita berenang. Tiga jam berikutnya mengajak kita menyelam. Empat jam berikutnya mengajak kita slulup, menyelam lebih dalam. Lima jam Enam jam berikutnya mengajak kita menyelam lebih dalam dan menyelam lebih dalam lagi. Hingga kalau tidak kuat-kuat bakal ngalamat, bisa-bisa kita tenggelam.
Ini mengingatkan saya pada kisah pertemuan antara Kanjeng Nabi Musa dan Kanjeng Nabi Khidr. Andai saja waktu itu Kanjeng Nabi Musa bisa membatasi ketemu cukup satu jam saja. Ngobrol dan ngopi bareng tidak usah eyel-eyelan mungkin akan lain kejadian akhirnya.
Tetapi itulah jiwa korsanya seorang salik. Apalagi seorang Nabi yang diasuh sendiri oleh Allah. Pantang dihambat kelelahan, pantang dijinak lenakan godaan, yang pada akhirnya bisa mendudukkannya pada maqam bisa dipercaya.
Itulah yang utama. Bukan soal kepintaran yang utama bagi seorang dalam menyampaikan kebenaran, tetapi hadirnya watak bisa dipercaya. Karena sesungguhnya kewajiban seorang salik adalah layak dipercaya. Yang dengan itu ia bisa bersaksi untuk kemuliaan mursyid (gurunya), di dunia hingga di akhirat kelak.
Ulang Tahun seperti musim buah, ia datang dan berulang setiap tahun dan disuka citakan orang-orang yang mencintainya.
Diawal waktu, kehidupan seperti pohon dengan akar yang rapuh dan pokok kecil yang gemetar diombang-ambingkan cuaca. Maka setiap tahun kita mengulang tahuninya. Kita menyanyikan banyak lagu untuk menyirami hatinya agar bergembira. Kita memberinya pupuk semangat agar tetaplah menjadi hidup beranjak besar seperti harapan kita. Kita mendoakannya seperti kita mendoakan diri sendiri agar tak kehilangannya.
Hingga pohon berbuah yang pertama. Warna-warninya banyak menggoda orang untuk memetiknya. Orang-orang berfoto selfie berfoto wefie, tetapi tetap tak boleh semena-mena. Karena setiap pohon ada pemiliknya, setiap pohon ada penjaganya.
Lalu datang musim berikutnya. Begitulah kemudian kita menandai waktu bagi keberadaannya yang istimewa. Kita mengulang tahuninya untuk menunjukkan syukur atas hidup yang telah diberikan Allah Yang Maha Kuasa. Kita mendoakannya agar kita tak kehilangan kesempatan untuk bersama-sama tetap hidup hingga tahun-tahun berikutnya.
Maka demikianlah ulang tahun kemudian terus berulang seperti musim buah. Ia menjadi istimewa bagi orang-orang yang menyukainya. Dan ia menjadi tambah istimewa jika setiap musimnya pohon berbuah dan bertambah memberikan keberkahan bagi orang-orang di sekelilingnya.
Begitu jugalah aku memandangmu. Jadilah pohon yang kuat dipenuhi buah kebaikan bagi orang-orang yang melihatmu. Hidup harus memiliki inspirasi agar kemulian yang dianugerahkan Yang Maha Hidup menjadi berarti.
Selamat Ulang Tahun, Istriku…..semoga sepanjang musim ramah kebahagiaan..
Namanya Rayyan. Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi ia bilang ingin sekali umrah, mendekat ke Baitullah untuk berdoa, memohonkan kesembuhan bagi ibunya yang sudah lama sakit. Orang-orang tersentak. Mendadak banyak mata berlinang, orang-orang menangis.
Rayyan, bisa jadi ia memang wayang kecil yang dikirim sebagai ilham dari sorga. Ia adalah pewaris ajaran Nabi, yang begitu ingin memuliakan ibunya. Ia bilang, seorang ibu lebih penting dari segalanya. Lagi-lagi sebuah jawaban yang sungguh mengharukan dari seorang anak. Tetapi kali ini orang-orang sudah tidak lagi tersentak. Orang-orang sudah berlinang air mata.
Kamis 8 Maret 2018 lalu, bahkan para Malaikat di penjuru langit nampaknya harus mengucapkan shalawat dan salam lebih keras lagi, utamanya kepada si bocah mulia Rayyan. Ibunya yang begitu disayang dan terus dijaganya itu pada akhirnya meninggal.
Toh begitu. Kepada umrah yang belum sempat dilaksanakan bocah itu tak hendak menunggu. Untuk seorang ibu, bahkan entah di manapun berada sebuah doa tak boleh tertunda. Apakah kemudian masih banyak orang akan menangis, itu sudah tidak penting. Satu hal pasti, sorga yang lapang akan terus menunggu entah kapan kedatangan si bocah mulia yang tengah pekan ini telah kehilangan ibunya.
………………..
Puluhan pelayat terus berdatangan ke kediaman Al Rayyan Dikri Nugraha (10), di Dusun Gedongan, Desa Blondo, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mereka silih berganti menyampaikan belasungkawa serta memberi penghiburan kepada bocah laki-laki itu.
Sebagian dari mereka tak kuasa menahan air mata, lalu menyalami dan memeluk anak itu. Begitu juga dengan Rayyan yang terlihat menyimpan duka mendalam. Sesekali ia menyeka air mata. Betapa tidak, kini Rayyan tidak bisa lagi berjumpa dengan sang ibu, Ani Supriyatin. Wanita yang melahirkannya itu telah tiada pada Kamis (8/3/2018) akibat penyakit gagal ginjal.
Kisah pilu tentang Rayyan dan ibunya sempat viral belum lama ini. Rayyan yang masih duduk di bangku kelas III sekolah dasar itu menghabiskan waktu untuk merawat ibunya di RSUD Tidar Kota Magelang. Tanpa alas tidur dan tanpa makanan, Rayyan tulus merawat ibu tercintanya itu. Dengan telaten, bocah yang bercita-cita sebagai anggota TNI tersebut menyuapi sang ibu, memijat, menuntun ke kamar mandi, hingga membersihkan kotoran ketika ibunya muntah-muntah.
Kondisi tersebut praktis membuat Rayyan tak bisa sekolah, apalagi bermain seperti teman-teman sebaya lainnya. “Saya sayang sekali sama ibu. Saya tidak mau berpisah,” kata Rayyan saat ditemui di bangsal Gladiol no 14 RSUD Tidar Kota Magelang, Jumat (16/2/2018).
Beruntung, pihak sekolah Rayyan sudah memahami kondisi Rayyan dan ibunya sehingga Rayyan diperbolehkan tidak masuk sekolah ketika harus menjaga sang ibu di rumah sakit. “Pak guru dan bu guru enggak pernah marah. Mereka tahu saya harus merawat ibu,” ucapnya.
Ketika ditanya mengenai sang Ayah, Rayyan mengatakan tidak pernah mengenal siapa Ayah kandungnya. Sejak kecil hanya ibu yang mengasuhnya. Sehari-hari ibunya bekerja berjualan kue dan makanan kecil. Hidupnya juga berpindah-pindah dari kos ke kos. Ani sendiri begitu bersyukur memiliki anak Rayyan yang sangat berbakti. Meski dirinya sendiri merasa sedih karena Rayyan yang masih kecil malah harus merawat dirinya yang sakit-sakitan.
“Anak ini telaten merawat saya, dari membantu mengangkat tubuh, mengganti baju bahkan baju dalam, sampai ke kamar mandi juga dibantu Rayyan,” ujarnya sambil berurai air mata di atas kursi roda sambil memeluk Rayyan.
Cerita tentang cinta kasih, saya punya kisah yang akan jadi sejarah bagi hidup saya sendiri. Cerita tentang sebentuk perhatian yang saya maknai sendiri sebagai anugerah Allah dalam kehidupan ini.
Januari 2018 adalah bulan pertama anak saya kerja selepas lulus kuliah. Nothing special, langkah pertama dalam hidup dimulai. Saya hanya melihat anak saya bangun pagi, mandi, berangkat kerja, sore pulang, mandi, shalat, ngobrol sebentar seperti keseharian.
Saya tak pernah mempengaruhi ia harus menjalani hidup bagaimana, seperti apa, dan lain sebagainya. Kecuali satu hal, saya mengajarinya prinsip, laku utama dalam hidup.
Pebruari awal 2018, saya mulai sedikit kaget. Tangki motor butut saya penuh terisi bensin, tetapi saya lupa bertanya siapa yang sudah mengisinya. Lalu Selasa siang 6 Pebruari 2018 sebuah screenshot melayang via wa, saya ditransfer 500 ribu rupiah, dari anak saya.
Subhanallah wa Allahu Akbar. Itu pasti dari gaji anak pertama saya. Saya klarifikasi, dan benar. Saya bilang Isa ga perlu kirim-kirim, btw transferan itu akan tetap saya simpankan untuknya. Anak saya hanya membalas pendek, nggak apa-apa, itu untuk papa.
ITU UNTUK PAPA. Perhatikan kalimat ini, dan rasakan getarannya. Saya tidak akan mengatakan tentang jumlah, 500 ribu rupiah hari ini bisa besar bisa kecil. Tetapi yang terbesar adalah ia Isa, anak saya itu, menampakkan perhatiannya kepada orang tua, dan itu yang paling penting.
Dalam usia semuda itu, barangkali ia sadar betul pada hari-hari yang tak mudah kami lewati. Sampai di titik kuliah rampung dan dipercaya untuk diajak bekerja pada sebuah instansi pemerintahan adalah miracle. Keajaiban besar dalam kehidupan kami yang kecil.
Pebruari adalah bulan kasih sayang. Anda boleh silahkan terus untuk saling berdebat tentang makna Valentine di bulan Pebruari. Sementara itu biarkan saya tertunduk pada Kasih Sayang Allah yang memenuhi seluruh ruang-ruang persepsi dan imajinasi saya pada nilai-nilai spiritualitasi: Allah tengah tersenyum.
Dan itu cukup untuk menjelaskan, doa-doa saya selama ini tidak gagal, tetapi Ia telah mengaturnya. Bahkan seandainya seribu doa saya dicoret-Nya sekalipun, saya merasa anugerah kali ini masih begitu besarnya untuk kehampaan saya yang begitu kecil. Saya malu begitu malunya.
Ini hari kasih sayang. Semisal ini hari yang mujarab bagi terkabulnya sebuah pengharapan, maka sepenuhnya saya akan memohon agar Allah berkenan untuk terus membimbing, melindungi, memberikan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada anak-anak saya Isa Maulana Tantra, Ellia Sina, Suryo Atmojo Bonanza Raya.
Tak banyak yang saya bekalkan kepada Isa selama ini, kecuali menyingkirkan dendam, melupakan kepahitan, menahan diri, percaya dan mengimani pertolongan Allah.
Cukup tak cukup pada akhirnya Kehendak Allah juga yang terjadi. Begitulah saya berbagi sedikit kebahagiaan ini.
Jabat erat dan salam untuk semua…la haula wala quwwata illa billah Al Malikul Haqqul Mubin.
Saya terkekeh begitu melihat foto ini terpampang di caknun.com. No no no big no no no. Sama sekali ini bukan soal yang lucu, walau pun foto itu bisa mendeskripsikan sesuatu yang menggelitik.
Perhatikan, bahkan seorang polisi Arab pun terlihat seperti terus menguntit. Bukan stalking, lebih tepatnya mengawasi. Jowo tulen yang sedang umroh ini barangkali gelagatnya cukup membingungkan bagi para khadamul ka’bah. Sementara orang lain saling berebutan minta keberkahan doa para syeikh, lelaki ini malah mondar-mandir tanpa juntrungan.
Masih beruntung polisi itu tidak tahu kalau lelaki ini dalam jagad kebudayaan Jawa dikenal setingkat begawan, rumahnya pun dekat candi. Salah-salah bisa menimbulkan paradoks axioma yang berujung bid’ah. Belum lagi jabatannya sebagai seorang Hamengku Adat, The President of Five Mountains. Kalau data ini masuk keimigrasian kerajaan Saudi bisa jadi juga akan memunculkan kehebohan lain yang tak serenta rampung diselesaikan bahkan dengan membaca tujuh kali istighfar.
Ya. Tanto Mendut memang seorang begawan, atau lebih tepatnya ada seorang begawan yang terjebak dalam tubuh (raga) Tanto Mendut. Dalam hal spiritual (baca: roso, rasa), ia adalah panembahan jati yang men-transkrip nilai-nilai agama dalam laku murni. Ia adalah uncle Maiyah, dalam literasi nasab jam’iyyah Maiyah Nusantaranya Cak Nun.
Hidupnya penuh penderitaan, begitu ia sering mengaku. Dan saya pikir saya cukup bisa memahami alasannya. Hari ini ketika Agama harusnya hadir menjadi pembeda yang sempurna dari eksklusifitas keragaman hukum-hukum Adat, nyata-nyata justru menjadi risalah kelompok semata. Banyak orang menafsirkan Kitab Allah yang berisi Kalimat-Kalimat Allah dengan memposisikan diri sebagai personifikasi “wakilnya Allah” untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan manusia di bumi. Ini gila.
Maka menjadi tidak mengherankan jika tertangkap ekspresi yang campur aduk manakala Mbah Tanto kita ini masuk lingkaran Ka’bah, wilayah yang disucikan bahkan dari Nabi ke Nabi. Ia terlihat limbung, goyah dan menahan tangis di lautan Rahmah. Sepertinya ia melihat Allah begitu dekat men-tajalli. Dan kemungkinan yang paling diinginkannya adalah kehadiran istri, anak-anak dan cucu di sampingnya untuk bisa ikut merasakan bersama dan berbagi ke-asyik masyu’-an itu.
Entahlah. Tulisan ini bisa saja salah, namun satu hal pasti saya tak akan pernah ngawur dalam memberikan penghormatan. Dan saya tak akan pernah berhenti mencari jalan untuk memuliakan orang-orang yang sangat saya hormati.
Hampir satu bulan penuh selama Nopember 2017 saya menyimak ceramah-ceramah Ustaz Abdul Somad melalui media Youtube.com. Bukan berarti tiap jam atau tiap hari saya mendengarkan ceramahnya, tetapi barangkali ada sekitar hampir dua puluh videonya saya telah menyimaknya.
Sudah pasti itu jumlah video yang cukup banyak. Kalau ada yang bertanya kenapa saya mau menyimaknya, jawabannya adalah karena saya mau belajar, titik. Lalu kenapa Desember 2017 saya sama sekali tidak menontonnya, jawabannya karena saya sedang banyak urusan, begitu saja, titik.
Saya memiliki banyak Guru, baik yang mengajari saya secara langsung berhadap-hadapan atau pun yang tidak secara langsung. Adalah sesuatu yang sungguh-sungguh menyalahi adab manakala kita hendak mencari Mursyid namun terus membanding-bandingkan antara Guru yang satu dengan Guru-Guru lainnya.
Saya tentu tidak bisa membanding-bandingkan antara Guru saya yang Kiai kampung dengan Simbah Kiai Maimun misalnya. Dengan Cak Nun, dengan Gus Mus, dengan Habib Lutfi, dengan Ustaz Abdul Somad, atau pun dengan para alim ahlal ‘ilm lain-lainnya. Pada setiap Guru ada ke-khas-an masing-masing, yang mana kita bisa belajar cara menghisap lembut, memukul keras, atau bertahan dan menjaga keseimbangan.
Awal tahun 2018 ini dunia ceramah masih berisi hingar silang sengkarut pendapat terkait Ustaz Abdul Somad. Bagi saya ini sungguh menyedihkan. Kurun tiga tahun terakhir kita sudah nyaris berada diambang kejumudan dengan cerita-cerita picisan ustaz-ustaz fashion yang mengisi infotainment begitu rupa. Dan kini, ketika di atas panggung muncul Ustaz Abdul Somad bak katalisator dengan dalil-dalil shahih (maafkan kedangkalan ilmu saya), tetap saja kita tak geming dalam pendapat, tak goyah terus berdebat.
Saya, tentu tidak berhak untuk menjustifikasi apapun tentang Ustaz Abdul Somad. Orang Jawa bilang, ilmumu kuwi sepiro wani-wanine ngukur wong liyan (ilmumu itu seberapa hingga berani-beraninya menakar orang). Tetapi bagi saya jelas, tindakan membutakan diri, menulikan telinga, merasa benar sendiri dan tidak mau belajar untuk memahami itu lebih dari sekadar sifat munafik yang sudah seharusnya tidak kita pelihara.
Akan aneh kalau kita bisa bicara mari belajar pada padi yang tumbuh di sawah lalu kita tidak mengindahkan bagaimana cara menyiram tanaman. Akan terlihat dungunya kalau kita bicara mari berguru pada alam sambil menaruh kesabaran, lalu pada manusia lainnya kita tidak mau diingatkan.
Membuka kembali lembaran kisah Kanjeng Nabi Musa AS yang kemudian harus berguru meluaskan pemahaman hakikat pada Kanjeng Nabi Khidr AS kita bisa belajar tentang tasyri’ dimensi illahiyah dan dimensi insaniyah. Kita boleh beradu pintar soal tafsir agama, namun satu hal pasti Allah akan menjaga kemuliaan agama itu sendiri.
Allah tidak pernah ragu menempatkan Kanjeng Nabi Ibrahim AS kecil dalam lingkungan keluarga pembuat berhala yang jelas-jelas menyekutukan-Nya untuk kemudian dijadikannya Kanjeng Nabi Ibrahim AS “Bapak Paranabi” yang menegakkan agama-Nya. Seperti halnya Allah tidak pernah cemas menaruh bayi kecil Kanjeng Nabi Musa AS dalam timangan raja Fir’aun dan menunjukkan pada puncak tarikh pada akhirnya Kehendak Allah-lah yang pasti akan menang.
Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jangan begitu. Kita terlalu gemar menaruh keberadaan para alim dalam lingkar simpul politik kemudian mengulitinya ramai-ramai dalam sudut pandang kelompok kita semenjana. Jangan begitu. Tidakkah kita belajar bagaimana Allah menghadirkan sekalian para Nabi para ahlal ‘ilm para Guru para Pencerah justru di kalangan masyarakat yang tidak pernah menyadari sendiri kebobrokannya?
Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jangan begitu. Ittaqullah wayu’allimukumullah, bertaqwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajarimu. Subhanallah!
Setelah cukup lama melihat kejuangannya dalam membantu anak-anak sekolah menyeberangi sungai, pagi ini melalui TvOne saya melihat Serka Darwis muncul di televisi.
Seorang pemalu untuk ukuran tentara, namun ini bisa dimaklumi. Reporter TvOne menempatkannya sebagai seorang ‘hero’, yang justru dijawab Serka Darwis dengan pandangan lebih banyak menunduk.
Ia sungguh orang baik, orang baik yang tidak ingin mengekploitasi kebaikan yang telah dilakukannya. Lebih dari itu ia seakan ingin berkata kepada Negara: “Saya serdadu, saya Tentara. Maafkan jika selama pengabdian saya belum bisa berbuat lebih untuk Negara laiknya Tentara.”
Ia sungguh orang baik, orang baik yang tidak berupaya memaksa orang untuk menangis. Tetapi dalam kalimat-kalimat pendek yang diucapkannya dengan sedikit patah-patah, kita tahu ia memiliki sejumlah heroisme yang dibutuhkan Negeri ini tanpa gembar-gembor dan teriakan heroik. Ia mengucapkan Terima Kasih pada Negara yang telah mengangkatnya menjadi Tentara.
Salam haru, Serdadu….jabat erat saya untuk Anda!
Gusblero Free
Link berita: https://news.detik.com/berita/3589134/tekad-baja-tentara-darwis-bantu-anak-sekolah-seberangi-sungai
Pengenalan tentang seorang tokoh pengendali api yang ada di Indonesia berawal dari kisah Edward Richards yang sudah hampir lima tahun mengembara untuk mencari seorang ‘guru’ yang diketahuinya melalui buku dan penayangan sebuah program televisi di negaranya, Chicago, Amerika Serikat.
Kisah itu kemudian menjadi Head Story yang ditampilkan Koran Harian Jawa Pos, edisi Sabtu 29 Januari 2005. Targetnya jelas, barangkali ada masyarakat yang bisa memberikan informasi seputar John Chang, tokoh dimaksud Edward Richards dalam buku.
Beruntung bagi Edward Richards, tayangan berita itu kemudian direspon oleh ‘seseorang’ yang lalu benar-benar bisa mempertemukannya dengan master John Chang (Djiang) secara langsung.
Berikut sedikit ulasan kisah yang bisa dikumpulkan dari narasumber David Kuntadi (by email), tentang upaya Edward Richards dalam menemukan ‘guru’ yang dikabarkan mampu membakar koran dari jarak 1 meter dengan tangan kosong, mampu membunuh orang hanya dengan memegang saja, dan mampu memukul/menggerakkan benda-benda dari jarak jauh.
Jawa Pos Sabtu, 29 Januari 2005
Edward Richards adalah pria asli Chicago, Amerika Serikat. Sudah hampir lima tahun ini dia mengembara untuk mencari seorang “guru”. Guru ini hanya dikenalnya lewat buku dan program televisi di negaranya. Pencariannya itu menghantarkan Edward ke Surabaya.
Kamis (27/1/2005) malam lalu adalah hari kedua Edward Richard berada di Surabaya. Dengan memakai kaus oblong dan celana pendek, dia datang ke redaksi Jawa Pos. Bule berkumis itu membawa sebuah buku yang sudah hampir lima tahun dimilikinya. Buku setebal 208 halaman itu berjudul The Magus of Java: Teachings of an Authentic Taoist Immortal. Pengarangnya adalah Kosta Danaos, penulis dari Yunani.
Tak tampak kelelahan di wajah Edward. Padahal, seharian penuh dia mengelilingi Surabaya. Pria 44 tahun itu mendatangi satu persatu tabib dan shinshe di kota ini. Salah satu tempat yang sudah diubek-ubek adalah kawasan Jalan Jagalan. Tak ketinggalan beberapa klenteng pun disambanginya.
Gerangan apa yang sedang dicari Edward? “I’m looking for this man,” katanya kepada Jawa Pos. Saat mengucapkan kalimat itu, Edward menunjuk salah satu halaman pada buku yang dibawanya. Halaman itu berisi foto seorang pria yang sedang bermeditasi. Nama pria itu adalah John Chang.
Ya. John Chang adalah seorang master yang kisahnya diangkat dalam buku karangan Kosta Danaos tersebut. Dia adalah seorang “paranormal” keturunan Tionghoa di Indonesia. Buku itu menjelaskan secara rinci kemampuan John Chang.
Di situ tertulis bahwa John Chang adalah seorang telekinesis (mampu menggerakkan benda dari jauh), pyrokinesis (mampu menciptakan api), telepatis dan kemampuan lainnya.
Selain itu, John Chang juga disebut menguasai teknik akupunktur dan thai chi. “Dia menguasai aliran yang disebut nei kung,” terang Edward.
Nah, kemampuan inilah yang membuat hati pria yang masih lajang itu terpikat. Apalagi, dia mengaku mengalami masalah kesehatan. “Saya ingin berobat kepada orang itu,” katanya. Menurut Edward, dia punya gangguan di punggung bawah dan hernia yang sudah menahun.
Mengapa tidak dioperasi di Amerika saja? Edward hanya menggeleng sambil tersenyum. Menurutnya, dia lebih tertarik kepada John Chang itu. Sebab, yang dilakukan suhu itu tak hanya menyembuhkan. Tetapi, John Chang juga punya metode untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Yaitu, dengan membangkitkan energi chi seseorang.
Inilah yang membuat Edward rela menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari sang guru. Pencarian ini sudah dimulai pertengahan 2000 lalu saat Edward tak sengaja membeli buku The Magus of Java itu. “Saat saya membaca, saya ingat bahwa saya pernah melihat orang ini di televisi, sekitar 10 tahun lalu,” katanya.
Memang benar. Pada 1988, John Chang memang pernah ditampilkan di salah satu televisi di Amerika. Saat itu John tampil pada sebuah acara dokumenter bertajuk Ring of Fire. Dokumenter ini dibuat oleh Lourne dan Lawrence Blair. Dan, film ini sangat fenomenal. Sebab, kemampuan John Chang terekam dengan jelas. Misalnya, bagaimana John menunjukkan penguasaannya menguasai fenomena chi atau bio energi. Bahkan, film itu juga menunjukkan bagaimana John mampu menyembuhkan penyakit mata sang pembuat film. Atau, bagaimana John bisa membakar koran dengan tangannya.
Sejak itu, ribuan orang berusaha mencari identitas John. Konon, hanya ada lima orang yang berhasil. Dan, salah satu di antaranya adalah Kosta Davaos, sang penulis buku. Kosta bahkan sempat magang selama beberapa tahun kepada John Chang.
Sayangnya, walaupun ada buku dan film yang merekam kemampuan John, ada satu hal yang tak pernah diterangkan. Yaitu, identitas sang guru. “Mereka tak menyebut alamatnya. Bahkan saya rasa, nama John Chang juga bukan nama asli,” tutur Edward.
Tetapi, Edward tak mau putus harapan. Sebisa mungkin dia berusaha mencari video yang pernah diputar di televisi di negaranya itu. Dan dia mendapatkannya. Berbekal buku dan video itulah dia memulai pencariannya.
Pada November 2002 lalu, Edward pergi ke Jakarta. Dia mengaduk-aduk kawasan pecinan. Ketika itu, dia bertemu dengan salah satu murid John Chang. Ucapan syukur sempat meluncur. “Saya rasa, saya sudah dekat kepada guru itu,” katanya. Tetapi, murid tersebut ternyata tak mau menunjukkan alamat gurunya. “Dia sudah bersumpah tak mau membuka identitas sang guru,” sambung Edward. Meski demikian, murid itu sempat menyebut satu kota: Surabaya.
Edward pun kembali ke negaranya. Dia mencoba mengecek kembali keberadaan sang guru. Informasi baru pun dia peroleh. “Guru itu tinggal di kota besar di Jawa Timur. Sekitar 400 mil dari Jakarta,” katanya. Dan, Edward pun semakin pasti bahwa guru itu tinggal di Surabaya.
Awal pekan lalu, dia tiba di kota ini. Dengan diantar salah satu staf Hotel Novotel, tempatnya menginap, dia mengelilingi kota ini. Tetapi, hasilnya masih nihil. “Semua menjawab tak tahu,” katanya. “Mungkin mereka juga diberi pesan untuk merahasiakan alamatnya,” sambungnya.
Meski demikian, Edward belum menyerah. “Saya punya waktu dua minggu untuk mencarinya. Jika tidak ketemu, saya akan datang lagi lain waktu,” katanya. Bahkan, dia pun menghimbau jika ada orang yang tahu alamat sang guru, bisa mengirim surat atau email kepadanya. Alamatnya: Edward Richards, 3540 N. Southport #116, Chicago, IL 60657 USA. Atau email: [EMAIL PROTECTED].
Jawa Pos Rabu, 02 Februari 2005
Akhir Pengembaraan Edward Richards, Warga Amerika yang Mencari Guru Chi
Papa Tidak Sakti seperti Dewa Impian Edward Richard, warga Chicago, Amerika Serikat, yang ngebet ingin bertemu pakar chi (bio energi)John Djiang, akhirnya terkabul. Sabtu lalu (29/1/2005), Edward berhasil mendapatkan kontak, bahkan menemukan alamat John di Surabaya. Bagaimana perasaan Edward setelah menemukan jejak “sang guru” yang hampir lima tahun dicarinya itu?
Hari itu mungkin menjadi salah satu hari yang membahagiakan Edward Richard. Hari itu seakan menjadi akhir pencarian panjang yang dilakoni Edward sejak 2000. John Chang, pria yang dicarinya, sudah ditemukan. keberadaan dan identitas John Chang diberitahukan oleh seseorang yang menelepon Edward. Tak heran, pagi itu Edward langsung keluar dari kamar Hotel Novotel, tempatnya menginap selama ini, untuk menemui sang “guru” yang selama ini ingin ditemuinya.
Saat ditemui di loby hotel siang itu, wajah Edward tampak lega, plong. Saat turun dari van putih yang mengantarnya, pria 44 tahun itu tersenyum gembira. Dia lalu menjabat tangan Jawa Pos. “I found him (Saya sudah menemukan dia — John Chang–, Red.),” katanya. Namun, ketika itu Edward tak langsung bisa bertemu dengan John. “Saat saya ke rumahnya, dia memang belum pulang. Dia sedang ke luar kota. Saya belum bertemu langsung,” terangnya. Akhirnya bule berkumis itu berjanji akan menemui John lagi pada Senin (31/1/2005) lalu. Sayang, Edward tak bersedia menunjukkan alamat John. “Saya rasa, dia tak ingin publikasi,” kilahnya. Kok jadi mudah sekali Edward bisa menemukan John yang dicarinya hampir lima tahun ini? “No, no. It’s not easy at all (Sama sekali tak mudah, Red.),” katanya sedikit merengut. “Tetapi, karena kamu menulisnya di halaman depan koran, itu membuat sedikit mudah,” sambungnya.
Koran ini memang memuat features tentang “petualangan” Edward selama hampir lima tahun mencari guru chi John Chang pada Sabtu (29/1/2005) itu. Tulisan itu menceritakan tentang Edward yang mengaku penasaran dengan keberadaan John Chang. Edward tahu tentang John dari buku The Magus of Java: Teachings of an Authentic Taoist Immortal. Buku setebal 208 halaman itu dikarang oleh Kosta Danaos, penulis asal Yunani. Dalam buku itu disebutkan bahwa John ada di Jawa. Tapi tidak ada alamat detilnya. Tak heran jika Edward mesti merunut jejak John dari kota ke kota lain. Selain itu, Edward juga sempat menonton John di salah satu program televisi di negaranya. Film dokumenter itu berjudul Ring of Fire yang dibuat oleh Lourne dan Lawrence Blair, dari Inggris. Film itu diputar di AS pada 1988.
Yang membuat Edward terpikat dan penasaran, buku dan film tersebut menceritakan tentang keampuhan John Chang. John diprofilkan menguasai bio energy atau lazim disebut chi. Bahkan, John disebut-sebut mampu membuat api dari telapak tangannya (pyrokinesis) atau menggerakkan barang dari jauh (telekinesis). Di dalam buku itu disebutkan pula bahwa John adalah “suhu” aliran nei kung.
Memang, segala kemampuan yang ditulis tentang John itu seolah di luar akal sehat. Tapi, “kesaktian” John yang luar biasa itulah yang membuat Edward tertarik untuk mengobatkan sakit punggung dan hernianya kepada guru chi itu. Memang, setelah penayangan tulisan pencarian Edward itu, beberapa pembaca yang mengenal John sempat menginformasikan alamat yang bersangkutan di S (pihak keluarga John minta detil alamatnya dirahasiakan dengan alasan untuk privacy, Red.). Mereka memberi tahu bahwa John lebih dikenal dengan nama suhu Dji Djiang. Rumahnya di salah satu perumahan di kawasan Surabaya Barat.
Jawa Pos yang kemarin berusaha menemui John Chang di rumahnya, hanya ditemui putranya,Johan Chang. “Papa sedang ke luar kota,” katanya sambil tersenyum ramah. Johan menceritakan, setelah kasus pengembaraan Edward itu diberitakan koran ini, banyak orang yang tiba-tiba menelepon rumahnya. “Kami sampai pusing,” sambung pria berkulit putih itu.
Keluarga John memang sempat puyeng. Sebab, mereka tak pernah memandang papanya sebagai orang berilmu. Menurut mereka John hanyalah salah satu praktisi akupuntur. Sederetan nama tokoh terkenal memang pernah berobat kepada John. Salah satu yang disebut Johan adalah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Red). Ketika disinggung bahwa orang mengenal John dari buku-buku atau film yang menceritakan tentang sosok John, Johan dengan cepat menjawab, “Buku-buku itu banyak yang membual dan melebih-lebihkan.”
Johan mengatakan bahwa ayahnya tak punya kesaktian seperti yang dibilang dalam buku tersebut. Memang, semua dokumentasi itu menulis bahwa John punya keampuhan bak dewa. “Tetapi, orang kan ada kelebihan dan kekurangannya,” kata Johan. Tentang Edward yang mencari papanya selama hampir lima tahun, Johan mengakui bahwa papanya sudah bertemu warga AS itu. Bahkan, John juga bersedia mengobati penyakit Edward. “Papa saya sebenarnya sudah pensiun. Dia kan sudah 66 tahun,” katanya. “Papa mencoba menyembuhkan sakit punggung Edward,” kata Johan. Sebab, hanya penyakit yang berhubungan dengan saraf yang bisa disembuhkan lewat akupunktur. Sedangkan penyakit hernianya, menurut John sulit disembuhkan dengan ilmu akupunktur. “Apalagi papa saya kan bukan dewa,” tandas Johan.
Dan untuk diketahui, saat ini John Chang sudah tidak menerima pasien atau pun murid lagi.
Kalau chikung yang dilatih kebanyakan orang mengumpulkan chi yang (positif) belaka. Sementara tahap neikung adalah penggabungan dari tenaga yin dan yang dimana penggabungan kekuatan ini sangat dasyhat. Kekuatannya hampir sama dengan kayak film Dragon Ball Z.
Fenomena paranormal Nei Kung
Mungkin orang kebanyakan pasti menganggap konyol dan mengada-ada, tetapi itulah rahasia Tao sebenarnya. Di dunia ini konon memang hanya mendiang gurunya John Chang saja yang mencapai tahap tertinggi Taoist Immortal.
Seseorang yang berhasil mencapai tahap neikung dia akan menguasai beberapa kelebihan diantaranya pyrogenesis, telekinesis, levitation, dan komunikasi dengan tetua-tetua yang telah meninggal sebelumnya yang belum menjadi dewa. Terkait hal ini sekaligus untuk menjelaskan bahwa kalau ada orang yang sembahyang katanya dirasuki dewa ataupun dewi itu hanya bohong belaka. Yang ada paling utusannya doang, bukan dewa atau dewi yang bersangkutan. Kalau sudah jadi Dewa tidak mungkin bisa dipanggil lagi karena dia sudah tidak ada urusan lagi dengan dunia.
Level tertinggi Nei Kung yang pernah dicapai
Di dunia ini yang berhasil mencapai chi tahap tinggi hanya dua orang yaitu Buddha Tatmo dan pendiri Wudang Thio Sam Hong (Zhang San Feng) yang bisa mencapai level 72 Taoist, yang mana bisa membuat jasmani rohaninya terjaga, hingga pas meninggal umurnya sudah 249 pada awal Dinasti Ming. Dan chi yang John Chang pelajari memang ada kaitannya dengan aliran Thio Sam Hong.
Metode berlatih Nei Kung
Yang (chi positif) itu datangnya dari matahari. Sedangkan yin (chi negatif) asalnya dari bumi. Makanya kalau hendak melatih Taoist Chikung harus latihan di lantai langsung tidak ada alas di bawahnya supaya kita bisa kontak langsung dengan bumi.
Ilmu ini hanya boleh dipelajari oleh kultur Chinese. Bukan rasialis, tetapi sudah aturan dari tetua (para Cenpei yang sudah meninggal). Ilmu ini adalah ilmu dewa jadi tidak bisa sembarang orang yang menguasainya. Serajin apapun dia untuk latihan tapi tidak direstui dari Thien tidak bakal bisa dia kuasai. Sampai sekarang sudah banyak murid dari master sifu (gurunya John Chang) yang berusaha untuk menguasainya, namun semuanya mentok pada level 3 dimana ini level penentuan chi-nya bisa lepas.
Bayangkan kalau chi bisa lepas, akibatnya gampang tidak bisa menahan emosi. Apalagi jaman sekarang orang sangat enteng mengumbar kemarahan, akibatnya bisa fatal dengan hilangnya nyawa seseorang.
Akan punahkah ilmu silat Tao?
Shan Mao, dulunya salah satu tetua yang pernah hidup tahun 1900an dia pernah melakukan tindakan ini dalam semalam dia membunuh +/- 200 orang penduduk karena emosi. Sejak kejadian itu Thien telah mengutuk aliran ini karena perbuatan karma yang dia lakukan dengan menggunakan ilmu dewa justru untuk membinasakan manusia bukannya untuk menolong. Tetua inilah yang jadi guru dari master sifu (gurunya John Chang).
Hanya manusia yang sangat beruntung di dunia ini bisa mengusai ilmu ini karena dia juga akan bisa tahu rahasia kehidupan di dunia. Entahlah siapa yang akan beruntung menjadi pewarisnya.
Johan mengatakan bahwa ayahnya tak punya kesaktian seperti yang dibilang dalam buku tersebut. Memang, semua dokumentasi itu menulis bahwa John punya keampuhan bak dewa. “Tetapi, orang kan ada kelebihan dan kekurangannya,” kata Johan.
* Satu-satunya sajak Chairil Anwar yang ditulis dalam bahasa Belanda
* Dari Seruan Nusa. Memperingati berdirinya I Tahun K.R.I.S. Oktober 1945-1946, Yogyakarta
Huesca
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku.
Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba.
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.
Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah, sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada.
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal.
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.
(diterjemahkan dari puisi John Cornford, Huesca)
Jenak Berbenar
Yang kini entah di mana di dunia nangis,
tidak berpijakan di dunia nangis,
nangiskan aku
Yang kini entah di mana tertawa dalam malam,
tidak berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan aku
Yang kini entah di mana di dunia berjalan,
tidak berpijakan di dunia berjalan,
datang padaku
Yang kini entah di mana di dunia mati
tidak berpijakan di dunia mati
pandang aku.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Ernste Stunde)
Mirliton
Kawan, jika usia kelak
meloncer kita sampai habis-habisan,
jika seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal menentu kemudi,
menyerah : “Sampai sini sajalah”,
akan menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari jalan belakang
kawan?
Ini tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras batu laun ‘kan terkikis,
dan ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan kita, tidak lagi memaling –
Cukup! Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan
(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, Mirliton)
Musim Gugur
Tuhan : sampai waktu. Musim panas begitu megah
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang
beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka ke kemurnian dan buru jadi
gula penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
Yang kini sendiri, ‘kan lama tinggal sendiri,
‘kan berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan akan pulang balik melalu gang
berjalan gelisah, jika daunan mengalun pergi.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Herbsttag)
Datang Dara, Hilang Dara
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
(diterjemahkan dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)
Fragmen
Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman kita.
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
– Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan dan mengenang –
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi?
Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan
Pernah percaya pada kemutlakan soal …
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah –
Mari cintaku
Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti kemenangan. Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi
gersang.
Kau cintaku
Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan –
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerita begini –
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.
(diterjemahkan dari puisi Conrad Aiken, Preludes to Attitude)
Lagu Orang Usiran
Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta
Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat buat kita
Pernah kita punya negri, dan terkenang rayu
Lihat dalam peta,akan kau ketemu di situ
Sekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa ke situ
Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh segar saban kali musim semi
Pasjalan lama tidak bisa tiru, sayangku, pasjalan lama tidak bisa tiru
Tuan Konsol hantam meja dan berkata:
“Kalau tidak punya pasjalan, kau resmi tidak ada.”
Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja.
Datang pada satu panitia, aku ditawarkan korsi
Dengan hormat aku diminta supaya datang setahun lagi
Tapi ke mana kita pergi ini hari, sayangku, ke mana kita pergi ini hari.
Tiba di satu rapat umum; pembicara berdiri dan kata:
“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita.”
Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku.
Kukira kudengar halilintar di langit membelah
Adalah Hitler di Eropah yang bilang: “Mereka mesti punah.”
Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, ah kitalah yang dimaksudnya.
Kulihat anjing kecil dalam baju panas terjaga
Kulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman.
Turun ke pelabuhan dan aku pergi berdiri ke tepi
Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, cuma sepuluh kaki dari aku.
Jalan lalu hutan, terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-politik bernyanyi ria mereka konon
Mereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para manusia.
Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribu
Berjendela seribu dan berpintu seribu
Tidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya.
Berdiri di alun-alun besar ditimpa salju
Sepuluh ribu serdadu berbaris datang dan lalu
Mereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku.
(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song XXVIII)
Biar Malam
Biar malam kini lalu,
cinta, tapi mimpi masih ganggu
yang bawa kita bersama sekamar
tinggi seperti gua dan sebisu
stasion akhir yang dingin
di malam itu banyak berjejer siur katil-katil
Kita terbaring dalam sebuah
yang paling jauh terpencil.
Bisikan kita tidak pacu waktu
kita berciuman, aku gembira
atas segala tingkahmu,
sungguhpun yang lain di sisiku
dengan mata berisi dendam
dan tangan lesu jatuh
melihat dari ranjang.
Apakah dosa, apakah salah
kecemasan berlimpah sesal
yang jadikan aku korban
kau lantas lakukan dengan tidak sangsi
apa yang tidak bakal aku setuju?
dengan lembut kau ceritakan
kau sudah terima orang lain
dan penuh sedih merasa
aku orang ketiga dan lantas jalan
(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song IV. Terjemahan puisi ini tidak dijuduli oleh Chairil Anwar)
Hari Akhir Olanda di Jawa
oleh Sentot
Mau terus kau menginjaki kami
Hatimu menulang karna uang
Kau, tuli ‘kan tuntutan hak dan rasa
Menghasut kelembutan jadi kekerasan?
Maka kami bercontoh ke kerbo
Yang jemu diejek, lalu meruncing tanduk
Melambung penunggangnya bengis ke atas
Lantas kakinya kasar menghantam penyet.
Maka api perang membakar ladangmu
Gunung serta lembah menghawa dendam
Asap mengepul dari tiap kediamanmu
Angkasa bergetar pekikan bunuh.
Maka telinga kami ‘kan merasa nikmat
Mendengarkan raung-tukikan bini-binimu
Kami ‘kan bertepuk bergembira
Berjejer melihati mampusnya kekuasaanmu.
Maka anak-anakmu ‘kan kami sembelih
Anak-anak kami bergelimang di darah mereka
Supaya utang yang berabad lama
Begitu berlipat terbayar kembali.
Dan jika metari turun di barat
Samar agak di belakang uapan darah
Dia menerima erangan mati
Sebagai tanda pisah penghabisan dari Olanda.
Dan jika pelikat malam
Menyelimuti alam yang sedang berasap
Anjing utan mengais antara ungguk mayat
Merobek, menghisap, menggerutu …..
Maka putri-putrimu ‘kan kami larikan
Dan segala dara kami miliki
Kami beristirahat di dada putih mereka
Letih membunuh, letih berperang.
Dan jika segala penodaan ‘lah kami lakukan
Kami capek memeluk-cium
Kami sudah kenyang enek
Hati oleh dendam, tubuh oleh napsu,
Maka kami ‘kan ria berpesta
Seruan pertama : “Kita beruntung!”
Seruan kedua : “Pada Isa Kristus!”
Teguk penghabisan : “Pada Tuhan Olanda!”
Dan jika metari naik di timur
Berlutut tiap ‘rang Jawa depan Mohammad
Karna dibebaskan bangsa yang terlembut
Dari kongkongan anjing-anjing Kristen.
(Disalin-terjemahkan dari Multatuli, Max Havelaar)
P. P. C.
Tinggal, Clary. Tidak ‘ku mengucap selamat.
Nanti kelihatan tolol, juga biar datang dari hati
Sudah kau jual dirimu. Jangan lagi beruwet
Tentang apapun : manusia memang penghiba hati.
Rumahmu kecil dulu. Tuanmu datang membesarkan,
Hartanya tidak bakal putusnya, menurut cerita.
Kau terpandang sampai nafasnya penghabisan.
Kau berjiwa kecil. Nah! Inilah yang sebenarnya.
Badanmu menapsukan. Kau betina jelita.
Kau lahirkan anak manis buat tuanmu.
Kau tak bisa berlepas, tapi toh bersetia saja.
Kau disegani, tetap terjaga namamu.
Tinggal, Clary. Dengan aku kau tidak ‘kan bertemu
Kau ‘ku jauhi, sampai dalam mimpi.
Ah! Impian sebelum kita bertemu.
Kau tetap kau. Aku padamu menista saja.
(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, P. P. C.)
Somewhere
Mungkin sekarang kita berkawan dan
besok boleh jadi semua terlupa
baik kau padaku, persenan lebih dari semusti
bayu mengusap, selempap setawar sedingin
Aku toh ‘kan kembali seperti sebelum
mengenal kau, tapi jenak ini
‘ku mau percaya teras kecil ini
adalah Dunia, malahan batas Dunia.
Tumpukkanlah segalanya atas
bahwa aku kawanmu dan kau kawanku –
langit berwarna kelabu, bayangkanlah dia merah
seperti dulu lagi di Italia.
Kita bersatu tapi sama tahu dan sadar:
Suatu kata lebih ringan dari bulu merpati;
kataku “cinta”, tapi ‘ku kan lupa
pernah kau bilang : “Ah, cuma sekali mencinta?”
Jangan jadi pusing kerna nyaris-bercintaan ini
semua ‘kan lupa kalau apa yang terbedah,
sehabis perjuangan, sembuh atau terkatup lagi.
Aku toh menyebut “cinta”. Tidak kayak dulu-dulu
juga bukan yang sekali! Ini bukan terpaan.
Jaman masih bergedoncak segila bisa,
udara pucat dan bersedih terhampar:
‘ku mainkan kata yang dulu mengharu
dalam persahabatan padamu pengisi hampa.
(diterjemahkan dari puisi berbahasa Belanda E. Du Perron, Somewhere)
Hari Tua
Tetaplah padaku juita, sebab api makin mati
Anjingku dan aku sudah tua, ketuaan bakal mengelana
Lelaki bernapsu teruna bikin mengkilang pencaran air terbang
sangat kaku akan bakal mencinta
untuk maju, terlalu beku bercinta
Kuambil buku dan dekatkan diri pada dian
Bolak balik lembaran kuning lama; dari menit ke menit
Jam berdetik kena kalbuku; sebuah kawat kering
Bergerak
Aku tidak kuasa layari lautanmu, aku tidak kuasa edari
Ladangmu, juga pegununganmu, juga lembahmu
Tidak bakal lagi, juga tidak pertarungan nun di sana
Di mana perwira muda kumpulkan lagi barisan yang pecah
Hanya tinggal tenang sedangkan pikiranku mengenangkan
Keindahan nyala/api dari keindahan
(diterjemahkan Chairil, yang menurut H. B. Jassin, tidak jelas oleh penyair mana, tapi salinan sajak dari bahasa aslinya ada)
Gerontion
Inilah aku, pak tua dalam bulan gersang
sedang dibaca oleh anak muda, ketika menanti hujan.
Aku tidak berada pada pagar hangat
Juga tidak terbenam hingga lutut dalam rawa garam,
mengayunkan pedang pandak.
Digigit lalar, berkelahi.
Rumahku adalah
(terjemahan sajak ini tidak selesai, baru 7 baris, dari sajak T.S. Eliot, Gerontion)
Sonnet
Tidak apa yang diberi gampang saja. Undang-undang mesti kita cari
Gedong-gedong besar berdesak-desakan dalam metari
Dan di belakangnya terjalani jeriji
Jauh tersembunyi gubuk dan teratak keji
Tidak apapun bisa menentukan nasib kita;
hanya tubuh berpasti; si besar dan si kecil rata-rata
mencoba bertambah naik; deretan rumah sakit saja
memperingatkan bahwa kita semua berderajat sama.
Siapapun, juga polisi, tetap menyayangi anak-anak:
mereka ceritakan tentang masa sebelum para perwira
mengenal sepi serta kehabisan langkah
(tiga baris lagi belum diterjemahkan, dari sajak W.H. Auden, Sonnet, terjemahan ke bahasa belanda oleh Van der Plas, dalam buku I Hear America Singing, dari bahasa Belanda lah Chairil menerjemahkan)
Song XI
Letakkan, cintaku, kepalamu yang terkantuk
Pada lenganku yang tidak setia
Bukankah jaman dan demam membakar
Keindahan yang dipercaya
dari masa kanak, di negeri mimpi –
kuburan saban kali tunjukkan
bahwa sang anak hidupnya pendek,
tapi biarlah sampai pagi
dalam pelukanku kau baring
sebagai insan hidup: usiamu terbatas
dan juga punya salah, tapi ah, bagiku
jelita yang sempurna.
Tubuh jiwa lepas kewajiban
jika mereka yang berkasihan
terhampar di lembah ajaib Venus
dalam deru, sudah mulai biasa saja;
maka dikirimkannyalah wajah impian
(6 baris dari kuplet ini dan 2 kuplet lagi belum diterjemahkan, Song XI, W.H. Auden)
Tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949),Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir(bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 april 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Dan hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia.
(dari pidato “Presiden Soekarno pada Pembukaan Konperensi Asia-Afrika” 18 April 1955)
7. SINAR ITU DEKAT
Jikalau kita insyaf
bahwa kekuatan hidup itu
letaknya tidak dalam menerima
tetapi dalam memberi
.
Jikalau kita semua insyaf
bahwa dalam percerai-beraian itu
letaknya benih perbudakan kita;
Jikalau kita semua insyaf
bahwa permusuhan itulah yang menjadi
asal kita punya “via dolorosa”
.
Jikalau kita insyaf
bahwa roch rakyat kita masih penuh
kekuatan untuk menjunjung diri
menuju Sinar yang satu
yang berada di tengah-tengah kegelapan gulita
yang mengelilingi kita ini
pastilah persatuan itu terjadi
dan pastilah Sinar itu tercapai juga
Sebab Sinar itu dekat
.
(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 23)
8. KEMERDEKAAN SAYA BANDINGKAN DENGAN PERKAWINAN
Kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan
ada yang berani kawin, lekas berani kawin
ada yang takut kawin. Ada yang berkata:
Ah, saya belum berani kawin
tunggu dulu gaji F 500
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung
sudah ada permadani
sudah ada lampu listrik,
sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul,
sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai ini dan itu,
bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet
barulah saya berani kawin
.
Ada orang lain yang berkata:
Saya sudah berani kawin
kalau saya sudah mempunyai satu meja
kursi empat, “meja makan”
lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur
.
Ada yang lebih berani dari itu
yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja
dengan satu tikar
dengan satu periuk
dia kawin
Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk: kawin
Lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur: kawin
.
Sang nDara yang mempunyai rumah gedung
Electrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun kawin
Belum tentu mana yang lebih gelukkig
belum tentu mana yang lebih bahagia
Sang nDara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul
atau Sarinem dengan Samiun yang mempunyai
satu tikar satu periuk, saudara-saudara!
.
Tekad hatinya yang perlu
tekad hatinya Samiun kawin
dengan satu tiker dan satu periuk
dan hati Sang nDara yang baru berani kawin
kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset
plus kinderuitzet – buta 3 tahun lamanya
.
(dari buku “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945)
Jean Simmons and her husband, writer-director Richard Brooks (r), listen attentively to Indonesia’s President Sukarno as he talks with them outside Bogor Palace.
Marilyn Monroe, Elizabeth Taylor, Jackie Onassis & Sukarno
The first President of Indonesia SOEKARNO met The King of Rock and Roll ELVIS PRESLEY with Hal Wallis and Joan Blackman (Hawaii, April 21 1961
9. MINUM SENI DAN KULTUR
Kita bergerak karena kesengsaraan kita
Kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna
Kita bergerak tidak karena ideal saja
.
Kita bergerak karena ingin cukup makanan
Kita bergerak karena ingin cukup pakaian
ingin cukup tanah
ingin cukup perumahan
ingin cukup pendidikan
ingin cukup minum seni dan kultur
pendek kata kita bergerak karena ingin
perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan
cabang-cabangnya
.
Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen
bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialism
sebab stelsel inilah yang sebagai kemandegan tumbuh di atas tubuh
kita
hidup dan subur dari pada kita
hidup dan subur dari pada tenaga kita
rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita
.
Oleh karena itu
maka pergerakan kita
janganlah pergerakan yang kecil-kecilan
pergerakan kita haruslah pada hakekatnya
suatu pergerakan yang ingin
merobah sama sekali sifatnya masyarakat
.
Suatu pergerakan yang ingin
menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat
sampai ke sulur-sulurnya dan akar-akarnya
suatu pergerakan yang sama sekali ingin
menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme
.
Pergerakan kita janganlah
hanya suatu pergerakan yang ingin rendahnya pajak
jangan hanya ingin tambahnya upah
janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil
yang bisa tercapai sekarang
tetapi ia harus menuju kepada suatu transformasi yang
mengjungkir-balikkan sama sekali sifatnya masyarakat itu
dari sifat imperialisme dan kapitalisme menjadi
sifat yang sama rasa sama rata
.
Pergerakan kita harus suatu
pergerakan yang pada hakekatnya
menuju kepada suatu “Ommekeer” susunan sosial.
.
(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 280-281)
10. JANGANLAH MENJADI POLITIKUS SALON
Janganlah menjadi politikus salon!
Lebih dari separo
politisi kita adalah politisi salon
yang mengenal Marhaen
hanya dari sebutan saja.
.
Apakah orang mengira dapat
menyelesaikan revolusi sekarang ini
meski tingkatannya
tingkatan nasional sekalipun
tidak dengan rakyat murba
.
Politikus yang demikian itu
sama dengan seorang jenderal
yang tak bertentara
Kalau ia memberi komando
dia seperti orang berteriak di padang pasir
.
Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata
Jika tidak terjun di kalangan mereka
mendengarkan kehendak-kehendak mereka
menyadarkan mereka akan diri sendiri
membuat revolusi ini revolusi mereka?
.
(dari buku “Sarinah”, 1947 hal. 229-230)
11. CARI SENDIRI
Het hoe
kita harus cari sendiri. Het hoe
bagaimana itu harus kita cari sendiri
sistem-sistem apa yang harus kita pakai
.
Tidak bisa saudara teorikan
apalagi dengan membuka,
hanya membuka saja textbook-textbook,
sampai saudara punya kepala botak
tidak akan saudara bisa menemukan het hoe itu
.
Tetapi kita harus cipta sendiri,
cari sendiri. This is revolution
Revolusi adalah mencari, saudara-saudara
tidak ada revolusi yang sudah ready for use
tidak, cari sendiri
.
Tidak ada satu revolusi
atau dua revolusi yang sama
.
Jangan kira revolusi Indonesia itu sama dengan revolusi Sovyet
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mesir
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Kuba
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi RRC
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mexico
.
Revolusi adalah milik dan tugas kewajiban bangsa
dan kewajiban dari pada bangsa itu ialah mencari sendiri
Jangan menjiplak, oleh karena tidak bisa dijiplak
.
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Mexico
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi United Arab Republik
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Yugoslavia
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Polandia
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Uni Sovyet
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Amerika, 1776 dulu itu
bubrah revolusi kita
.
Tidak, kita harus mencari sendiri
.
(dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 21-22)
12. JANGAN SEKALI-KALI MENINGGALKAN SEJARAH
Sekali lagi saya ulangi kalimat ini
membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau
hal itu tidak mungkin
sebab kemajuan yang kita miliki sekarang ini
adalah akumulasi dari pada hasil-hasil
perjuangan di masa yang lampau
.
Seorang pemimpin yaitu Abraham Lincoln berkata:
“One connot escape history”
orang tak dapat melepaskan diri dari sejarah
Saya pun berkata demikian!
Tetapi saya tambah. Bukan saja
“One connot escape history”
tetapi saya tambah: “Never leave history”
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah
.
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!
Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,
engkau akan berdiri di atas vacuum
engkau akan berdiri di atas kekosongan
lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu
paling-paling hanya akan berupa amuk
amuk belaka
Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!
.
(dari “Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1963”, hlm. 210)
Soekarno & Che Guevara
Sukarno dan Fidel Castro, Kuba, 1960
13. SEMANGKUK KECIL NASI SEHARI
Kita negara-negara berpolitik bebas di dunia
yang mengakui dan menerima kenyataan
adanya bangsa-bangsa yang baru bangkit
mempunyai kewajiban yang mengikat untuk
memperoleh pengertian dan rakyat-rakyat di negara lain
untuk mengatakan terus terang kepada mereka
bahwa mereka tidak dapat terus hidup
di atas berjuta-juta rakyat yang miskin
.
Masyarakat-masyarakatnya mereka mewah berlimpah
dibangun di atas keringat dan susah payah
dan air mata dari jutaan manusia
yang melalui malam senggang mereka tidak
dengan mata melekat pada pesawat televisi
tapi dalam kegelapan yang ditembus oleh nyala lilin
yang sehari-harinya bukan dirundung
oleh kepunyaan tetangga mereka
tetapi oleh keinginan untuk memberi kepada
anak-anak mereka semangkuk kecil nasi sehari
.
(dari “Pidato pada Konperensi Nonblok I, Beograd”)
14. MEMBANGUN KEBANGGAAN
Manusia tidak hanya cukup untuk makan
.
Sungguhpun gang-gang di Jakarta penuh lumpur
dan jalanan masih kurang
namun aku telah membangun gedung-gedung bertingkat
sebuah jembatan berbentuk daun semanggi
jalan raya yang hebat yang dikenal dengan Jakarta Bypass
dan menamai jalan dengan nama-nama para pahlawan kami
Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto dan lain-lain
.
Banyak orang berhati katak
dengan mentalitas warung kopi
menghitung-hitung pengeluaran itu
dan menuduhkan menghamburkan harta rakyat
ini semua bukan untuk kejayaanku
semua ini dibangun demi kejayaan bangsa
supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia
.
Tulang punggung tanah airku membeku
ketika mendengar pertandingan Asian Games 1963
akan diadakan di ibukotanya
.
Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar
yang tak ada duanya di dunia
Kota-kota lain mempunyai stadion yang lebih besar
tapi tak satu pun yang mempunyai
atap melingkar seperti kepunyaan kami
.
Yah, memberantas kelaparan memang penting
akan tetapi memberi makan jiwa yang
telah diinjak-injak dengan sesuatu
yang dapat membangkitkan kebanggan mereka
ini pun penting
.
(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 444)
15. SARINAH-SARINAH
Tetapi pikiran saya
terus melayang
melayang satu soal
soal wanita
.
Kemerdekaan!
Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemeerdekaan
Tetapi, ya, kemerdekaan yang bagaimana?
.
Kemerdekaan seperti yang dikehendaki
oleh pergerakan feminismekah
yang hendak menyamaratakan
perempuan dalam segala hal dengan laki-laki
.
Kemerdekaan ala Karini?
Kemerdekaan ala Khalidah Hanum?
Kemerdekaan ala Kollontay?
.
Oleh karena soal perempuan
adalah soal masyarakat
maka soal perempuan
adalah sama tuanya dengan masyarakat
soal perempuan adalah
sama tuanya dengan kemanusiaan
atau lebih tegas:
soal laki-laki dan perempuan
adalah sama tuanya
dengan kemanusiaan
.
Sejak manusia hidup
di dalam gua-gua dan rimba-rimba
dan belum mengenal rumah
sejak “zaman Adam dan Hawa”
kemanusiaan itu pincang
terganggu oleh soal ini
.
Manusia zaman sekarang
mengenal “soal perempuan”
Manusia zaman purbakala
mengenal “soal laki-laki”
.
Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah
di zaman purbakala kaum laki-laki duduk di tingkatan bawah
Sekarang kaum laki-laki berkuasa
di zaman purbakala kaum perempuanlah yang berkuasa
.
Kemanusiaan,
di atas lapangan soal laki-laki perempuan
selalu pincang
dan kemanusiaan akan terus pincang
selama saf yang satu menindas saf yang lain
.
Harmoni hanya dapat dicapai
kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain
tetapi dua “saf” itu sama derajat
– berjajar – yang satu di sebelah yang lain
yang satu memperkuat kedudukan yang lain
.
Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri
sebab siapa melanggar kodrat alam ini
ia akhirnya niscaya digilas remuk redam
oleh alam itu sendiri
.
Alam benar adalah “sabar”
alam benar tampak diam
tetapi ia tak dapat diperkosa
ia tak mau diperkosa
ia tak mau ditundukkan
ia menurut kata Vivekananda adalah “berkepala batu”
.
(dari buku “Sarinah”, hlm. 19)
Keterangan:
– Kollontay : seorang tokoh pergerakan wanita di Rusia, pada permulaan revolusi 1917
– Vivekananda : seorang pejuang kemerdekaan India sebelum masa M.K. Gandhi
16. SUDAH BER-IBU KEMBALI
Sudah lama bunga Indonesia
tiada mengeluarkan harumnya
semenjak sekar yang
terkemudian sudah menjadi layu
.
Tetapi sekarang bunga Indonesia
sudah kembang kembali
kembang ditimpa cahaya bulan persatuan indonesia
dalam bulan yang terang-benderang ini
berbaurlah segandi segala bunga-bungaan yang harum
dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga
sebagai hiasan alam yang
diturunkan Tuhan Illahi
.
Kembangnya bunga ini
ialah bangunnya bangsa Indonesia
menurut langkah yang terkemudian sekali
didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia
beserta pemudanya
.
Langkah yang terkemudian
tetapi jejak yang pertama sekali
dalam sejarah Indonesia
dan permulaan zaman baru
.
Sudah lama Indonesia kehilangan ibu
sudah lama Indonesia kehilangan puterinya
tetapi berkat disinari cahaya persatuan Indonesia
bertemulah anak piatu dengan ibu
yang disangka sudah hilang
berjabat tanganlah dengan puteri yang
dikatakan sudah berpulang
.
Pertemuan anak piatu dengan ibu kandung
ialah saat yang semulia-mulianya
dalam sejarah anak piatu
yang ber-ibu kembali
.
Saat ini tiada dapat dilupakan
sedih dan suka
pedih dan pilu bercampur-baur
karena kenang-kenangan yang sudah berlalu
Dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai
.
Baru sekarang Persatuan Indonesia ada romantiknya
Apa gunanya gamelan dalam pendopo kalau tidak dibunyikan
terletak saja jadi pemandangan
kaum keluarga turun-temurun
.
Gamelan Indonesia berbunyi kembali
berbunyi dalam pendopo Indonesia
dan melagukan persatuan Indonesia
pada waktu bulan purnama raya
penuh dengan bau bunga
dan kembang yang harum
Indonesia piatu sudah ber-ibu kembali
.
(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 107)
(nb. Pada baris 9, ada kata “segandi” : saya tak tahu apa arti kata itu, saya mencoba mereka-reka apakah ada kesalahan cetak, tapi tak juga ketemu, mungkin “segar di”)
17. DIKANTONGI OLEH TUHAN
Tatkala ibumu masih perawan
bapak masih perjaka
Lantas kita menjawab
“Yah, kami waktu itu dikantongi Tuhan
Dikantongi oleh Tuhan.”
.
Maka pada satu saat Tuhan ini
ingin meng-gumelar-kan kita ke dunia
Bagaimana caranya
apa diambil kantong Tuhan
Kemudian … dijatuhkan dari langit?
Tidak!
Tuhan lantas menjodohkan
Seorang pria dan seorang wanita
Tuhan yang menjodohkan
.
Saya tempo hari berkata
jodoh itu adalah hak Tuhan
Mati hak Tuhan
Jodoh hak Tuhan
Lahir hak Tuhan
Tuhan menjodohkan seorang pria dan seorang wanita
.
Pria dan wanita ini kataku
jadikan dapur dari Tuhan
Dapur untuk meng-gumelar-kan kita di dunia
.
Nah, kita diprocotkan tidak di langit
tidak di laut
tetapi di procotkan di tanah air ini
Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara
dapat makanan
yang dari tanah air inilah
kita dapat minuman
yang dari tanah air inilah
kita menghirup hawanya yang segar
.
Pendek kata
tanah airlah tempat kita
dari masih bayi merah itu
tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang
karena itu maka lantas aku mengambil konklusi
hai, manusia, cintailah Tuhan
yang dulu mengantongi engkau
Cintailah ibu-bapakmu
dapur yang dibuat Tuhan
untuk meng-gumelar-kan engkau
Cintailah tanah air yang di tempat itu
engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya
.
(dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 111)
18. MUSNAHLAH KEKAYAAN-KEKAYAAN ITU
Dengan perkataan lain
kaum modal partikelir mempunyai
kepentingan atas rendahnya tenaga produksi
dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami
.
imperialisme-modern
menghalang-halangi kemajuan
pergaulan hidup kami
.
imperialisme-modern
membikin rakyat bumiputra
menjadi bangsa yang terdiri
dari kaum buruh belaka
dan membikin Hindia menjadi
si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa
.
Dan si buruh yang bagaimana
Tuan-tuan Hakim!
si buruh yang loonen-nya minimum loonen
si buruh yang wirtschaft-nya minimum wirschaft!
si buruh yang upahnya upah kokro
Hati-Nasional tentu berontak
atas kejahatan imperialisme-modern
yang demikian itu
.
Lagi pula
siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia
yang diambil oleh mijnberdrijven partikelir
yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir
sebagai timah, arang batu, minyak
Siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu?
.
Musnah
musnahlah kekayaan-kekayaan itu
buat selama-lamanya bagi kami
Musnah
musnahlah buat selama-lamanya
bagi pergaulan hidup Indonesia
masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka
.
(dari buku “Indonesia Menggugat”, hlm. 58)
19. UNDANG-UNDANG
Jiwa ular kambang dan jiwa inlander
itulah racun yang menghinggapi kita
di tahun-tahun yang terakhir ini
.
Jikalau ingin merdeka sejati-jatinya merdeka
milikilah jiwa yang merdeka
milikilah jiwa yang besar
.
Buktikanlah memiliki jiwa yang besar itu
jiwa merdeka itu
jiwa yang tak segan bekerja dan memberi
jiwa yang dinamis yang bisa
berdiri sendiri di atas kaki sendiri
bukan jiwa yang meminta, merintih
mengemis saja ke kanan dan ke kiri
sambil bermimpi dapat mencapai
derajat penghidupan yang makmur
dengan seboleh-bolehnya tidak bekerja sama sekali
.
Kita tidak hidup di alam impian
kita hidup di alam kenyataan
.
Kita tidak hidup di alam impian
Kita hidup di alam kenyataan
Kita tidak hidup di alam sorga
Kita hidup di alam dunia
.
Di dalam dunia itu
untuk semua makhluk besar-kecil
tiada undang-undang lain
melainkan undang-undang yang berbunyi:
.
“Jikalau mau hidup, harus makan
yang dimakan hasil kerja;
jika tidak bekerja, tidak makan;
jika tidak makan pasti mati!”
.
Inilah undang-undangnya dunia
Inilah undang-undangnya hidup
Mau tak mau semua makhluk
harus menerima undang-undang ini
.
Terimalah undang-undang ini
dengan jiwa besar dan merdeka
jiwa yang tidak menengadah
melainkan kepada Tuhan.
.
(dari buku “Amanat Proklamasi”, hlm. 63)
20. DIMAKAN API UNGGUN
Saya merasa
diri saya sebagai
sepotong kayu
dalam satu gundukan kayu api unggun
.
sepotong dari pada ratusan
atau ribuan kayu di dalam api unggun besar
.
saya menyumbangkan sedikit
kepada nyala api unggun itu
.
tetapi sebaliknya
saya dimakan oleh api unggun itu!
Dimakan apinya api unggun
.
(dari buku “Tragedi Bung Karno” Pustaka Simponi 1978)