30. Kembalinya Kanjeng Nabi Isa AS

Banyak orang ingin meniru Kanjeng Nabi Isa AS dan tak bisa, bahkan banyak orang juga ingin meniru The Beatles dan juga tak bisa. Takdir tidak bisa ditiru, dan keberuntungan tidak bisa diwariskan. Tiap-tiap orang memiliki garis kehidupannya sendiri-sendiri, keragaman adalah Cita Rasa Tuhan, dan kehidupan berlaku atas Kehendak-Nya.

 

Diterangkan oleh guru besar ilmu pengetahuan Albert Einstein, bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu (ke masa depan). Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. (waktu yg berhenti).

 
Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya (ke masa lampau).

einstein

 

t’=waktu benda yang bergerak

t=waktu benda yang diam

v=kecepatan benda

c=kecepatan cahaya

 
Ini yang sangat mungkin terjadi (hanya Allah yang paling mengetahui) ketika perjalanan Isro’ (Mekkah-Palestina) Mi’roj (Palestina ke langit tingkat ke tujuh) Kanjeng Nabi Muhammad SAW, kenapa bisa cuma satu malam saja dengan kendaraan Buroq? Dengan kecepatan cahaya (bahkan melebihinya), waktu akan berhenti hingga bahkan akan mundur kembali ke masa lampau.

 
Inilah mengapa Kanjeng Nabi Muhammad SAW mampu bertemu dengan nabi-nabi sebelumnya dalam peristiwa Mi’raj. (hanya Allah Yang Maha Mengetahui), dan patut diduga hal yang hampir sama akan terjadi pada Kanjeng Nabi Isa AS.

 

Umat Islam meyakini Kanjeng Nabi Isa AS telah diangkat ke langit dan akan datang lagi suatu saat nanti. Kedatangannya dengan keadaan yang sama, baju, alas kaki, rambut dan wewangian yang sama saat Kanjeng Nabi Isa diangkat ke langit. Bagi Kanjeng Nabi Isa kembalinya ke bumi tak ubah hanya perjalanan singkat beberapa saat atau bahkan mungkin dalam 1 detik sesaat setelah diangkatnya beliau ke langit ribuan tahun yang lalu.

 
Diangkatnya beliau dengan hampir mencapai kecepatan cahaya menyebabkan waktu melambat terhadap beliau dan terjadi perbedaan kecepatan waktu dengan waktu di bumi. Analogi yang hampir sama pernah diutarakan oleh Einstein yang terkenal dengan ‘paradoks kembar’ untuk menjelaskan teori relativitas waktu:

 
“Ada dua anak kembar, awalnya di tempat yang sama dan dengan dua jam yang sama, disinkronisasi. Salah satu kembar tinggal di Bumi, sementara saudara kembarnya melakukan perjalanan di atas kapal ruang angkasa dengan kecepatan sangat tinggi, hingga 80% kecepatan cahaya. Setelah kembali ke Bumi, astronot menemukan kembali saudara kembarnya di bumi lebih tua dari dia dengan selisih 20 tahun!

 
Sejak pesawat bergerak dengan kecepatan tinggi, semua fenomena berjalan lebih lambat, dengan asumsi bahwa jam biologis (misalnya, pulsations irama jantung, denyut nadinya) berperilaku seperti arloji biasa, maka penuaan akan menjadi lebih lambat.

 
Relativitas waktu, kecepatan waktu tergantung pada kecepatan obyek yang bersangkutan. Apabila kita mampu bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka kita akan melihat lingkungan yang tak bergerak disekitar lebih cepat menua (dari sinilah ide perjalanan ke masa depan). Jikalau kita bisa bergerak melebihi kecepatan cahaya maka akan sebaliknya, kita akan kembali ke masa lampau dengan kecepatan waktu tertentu sementara umur kita hanya sedikit berubah.

 
Diangkatnya Kanjeng Nabi Isa AS dengan kecepatan hampir menyamai kecepatan cahaya akan mengakibatkan perbedaan waktu antara beliau (waktu yang melambat atau hampir berhenti) dengan keadaan di Bumi (yang waktunya jauh lebih cepat dengan waktu beliau).

 
Kembalinya Kanjeng Nabi Isa AS ke bumi satu saat nanti adalah peristiwa yang masuk akal. Ilmu pengetahuan masa kini memberikan landasan teori yang sahih bagi terjadinya fenomena ini. Kondisi Kanjeng Nabi Isa AS saat kembali akan sama persis dengan kondisi beliau ribuan tahun yang lalu saat beliau diangkat Sang Pencipta. Hal ini dikarenakan diangkatnya beliau hampir menyamai kecepatan cahaya yang menyebabkan beliau hanya menjalaninya dalam waktu yang sekejap sementara di bumi butuh waktu ribuan tahun berlalu hingga Kanjeng Nabi Isa turun kembali.

 

kanjeng kembali

 

Hari Kiamat atau Akhir Zaman telah menjadi pemikiran banyak orang. Banyak sekali karya tulis yang tak terhitung jumlahnya secara bebas mengungkapkan skenario hari-hari terakhir tersebut. Lepas dari percaya tidaknya akan kejadian yang akan menimpa umat manusia tersebut yang jelas sering dibicarakan orang diabad ini, juga sangat menarik sekali untuk diungkapkan pokok pembicaraan dan pemikiran diabad keenam. Bukti-bukti atas perhatian yang menarik itu ditemukan dalam hadits Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 
Dalam hadits ditemukan dua watak kepribadian yang cukup menonjol, yakni yang pertama si Dajjal yang dimanifestasikan sebagai Al Masih palsu, seorang figur yang memutarbalikkan kebenaran yang hak dari Allah, sehingga sangat dimusuhi Allah. Sedangkan, yang kedua adalah Kanjeng Nabi Isa AS, Al Masih yang sejati, sebagai firman Allah dan Rohul Kudus yang merupakan kebenaran sangat nyata.

 

Hadits menyebutkan sejumlah tanda-tanda dan keadaan zaman menjelang Hari Kiamat yang begitu hebat itu. Dan kitab suci Al-Qur’an menyatakan dengan jelas bahwa Isa Al Masih adalah ‘pengetahuan tentang terjadinya Kiamat’ atau kedatangannya kembali sebagai tanda utama tentang waktu Hari Kiamat. “Sesungguhnya Ia (Isa) benar-benar memberikan pengetahuan kepadamu tentang terjadinya kiamat.” (QS. Az-Zukhruf 61)

 

Lalu bagaimana ketika semua itu terjadi, andai kita keliru mengenali Kanjeng Nabi Isa AS yang sejatinya? Tragedi demi tragedi pada sekalian manusia terus berulang, yang tak pelak kadang melunturkan keyakinan. Abad-abad ini saja kita lihat begitu hebatnya derita yang harus dialami manusia, ketika seseorang yang diberikan gift (karomah) sesuatu yang luar biasa, tak kuat mengekang nafsunya sendiri untuk memperkenalkan dirinya sebagai ‘maha manusia’ diantara ratap dan harapan manusia yang membutuhkan jalan keluar dari persoalan kehidupan sehari-hari yang mampat tak genah solusinya?

 

Demikianlah kita akan banyak menyimak kembali keadaan dunia sebelum datangnya kembali Isa Al Masih ke dunia. Bukan untuk menghitung-hitung waktu sampai datangnya Hari Kiamat, tetapi untuk mengetahui sampai dimana generasi Islam pertama menempatkan Isa Al Masih di dalam pikiran dan lubuk hati mereka.

 
Hadits Muslim yang shahih dan hadits-hadits lainnya yang menyebutkan si Dajjal membawa bukti bagi para pengikutnya yang bisa membuat hamba-hambanya menderita atau sengsara. Allah akan membuat si Dajjal menampakkan beberapa kekuasaan yang bersifat Ilahi, seperti bisa membangkitkan kembali orang yang ia bunuh, bisa memakmurkan dan menyuburkan dunia ini, menampakkan firdaus dan neraka sesuai versinya, dua sungai yang disertai kekayaan bumi dibalikkan olehnya, bisa memerintah langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan benih-benih dengan suburnya, dan sebagainya.

 

Kedatangan Isa Al Masih, dan kemampuannya membunuh atau melenyapkan si Dajjal adalah benar, dan ini ditegaskan secara resmi oleh kaum sunnah dalam hadits yang shahih. Tidak bisa diingkari kebenarannya baik secara logika maupun apa yang telah tersirat dalam firman atau kitab suci. Berdasarkan kesaksian ini kita akan melihat lebih dekat lagi pada apa yang mereka ungkapkan tentang kepercayaan kaum muslimin awal tentang kedatangan kembali Isa Al Masih ke dunia.

 
Inilah pokok persoalan kita yang sebenarnya. Banyak sekali orang ingin mengetahui hari kiamat atau hari akhir semisal kita baru sampai pada membaca seperempat halaman, namun tergopoh-gopoh ingin mengetahui halaman akhir dari sebuah buku kitab kejadian.

 

Tanda-tanda dari Hari Kiamat adalah dipenuhi gelimang kepalsuan atau penipuan. Disaat itu akan banyak orang yang mengaku sebagai Isa Al Masih. Bagaimana kita bisa membedakan yang asli dari yang palsu? Bahwa Kanjeng Nabi Isa pertamakali akan muncul di menara timur Damaskus, dengan dua balutan jubahnya yang dicelup warna merah dan sebagainya, cukupkah pengenalan itu untuk melindungi diri kita dari hadirnya penipuan, sementara tarikh masa depan tentang kejadian tersebut juga diketahu kalangan penghasut dan para penipu dunia? Inilah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab itu.

 

Pertama-tama, menurut hadits, Kanjeng Nabi Isa akan muncul kembali dari langit, bukan dari bumi. Ia tidak akan muncul kembali seperti dalam sejarah kelahirannya seperti sebelumnya (dari sebagai bayi dari rahim seorang perawan). Ia akan datang sebagaimana pemunculannya yang terakhir sebagai seorang dewasa. Jadi, Isa Al Masih bukanlah manusia baru yang dilahirkan dalam dekade sekarang atau pun nanti.

 

Kedua, Al Masih yang asli tidak akan mengakui dirinya sebagai Al Masih atau ‘yang diurapi’. Kemunculannya dari langit dengan kuasa dan kemuliannya sebagai Kanjeng Nabi Isa merupakan bukti bahwa ia Al Masih yang sejati. Seperti dikatakan dalam hadits: Kemudian bumi akan terang benderang dengan Nur Allah, Kanjeng Nabi Isa akan membunuh Al Masih palsu.

 

Nur atau cahaya Allah ini tidak hanya menyinari sebagian tempat. Semua mata manusia akan menyaksikannya pada saat yang bersamaan. Seluruh dunia akan mengetahui bahwa Kanjeng Nabi Isa telah datang kembali, tanpa bantuan alat komunikasi yang canggih seperti sekarang ini. Orang tidak harus memberitahukan lagi dengan menyatakan kepada orang lain, dengan berkata ‘mari kita lihat seperti apa Isa Al Masih itu’, karena semua orang akan mengetahui disaat yang sama atas kemuliaan Nurullah atau Cahaya Ilahi.

 
Hal pertama yang akan dilakukan Kanjeng Nabi Isa dalam kedatangannya kembali ke dunia adalah sembahyang. Ia akan menjadi imam sembahyang berjamaahnya orang muslimin. “Sementara mereka bersiap-siap untuk berperang dan membagi-bagikan ke pangkalan, waktu sembahyang tiba. Dan Isa, anak Maryam, turun dan menjadi imam sembahyang.” (Sahih Muslim, Kitab Al-Fitan Wa Ashrat As-sa’ah)

 

Seperti apakah gambaran Isa Al Masih yang dikenal kaum muslimin diawal pertumbuhan Islam? Mereka dengan tegas menjulukinya sebagai Isa, anak Maryam, dan dengan terang-terangan menyatakan bahwa Al Masih yang akan datang adalah Isa yang sama diriwayatkan dalam sejarah. Dengan kata lain, Kanjeng Nabi Isa dimasa mendatang dalam benak kalbu mereka bukan Kanjeng Nabi Isa yang lebih luar biasa atau super. Tidak sekali pun mereka menghayalkan jenis baru Isa Al Masih.

 
Orang muslim terdahulu menyebarkan berita yang mengutarakan fakta kemunduran Islam, yang dengan kemundurannya itu kesalehan menjadi pudar dan orang-orang saleh menjadi lebih sedikit. Keadaan terdesaknya kesalehan oleh kejahatan dan ketidakadilan ini akan mengakibatkan Al Qur’an diangkat lagi ke langit. Sabda Rasulullah SAW: “Hari kiamat tidak akan datang, sampai saatnya Al Qur’an kembali ke asalnya.”

 

Salah satu keadaan dari tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah lima puluh orang berdoa, tetapi tidak satu pun dari doa mereka diterima. Doa-doa tidak mujarab lagi, keimanan diganti oleh kekufuran, pemerintahan akan lemah, ketidak adilan akan sangat dijunjung daripada keadilan.

 

Namun, kaum muslimin terdahulu tidak menganggap keadaan ini sebagai ‘kemenangan dari kejahatan’ yang mutlak. Sekali-kali tidak, Dengan harapan bulat mereka menantikan orang yang, ditengah-tengah dunia yang penuh dengan doa sia-sia, ‘sanggup memanjatkan doa yang sebenarnya.’ Inilah yang akan merangkul kaum yang kecewa, kaum yang lelah, kaum yang tersisihkan, dan inilah yang siap memutar balikkan gelombang kejahilan serta menegakkan keadilan. Kanjeng Nabi Isa, anak Maryam, akan turun ke dunia. Ia akan menaikkan derajat doa-doa yang terkabul, dan manusia dihimpun dan ditingkatkan pada kesalehannya.

 

Para pengikut yang beriman dizaman itu mempersepsi Kanjeng Nabi Isa sebagai orang yang rajin sembahyang dan berdoa: Orang yang baru saja datang dari sorga pasti punya kedekatan bau sorga. Bahkan, Kanjeng Nabi Isa berhubungan dengan Allah sebab baru saja ia di sisi Allah. Dan bagi siapa yang berhubungan dengan Allah dan menjalankan sembahyangnya, jelas keadaan di sekitarnya mesti berubah.

 
Tidak hanya mereka akan melihat Kanjeng Nabi Isa AS sebagai satu-satunya orang yang paling depan bahkan utama dalam hubungannya dengan Allah, mereka juga mempersepsinya sebagai yang terdekat dengan rakyat. Jadi, ia akan mengumpulkan orang-orang tersesat dan tertipu, yang berpecah belah dan bertebaran dimana-mana, dan mereka yang lemah, miskin terbebani oleh beban-beban kehidupan. Doanya akan sangat mujarab karena ia dekat dengan Allah. Doa-doanya bagi banyak orang akan terkabul sehingga kebaikan Allah akan mengalir melalui dirinya!

 

Hadits menyebutkan sejumlah tanda-tanda dan keadaan zaman menjelang Hari Kiamat yang begitu hebat itu. Dan kitab suci Al-Qur’an menyatakan dengan jelas bahwa Isa Al Masih adalah ‘pengetahuan tentang terjadinya Kiamat’ atau kedatangannya kembali sebagai tanda utama tentang waktu Hari Kiamat. “Sesungguhnya Ia (Isa) benar-benar memberikan pengetahuan kepadamu tentang terjadinya kiamat.” (QS. Az-Zukhruf 61)

 

Gusblero Free

29. Isa dalam Ke-Muhammad-an Saya

Kanjeng Nabi Isa AS, sejujurnya inilah Nabi yg paling dekat dalam khasanah qalbu ke-Muhammad-an saya. Seorang Nabi, yang kadang namanya diperuncing, tidak hanya oleh teman-teman Islam, pun juga oleh kalangan rohaniawan Nasrani. Padahal Isa, Kanjeng Nabi Isa AS, adalah jelas-jelas penyaksi bagi kehadiran zaman akhir. Ia yang juga bakal hadir menengahi silang-sengkarut pemahaman banyak manusia yang terlibat dalam debat mutakhir tengara teologi semesta.

 

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

 
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.

 
Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”

 
Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata: “Demikianlah. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.”

 
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Lalu rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”

 
Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini.”

 
Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”

 
Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?”

 
Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

 
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS. Maryam 16-34)

 

Isa dalam KeMuhammadan Saya

 

Dari zaman ke zaman, tidak ada orang yang menerima reaksi begitu banyak dan bermacam-macam seperti halnya Kanjeng Nabi Isa AS, apakah itu berupa pujian atau hinaan yang diarahkan kepadanya. Reaksi atau respon berasal dari berbagai kalangan seperti ahli fikir dan orang kebanyakan, yang beragama dan yang tidak beragama, bukan saja dari para pengikutnya tetapi juga dari berbagai macam aliran agama.

 
Bagi orang Tasawuf (Sufi), Kanjeng Nabi Isa dianggap sebagai nabi yang berperingkat besar dari nabi-nabi lainnya. Tidak ada Nabi sebelumnya yang mendapat predikat mulia dengan nilai-nilai kesempurnaan yang tiada taranya. Lagipula, Isa AS merupakan teladan kesempurnaan manusia dan teladan yang luar biasa dari seorang master/ guru yang sugguh-sungguh benar.

 
Kanjeng Nabi Isa AS dijadikan model dan teladan kesucian yang paling murni. Kesuciannya hanya bisa didapat karena pertolongan, ridho dan karunia Allah. Orang Sufi selalu menginginkan kesucian seperti kesucian Isa AS, untuk menjadi benar-benar suci bersih ‘seperti Isa AS’ bukan apa saja selain ciptaan Allah yang bisa mengundang jeritan hati. Seperti tersirat dalam puisi penyair ’Attar:

 
Ya Allah, bersihkanlah aku dari jiwa yang kotor ini,

Sehingga aku sendiri bisa suci abadi seperti Isa Ibn Maryam….

.
Nama Kanjeng Nabi Isa AS diartikan kembali dalam terminologi orang Sufi sebagai ‘cinta kasih.’ Satu hal yang benar-benar jelas, Kanjeng Nabi Isa AS sendiri telah mendapatkan tempat di hati dan pikiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 

Mengenai kedatangannya kembali Isa Al Masih ke dunia di akhir zaman yang merupakan pokok pembicaraan pada zamannya Nabi Muhammad (seperti halnya sekarang ini), kita menemukan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat rindu untuk bertemu Isa Al Masih, sebagaimana hadits menyatakan: “Harapanku bila diberikan panjang usia adalah ingin bertemu Isa al Masih, tetapi bila kematian cepat menjemputku, tolong kepada orang yang bisa bertemu dengannya menyampaikan salamku.”

 

Kanjeng Nabi Muhammad SAW, bukan saja rindu bertemu Kanjeng Nabi Isa AS, akan tetapi ia melihat bahwa persaudaraanya dengan Kanjeng Nabi Isa AS harus mendapat tempat yang utama. Meskipun semua nabi-nabi bersaudara, Kanjeng Nabi Muhammad memilih Kanjeng Nabi Isa AS sebagai saudara terdekat.

 

Kanjeng Nabi Isa AS merupakan nabi yang mendapatkan tempat yang sangat baik dalam hati dan pikiran Kanjeng Nabi Muhammad. Baginya, persaudaraan dengan Kanjeng Nabi Isa AS adalah merupakan keutamaan. Dalam hadits ditulis: “Nabi-nabi sama satu saudara meskipun dari ibu yang berbeda dan agama mereka hanyalah satu. Dari semua umat akulah yang paling dekat dan pantas menjadi saudara dari Isa Al Masih, anaknya Maryam, karena tidak ada nabi di antara aku dan dia.”

 

Seseorang menyampaikan kepada saya, kenapa palang horizontal dalam tanda salib tidak terletak tepat di tengah tonggak vertikal. Konon itu juga dimaknai pemuliaan rasa kemanusiaan memang seharusnya diletakkan lebih tinggi dibanding pemikiran tentang ke-Ilahi-an. Yang demikian tidak dimaksud sikap Lillah itu terkalahkan, namun justru sebaliknya. Bukankah ayat-ayat Allah pun menyampaikan yang demikian? Allah tidak bergantung pada keloyalan atau ketidak loyalanmu, namun yang terbaik dari dirimu adalah yang mampu menjaga amanah manusia dalam fitrah kemanusiaanmu.

 
Akan tetapi saya bisa mengerti kenapa kemudian ada mata rantai yang terputus dari peradaban, yang kemudian mengasingkan manusia satu sama lainnya. Bahwa persoalan kenyamanan dalam menekuni peribadatannya masing-masing menjadi satu alasan, namun saya yakin satu hal jelas ‘kesadaran akan muncul dan suatu hari ragam perbedaan akan menjadi satu’, tidak hanya ketika manusia diliputi ketakutan akan kesendirian, namun lebih karena bisa menikmati betapa nyamannya kebersamaan.

 

Karena inti dari amanah kehidupan ini sesungguhnya tidak semata bagaimana seseorang mengucapkan dengan merdunya kalimat Allah, God, Tuhan, Gusti Allah, Hyang Widhi, dan sebagainya sebagai satu bentuk sikap ke-pasif-an seorang hamba. Firman Allah mengamanatkan kita menyelesaikan dulu persoalan haqqul adam antara manusia sebelum nanti diberikan kesempatan menuju persidangan akhir, ini yang kemudian dimaksud sebagai tindakan aktif dimana manusia satu sama lainnya terus berinteraksi satu sama lainnya dengan saling mengingatkan.

 

Jelaslah sudah keberadaan Kanjeng Nabi Isa AS tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dunia, bahkan saat Islam sebagai agama baru telah datang, Kanjeng Nabi Isa AS juga tidak dilepaskan dari amanat kaum muslim itu sendiri, karena Ia adalah juga menjadi bagian-bagian (penanda) yang dipercayai sebagai tanda datangnya hari kiamat, hari akhir yang mana menjadi satu dari pokok-pokok rukun Iman.

 

Susahnya, berkaitan dengan egoisitas para penafsir dan rohaniawan,
hal yang paling menyudutkan tentu saja pandangan picik dan skeptis cara memandang ‘hakikat Isa’ dalam jagat spiritual kita. Ada, dan ini tak jarang, selama ini apapun yang berkaitan dengan Kanjeng Nabi Isa AS (dalam jagad muslim) ditahbiskan sebagai ‘sesuatu yang melunturkan akidah’, sama halnya apa-apa yang bernafaskan ke-Muhammad-an (bagi kalangan Kristiani) dianggap sebagai ‘satu pemungkaran terhadap keberadaan Nabinya’.

 

Akal dalam otak yang dikaruniakan Allah pada diri kita sebagai esensi pembeda antara manusia dan binatang ternyata tak cukup membentengi dan mencegah nafsu kita untuk terus berprasangka, dan tidak justru mencari titik paling selamat dalam menjalani kehidupan ini. Bahwa peraturan baru disusun untuk menggantikan peraturan lama, pun yang begitu tidak berarti mengiliminer begitu saja apa-apa yg telah di-nash-kan dalam undang-undang lama!

 

hal yang paling menyudutkan tentu saja pandangan picik dan skeptis cara memandang ‘hakikat Isa’ dalam jagat spiritual kita. Ada, dan ini tak jarang, selama ini apapun yang berkaitan dengan Kanjeng Nabi Isa AS (dalam jagad muslim) ditahbiskan sebagai ‘sesuatu yang melunturkan akidah’, sama halnya apa-apa yang bernafaskan ke-Muhammad-an (bagi kalangan Kristiani) dianggap sebagai ‘satu pemungkaran terhadap keberadaan Nabinya’.

 

Gusblero Free

28. Yang Terpilih

Peradaban dunia kian berbenah. Didukung piranti tehnologi yang semakin canggih membuat manusia kian kritis menengarai tak hanya apa yang terjadi dalam dimensi materi kekinian, manusia bahkan berani mengambil tengara kejadian yang melibatkan kisah-kisah mukjizat para nabi. Dan menariknya ini, justru ketika manusia kian berupaya mengungkapkan fakta-fakta disebalik kejadian itu, makin terbukti bahwa seluruh kejadian di alam semesta ini tak lepas dari kendali-Nya, sebuah sistem yang secara makro telah dirangkai dan disusun sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Kuasa. Coba analisa yang ini: Ilmuwan mengungkap mukjizat Nabi Musa AS masuk akal secara ilmu pengetahuan dan teori fisika.

 

Dikisahkan dalam kitab suci perjanjian lama bahwa Nabi Musa AS dan pengikutnya dari Bani Israil pernah terjebak di antara dua kematian. Maju dihadang laut merah, diam atau mundur bakal dihabisi serdadu Firaun. Lalu Tuhan pun memberi mukjizat kepada Nabi  Musa AS, sebuah mukjizat yang diyakini tiga agama.

 

Angin bertiup kencang sepanjang malam itu. Lalu air Laut Merah pun tersibak ke kiri dan ke kanan, membentuk jalan di antara dinding air yang  memberi kesempatan bagi Nabi Musa AS dan pengikutnya melarikan diri. Ketika tentara Firaun mengejar mereka, tiba-tiba dinding  air laut runtuh. Maka tenggelam lah mereka.

 

Ribuan tahun sesudah kejadian itu, kini para ilmuwan meyakini bahwa keajaiban itu merupakan fenomena alam. Para ilmuwan dari National Centre for Atmosphere Research di Calorado Amerika Serikat, sebagaimana ditulis Daily Mail, Rabu 22 September 2010, menemukan bahwa air laut yang tersibak itu akibat gerakan angin.

 

Dalam sebuah simulasi komputer  yang dilakukan para ahli di Colorado itu diketahui bahwa angin timur yang berhembus dengan sangat kuat selama 12 jam dalam semalam, bisa menyibak air laut, menciptakan  sebuah jalan tanah sebagaimana digambarkan dalam kisah ‘Eksodus’.

 
Sedikit berbeda dengan deskripsi lokasi di kitab suci, para ilmuwan  itu meyakini bahwa lokasi keajaiban bukan  di Laut Merah, melainkan  di lokasi di dekatnya, di delta Sungai Nil, di mana sebuah sungai kuno menyatu dengan laguna.

 
Dari penelitian di lapangan, peta lokasi dan percobaan di laboratorium, para ilmuwan itu  menemukan bahwa angin timur dengan kecepatan 63 mph yang bertiup dalam waktu 12 jam akan mendorong air, baik di danau maupun aliran air. Proses ini akan menciptakan jalan tanah lumpur sepanjang dua mil dan lebar tiga mil selama empat jam.

 
Saat kecepatan angin turun, air akan kembali ke posisi awal, mirip fenomena pasang surut. Dalam jurnal Public Library of Science ONE, para ahli menguraikan bahwa siapapun yang terdampar dalam lumpur itu sesudah angin melemah akan berisiko tenggelam.

 
“Orang-orang selalu terpesona dengan kisah ‘Eksodus’ Musa, meyakini bahwa itu adalah fakta sejarah. Apa yang ditunjukan dalam penelitian ini adalah bahwa deskripsi membelahnya lautan, memang masuk akal dalam hukum fisika.” kata Ketua tim peneliti, Carl Drews.

 
“Membelahnya laut bisa dipahami melalui dinamika fluida. Angin menggerakkan air dengan cara yang sesuai dengan hukum fisika, menciptakan jalan aman dengan dinding air di dua sisi, lalu air itu runtuh dan menenggelamkan jalan itu.” Simulasi komputer juga menunjukkan tanah kering bisa terlihat di  dua lokasi terdekat selama badai angin.

 
Temuan ilmuwan tidak mirip dengan penjelasan di Perjanjian  Lama. Sesuai fisika, terpisah satu sama lain, melainkan, salah satu bagian air terdorong ke sisi berlawanan.

 
Sebelumnya, sejumlah teori ditawarkan untuk menjelaskan fenomena terbelahnya Laut Merah secara ilmiah. Salah satunya, tsunami, yang bisa memundurkan air laut dan kemudian memajukannya dengan cepat. Namun teori tsunami, tidak sesuai dengan penjelasan dalam kitab suci, bahwa membelahnya laut terjadi secara gradual, dan melibatkan angin.

 

Nabi Musa

 

Demikianlah, ilmu pengetahuan menemukan bahwa terbelahnya Laut Merah pada peristiwa penyeberangan Musa AS adalah diawali atau disebabkan datangnya angin timur yang membelah samudera secara kuat. Secara eksakta, barangkali ini benar. Akan tetapi, walau pun katakan teori itu memang benar, maka tetap saja argumentasi itu mendukung ke-shahih-an adanya ‘kuasa Allah’, ‘tangan-tangan Tuhan’, yang bergerak mengarahkan Musa AS untuk melakukan seperti kehendak-Nya.

 

Musa AS memang bukan yang membelah laut. Dan Musa AS memang tidak kuasa untuk melakukan serangkaian kehebatan itu, melainkan dia menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Ia hanya disuruh untuk bergerak menuju pantai, menggerakkan tangan ke langit, lalu tiba-tiba datang gemuruh angin merunyak dan membelah lautan dengan begitu cepatnya. Ini persis seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syu’araa’ 63).

 

Pada peristiwa pelarian Musa AS bersama kaumnya dan terbelahnya laut ini terlihatlah qudrah, kekuasaan Allah yang telah mengatur segalanya. Musa AS datang, lalu laut terbelah. Dijaman modern teori ini seperti kejadian terbukanya pintu supermall, orang datang ke pintu lalu pintu membuka dengan sendirinya. Tidak perduli apakah yang datang itu Johan, Anwar, Budi, Sicilia, Widowati, atau siapa saja, pintu itu akan tetap terbuka.

 

Secara mekanik sistem otomat terbukanya pintu itu telah diatur, hingga siapapun mendekat kemudian terbuka dengan begitu lentur. Ini sama dengan kejadian terbelahnya Laut Merah, Allah telah mengatur. Bahwa siapa pun yang datang pada waktu yang telah disebutkan, pada momen yang telah ditentukan, entah itu bernama Kipli, Burhan, Ahmad, Zaenul, Musa, Kalijaga, atau siapapun, Laut Merah tetap kan terbelah. Pertanyaan kenapa kemudian Musa AS yang kemudian melakukan, adalah karena dia Yang Terpilih.

 

Terminologi Yang Terpilih ini sama dengan kejadian mengalirnya air zam-zam pertama kali di kota Mekah. Ketika Siti Hajar berlari-lari hilir mudik dalam kebingungan hingga tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa untuk mendapatkan air, lalu Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk memencet tombol open pada kran alam tempat Nabi Ismail menghentak-hentak kaki dan menangis. Air lalu membuncah dengan begitu derasnya, hingga Siti Hajar berteriak-teriak Zam-zam (berkumpullah), untuk memagari air yang terus mengalir itu dengan batu-batu seadanya.

 

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal 17)

 

Begitulah ayat-ayat ini menunjukkan Kehendak Allah untuk memilih siapa yang akan menjadi lakon, siapa yang harus memerankan posisi peran utama itu dalam sebuah kejadian, sebagai Yang Terpilih. Tidak juga Zulkifli, tidak juga Zulkarnain, tidak juga Dzun-nun dan lain sebagainya, kenapa harus Musa AS yang menjadi pemeran utama dalam episode terbelahnya Laut Merah? Karena dia Yang Terpilih. Tidak juga Hamim, tidak juga Abu Bakar, tidak juga Khidr, kenapa harus Ismail AS yang menghentak-hentakkan kaki di bumi Mekah lalu air mengalir? Karena dia Yang Terpilih.

 

Mereka semuanya adalah orang-orang yang diberi nikmat, diberi petunjuk dan orang-orang pilihan di sisi Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang tunduk tadharru (dan menaruh harapan) kepada Allah. Menjadi hamba yang setia, bukan sombong mengangkat diri. Di sinilah Allah dengan secara tidak langsung memberikan sekalian pengetahuan yang tinggi sekali bagi orang yang beriman.

 
Nabi-nabi itu diberi nikmat tertinggi, dijadikan Nabi dan Rasul, mereka selalu diberi petunjuk dan mereka diakui sebagai orang-orang pilihan. Tetapi adakah mereka menyombong karena kemuliaan yang dilimpahkan itu? Tidak. Mereka selalu menjaga hubungan keakraban, kemesraan dengan Sang Khalik. Betapa pun tinggi kemuliaan yang diberikan, namun mereka lain tidak, hanyalah `Ibaadullah: hamba sahaya dari Allah. Bila malaikat datang membawa wahyu mereka menunduk merendahkan diri. Mereka bersujud mensyukuri nikmat bahkan mereka menangis.

 

Bilamana Allah hendak mengangkat martabat hamba-Nya, dipanggilnya hamba-Nya itu dengan ‘abdi, artinya hamba. Sama seperti ketika Allah menceritakan anugerah tertinggi yang Dia limpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW dengan meng-isra’-kan beliau pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, disebutnyalah Nabi kita itu abdihi, yang berarti hamba-Nya. (QS. Al Isra’ 1).

 

Sama seperti ketika Allah memperingatkan kisah permohonan Nabi Zakariya AS, disebutnya ‘abduhu Zakariya, atau Zakaria sebagai abdi Tuhannya. Di dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ 3 juga disebut Nabi Nuh AS sebagai `Abdan Syakuraa, hamba yang bersyukur selalu.

 

Ketika Nabi Musa AS disuruh datang menuntut ilmu pengetahuan (QS. al-Kahfi 66) yang disebut bahwa Guru ialah ‘Abdan min `Ibaadina; seorang hamba di antara hamba-hamba Kami. Sulaiman AS di­sebutnya Ni’mal `Abdu; hamba yang paling baik, (QS. Shaad 30). Ayyub AS pun disebutnya demikian, (QS. Shaad 45). Dan Isa Almasih sendiri, yang dianggap Tuhan oleh umat Nashara, ketika beliau membuka mulut dan ber­kata-kata sedang sarat menyusu, ucapan beliau yang pertama terdengar ialah Ana Abdullah, aku adalah Hamba Allah. Beliau bukan anak Allah, sebagaimana yang dijadikan dasar kepercayaan oleh orang Nasrani.

 

Demikian Nabi-nabi itu, bertambah diberi nikmat, petunjuk dan menjadi orang terpilih, bertambah mereka bertekuk lutut bersujud sambil berurai airmata karena tunduk dan cinta kepada Tuhan, dan mengakui diri mereka adalah Hamba Tuhan. Yang Terpilih.

 

Dan begitulah hendaknya kita terus belajar dari sebalik kejadian alam, untuk menarik hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, juga sebagai sebuah sarana untuk introspeksi. Bukankah pemeran antagonis atau figuran-figuran lainnya dalam sebuah film juga bertanya pada sang sutradara, kapan saya akan dijadikan lakon atau pemeran utama dalam sebuah film. Di titik ini kita bisa mengambil momen untuk bertanya kepada Allah, kapan juga kita akan menjadi Yang Terpilih untuk memerankan episode-episode terbaik dalam sekalian lakon kehidupan manusia!

 

Secara mekanik sistem otomat terbukanya pintu itu telah diatur, hingga siapapun mendekat kemudian terbuka dengan begitu lentur. Ini sama dengan kejadian terbelahnya Laut Merah, Allah telah mengatur. Bahwa siapa pun yang datang pada waktu yang telah disebutkan, pada momen yang telah ditentukan, entah itu bernama Kipli, Burhan, Ahmad, Zaenul, Musa, Kalijaga, atau siapapun, Laut Merah tetap kan terbelah. Pertanyaan kenapa kemudian Musa AS yang kemudian melakukan, adalah karena dia Yang Terpilih.

 

Gusblero Free

27. Miscall From Baqa’

Adam mengingkari swargaloka, sejak itu kita belajar sebagaimana fitrahnya manusia. Mereka yang tidak mampu menjaga kerahasiaan hati akan mati terhina.

 

Yang jago akan mati diadu,

Yang keras akan mati dipukul,

Yang pintar akan mati ditanya,

Yang kaya akan mati difitnah,

Yang suka dipuja-puja akan mati karena kesombongannya

 

Cukup lama sebenarnya saya sudah kepingin merangkum tulisan ini, namun kepandiran disebabkan merasa kurang cukupnya ilmu dalam pengungkapan hal-hal yang bersifat keruhanian membuat keragu-raguan dalam diri saya sendiri. Secara prinsip saya hanya ingin berbagi, dan tidak ingin sama sekali menggurui, saya takut menjadi mati justru ketika ditanya.

 

Di atas langit masih ada langit, itu kesadaran awalnya. Menjadi jago juga bisa mati dalam duel yang habis-habisan, itu yang jarang sekali kita fahami. Seseorang yang baik itu, konon adalah orang yang sadar diri, kapan harus mengibarkan sebuah bendera dan tahu kapan harus menurunkannya.

 

Disebalik kehidupan yang kita bangga-banggakan dengan penuh rasa optimisme ini, jelas akan ada pertanggung jawaban yang harus kita jalani sesuai modal dalam hidup yang sudah kita pegang selama ini. Mereka yang digelimangi dengan kekayaan akan ditanya untuk apa sejauh ini segala gelimang kekayaannya itu digunakan. Mereka yang diberkati dengan banyak ilmu akan ditanya sejauh ini untuk apa bekal-bekal ilmu itu dipergunakan. Pun mereka yang dilimpahi dengan keperkasaan akan ditanya untuk apa segala kekuatan yang selama ini dimiliki dipergunakan. Dan bahkan mereka yang ditinggikan dengan segala bentuk popularitas duniawi juga akan ditanya sejauh ini apakah keberadaannya dalam kehidupan ini menjadi sebentuk syiar bagi tumbuhnya kebaikan untuk sesama dan juga agama Tuhannya, atau justru sebaliknya. Disinilah inti dari miscall from baqa’.

 

Bahwa sejatinya sejauh ini Allah juga telah coba untuk mengingatkan kita dengan seruan-seruan dan panggilan-panggilan-Nya, namun karena kesibukan dan ke-asyik masyuk-an kita dalam proses pengerjaan dan pemeliharaan duniawi semata membuat kita abai, tak merespon, bahkan mungkin tak tahu akan adanya panggilan-panggilan dari keabadian itu.

 

Padahal, jika pun spirit sense kita pun telah mati akibat secara energi jarang diisi ulang, ada banyak fenomena dalam hidup ini terus dihadirkan untuk menguji apakah mata hati dan pikiran kita pun juga telah ikut-ikutan buta serta mengakibatkan bebalnya hidup. Orang alim yang diam saja melihat perilaku kedzaliman terjadi di mana-mana, dan justru sibuk menciptakan sorga bagi mimpi-mimpi ukhrawi-nya sendiri. Orang-orang pintar yang hanya pintar mengambil keuntungan, sementara ketidak adilan terus menjadikan tumbal bagi orang-orang yang tidak mampu miskin dan papa. Para penguasa yang sibuk mewarnai hidup dengan sejuta program untuk populerisme, yang dilain pihak menutup diri dari kenyataan hidup yang dialami segenap rakyatnya.

 

Begitulah saya ingin berbagi, dan tidak ingin menjadi guru. Saya hanya akan sungguh beruntung jika pun apa yang saya lakukan selama ini bisa menjadi ilham tumbuhnya kebaikan bagi sesama, dan juga persepsi manusia secara umum terhadap Khalik-Nya, Sang Penciptanya.

 

Dan saya juga merasa sungguh beruntung saat kemudian saya menemukan tulisan Najafi Quchani ra. yang berjudul Siyata-e-gharb (Perjalanan ke Arah Barat) yang ditulis pada tahun 1312 H (1894-1895 M) ini. Bukan apa. Disebabkan latar belakang ilustrasi pemaknaan dan kurang lebih bayangan penggambaran yang sama, maka saya lebih memilih apa yang telah dituliskannya untuk menyampaikan isi, yang dalam otak saya merupakan wujud panggilan-panggilan terabaikan (miscall) dari keabadian (from baqa’) itu.

 

Nun, pada kenyataannya. Jasad manusia dan alam material dengan segala keindahan yang menjadi tabiatnya adalah merupakan tirai yang tebal yang menghalangi pandangan manusia dalam menyaksikan akan keberadaan kehidupan di alam lain. Dan kematian pada hakikatnya hanyalah sebuah nama yang muncul dari tirai ini, ketika tirai yang lain terbuka. Adapun manusia dengan hakikat akan kematiannya sebenarnya mampu untuk melihat yang tersembunyi dari apa yang belum tersaksikannya, dan (bila ia pun demikian) maka, ia pun akan menjadi “terjaga” dari kenyataan bahwa selama ini ia telah lalai.

 

“Sesungguhnya  kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaaf 22)

 

Itulah yang telah difirmankan. Di dunia ini kebanyakan manusia tidak mengetahui akan kenyataan yang demikian. Dan dengan kematian, maka tersingkaplah tirai material itu, sehingga manusia pun mampu untuk menyaksikan dengan jelas kehidupan di alam barzakh.

 

Perhatikan ini. Dan akhirnya saya pun meninggal dunia…..

 

MFB1

 

Saat itu saya menyaksikan diri saya bangun berdiri dalam keadaan sehat, padahal sebelumnya saya dalam keadaan sakit yang sangat parah. Namun di sisi lain disaat bersamaan itu pula, saya melihat tubuh saya yang terbaring di atas kasur tanpa daya. Sanak keluarga tengah mengitari dan menangisi tubuh saya yang terbaring, dan saya merasa sedih dengan menyaksikannya.

 

Kemudian saya berkata kepada mereka, “Ini saya….ini sayaaaa……!” Saya terus berteriak dan ingin memberitahukan kepada mereka bahwa saya di sini di posisi mana saya berdiri, bahwa saya belum mati, dan derita dari penyakit yang saya rasakan selama ini telah hilang, namun tak ada seorangpun dari mereka yang bisa mendengarkan suara saya. Tampaknya mereka tidak bisa melihat ataupun mendengarkan suara saya. Disini saya sadar, bahwasanya saya telah sangat jauh dari mereka.

 

Lalu saya mengalihkan perhatian kepada tubuh yang terbaring itu. Dan saya pun menatap wajah jenazah itu yang saya kenal betul akan ciri-cirinya. Orang-orang menangis. Saya melihat pasangan hidup saya menangis, saya melihat anak-anak saya menangis, saya melihat keluarga-keluarga saya menangis. Dan saya terus berteriak-teriak untuk meyakinkan, “Ini saya….ini sayaaa!!” namun mereka tak mendengar. Dan saya juga terus mencoba meyakinkan mereka dengan menggapai-gapai fisik lengan bahu mereka, namun semua itu tak tersentuh. Tahulah diri saya sekarang.

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Saya terus memperhatikan jenazah itu, termasuk ketika dimandikan, dikafani dan seterusnya. Lalu jenazah itu diusung ke kuburan. Dan saya termasuk di antara mereka yang mengantarkannya ke perkuburan.

 

Saya melihat di antara para pengiring jenazah itu terdapat berbagai makhluk buas dan berbagai jenis binatang. Dan hal itu membuat saya takut, namun mereka yang berwujud manusia justru tidak merasa takut, seakan-akan makhluk buas itu adalah binatang jinak, dan binatang peliharaan yang disayangi. Sehingga mereka yang berwujud manusia itu tidak merasa khawatir akan disakiti.

 

Kami pun sampai di perkuburan. Saya berdiri di atas kuburan itu, seraya menyaksikan jenazah yang di turunkan ke liang kubur dengan kepalanya terlebih dahulu. Pada saat itu jenazah saya pun dibaringkan di dalamnya. Lalu tiba-tiba seisi lubang kubur penuh dengan beragam jenis binatang yang muncul dari dalam lubang kubur. Saya pun kembali merasakan takut, terlebih ketika binatang itu menyerang jenazah. Akan tetapi mereka yang menurunkan jenazah dan yang tengah berada di lubang kubur itu, tidaklah merasa takut, seakan-akan mereka tidak melihat akan keberadaan binatang-binatang itu.

 

Dan begitu mereka selesai menyimpan jenazah mereka pun keluar dari lubang kubur. Lantaran merasa kasihan kepada jenazah, saya berusaha untuk mengusir binatang-binatang itu. Namun jumlah mereka cukup banyak, Sehingga saya tak mampu untuk mengusirnya. Di saat itu saya merasa amat takut, sekujur tubuh saya bergemetar, lalu berteriak meminta tolong pada orang-orang yang berdiri di atas kuburan. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang mendengarkan teriakan saya.

 

Mereka begitu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Seakan-akan mereka sama sekali tidak melihat akan apa yang terjadi di lubang kubur. Lantas kemudian muncul beberapa orang yang kemudian masuk ke dalam lubang kubur dari beberapa arah, lalu mengusir binatang-binatang itu. Dan binatang-binatang itu pun langsung kabur berlarian ketika orang-orang itu tiba. Lalu saya pun kemudian berterima kasih kepada mereka, karena telah menolong saya dalam kesulitan itu.

 
Mereka lalu tersenyum. Dan menyatakan kepada saya bahwa mereka adalah perbuatan baik yang telah saya lakukan (ketika di dunia), dan binatang-binatang buruk itu adalah perbuatan buruk saya. Lantas mereka juga berkata, “Apakah engkau tidak ingat, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud 114). Setelah berkata seperti itu, mereka pun kemudian menghilang. Perbuatan baik, itu yang pertama menemani saya di alam yang kemudian.

 

Setelah kejadian itu saya baru sadar, kalau mereka yang tengah hadir di perkuburan itu telah selesai menimbun seluruh lubang kubur dengan tanah. Dan kemudian mereka pun pergi meninggalkan saya dalam kubur yang sempit lagi gelap. Saya menyaksikan mereka semuanya pulang ke rumahnya masing-masing. Termasuk sanak kerabat, istri dan anak-anak saya. Saya merasa sedih, dan kesendirian dalam gelapnya lubang kubur membuat saya kian sedih. Saya tak pernah mengalami kebingungan dan ketakutan seperti ini sebelumnya.

 

Kemudian saya duduk di bagian atas kepala jenazah, dalam kesepian dan keputus-asaan harapan kecuali kepada Allah. Tak lama kemudian, saya melihat ruangan di dalam kubur bergetar. Tanah-tanah yang ada di atas dan yang di samping jenazah itu lalu runtuh. Seakan-akan saat itu akan ada seekor binatang buas yang memaksa untuk masuk ke ruangan sempit tersebut. Akhirnya tanah kuburan pun terbuka, lalu keluarlah dua makhluk yang berwajah seram dan bertubuh kekar. Kedua makhluk itu seperti raksasa. Dari mulut dan hidungnya menyembur asap dan nyala api seraya membawa gada berduri yang terbuat dari besi membara. Dan tampak jilatan api yang melompat-lompat dari atas mereka.

 
Tiba-tiba kedua makhluk itu bertanya dengan suara yang menggelegar laksana suara guntur yang mengguncang langit dan bumi, dan berkata, “Siapa Rabb-mu?”

 
Saya begitu merasa takut ketika mendengarnya, hingga perasaan saya menjadi kalut, dan keberanian saya pun hilang seketika. Saya menduga bahwa jenazah yang telah terkulai dan tidak bernyawa itu tak mampu untuk menjawab pertanyaan mereka, yang karenanya pasti ia akan dipukuli dengan gada yang berduri itu yang akan membuat liang lahat dipenuhi kobaran api. Saya menduga jika tidak dijawabnya maka kejadian akan menjadi lebih parah lagi. Dalam keadaan takut saya berpikir, kalau sebaiknya saya saja yang menjawabnya.

 

Kemudian saya teringat Allah, yang telah berfirman akan mengabulkan permintaan orang yang mau memohon pertolongan-Nya. Hati saya pun mendadak tegar dan lidah saya terbuka. Namun lantaran saya terdiam cukup lama, kedua makhluk itu mengulangi pertanyaannya dengan nada yang gusar, “Siapa Rabb-mu?”

 
Suara pertanyaan kali ini lebih keras dari sebelumnya. Dan dikarenakan menahan amarah, wajah keduanya pun menghitam dan dari matanya keluar kilatan api. Mereka lalu mengangkat gada besinya dan siap menghantamkannya. Akan tetapi, kali ini saya tak lagi ketakutan sebagaimana sebelumnya, dengan lirih saya pun menjawab, “Allah…”

 

Allah, Rabb-ku. Dia-lah Allah. Yang tiada yang diabdi selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia-lah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang Maha Menguasai. Yang Maha Quddus. Yang Maha Salam. Yang Maha Mengaruniakan Keamanan. Yang Maha Memelihara. Yang Maha Perkasa. Yang Maha Kuasa. Yang Maha Memiliki segala keagungan. Aku bertasbih kepada Allah (akan segala dari sesuatu) dari apa yang mereka persekutukan.

 
“Allah yang menciptakan. Yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai Asma-asma yang paling Indah. Yang bertasbih kepada-Nya (segala) apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr.22-24)

 

Ayat mulia ini adalah ayat yang biasa saya baca setiap selesai menunaikan shalat Subuh, saya bacakan ayat ini untuk mereka, agar jangan sampai mereka mengira bahwa manusia tidak memiliki kesempurnaan; Dimana mereka telah memprotes penciptaan manusia dengan menyatakan bahwa manusia tak lain hanya melakukan pertumpahan darah di muka bumi.

 
Setelah saya menjawabnya, raut wajah keduanya berubah menjadi lembut dan amarahnya pun kemudian pupus. Bahkan yang satu berkata kepada yang lain,
“Jelas, ia adalah seorang ulama yang berserah diri dan untuk selanjutnya kita mesti mengajukan pertanyaan dengan lembut.”
Namun yang lain menjawab, “Sikap kita kepadanya bergantung pada jawaban dia terhadap pertanyaan yang kedua. Karena kita ditugaskan untuk mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang ini, kita harus tetap menjalankan tugas dan kewajiban kita. Siapakah jiwa ini, itu tidaklah penting bagi kita. Kekuasaan dan kedudukan tidaklah ada artinya dalam pandangan kita.” Kemudian mereka melanjutkan pertanyaannya yang kedua, “Siapa Nabimu?”

 

Saat itu detak jantung saya mulai sedikit menurun, mulut saya terbuka dan lidah saya pun tidak lagi terasa kelu, sehingga saya mampu bersuara agak sedikit keras. Saya menjawab bahwa Nabi saya adalah Rasulullah SAW yang diutus kepada seluruh umat manusia, Muhammad bin Abdullah, penutup para Nabi, dan penghulu para Rasul.

 

Saat itu, rasa marah dan gusar mereka lenyap sama sekali. Bahkan wajah keduanya menjadi bersinar. Rasa takut saya segera lenyap melihatnya. Kemudian mereka bertanya tentang kitab, dan kiblat saya.

 

Saya menjawab bahwa kitab saya adalah Al-Qur’an yang mulia, yang diturunkan Ar-Rahman kepada Nabi-Nya yang bijaksana, dan kiblat saya adalah Ka’bah dan Masjidil Haram.

 

“Dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (Masjidil Haram)” (QS. Al Baqarah150). “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan Hanif (lurus), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’aam79)

 

Lalu saya diam seraya menanti pertanyaan berikutnya yang akan diajukan. Ternyata keduanya tidak mengajukan pertanyaan lain kecuali, “Darimana engkau memperoleh pengetahuan ini?”

 

Dalam menghadapi pertanyaan ini, saya tenggelam dalam lamunan tentang dalil dan penjelasan yang biasa saya paparkan di dunia. Waktu itu saya sering salah dan keliru. Tapi dari sisi apa, materinyakah? Bentuk susunannyakah? Sekiranya suatu penjelasan tidak membuahkan hasil yang benar, mungkinkah seseorang akan menganggap penjelasan itu adalah tidak masuk akal? Namun darimana kita tahu bahwa berbagai penjelasan itu sesuai dengan standar logika? Dari mana pula kita memastikan bahwa standar logika merupakan standar hukum yang pasti dan sesuai dengan kenyataan?

 

Seandainya hal itu benar, maka dalil dan penjelasan itu hanya diperlukan dalam kehidupan di alam buta dan bodoh (dunia) ini. Karenanya, ia tak ubahnya seperti tongkat penuntun bagi orang yang buta atau yang sedang berada dalam kegelapan. Sementara di alam ini, dimana berbagai hakikat dapat disaksikan dengan jelas dan gamblang, tentu tidak di butuhkan tongkat sama sekali. Lalu, apa yang mereka inginkan dari saya? Ya Allah, saya baru saja lahir di alam ini. Saya masih belum memahami istilah mereka. Saya tenggelam dalam lamunan yang cukup lama. Hingga tiba-tiba muncul teriakan, yang laksana suara guntur yang menggelegar di langit, “Katakanlah, darimana engkau mendapat jawaban itu?”

 
Saya tak pernah melihat wajah yang segusar itu sebelumnya, matanya terbelalak dan sangat memerah laksana api membara, sementara wajahnya menjadi kehitaman, mulutnya menganga seperti mulut unta, gigi-giginya panjang dan berwarna kuning. Keduanya mengangkat gada besinya dan siap memukul saya. Keadaan itu membuat saya sangat takut. Karenanya, saya pun menjadi kalut dan lupa segala-galanya hingga tak mampu untuk menjawabnya. Rasa takut yang begitu mencekam menjadikan tubuh saya lunglai dan kedua mata saya terpejam. Saat itulah saya mendapat ilham. Segera saja saya menjawab dengan lirih, “Itu, berkat bimbingan Allah.”

 

Lantas kemudian, saya mendengar mereka berkata, “Tidurlah, seperti tidurnya pengantin.”

 

Setelah mengatakan itu, keduanya segera pergi dan saya tertidur dengan lelap, atau mungkin jatuh pingsan. Namun yang jelas, sekarang saya telah kembali merasa aman dari guncangan yang saya alami itu.

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Suara pertanyaan kali ini lebih keras dari sebelumnya. Dan dikarenakan menahan amarah, wajah keduanya pun menghitam dan dari matanya keluar kilatan api. Mereka lalu mengangkat gada besinya dan siap menghantamkannya. Akan tetapi, kali ini saya tak lagi ketakutan sebagaimana sebelumnya, dengan lirih saya pun menjawab, “Allah…”

 

 

MFB2

 

Selang beberapa saat. Saya tersadar dan mata saya pun terbuka. Tiba-tiba saya melihat diri saya berada dalam sebuah ruangan yang beralaskan permadani indah. Saya melihat seorang pemuda tampan yang berambut indah dan beraroma harum. Kepala saya berada di atas lututnya. Ia tampaknya menanti saya terjaga. Ia mengangkatkan kepala saya dengan sangat lembut dan rendah hati. Saya pun segera bangun demi memberi hormat kepadanya seraya mengucapkan salam.

 
Ia pun tersenyum, lalu bangkit dan menjawab salam saya. Ia memeluk saya dengan penuh kehangatan dan cinta, dan berkata, “Duduklah.”

 

“Saya bukan nabi, bukan imam, bukan pula malaikat, melainkan kekasih dan sahabat dekatmu.”

 

“Siapa dirimu? Siapa namamu? Jelaskan silsilah keturunanmu agar saya ingat kalau engkau adalah sahabat saya, sehingga saya akan senantiasa bersamamu?”

 

“Namaku Al-Hadi, pemberi petunjuk. Akulah yang memberi ilham di hatimu untuk menjawab pertanyaan terakhirmu, sehingga engkau pun terbebas dan selamat. Sekiranya engkau tidak menjawab pertanyaan itu, niscaya mereka akan memukulmu dengan gada besinya yang membara itu, hingga tempatmu pun akan dipenuhi kobaran api. Adapun gelarku adalah Abu al-Wafa’, juga Abu al-Turab.”

 

Lalu saya berkata, “Saya berterima kasih kepadamu atas kebaikanmu. Pada dasarnya, saya tidaklah terikat kepadamu. Namun, pertanyaan terakhir itu menurut saya sama sekali tidak bermanfaat dan sia-sia belaka, karena seseorang akan berhasil menjawab dengan baik jika memahami prinsip-prinsip dari ideologi Islam. Saya merasa bahwa sama sekali tidak diperlukan pertanyaan tentang hakikat kebenaran yang diungkapkan oleh seseorang. Misalnya, jika api menjilat tangan seseorang, lalu ia melihat tangan yang terbakar, tentu tak perlu ditanyakan kenapa tangan itu terbakar, sebab sudah pasti karena ada api penyebabnya. Pertanyaan terakhir yang diajukan kedua makhluk itu adalah persis seperti itu.”

 

Al-Hadi kemudian menjawab, “Tidak, bukanlah demikian. Karena, ucapan yang benar dan yang sesuai kenyataan, masih belum bermanfaat bagi manusia. Namun ketulusan dan keyakinan hatilah yang diperlukan demi mendorongnya untuk beramal. Ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala: “Katakanlah, Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah, kamu telah tunduk. Karena iman masih belum masuk ke dalam hatimu.” (QS. Al Hujuraat 14). Bukankah dihari pertama kalian semua menjawab pertanyaan Allah Ta’ala, alastu bi rabbikum, “Bukankah Aku adalah Rabbmu?” dengan jawaban “Benar”, seraya menyaksikan ketuhanan dengan benar,  jelas dan nyata? (QS. Al-A’raaf 172)

 

“Benar, mereka melakukan hal itu.” jawabku.

 

Al-Hadi pun kemudian meneruskan, “Di alam material (dunia), setiap manusia mendapat ujian lewat perintah Allah Ta’ala untuk melaksanakan berbagai tugas dan tanggung jawab (taklif). Namun dikarenakan penyaksian mereka dihari pertama itu hanya sebatas lisan, maka sebagian mereka tidak lulus dari ujian itu secara murni, dan kemudian mereka pun tidak mematuhi seluruh perintah dan larangan-Nya. Maka pada persinggahan yang pertama di alam itu, orang-orang mukmin dan munafik pun mampu untuk menjawab berbagai pertanyaan itu dengan benar.

 
Adapun dengan pertanyaan yang terakhir tadi, itu merupakan ujian ulang yang dimaksudkan untuk mengetahui kalau aqidah (keyakinan) itu telah meresap ke dalam hati. Karena hal itu, jawaban dari apa yang telah engkau katakan, itulah keselamatan.

 

Bila seseorang menjawab dengan mengatakan bahwa dirinya hanya mengikuti manusia, itu sama sekali tidaklah berguna jika tidak disertai keyakinan hati.
Sebagaimana engkau pun telah mengetahui bahwa perkara ini telah dijelaskan secara terperinci dalam berbagai hadits dan riwayat para ahlal ‘ilm.”

 

“Itu benar. Sekarang saya ingat kembali apa yang tercantum melalui hadits dalam berbagai riwayat. Namun, dikarenakan saat itu saya dicekam rasa takut yang hebat, saya lupa segalanya. Dan engkau pun telah mengingatkan saya kepada Allah. Semoga Allah tidak memisahkan engkau dariku. Sekarang katakan, darimana engkau mengenalku, padahal, saya merasa tak pernah mengenalmu. Kini saya amat mencintaimu. Dan menganggap, bahwa berpisah darimu adalah kebinasaanku.”

 

Al-Hadi pun kemudian menjawab, “Sejak awal aku selalu bersamamu, mengasihimu, namun engkau tidak merasakan kehadiranku. Sebab, penglihatan hatimu di alam material tidaklah begitu tajam. Cinta itulah yang kadarnya pada dirimu bergantung pada kadar kesanggupanmu. Dari sinilah saya dinamakan pemberi petunjuk (al-Hadi), yaitu orang yang memberi panduan kepadamu, Adapun Dia adalah yang memberi petunjuk kepada semua orang yang bertaqwa, seperti firman-Nya, “Itulah al-kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya; panduan (hudan) bagi orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah 1-2)

 

Dan aku tidak akan berpisah denganmu, kecuali jika engkau melepaskan ikatanmu denganku, dan kemudian engkau pun mengikuti hawa nafsumu. Karena itu, “Barangsiapa yang ingkar kepada thagut (hal-hal yang melampaui batas), dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah 156). Mengapa aku digelari Abu al-Wafa’, juga Abu al-Turab adalah karena engkau berbuat sesuai dengan ucapan dan janji-janjimu, serta merendahkan hati di hadapan orang-orang yang beriman.

 

Kadar kesanggupanku untuk memberikan ketenangan kepadamu adalah berpulang pada dirimu sendiri. Dan saya senantiasa berada dalam hatimu sesuai potensi dan kapasitasmu. Dalam keadaan senang maupun susah, aku senantiasa bersamamu. Namun bila engkau melakukan maksiat, aku akan lari meninggalkanmu. Hingga setelah engkau bertaubat, aku akan kembali menemanimu.

 

Dalam perjalanan ini aku tidak akan meninggalkanmu, kecuali jika engkau melakukan kesalahan dan melampaui batas, yang berasal dari dirimu sendiri. “Yang demikian itu disebabkan perbuatan tangan kalian sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Anfal 51). “Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat dzalim pada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus 44)

 

Sekarang aku akan pergi. Dan mempersilahkanmu untuk beristirahat barang sejenak. Ketahuilah, itulah amanat yang diberikan kepadaku. Allah telah menjanjikanku kepadamu. Al-Qur’an dipenuhi hikayat tentang diriku. Namun, sungguh menyesal, sekalipun engkau cukup banyak membaca ayat Al-Qur’an, engkau tidak mengenal cukup baik akan aku. Untuk itu kita akan berpisah terlebih dulu.”

 

Saya pun kemudian menyaksikan ia pergi. Tatkala saya dalam keadaan sendiri, saya mulai berpikir tentang ihwal diri saya, dari berbagai penjelasan al-Hadi yang telah menyadarkan saya. Bahwa pada hakikatnya berbagai perbuatan manusia di alam dunia tak ubahnya mimpi, dan kehidupan sekarang ini, tatkala saya telah terbangun dan terjaga, merupakan ta’wil dan kenyataan dari mimpi-mimpi itu. Disini aku teringat ucapan Dzulqarnain (mengenai mereka yang berada dalam kegelapan): “Barangsiapa yang mengambil batu kerikil, niscaya tatkala ia sampai di tempat yang terang ia akan menyesal, dan barangsiapa yang tidak mengambilnya juga akan menyesal.” Semua itu adalah merupakan penjelasan atas dua keadaan manusia di dunia dan akhirat, bahwa setiap manusia akan merasakan penyesalan dalam kadar tertentu.

 

“Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokan (agama Allah).” (QS. Az-Zumar 56)

 

Namun, saat ini penyesalan sudah tiada guna lagi. Pintu taubat telah tertutup. Dalam kesedihan dan duka ini, saya pun tertidur.

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Tak lama kemudian datanglah dua orang. Yang satu berwajah tampan,
sedang yang lainnya berwajah buruk. Masing-masing duduk di sebelah kanan dan kiri saya. Mereka berdua bergantian mengendus anggota tubuh saya dari kepala sampai kaki, lalu mencatatnya dalam lembaran panjang yang mereka bawa. Mereka juga membawa beberapa kotak besar dan kecil serta memasukkan berbagai benda ke dalamnya. Lalu tutup kotak itu disegel dan distempel dengan lilin merah. Sebagian anggota tubuh saya, seperti hati, otak, mata dan lidah berulang kali diciumi mereka. Lantas keduanya saling berbisik satu sama lain dan kembali mengendus/menciumi anggota tubuh saya hingga beberapa kali, lalu menuliskan sesuatu dan disimpannya di dalam kotak-kotak itu.

 
Saya sama sekali tidak bergerak, agar mereka tidak mengetahui kalau saya sudah sadar dan terjaga. Namun saya dicekam rasa takut yang luar biasa melihat keseriusan keduanya dalam memeriksa berbagai hal yang telah masuk dan yang telah keluar dari diri saya dengan teliti. Secara samar-samar, saya tahu bahwa mereka berdua sedang mencatat berbagai kebaikan dan keburukan saya.

 

Sosok berwajah tampan tidak menginginkan keburukan saya dicatat. Alasannya, saya telah bertaubat atau perbuatan buruk itu telah dihapuskan atau dirubah menjadi baik, tak ubahnya semacam ramu-ramuan yang mengubah tembaga menjadi emas. Disini saya sangat menyukainya.

 
Setelah selesai memeriksa, keduanya melipat lembaran itu dan dikalungkan di leher saya. Kotak-kotak tertutup itu mereka masukkan kedalam ransel yang kemudian diletakkan di atas kepala saya. Lalu mereka membawa sangkar besi dengan 7 jerujinya, yang seakan-akan dibuat khusus untuk ukuran tubuh saya. Dan kemudian saya pun diletakkan di tengah-tengahnya. Lalu mereka mengencangkan kawat, mur dan baut yang ada. Perlahan-lahan sangkar besi itu menyempit dan mengecil, sehingga saya terjepit dan nafas saya terhenti. Saya pun tak mampu menahannya lagi, kemudian saya menjerit dan berteriak meminta tolong. Dengan cepat, keduanya mengencangkan seluruh mur dan baut yang ada, sehingga sangkar besi kian sempit hingga seukuran pipa sebesar teko, dan tulang belulang saya hancur luluh, lalu mengalir keluar dari tubuh saya cairan yang berwarna kehitaman yang menyerupai aspal, hingga saya pun tak sadarkan diri.

 

Tatkala tersadar, saya melihat kepala saya berada di pangkuan al-Hadi. Kemudian saya berkata kepadanya, “Al-Hadi, maafkanlah saya. Saya tak mampu berdiri. Maafkanlah kelancangan saya ini, seluruh anggota tubuh saya hancur. Dan sampai sekarang ini nafas masih belum lancar, ucapanku terpotong-potong, suaraku lemah, dan air mataku pun mengalir deras. Aku amat menyesal dan sedih karena berpisah denganmu al-Hadi, hingga harus menghadapi derita ini.”

 

Al-Hadi kemudian berkata, “Semua ini merupakan suatu ketentuan pada manzil (tempat perhentian) yang pertama di alam ini, dan semua orang akan merasakannya, bukan khusus untukmu saja. Banyak yang mengatakan bahwa bencana itu indah jika bersifat umum. Apa yang terjadi, Itu telah berlalu. Dan aku berharap semoga setelah ini engkau tidak akan lagi mengalami peristiwa semacam itu lagi.

 
Berbagai peristiwa berikut yang terjadi di alam ini adalah berasal dari dirimu sendiri. Namun, penderitaan-penderitaan di alam ini adalah untuk kebaikanmu juga. Engkau menyaksikan sangkar besi itu terdiri dari 7 jeruji besi. Pada hakikatnya ke-7 jeruji besi itu adalah ahlak tercela manusia di alam dunia yang kemudian melekat kuat dalam kehidupannya. Dan di alam ini, ahlak tercela itu berbentuk jeruji besi, dan ada kemungkinan dapat mencapai hingga 1.000 jeruji.

 
Asal muasal ahlak tercela itu adalah tiga: tamak, egois dan dengki. Tamak, yang telah mengeluarkan Adam AS dari surga. Egois telah menjadikan setan diusir, dan Iri dengki, yang telah menghantarkan Qabil ke Jahanam. Namun, ketiganya memiliki beribu-ribu ranting dan cabang. Dan pada masing-masing individu terdapat perbedaan dalam jumlahnya.”

 

Sembari mengucapkan kata-kata manis ini, al-Hadi mengusapkan tangannya ke punggung, dada dan berbagai anggota tubuh saya. Maka tulang-tulang yang semula hancur kini pulih kembali, dan hilanglah rasa sakit, sehingga kehidupan baru mengalir dalam tubuh saya. Berkat kasih sayangnya, daging dan anggota tubuh saya telah disucikan dari berbagai daki dan kotoran, hingga menjadi bening dan mengeluarkan harum yang semerbak. Disini saya tahu bahwa himpitan itu merupakan bentuk penyucian seseorang dari kotoran dan keburukan dalam diri seseorang, yang tampak seperti cairan aspal yang berwarna hitam dan kotor.

 

Al-Hadi kemudian berkata, “Bukalah ransel ini, agar engkau mengetahui apa isinya.”

 
Saya pun kemudian mengeluarkan isinya. Semua kotak itu tertutup rapat. Sebagian kotak di atasnya tertulis ‘bekal untuk manzil si fulan’, sebagian lainnya tertulis ‘berbagai catatan dan balasan di manzil fulan’, dan di sebagian lainnya lagi terdapat surat yang juga berhubungan dengan manzil tertentu, yang harus dibuka di sana.

 

Kemudian saya bertanya kepada al-Hadi, “Apa maksud kotak ini?”

 

Al-Hadi menjawab, “Semua itu adalah seluruh usiamu, dimana siang dan malamnya engkau telah melakukan perrbuatan yang baik atau buruk. Setelah berlalunya waktu, berbagai perbuatan itu berubah menjadi semacam kerang yang menyimpan butiran mutiara yang kini berubah menjadi kotak yang tertutup rapat.”

 

“Apa yang telah dikalungkan di leher saya ini?”

 

“Catatan amalan perbuatanmu, yang pada hari kiamat nanti seluruh keinginan dan perbuatanmu akan dipertanggung jawabkan. “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (QS. Al-Israa’ 13)

 

Asal muasal ahlak tercela itu adalah tiga: tamak, egois dan dengki. Tamak, yang telah mengeluarkan Adam AS dari surga. Egois telah menjadikan setan diusir, dan Iri dengki, yang telah menghantarkan Qabil ke Jahanam. Namun, ketiganya memiliki beribu-ribu ranting dan cabang. Dan pada masing-masing individu terdapat perbedaan dalam jumlahnya.”

 

Kemudian al-Hadi berkata kembali, “Aku melihat bekal perjalananmu sedikit, karena itu engkau mesti menunggu lagi di sini sampai beberapa Jum’at. Mudah-mudahan ada kiriman dari teman kerabatmu di dunia, yang tumbuh dari kesaksian mereka atas kebaikan yang sudah pernah engkau tanamkan di dunia. Dan engkau pun harus pergi guna mengambil tiket dan surat jalan dari penguasa alam dan agama. Dan sekiranya dalam minggu-minggu ini tidak ada sesuatu yang dikirimkan kepadamu, pada malam Jum’at, temuilah sanak keluargamu. Semoga mereka teringat kepadamu, dan memohonkan kepada Allah akan rahmat dan ampunan untukmu.”

 

Al-Hadi pun kemudian pergi, sementara saya duduk menunggu. Tempat itu sangat bagus dan indah. Sebuah ruangan yang beralaskan permadani dengan corak berwarna-warni yang indah.

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

MFB3

 

Dan kemudian sampailah di malam jum’at, dan tidak ada suatu kiriman pun yang tiba. Sesuai pesan al-Hadi, saya pun kemudian pergi ke rumah saya dengan menjelma sebagai seekor burung. Lalu bertengger di sebuah ranting pohon di dekat rumah dan menyaksikan apa yang dilakukan keluarga saya. Saya mendengarkan pembicaraan istri dan anak-anak serta handai taulan yang datang ke rumah. Saya melihat bagaimana wajah-wajah mereka begitu kebingungan sepeninggal saya. Hingga saya mengerti, bagaimana mereka akan membantu saya dengan mengirimkan doa-doa dan permohonan kepada Tuhan agar makin leluasa perjalanan keakhiratan saya, sementara mereka sendiri disibukkan urusan memenuhi kebutuhan hidup yang tak selesai-selesai.

 

 

Saya menangis. Lalu pergi dan masuk kembali ke dalam kubur lewat lubang yang ada di atasnya. Saya melihat al-Hadi sudah datang, dengan meletakkan sebuah piring yang penuh buah apel di tengah ruangan. Saya bertanya, “Dari mana buah ini?”

 
Al-Hadi menjawab, “Seseorang telah melewati kuburan ini, lalu berhenti di atas kuburanmu dan membacakan surat al-Fatihah. Ini merupakan hadiah langsung untukmu.”

 

Saya berkata dalam hati, “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada orang yang memberikan bantuan tepat pada waktunya.”

 
Al-Hadi kemudian berkata, “Sekarang, engkau tidak membutuhkan sesuatu. Tiga manzilmu yang pertama merupakan hasil laporan dari tiga tahun kehidupanmu sejak memasuki usia aqil baligh. Selama 3 tahun ini, engkau tidak memiliki catatan buruk. Karena sejak usia 15 hingga 18 tahun, rentang usia ini merupakan masa pertumbuhan dan menguatnya akal, tidak ada hukuman-hukuman berarti atas pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan yang disebabkan lemahnya akal dan kuatnya syahwat dan hawa nafsu. Allah SWTt telah menciptakan Akal terlebih dahulu, dan Dia menyatakan: Denganmu Aku menyiksa, dan denganmu Aku memberikan pahala.”

 
Dengan demikian, keberadaan akal juga yang menyebabkan ditimpa hukuman dan diberikannya pahala. Karena itu pada tiga manzil pertama dari perjalananmu di alam ini berada dalam lingkup toleransi pada permulaan masa taklif (ujian). Engkau akan menghadapi beberapa bahaya, namun tidak begitu berat, dan dengan segera  engkau pun akan terbebas. Karenanya aku tidak akan menemanimu. Dan sekarang aku harus segera pergi ke manzil yang keempat. Di sana aku akan menunggu kedatanganmu. Besok bawalah ransel itu dan berjalanlah di jalan ini menuju arah kiblat, agar kamu sampai kepadaku.”

 

“Wahai al-Hadi, engkau mengetahui bahwa saya merasa amat berat untuk berpisah denganmu.” Saya masih mencoba meminta.

 

Al-Hadi menjawab, “Di tiga manzil ini, tak ada cara lain, melainkan engkau harus berjalan seorang diri. Sebab, sewaktu di dunia dan selama 3 tahun itu aku tidak bersamamu. Kemudian setelah itu, barulah aku lahir darimu dan menjadi ada. Ini mengingat tanahku yang berasal dari ‘illiyin yang murni, sebagai hidayah dan panduan. Dan berbagai kesalahan yang kemudian ada, adalah berasal dari dirimu sendiri juga. Karenanya, celalah dirimu sendiri dan janganlah mencelaku.”

 

Lalu al-Hadi terbang menjauh meninggalkan saya sendirian. Saya merenungkan setiap ucapannya, dan menyaksikan bahwa semua ucapannya itu adalah benar dan bijak. Bahwa pada tiga tahun pertama dimasa awal usia baligh, akal saya sebagai manusia masih lemah dan saya belum mengenal al-Hadi. Dengan demikian, saya masih belum punya kekuatan untuk memegang prinsip dan janji saya. Dan saya tidak memilki pembimbing.

 
Pada masa itu, saya masih dikuasai rasa sombong dan angkuh, khususnya ketika baru menginjakkan kaki guna belajar ilmu agama. Saat itu saya tidak mengenal al-Hadi (pembimbing), kini saya pun harus menempuh perjalanan ini seorang diri.

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Kemudian saya bangkit dan mengikatkan ransel ke punggung. Dengan penuh semangat, saya pun memulai perjalanan. Saat itu jalanan halus dan tidak berbatu, udara segar bagaikan udara musim semi; dengan mantap saya melangkahkan kaki untuk segera berjumpa dengan al-Hadi, sang kekasih hati.

 

Setelah berjalan cukup jauh hingga tengah hari, saya mulai merasa letih dan kehausan, karena udara ketika itu terasa panas. Saya melintasi jalan setapak di atas gunung yang penuh duri dan rumput yang kering, dan merasa takut karena kesendirian. Lalu saya menengok ke belakang…

 
Dan kemudian saya melihat seseorang sedang berjalan menghampiri. Saya merasa gembira seraya mengucapkan, “Alhamdulillah, sekarang saya tidak lagi sendirian.” Saya menunggunya hingga ia sampai menghampiri saya.

 

 

Ternyata ia adalah sosok yang berkulit hitam, bertubuh tinggi, bibirnya tebal, giginya besar dan bertaring panjang sampai keluar dari bibirnya. Hidungnya lebar dan menyebarkan bau yang busuk. Ia lalu memberi salam kepada saya, Tetapi tak jelas pengucapan huruf lam-nya, hingga berbunyi ‘Assamu’alai-kum’, kematian atasmu.

 
Saya ragu, apakah ia memang bermusuhan dengan saya, ataukah lidahnya kesulitan untuk mengucapkan huruf lam. Dalam menjawab salamnya saya pun hanya mengucapkan, “Alaika…(atas engkau juga).” Dengan menatap wajahnya saja, hal itu sudah membuat saya merasa sangat ketakutan, apalagi harus berjalan bersamanya.

 

Saya lalu bertanya, “Kemana tujuanmu?”

 

Ia menjawab, “Aku selalu bersamamu.”

 

”Siapa namamu?”

 

“Aku adalah kembaranmu. Namaku Jahalah (kebodohan), Laqab-ku al-Awaj (kebengkokan), gelarku abulhul dan pekerjaanku membuat rusak dan mengobarkan fitnah.”

 

Mendengar keterangannya, ketakutan saya bertambah besar. Saya berkata pada diri sendiri, “Sungguh mengherankan teman yang saya jumpai. Saya memang membutuhkan teman, namun ketimbang teman yang kali ini kudapati, seratus kali lebih baik adalah jika saya berjalan seorang diri.”

 

Saya kembali bertanya padanya, “Jika kita sampai di persimpangan jalan, Apakah kamu tahu jalan manakah yang menuju manzil?”

 

Ia menjawab, “Aku tidak tahu.”

 

“Saya kehausan, apakah di dekat sini terdapat air?”

 

“Aku tidak tahu.”

 

“Jalan menuju manzil masih jauh atau sudah dekat?”

 

“Aku tidak tahu.”

 

“Pengetahuan dari sebuah keberadaan adalah sama, lalu mengapa kamu tidak mengetahui sesuatu pun?”

 

Kemudian ia berkata, “Yang aku ketahui adalah aku ibarat bayang-bayang yang mengikutimu dari sejak awal kehidupanmu dan sama sekali aku tak pernah berpisah denganmu, kecuali dengan pertolongan Allah kamu dapat berpisah denganku.”

 
Saya berkata dalam hati, “Tampaknya ia adalah setan yang semasa di dunia selalu membisiki saya, sehingga menjadikan saya tergelincir dalam kesalahan. Sungguh, saya menghadapi cobaan yang berat dengan harus berteman dengan musuh. Ya Allah, kasihanilah diri saya.”

 

Lalu saya berjalan mendaki bukit dengan mengambil posisi jauh di depan seraya menjaga jarak darinya. Namun, ia terus membuntuti saya. Sesampainya di puncak bukit, demi melepas lelah, saya pun duduk.

 
Si Jahalah itu menghampiri saya seraya berkata, “Tampaknya kamu keletihan. Aku akan menunjukkan padamu jalan pintas, sehingga perjalanan 5 farsakh akan jadi 1 farsakh dan kamu dapat lebih cepat untuk sampai ke manzil.”

 

Lalu ia berkata, “Kemari, dan perhatikanlah jalan putih yang menyerupai lengkungan busur itu, yang panjangnya tidak kurang dari 5 farsakh. Kemudian lihatlah jalan yang menyerupai tali busur ini, lihat betapa pendek. Tatkala busur ini semakin melengkung, tali busurnya akan lebih pendek. Jika kita berjalan mengikuti arah tali busur ini, jarak perjalanan kita tidak lebih dari 1 farsakh saja. Namun jika melewati jalan utama, jarak perjalanan akan mencapai 5 farsakh. Dan orang berakal akan memilih jalan yang pendek daripada jalan yang panjang.”

 

“Dikarenakan jalan ini sudah banyak dilintasi orang, maka ia menjadi jalan utama. Lalu, apakah mereka yang melintasi jalan ini semua tidak berakal, karena telah memilih jalan yang lebih panjang? Disamping itu, orang-orang yang berakal pernah berkata: “Berjalanlah di jalan yang biasa dilalui para pejalan.” kataku.

 
“Kamu sungguh tidak punya perasaan, para penyair kamu anggap orang yang berakal, lalu kamu mengikutinya. Padahal kenyataannya bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Mereka sering melewati Jalan utama ini karena mereka menggunakan kendaraan, membawa perbekalan, barang bawaan dan keluarga mereka. Namun, bagi aku dan kamu yang hanya berjalan kaki, mengapa tidak menempuh lewat jalan pintas ini?”

 

Saya menjadi bodoh dan mengira ia tengah berusaha berbuat baik kepada saya.
Lalu saya turun dari bukit meninggalkan Jalan utama dan menuruni lembah dan menaiki sisi yang lain. Tak lama kemudian saya berhadapan dengan lembah-lembah yang lain, yang lebih dalam daripada lembah yang pertama, dan begitu seterusnya.

 

Dari satu lembah ke lembah yang lain, dari satu bukit ke bukit yang lain yang penuh duri dan bebatuan yang tajam, dan berbagai macam binatang. Udara terasa sangat panas dan menyengat. Lidah saya menjadi kering karena kehausan, kedua kaki saya terluka karena tertusuk duri. Dan tubuh saya bergemetar karena kelelahan, dan hati saya pun dicekam rasa takut. Wajah Jahalah tersenyum mengejek keadaan saya, dan ia merasa gembira atas musibah yang menimpa saya.

 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan ini, akhirnya kami pun tiba di Jalan utama. Dan perjalanan yang telah kami tempuh justru menjadi 10 farsakh, dan setiap langkah yang saya tempuh malah harus menghadapi berbagai derita dan bencana.

 
Saya duduk dan merasa sangat letih. Saya amat membenci Jahalah seraya mengucapkan, “Aduhai, semoga (jarak) antara aku dan kamu seperti jarak antara masyrik dan maghrib.” Sementara Jahalah berdiri jauh dihadapan.

 

Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan penuh dahaga. Jahalah juga perlahan-lahan mengikuti saya dari jauh. Di tengah jalan, saya melihat disamping jalan yang berjarak 4 farsakh dari jalan itu, terdapat sebidang tetumbuhan yang hijau. Kemudian Jahalah berlari-lari kecil mendekati saya dan berkata, “Tidak diragukan lagi di tanah itu pasti ada air. Jika kamu haus, mari kita ke sana untuk minum.”

 

Pada awalnya saya enggan mempercayai ucapannya. Namun karena amat letih dan menganggap kalau tanaman subur tak mungkin tumbuh tanpa air, akhirnya saya melangkahkan kaki ke arah tumbuhan hijau itu. Jalan ke tempat itu sangat sukar penuh batu dan duri, dan banyak macam serangga dan ular yang merayap di samping bebatuan.

 

Sesampainya di sana, saya sama sekali tidak menemukan air. Tumbuhan itu adalah tumbuhan liar, yang dalam musim apa saja, akan selalu hijau dan segar. Dengan putus asa, saya kembali ke jalan utama. Lalu saya tiba di tanah datar yang penuh dengan tumbuhan dan buah mentimun. Jahalah segera memetik salah satu buahnya, lalu memakannya, sambil berkata: “Makanlah buah mentimun ini, dan hilangkanlah rasa dahagamu.”

 

“Ini pasti milik seseorang. Tidak sepatutnya memakan sesuatu tanpa izin pemiliknya.”

 

Namun, Jahalah tetap memakan buah itu dengan lahap, dan air buah itu menetes dari bibirnya, serta membasahi jenggot dan dadanya. Sembari menggeleng-gelengkan kepala, ia berkata: “Aneh sekali kamu ini, wahai orang yang beragama. Pertama, kemungkinan tetumbuhan ini tumbuh dengan sendirinya, dan bukan milik seseorang; seandainya ini milik seseorang, hak orang yang melintas jalan (untuk memetik buahnya) merupakan hak yang telah ditetapkan Sang Pemilik Hakiki, yaitu Sang Pembuat Syariat. Kedua, Kehausan tengah mencekikmu, dan telah membuatmu berada dalam keadaan darurat dan nyaris binasa. “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah 173). Dan ketiga, di sini bukan tempat untuk menjalankan taklif (perintah atau larangan dalam syariat), sehingga orang yang melanggar syariat pun tidak akan dihukumi telah melanggar perintah Allah.”

 

Lambat laun saya menjadi bodoh dan termakan tipuannya. Lalu saya memetik sebutir mentimun dan memecahkannya. Dan tatkala saya gigit, ternyata rasanya sangat pahit. Lebih lagi, lidah dan rongga mulut saya terluka. Segera saja saya membuangnya, seraya berkata, “Ini buah labu pahit, bukanlah mentimun.“

 
Dengan segera Jahalah membantah, “Bukan. Mungkin salah satunya memang terasa seperti itu.”

 
Kemudian saya mencicipi yang lainnya, semua sama pahitnya seperti empedu. Namun, Jahalah tetap melahap buah mentimun liar itu. Dan ia berkata,
“O Duhai, manis sekali rasanya.”

 
Lalu saya mendekatinya dan mengambil sepotong darinya, dan saya jilat. Ternyata rasanya justru yang paling pahit dari yang lain. Saya berkata, “Bagaimana kamu memakan buah ini dan mengatakannya manis, padahal ia lebih pahit dari empedu?”

 
Dijawabnya, “Benar apa yang saya katakan. Menurut lidah saya, buah ini sangat manis, dan sesuai dengan tabiatku.”

 

 

Tiba-tiba seekor anjing menyerang kami. Dibelakangnya ada seorang laki-laki yang membawa tongkat sambil berteriak-teriak seraya menghamburkan sumpah serapah dari mulutnya, ia berlari ke arah kami dan hendak  memukul kami. Secepat kilat si hitam Jahalah mengambil langkah seribu hingga sampai di Jalan utama.

 
Sementara itu, sekalipun saya telah berlari cukup kencang, anjing itu mampu menerkam saya. Saking takutnya, saya pun terjatuh. Sang pemilik anjing itu pun tiba. Dan langsung memukulkan tongkatnya berkali-kali ke tubuh saya sejadi-jadinya tanpa memperdulikan teriakan saya, bahwa saya tidak memakan buah mentimun itu.

 
Ia malah menjawab, “Apa bedanya antara mengambil milik orang lain dan memetiknya setelah kamu menjulurkan tangan untuk mencurinya, entah itu kemudian dimakan atau dibuang?”

 

Setelah menerima banyak pukulan, akhirnya saya pun terbebas darinya. Lalu saya berjalan terseok-seok menuju Jalan utama dengan mulut penuh luka. Muka dan tubuh saya terasa hancur. Saya menjerit, menangis dan merasa sedih karena harus berpisah dengan al-Hadi.

 

Si wajah hitam yang sudah selesai melancarkan makarnya dan berhasil meraih keinginannya tengah duduk agak jauh dari tempat saya. Ia lalu tersenyum ke arah saya, dan kemudian berkata, “Apa yang kamu dapatkan dari al-Hadi? Di dunia, kamu telah menanam berbagai benih keburukan berkat bantuanku. Sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat yang menjadi tempat untuk menuai. Apakah kamu tidak membaca ayat al-Qur’an yang menyatakan: “Barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah-pun, niscaya ia akan melihat (balasan) nya.” (QS. Al-Zalzalah.8).

 
Apakah al-Hadi mampu mambantu dan menolongmu serta menentang hujjah dari ayat Al-Quran yang kuat ini? Dan orang bijak pernah mengatakan: Apa yang kamu lakukan akan kembali kepada dirimu, kebaikankah itu atau pun keburukan. Insya Allah, saat kamu berada di manzil dan berada bersama al-Hadi, aku juga akan hadir disana.

 
Kamu akan melihat bagaimana aku akan membuatmu sengsara, hingga al-Hadi tak mampu menarik nafas karena manahan sedih. Bukankah ia sendiri telah mengatakan bahwa jika kamu berbuat maksiat, ia akan meninggalkanmu, dan tatkala kamu bertaubat, ia akan menemanimu. Sekarang katakan padaku, apa manfaatnya kamu berteman dengan al-Hadi?”

 

Saya memandang makhluk terkutuk yang berpengetahuan sangat luas itu. Namun saya tidak berkomentar apapun tentang al-Hadi. Saya segera mengeluarkan apel dari ransel saya dan memakannya. Mendadak luka di tangan saya sembuh dan tenaga saya pun pulih kembali. Kemudian saya bangkit dan melanjutkan perjalanan.

 

Akhirnya saya sampai di pertigaan jalan. Jalan ke arah kanan menuju kota yang indah (saya pun memilih jalan ini), sementara jalan lainnya menuju desa yang penuh reruntuhan. Lalu saya berkata kepada malaikat penjaga jalan, bahwa di belakang saya ada makhluk hitam yang selalu mengganggu dan menyakiti saya. “Tolong, jangan biarkan ia datang kemari.” pinta saya kepada malaikat penjaga itu.

 
Malaikat penjaga itu menjawab, “Ia adalah seperti bayangan tubuhmu yang sama sekali tidak akan berpisah darimu. Namun malam ini, mereka semua akan bermalam di reruntuhan desa itu. Setelah ini, kemungkinan kamu tidak akan mendapat banyak gangguan dari mereka.”

 
Kemudian saya pun masuk ke dalam kota. Di sana terdapat berbagai bangunan tinggi, sungai-sungai yang mengalir, tumbuh-tumbuhan yang hijau, dan pohon-pohon yang berbuah lebat. Pelayan-pelayan yang cantik rupawan, dan pembicaraan yang lembut, makanan yang lezat dan minuman yang nikmat.

 
Setelah melewati padang pasir dalam keadaan kekurangan dan ketakutan itu, kini saya menjadi tamu di rumah megah itu. Tempat ini indah dan tak ubahnya seperti sorga. Sekiranya bukan karena kecintaan saya kepada al-Hadi, saya tak mau keluar dari tempat ini.

 
Di manzil ini, saya bertemu sejumlah pelajar agama yang dulu pernah saya kenal. Dimalam hari, saya beristirahat dan tidur untuk menghilangkan kelelahan. Dan di pagi harinya saya berjalan-jalan di sekeliling kota yang udaranya beraroma bunga jeruk manis.

 
Saya dan para pejalan yang lain saling berbicara dan menceritakan kisah perjalanan masing-masing. Karena di manzil inilah para pejalan berkesempatan untuk saling menanyakan keadaan masing-masing, sementara di tengah perjalanan jarang sekali ada yang menanyakan keadaan orang lain. “Setiap orang dari mereka pada hari itu, mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa 37).

 

“Alhamdu lillahirabbil ‘alamin, kami amat bersyukur dan saling bersyukur dengan mengucap doa penutup itu, karena dapat terbebas dari makhluk hitam yang menyeramkan itu.

 

Ringkasnya di kota ini, seluruh indera merasakan kenikmatan. Lidah yang merasakan makanan yang lezat, hidung yang mencium semerbak wewangian, mata yang memandang pemandangan indah, telinga yang mendengar alunan suara merdu. Dan hati kami pun dipenuhi rasa senang, nyaman dan bahagia. “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah beramal orang-orang yang beramal.” (QS. Ash-Shaaffaat 61)

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Kemudian seorang penyeru menyeru untuk berangkat dengan seruan: “Hayya ‘alal khairul-amal, mari kita menuju amal yang baik.”

 

Dengan segera, kami pun meletakkan ransel ke punggung masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Sesampainya di persimpangan jalan, kami melihat dari kejauhan serombongan mahluk hitam yang laksana kabut hitam yang tebal. Lantas, saya bertanya kepada malaikat penjaga, “Dapatkah mahluk hitam itu tidak lagi menyertai kami?”

 
Ia menjawab, “Mereka adalah bentuk nafsu hewaniah kalian yang memiliki dua kekuatan, rasa amarah (ghodob) dan kekuatan syahwat. Mereka tak mungkin berpisah dari diri kalian. Mereka memilki warna, dan warna mereka dapat berubah. Ada yang berwarna hitam pekat, ada yang abu-abu, ada yang putih, dan ada yang putih bersih. Masing-masing memiliki nama yang berbeda. Ammarah, lawwamah dan muthma’innah.

 
Adapun makhluk yang berwarna putih dan menjadi tenang adalah karena banyaknya kebaikan kalian. Dengannya, kalian akan mampu mencapai derajat yang tinggi, bahkan adakalanya menjadi pemimpin para malaikat. Pada hakikatnya, itu merupakan kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada kalian.

 
Namun, kalian telah berbuat kesalahan dan merubahnya menjadi malapetaka.
Apa saja yang kalian lakukan di dunia materi, dan setiap benih yang kalian tanam di sana, maka tumbuhnya benih tersebut adalah di musim semi ini, tak lagi berada di bawah kuasa kalian.

 
Kemudian semua makhluk hitam itu telah mendekati kami. Masing-masing dari kami berjalan dalam rupa dan bayangan hitamnya sendiri-sendiri. Saya berjalan bersama bayangan hitam saya sampai akhirnya tiba di kaki gunung. Jika perjalanan di lanjutkan dengan mendaki gunung, berarti saya harus melintasi jalan sempit dan penuh bebatuan. Dan jika perjalanan dilanjutkan di bawah kaki gunung, saya harus melintasi jalan yang menurun yang luas dan datar. Saya pun kemudian cenderung untuk melanjutkan perjalanan dengan mendaki gunung.

 
Lalu bayangan hitam itu mendekati saya dan mendukung hasrat hati saya seraya berkata, “Selain di bawah udaranya tertutup. Di sana juga terdapat berbagai macam binatang, dan dengan berjalan melintasi gunung, di ketinggiannya kita dapat menyaksikan pemandangan di sekitar gunung.”

 
Kecenderungan yang saya ambil untuk mengambil jalan mendaki gunung ini adalah muncul akibat ketika di awal-awal saya belajar agama di alam dunia, ketika itu saya senang menjadi yang lebih tinggi dan yang lebih unggul dari teman-teman yang lain. Lalu kemudian, saya pun mulai berjalan di atas gunung yang menanjak. Dibalik gunung, jalannya sangat buruk, batu yang saya pijak kemudian bergeming sehingga saya pun tergelincir dan jatuh berguling-guling. Dan nyaris saja masuk jurang.
 

Namun, saya berpegangan erat pada tumbuhan berduri dan batu karang di lereng gunung. Tak ayal, tangan, kaki dan sekujur tubuh saya mengalami luka-luka. Tulang hidung saya patah karena terbentur batu. Saya berkata pada bayangan hitam itu, “Sungguh sebuah pemandangan dan perjalanan yang menakjubkan yang dapat kita saksikan dari ketinggian ini. Andai saja aku tidak mendengar rayuanmu, lalu memilih berjalan melintasi lembah di kaki gunung?”

 
Namun, bayangan hitam itu malah menertawakan saya dan menukil sabda Rasulullah SAW sambil berkata, “Barangsiapa sombong niscaya Allah akan merendahkannya, dan barang-siapa haus kedudukan, Allah akan menyungkurkan hidungnya ke tanah.” Bukankah kamu telah membacanya namun tidak mengamalkannya. Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.”

 

Kemudian saya berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri dari puncak gunung mematikan itu. Tubuh saya penuh luka dan hati saya remuk. Tiba-tiba orang yang berjalan di depan saya terpelanting dari puncak gunung itu, dan langsung masuk ke jurang. Suara jeritannya sangat menyayat hati. Lalu bayangan hitamnya duduk di sampingnya, dan menertawakannya. Mereka berdua akhirnya tinggal di dalam jurang.

 

Singkatnya, setelah menghadapi dan merasakan berbagai kesulitan, akhirnya sampailah saya di tanah yang datar. Memang disitu tidak ada lagi kesulitan yang saya hadapi. Namun, saya didera rasa letih dan haus, dan luka-luka di sekujur tubuh yang terasa sangat pedih. Beberapa kali bayangan hitam itu meminta saya keluar dari jalan. Namun saya tak lagi patuh padanya, dan ia pun berhenti di belakang saya. Akhirnya saya sampai di sebuah kebun.

 

Jalur perjalanan yang harus saya lalui berada di tengah-tengah kebun itu. Kemudian saya melihat beberapa orang sedang duduk di dekat sebuah kolam. Dihadapannya tersaji buah-buahan segar. Ketika melihat saya, mereka langsung memberi hormat dan mempersilahkan saya untuk menyantap buah-buahan itu, seraya berkata, “Allah telah mewafatkan kami, ketika kami dalam keadaan shaum (puasa). Inilah hidangan pembuka shaum kami. Kami tahu bahwa kamu juga layak menikmati hidangan ini, karena kamu sering mengundang seseorang yang shaum untuk berbuka shaum di rumahmu.”

 
Lalu saya duduk dan menikmati hidangan yang tersedia; rasa haus, lapar dan rasa pedih saya seketika itu lenyap.

 
Mereka kemudian bertanya, “Apa saja yang kamu hadapi dalam perjalananmu?”

 

Alhamdulillah, berbagai bencana telah berlalu. Setelah bertemu kalian, semua penderitaan itu lenyap. Namun, masih ada beberapa orang yang tertinggal di belakang, karena makhluk hitam itu menahan mereka. Saya juga dibujuk untuk menuruti ajakannya. Namun saya tak lagi menghiraukan rayuannya. Ia pun berhenti, Mudah-mudahan ia tidak lagi mengejar saya.”

 

“Tidak, mereka sama sekali tidak akan melepaskan kita. Di kawasan ini, mereka mengganggu dan menyakiti kita lewat rayuan dan tipuan, dan di kawasan lain, mereka tak ubahnya perampok yang mungkin akan menyerang kita.”

 

Kemudian kami semua bangkit dan melanjutkan perjalanan. Kami berjalan dibawah pepohonan yang berbuah lebat. Di sekitar kami mengalir sungai-sungai yang airnya jernih dengan udara yang terasa segar. Walhasil, hati kami pun diselimuti rasa sukacita dan bahagia, seakan-akan keindahan Allah telah ber-tajali (menampak).

 

Akhirnya, kami tiba di tempat peristirahatan. Masing-masing dari kami mendapatkan sebuah kamar di istana megah yang batu batanya terbuat dari emas dan perak. Perabotan tersedia di setiap kamar yang sempurna dari berbagai sisi. Kebersihannya, ukir-ukirannya, keindahannya, sungguh semua itu membuat mata terpaku keheranan dan akal pun tercengang.

 
Banyak pelayan yang hilir mudik. Mereka berwajah elok, berpostur tubuh dan berpakaian sangat indah. Mereka siap setiap saat guna memberi pelayanan. ”Mereka dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan.” (QS. An-Naazi’aat 19)

 

Dipagi harinya, kami pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui terlihat cukup jelas. Sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi oleh tetumbuhan dan bunga-bunga. Air yang mengalir dan aroma udara yang terasa harum semerbak. Di sepanjang jalan keadaannya terus seperti demikian. Sampai akhirnya kami pun keluar dari batas kota, seakan-akan keindahan kota itu mengucapkan salam perpisahan.

 

Setelah itu kami melintasi jalan di antara dua gunung yang tinggi, yang penuh dengan bebatuan dan berliku-liku. Sekiranya tidak ada para pejalan di depan, niscaya kami akan tersesat; dikarenakan banyaknya tikungan ke arah kanan dan kiri jalan. Lalu di salah satu persimpangan, muncul dari sebelah kiri jalan serombongan bayangan hitam yang berusaha menerobos ke arah jalan kami. Begitu saya melihat mereka, kaki saya terantuk bebatuan dan terluka. Saya melanjutkan perjalanan dengan susah payah dan berjalan sambil tertatih-tatih.

 
Para pejalan yang berada di depan jalan itu telah berjalan jauh di depan. Hingga saya tertinggal jauh di belakang mereka. Lalu bayang-bayang hitam itu menempuh jalan yang kiri. Tatkala tiba di ujung persimpangan jalan, saya berhenti dan kebingungan memilih jalan. Saat itulah bayang-bayang hitam mengejar saya dan kemudian bertanya, “Mengapa kamu berhenti?” Lalu ia menunjukkan jarinya ke jalan sebelah kiri seraya berkata, “Inilah jalannya.”

 
Lalu ia berjalan beberapa langkah di jalan itu, dan memanggil saya, “Kemarilah!” Namun saya tidak berjalan ke arahnya, melainkan ke arah yang lain.
Saya sadar, bahwa keselamatan itu diraih dengan menentang mereka.
Bayang-bayang hitam itu berusaha keras memaksa saya agar berjalan di jalan pilihannya. Namun saya tidak memperdulikannya, karena saya pernah berjalan bersamanya, dan dari pengalaman itu, saya mencoba menghindar dari sebuah penyesalan.

 

Tak lama kemudian jalan bebatuan itu berakhir. Terlihatlah tanah yang datar dan penuh rerumputan. Di situ, mulai tampak bayang-bayang kebun dan rumah-rumah di manzil keempat.

 

Semakin dekat pertemuan dengan kekasih,

Semakin membara api kerinduan dalam jiwa

 

Pada masa itu, saya masih dikuasai rasa sombong dan angkuh, khususnya ketika baru menginjakkan kaki guna belajar ilmu agama. Saat itu saya tidak mengenal al-Hadi (pembimbing), kini saya pun harus menempuh perjalanan ini seorang diri.

 

 

MFB4

 

Menurut perjanjian, al-Hadi berada di sini guna menunggu kedatangan saya. Lalu saya mengambil langkah dengan cepat. Si Jahalah rupanya sudah berputus asa untuk memperdaya, sehingga tertinggal jauh dibelakang. Tidak lama kemudian, saya telah berada di gerbang kota. Dan terlihat al-Hadi, yang hakikatnya adalah ruh saya sendiri, telah menanti kedatangan saya.

 

Kemudian saya memberi salam, menjabat tangannya dan memeluknya. Kini saya merasa memiliki kehidupan yang baru. Lalu kami bersama-sama masuk ke dalam kota. Saya masuk ke dalam istana yang telah disiapkan untuk saya. Di dalamnya telah tersedia perlengkapan untuk beristirahat.

 
Setelah beristirahat, makan dan minum. Al-Hadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu di tiga manzil yang telah kamu lalui?”

 

“Terdapat berbagai malapetaka yang telah menimpaku disebabkan oleh si Jahalah, jelas semua itu berasal dari diri saya sendiri, karena ketika itu, saat di dunia saya tidak bersamamu. Sekiranya dalam perjalanan itu engkau berada di sisiku, niscaya ia tidak akan sampai berbuat semacam itu. Alhamdulillah, apapun yang telah terjadi, kini saya telah tiba dengan selamat. Dengan melihatmu, semua rasa sakit saya terobati dan rasa sedih pun hilang seketika.”

 

Al-Hadi berkata, “Karena saya tidak bersamamu, ia akan senantiasa menipu dan memperdayakanmu serta berusaha keras untuk menyimpangkanmu dari Jalan utama. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, saya akan tunjukan kepadamu bagaimana cara ia menipu dan memperdaya, ia akan berusaha mengeluarkanmu dari jalan dengan menggunakan alat yang kuat. Dalam perjalanan kali ini terdapat berbagai bencana yang berat. Sebagian besar pejalan akan binasa. Dan keberadaanku bersamamu akan menyebabkan bukti keburukanmu. Alat perlindungan yang kamu miliki di alam ini hanyalah tongkat dan perisai besi. Ini belum cukup. Sekarang adalah malam Jum’at, pergilah menemui keluargamu. Mungkin mereka akan teringat kepadamu dan memberimu berbagai manfaat yang dapat menjaga keselamatanmu.”

 

“Saya telah berputus asa terhadap mereka, karena mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka yang hidup, umumnya amat cepat melupakan yang mati dan tak lagi punya ikatan batin.” Kataku kepada al-Hadi.

 

“Pergilah, temuilah mereka apapun alasanmu. Disebabkan Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ingatlah orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalian dengan melakukan kebaikan”, barangkali mereka akan mengingatmu. Semoga melalui sabda Rasulullah SAW itu, Allah menjadikan mereka mengingatmu. Dan janganlah kamu berputus asa terhadap Allah. Barangsiapa yang memiliki keteguhan hati, maka ia akan memperoleh apa yang didambakannya.”

 

Saya pun kemudian menuruti anjurannya, Lalu saya pergi menemui mereka. Saya melihat, mereka tak lagi hidup dalam kecukupan. Pintu rumah tertutup. Tak seorangpun yang mengingat dan memperhatikan kehidupan mereka. Bahkan pada hari ini mereka tak punya makanan. Anak-anak tampak kurus kering dan pucat seperti mayat.

 
Hati saya pilu menyaksikan keadaan mereka. Lalu saya berdo’a, “Ya Allah, rahmatilah mereka dan berilah keluarga saya kebahagiaan serta curahkanlah rahmat-Mu.”

 

Lalu saya kembali menemui al-Hadi. Saya melihat seekor kuda sedang terikat di samping istana, pelananya dihiasi intan berlian dan tali kekangnya terbuat dari emas. Saya bertanya, “Kuda ini milik siapa?”

 
Al-Hadi tersenyum dan menjawab, “Keluargamu mengirimkannya untukmu. Ini adalah rahmat Allah Ta’ala yang berbentuk kuda. Tak ada yang lebih baik selain dari menunggang kuda di jalan yang penuh kesulitan yang akan kita lalui.
Allah SWT telah mengabulkan do’amu.”

 
Kemudian al-Hadi mengisyaratkan kepada saya untuk segera melanjutkan perjalanan. Saya pun kemudian bangkit dan langsung menaiki punggung kuda, sambil memegang tongkat dan menggantungkan perisai di punggung. Al-Hadi memberikan tiket dan surat jalan kepadaku. Dan kami pun mulai berjalan bersama.

 
Ketika telah keluar dari batas kota, kami mulai memasuki kawasan berlumpur dan rawa-rawa. Di kanan dan kiri jalan terdapat banyak monyet yang mirip manusia: tubuhnya tidak berbulu dan tidak memiliki ekor. Mereka berjalan tegak lurus. Mereka hanya menyerupai monyet dan dari kemaluannya keluar nanah dan darah.

 
Saya bertanya pada al-Hadi, “Ini daerah apa, dan siapa mereka itu?”

 

Al-Hadi menjawab, “Tanah ini adalah tanah syahwat. Mereka adalah orang-orang yang berzina. Berhati-hatilah, jangan sampai keluar dari jalan, jika tidak, sebagian yang menimpa mereka akan menimpamu juga.”

 

Saya merasa takut. Tali kendali kuda saya genggam kuat-kuat, agar tidak sampai terjatuh atau keluar dari Jalan yang lurus. Meskipun jalan itu lurus dan datar, Namun jalan itu penuh lumpur dan tanah liat. Tak jarang kaki kuda saya melesak ke dalam lumpur sampai sebatas lutut. Saya berkata dalam hati, “Betapa beruntungnya saya mendapat kiriman kuda pada perjalanan yang amat sulit ini. Semoga Allah ta’ala merahmati keluarga saya yang telah mengirim kuda ini untuk saya.”

 

Lalu kemudian saya melihat sebagian dari monyet itu digantung di tiang gantungan. Bibir mereka dipaku dengan paku besi pada tiang gantungan. Dan diantara mereka ada yang dicambuk dengan cemeti yang terbuat dari kawat besi. Mereka menjerit kesakitan. Suara jeritannya seperti lolongan anjing. Maka dikatakan kepada mereka, “Masuklah kalian di dalamnya, dan janganlah kalian banyak bicara!”

 

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal yang saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As-Sajdah 12).

 

Kemudian saya melihat bayang-bayang hitam mulai berdatangan dan berusaha mengeluarkan kami dari jalan utama. Sebagian dari bayangan menyeramkan itu menakut-nakuti tunggangan kami, agar panik dan keluar dari jalan utama. Sebagian lain merayu dengan memperlihatkan tanah di samping Jalan utama yang tampak seperti tanah yang kering. Lalu saya melihat bayang-bayang hitam yang tengah menunggangi kuda berjalan di tepi jalan yang kering. Semua orang tentu ingin berjalan di jalan itu, lantaran keadaan Jalan utama yang penuh lumpur dan tanah liat. Namun, saya teringat apa yang dikatakan al-Hadi dan memegang erat-erat tali kekang kuda agar tak sampai keluar dari Jalan utama.

 
Saya menyaksikan sebagian pejalan keluar dari jalan utama akibat ulah bayang-bayang hitam. Setelah berjalan beberapa langkah, mereka pun kemudian tenggelam ke dalam lumpur hingga sampai dagu dan mereka sulit membebaskan diri. Sekiranya berhasil dengan susah payah membebaskan diri, tubuhnya akan dipenuhi lumpur hitam yang pekat. Setelah beberapa saat, lumpur itu menjadikan daging tubuhnya melepuh dan berjatuhan ke tanah, karena sengatan akan panasnya. Jelas itu bukan lumpur biasa, melainkan sejenis aspal yang panas.

 

Saya melihat kesulitan terus bertambah besar dan tanah tempat kami berpijak pun berguncang keras. Udara menjadi gelap, angin puyuh mulai menderu, dan dari langit turun hujan batu yang jatuh di kanan dan kiri jalan dengan lebatnya. Seakan-akan yaumul-hasyr (hari saat dikumpulkannya manusia) telah ditegakkan di kedua sisi jalan.

 

Mereka yang mengalami berbagai siksaan berubah menjadi kerangka-kerangka yang menakutkan dan tenggelam ke dalam lumpur yang mendidih. Mereka berusaha membebaskan diri dari lautan lumpur panas itu. Diantara mereka memang ada yang berhasil membebaskan diri. Namun, sebuah batu besar jatuh dari langit dan tepat mengenai kepalanya. Alhasil, ia pun kembali terbenam dalam lumpur, seperti paku yang menancap ke dalam kayu.

 
Saya sangat ketakutan menyaksikan siksaan yang menimpa mereka. Tubuh saya menggigil dan bergemetar. Saya bertanya pada al-Hadi, “Ini daerah apa? Siapakah mereka yang mengalami siksa semacam itu?”

 

MFB5

 
Ketika itu hujan batu dari langit semakin deras, sehingga memaksa al-Hadi terbang melayang di atas kepala saya dengan wajah pucat karena takut, dan tenaganya pun mulai melemah. Ia menjawab, “Ini adalah masih tanah syahwat. Mereka yang disiksa adalah para homoseksual. Segera tinggalkan kaum ini. Barangsiapa yang rela terhadap perbuatan suatu kaum, atau berada di dalamnya dan tidak berusaha untuk keluar, maka ia adalah bagian dari mereka.”

 
“Jadi, kubangan lumpur yang ada di tengah jalan itu merupakan jelmaan dari syahwat manusia yang mengambil bentuk seperti itu?” tanyaku untuk meyakinkan. Al-Hadi tidak menjawab.

 
Dikarenakan amat lengket dengan tanah, kuda-kuda pun tak mampu melangkah dengan cepat. Al-Hadi kemudian berkata, “Kita harus berjalan cepat. Ambillah perisaimu dan letakkanlah di atas kepalamu agar kamu tidak dihantam batu. Cambuklah kudamu. Dengan pertolongan Allah, Insya Allah kita akan terbebas dari bencana dan siksa ini. Kita masih harus menempuh perjalanan 2 farsakh lagi agar selamat dari mereka.”

 

 

Lalu kemudian saya pun menunduk menghimpun semua keberanian, saya bujuk kuda saya dengan beberapa cambukan, dan saya hentakkan perutnya dengan kaki saya. Kuda itu pun kemudian menggerakkan ekornya, menghirup nafas dan menghembuskannya. Dan ia segera berlari seperti angin yang berhembus dengan sangat kencang, meninggalkan al-Hadi jauh di belakang. “Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Al-Hadiid 21).

 

 

Dan tiba-tiba tampaklah bayangan hitam yang seperti raksasa pucat menghampiri. Sewaktu melihat bentuknya yang menyeramkan, kuda saya langsung panik dan menghempaskan saya ke atas tanah, hingga terjatuh dan tulang-tulang saya patah. Kuda itu keluar dari jalan utama dan dua kaki depannya tenggelam ke dalam rawa. Tetapi kuda itu dapat menarik kedua kakinya dari rawa itu dengan susah payah. Kemudian al-Hadi datang menghampiri, lalu melilitkan perban di tangan dan kaki saya yang patah. Saya dibopong dan dinaikkannya ke punggung kuda, lalu diikat kuat-kuat. Ia lalu menarik tali kekang kuda dan berjalan di depan. Setelah beberapa langkah, kami pun terbebas dari kawasan bencana itu.

 

Saya kemudian berkata, “Wahai al-Hadi, setiap kali engkau jauh dariku, bayangan hitamku selalu mendekat dan menyengsarakanku.”

 

Al-Hadi menjawab, “Setiap kali ia mendekat, aku akan menjauh darimu. Ia mendekatimu karena dirimu sendiri.”

 

Tak lama berselang kami berdua memasuki kawasan lain di antara tanah syahwat. Mereka yang ada disisi kanan berbentuk keledai, sapi dan kambing. Mereka adalah orang-orang yang hanya memperhatikan perut mereka sendiri, akan tetapi harta mereka halal, karena itu siksaan mereka tidaklah terlalu keras. Sementara mereka yang ada di sebelah kiri, mereka berbentuk babi dan serigala, karena perhatian mereka hanyalah pada makanan tanpa memperhatikan apakah makanan itu berasal dari harta yang halal atau yang haram, apakah dari harta mereka sendiri atau dari orang lain. Perut mereka buncit, sedangkan anggota tubuhnya yang lain kurus dan kecil. Mereka mendapatkan siksaan yang lebih keras. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-Furqaan 44)

 

Akhirnya, sampailah kami di manzil para pejalan, yang terletak di tengah padang pasir nan gersang. Ditempat ini tidak ada jamuan apapun selain bekal yang dibawa para pejalan dalam ransel masing-masing. Tubuh saya masih terasa sakit lantaran terjatuh dari kuda. Al-Hadi kemudian mengeluarkan obat dari berbagai kotak yang ada dalam ransel, lalu mengoleskannya di tempat yang sakit. Seketika itu, rasa sakit tubuh saya lenyap. Kini saya kembali merasa bugar. Saya bertanya pada Hadi, “Obat apa yang kamu gunakan?”

 

Al-Hadi menjawab, “Obat itu adalah pujian dan syukur dalam batin yang selalu kamu ucapkan kepada Allah sewaktu di dunia atas nikmat-nikmat-Nya. Bacaan surat al-Hamd (al-Fatihah) di dunia adalah merupakan obat segala penyakit, kecuali kematian. Di akhirat, ruh dari pujian dan syukur terhadap berbagai kenikmatan yang diberikan Sang Pemberi kenikmatan sejati merupakan obat berbagai penyakit, Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi-Nya, “Hamba-Ku memuji-Ku dan mengetahui bahwa berbagai kenikmatan yang ia miliki adalah berasal dari-Ku, dan berbagai bencana yang Aku singkirkan darinya adalah karena kemurahan-Ku. Kalian menjadi saksi (wahai para malaikat) bahwa selain kenikmatan dunia. Aku juga akan memberinya kenikmatan akhirat, dan akan Aku singkirkan berbagai bencana akhirat.”

 

Pada pagi harinya kami kemudian melanjutkan perjalanan. Lalu al-Hadi berkata, “Hari ini adalah hari terakhir. Kita akan keluar dari kawasan Syahwat. Namun perjalanan kita hari ini akan ditempuh di bumi hawa nafsu yang berkaitan dengan lisan. Dan musibah-musibah hari ini tidaklah lebih ringan daripada yang pernah kita alami pada hari pertama di bumi syahwat kemaluan. Ini adalah tanah kering yang tak berair. Karena itu, kita harus membawa persediaan air yang cukup di atas punggung kuda. Sedangkan engkau sedapat mungkin berjalan kaki. Dan bawalah perisaimu. Sebab dalam perjalanan hari ini, kamu akan sangat memerlukannya.”

 

“Apa perisai ini ?”

 

“Perisai itu terbuat dari shaum (puasa), dimana kamu menahan rasa lapar dan haus. Itulah yang memeliharamu dari syahwat kemaluan. Sesungguhnya shaum adalah pelindung dari neraka, dan juga pelindung dari dorongan nafsu syahwat.

 

Lalu kami pun mulai berjalan. Saya melihat Jahalah muncul lagi. Dengan berang, saya berkata, “Hai terkutuk, menjauhlah dariku!” Ia menjawab, “Engkaulah yang harus menjauh dariku!”

 

Saya segera menjauh darinya beberapa langkah dan memilih berjalan di samping al-Hadi. Jahalah pun berjalan di sebelah kiri. Di kedua sisi jalan terdapat berbagai jenis binatang seperti anjing, serigala, musang, monyet yang berbulu kuning dan abu-abu. Selain itu, ada pula kalajengking, kumbang, ular dan tikus. Sebagian besar mereka saling berkelahi, menggigit dan mencakar, dan dari mulut dan telinga mereka menyembur lidah api. Bila di suatu tempat terlihat fatamorgana, semuanya berlarian demi meneguk air. Namun ketika sampai disana mereka tertipu dan kembali dengan kecewa. Sebagian dari makhluk-makhluk itu sedang sibuk memakan bangkai, sebagian lainnya jatuh ke sumur yang dalam, yang darinya mengepul asap yang tebal dan jilatan api.

 

Saya bertanya pada al-Hadi, “Siapakah mereka yang tinggal di dalam sumur itu?”

 

Al-Hadi menjawab, “Merekalah yang suka mengejek, menghina dan bersikap sombong terhadap orang-orang yang beriman, maka kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela. Adapun serigala pemakan bangkai adalah manusia yang biasa mengumpat dan menggunjing. Sedangkan yang dari telinganya keluar jilatan api adalah orang-orang yang mendengarkan gunjingan. Dan yang saling kejar mengejar seperti anjing dan kucing adalah orang-orang yang saling melontarkan kata-kata keji dan tuduhan palsu. Sedangkan yang wajahnya kekuningan memucat dan lidahnya bercabang adalah mereka yang suka mengadu domba dan berdusta.”

 

Udara di daerah itu sangat panas dan menyengat. Para pejalan pun di dera rasa dahaga yang luar biasa. Sebentar-sebentar saya meminta air pada al-Hadi yang adakalanya ia memberi, itupun hanya sedikit, dan adakalanya ia tidak memberi sama sekali, seraya beralasan,  “Di tengah perjalanan ini, tidaklah terdapat sumber air. Padahal air yang kita bawa hanya sedikit.”
“Mengapa kamu hanya membawa sedikit air?” tanyaku.

 

“Karena kantung airmu tidaklah lebih dari kadar ini.”

 

“Mengapa kantung airku kecil seperti itu?”

 

“Kamu sendiri yang menjadikannya kecil, dan hanya sedikit memenuhinya dengan air ketaqwaan. Kamu sendiri yang membuatnya kering lantaran tidak berusaha meraih ketaqwaan sejati. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, Sesungguhnya beruntunglah al-mu’minun (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan-perakataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mu’minuun 1-3). Di alam ini, tak ada sesuatu pun yang tidak di perhitungkan. Sekarang perhatikanlah jalan di depan, serta apa yang sedang kamu saksikan.”

 

Ketika itu, saya memandang jalan yang membentang di depan kami. Di depan ufuk terlihat asap hitam yang bercampur jilatan api tengah membumbung ke langit. Tampak berbagai kebun yang penuh dengan pepohonan berbuah lebat yang tengah dilalap api. Saya bertanya pada al-Hadi, “Apakah itu?”

 

MFB6

 

Al-Hadi menjawab, “Itu adalah kebun-kebun yang tercipta dari tasbih dan tahlilnya orang yang mu’min. Namun, pada suatu saat lidah orang mukmin itu melakukan kebohongan, gunjingan, serta melontarkan tuduhan palsu, lalu semua perbuatan itu berubah menjadi api yang menghanguskan kebaikan kebun-kebun itu. Sekiranya pemilik kebun itu memiliki keimanan yang teguh, tentu keimanan itu akan memeliharanya dan tidak mengirimkan api seperti itu untuk membakarnya. Setelah melakukan perbuatan itu, ia pun jatuh ke dalam penyesalan, tetapi penyesalan itu tidaklah berguna. Allah ta’ala menunjukan dengan keimanan itu akan segala hasilnya. “Itulah Al-kitab, yang tidak ada keraguan pada-nya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman dengan menyertakan keghaiban.” (QS. Al-Baqarah 1-3)

 

Tak lama dari itu, kemudian kami menjumpai kebun-kebun yang dipenuhi pohon nan hijau yang subur dan sarat dengan buah-buahan, dengan ditingkahi angin yang berhembus, aliran sungai-sungai yang damai, kicau riang burung-burung, dan mekarnya bunga-bunga. Kemudian saya bergumam, “Ternyata kebun-kebun yang telah terbakar habis itu, sebelumnya adalah semacam ini. Kalau pemiliknya tahu kejadian ini, niscaya ia akan mati dalam penyesalan dan kesedihan.”

 

Al-Hadi kemudian berkata, “Ini adalah pinggiran tanah Wadi as-Salam (tempat berkumpulnya para arwah) yang keseluruhannya dalam keadaan aman dan tenteram. Sekarang, gantungkan tongkat dan perisaimu di punggung kuda, dan lepaskanlah kudamu di padang rumput, sampai tiba saatnya kita melanjutkan perjalanan.”

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

Tak lama setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Kami pun tiba di sebuah istana. Di dalam istana itu terdapat sebuah kolam yang penuh air, yang dindingnya terbuat dari kristal. Air kolam itu mengalir dari pancuran kristal yang tampak begitu jernih sehingga saya melihat air itu seperti berdiri tegak tanpa tiang. Saking jernihnya, seakan-akan air itu ibarat tanpa bak penampung dan bak penampung tanpa air:

 

Gelas jernih dan khamar jernih,

Keduanya menjadi serupa,

Seakan-akan khamar tanpa cawan,

Seakan-akan cawan tanpa khamar…

 

Di sekeliling kolam terdapat banyak meja dan kursi yang nan indah dan menarik hati. Di atasnya tergeletak dengan apik handuk-handuk dari sutra. Lalu kami pun melepas pakaian kami dan kemudian mengenakan handuk tersebut, lalu berendam dalam kolam. Kami bersihkan punggung dan perut kami dari berbagai kotoran, kedengkian dan dendam. Lalu hilanglah bulu-bulu yang tumbuh di atas kulit, hingga janggut, kumis dan segala aib dan cacat yang lain pun menghilang. Dan yang tersisa hanya rambut di kepala, bulu alis, serta bulu mata sehingga menambah keindahan wajah kami. Jiwa kami pun bersih dan suci dari berbagai sifat hina, “…dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-A’raaf 43)

 

Saya bertanya pada al-Hadi, “Apa nama kolam ini?”

 

Al-Hadi menjawab, “Shaad, Demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan.” (QS. Shaad 1)

 

Setelah tubuh kami bersih, kami segera mengenakan pakaian mewah yang tersedia di sana. Pakaian saya terbuat dari sutra hijau, sedangkan pakaian al-Hadi dari sutra putih. Saya lalu memandang cermin; saya melihat diri saya begitu tampan dan sempurna. Saya menjadi sangat tertarik dan mengagumi keadaan diri saya. Kemudian saya memandang pada al-Hadi dan tenggelam dalam keindahan serta kesempurnaannya. Saya berharap dapat menjadi dirinya.

 
Lalu kami bangkit berdiri. Dan al-Hadi kemudian melangkah dan mengetuk pintu istana. Lalu seorang pemuda berwajah terang membuka pintu dan berkata, “Berikanlah tiketmu.”

 
Saya memberikan tiket yang saya bawa. Pemuda itu menandatanganinya dengan cara mencium tiket itu. Dengan senyum ramah, ia pun berkata: “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman. Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf 72)

 

Kami lalu masuk dan mengucapkan, “Segala puji bagi Allah, yang telah menunjuki kami kepada ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat pertolongan, jikalau Allah tidak memberi kami petunjuk atas apa-apa yang kami saksikan secara nyata.”

 

Al-Hadi kemudian membawa saya ke dalam sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari kristal yang utuh tanpa potongan. Di dalamnya terdapat sofa-sofa yang terbuat dari emas dengan kasur beludru yang berwarna merah cerah yang dihiasi dan bantal-bantal yang lembut. Atap dan dinding ruangan itu memantulkan sosok kami dengan ketampanan dan keindahannya. Kami sungguh merasa senang dan bahagia memandangi wajah kami sendiri. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja yang di atasnya penuh hidangan. Para pria dan wanita muda berbaris melayani kami. Dan kami pun duduk di atas singgasana megah itu.

 

“Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka di kelilingi anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas cerek, dan sloki berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.” (QS. Al-Waqi’aah 15-26)

 

Seusai menyantap makanan, kami menikmati berbagai jenis minuman dan buah-buahan. Tak lama kemudian terdapat alunan musik yang merdu dan lagu-lagu yang dilantunkan oleh wajah-wajah cantik yang rupawan sehingga kami pun hanyut dalam kebahagiaan. Tiba-tiba terdengar suara bacaan surat al-insan yang menawan hati dan suara-suara yang lain pun terhenti sebagai penghormatan. Saya larut dan tenggelam dalam bacaan itu, sampai-sampai kedua mata saya terpejam.

 
Saya masih terbaring dengan menutup mata agar al-Hadi mengira bahwa saya tertidur sehingga ia tidak mengeluarkan suara. Selain itu agar saya tidak melihat pemandangan yang lain yang dapat memalingkan saya dari keheningan. Dengan kedua telinga yang peka dan keenam indera yang lain, saya pun tenggelam mendengarkan alunan tilawah ayat mulia itu. Hingga kemudian sampai pada akhir surat dan berhentinya alunan itu. Saya bangun dan kemudian duduk dan bertanya pada al-Hadi, “Apakah nama kota ini?”

 
Al-Hadi menjawab, “Salah satu desa dari Darul Surur (Negeri kebahagiaan).”

 

“Sungguh kerajaan yang luar biasa agung, jika desanya sudah semacam ini. Lalu seperti apakah kota dan ibukotanya? Siapakah pembaca surat al-Insan yang membuat jiwa saya melayang-layang ini? Sewaktu di dunia, saya amat menggemari surat itu. Terlebih di alam ini, di mana surat itu dibacakan dengan suara yang amat merdu yang membuncahkan kehidupan baru dan kebahagiaan yang luar biasa dalam diri saya. Karena itu saya harus mengetahui pembaca surat itu.”

 

Al-Hadi menjawab, “Saya tidak tahu, namun adakalanya pembesar kerajaan datang kemari dan bertatap muka dengan para pejalan. Kita akan menemuinya untuk memintanya menanda tangani tiket ini. Boleh jadi sang pembaca surat itu datang bersamanya. Atau mungkin kita akan menjumpainya di sana.”

 

Al-Hadi, mungkinkah ia akan menandatangani tiket ini? Bila tidak di tanda tangani, apa yang akan terjadi pada kita?”

 

“Hal itu mungkin saja terjadi. Bila tiket ini tidak di tanda tangani, jelas kita akan menghadapi kesulitan. Ajukan pertanyaan itu pada batinmu.”

 

Tubuh saya bergemetar ketika mendengar jawaban dari Hadi. Ketika saya meneliti kondisi saya, rasa cemas dan harap langsung menyergap saya: “Laa haula wa laa quwata illa billah, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah!”

 

Astaghfirullah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….

 

MFB7

 

Kemudian pada malam Jum’at, saya mendatangi rumah keluarga saya di dunia. Saya menyaksikan istri saya sudah menikah lagi dan sibuk mengurus suaminya. Anak-anak juga tidak lagi serumah dengannya. Untuk beberapa saat, saya duduk di atas dahan sebuah pohon. Saya merasa putus asa. Lalu saya terbang dan duduk di trotoar jalan. Saya memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di jalan itu. Mereka menceritakan urusan dan perniagaan masing-masing. Dada saya terasa sesak mendengarnya. Andai mereka yang masih hidup memikirkan apa yang akan mereka alami setelah meninggalkan kehidupan dunia, niscaya mereka tidak akan melewatkan seluruh usianya untuk memenuhi berbagai tuntunan hawa nafsu, syahwat, istri dan anak-anak. Sungguh dunia adalah rumah kelalaian dan kebodohan.

 

Betapa besarnya ketercelaan seseorang lelaki, yang kalaulah ia membutuhkan istri dan anak-anaknya yang tidak dapat mencegah dirinya dari membuka mata ketamakan. Betapa jauhnya dari kesetiaan, kalau salah seorang dari mereka tidak mengingat pada hari seperti ini, yang ketika itu tangan tidak mampu menggapai bumi dan langit.

 

Kemudian saya melihat sebuah rumah, dan saya melihat dua jendela yang terbuka tepat di hadapan saya. Saya melihat seorang pria dan wanita yang sedang berbincang dengan menikmati buah-buahan. Ternyata di antara mereka adalah cucu saya.

 

Yang wanita kemudian berkata, “Buah-buahan ini berasal dari pohon yang di tanam kakekmu. Sekarang ia telah hancur di makan tanah dan kita menikmati buahnya. Sekarang ia sedang berada di sorga dan menikmati buah-buahan yang pernah ditanamnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya. Sewaktu saya masih kanak-kanak, ia banyak menghibur dan menyenangkan hati saya. Ia benar-benar mencintai saya, sehingga membuat saya bahagia. Semoga Allah membuatnya bahagia.”

 

Kemudian si suami berkata, “Pada dasarnya ialah yang membuatku termasuk orang yang taat beragama, karena ia sendiri adalah seorang yang ‘alim. Dan ia merasa senang menjadi seorang yang ‘alim. Sekarang malam Jum’at, sebaiknya masing-masing dari kita membacakan surat Al-Qur’an sebagai hadiah untuknya.”

 

Saya tetap berada di sana, sampai mereka selesai membaca beberapa surat Al-Qur’an itu. Betapa bahagianya saya di saat itu. Saya juga berdo’a untuk kebaikan mereka.

 

Kemudian saya kembali terbang menemui al-Hadi. Saat itu saya melihat al-Hadi sedang menuntun kuda. Di punggung kuda itu terikat dua kantung yang bergantung di sebelah kanan dan kirinya. Kuda itu terlihat siap untuk berangkat. Saya bertanya pada al-Hadi, “Darimanakah engkau mendapatkan kedua kantung ini?”

 

“Seorang malaikat membawanya kemari dan mengatakan bahwa di dalam salah satu kantung terdapat hadiah yang datang yang dikirimkan berkaitan dengan berkat pembacaan sebuah surat dalam Al-Qur’an yang dikhususkan bagimu, sementara di dalam kantung yang lain terdapat hadiah berkaitan dengan berkat pembacaan sebuah surat lain dalam Al-Qur’an untukmu. Ia juga berpesan untuk berjalan menjauhi Barhut (lembah hitam), agar kita tidak tersambar angin panas yang berhembus darinya.”

 

Al-Hadi, bolehkah kita membuka kantung ini, untuk mengetahui isinya?”

 

“Isinya adalah apa-apa yang diperlukan dalam perjalanan ini. Kita akan membukanya ketika perlu. Sekarang, kalau kamu sudah siap, kita segera melanjutkan perjalanan.”

 

Saya bergumam, “Alangkah bahagianya.” Segera saja saya menunggangi kuda itu, kemudian, sampailah kami di Tanah Al-Hirsh (keserakahan).

 

Di situ kami menyaksikan suatu kaum berbentuk anjing yang baunya busuk, sebagian gemuk, sebagian kurus. Padang pasir yang terbentang di hadapan kami itu dipenuhi sisa-sisa bangkai yang baunya sangat menyengat hidung. Di atas setiap bangkai terdapat beberapa ekor anjing yang saling berebut bangkai. Mereka saling kejar mengejar dan saling menggigit satu sama lain, sehingga tak punya kesempatan untuk memakan bangkai itu. Semuanya kehabisan tenaga, dan bangkai itu pun dibiarkan begitu saja tanpa tersentuh.

 
Lalu muncul segerombolan anjing besar dan kuat yang mengusir anjing-anjing yang lemah itu. Mereka bersiap-siap menyantap bangkai itu. Namun, belum sempat menggigitnya, tiba-tiba datang segerombolan anjing besar lainnya yang menyerang mereka. Tak ayal, kedua gerombolan itu saling berkelahi memperebutkan bangkai itu. Masing-masing hanya memikirkan dirinya sendiri. Kawasan padang pasir itu lalu dipenuhi anjing yang saling berebut bangkai. Dari hidung sebagian anjing yang telah memakan bangkai itu keluar ulat, sementara dari duburnya keluar api. Hal ini membuat anjing-anjing lain enggan mendekatinya.

 

Al-Hadi kemudian berkata, “Mereka adalah orang yang memakan harta anak yatim dan suap. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”

 

Al-Hadi, kita telah di beri pesan untuk berjalan menjauhi padang Barhut. Tampaknya kita salah jalan?”

 

“Kita tidak salah jalan. Apa yang kamu saksikan itu adalah air yang ada di bawah padang Barhut, dan angin panasnya yang mematikan itu tak akan menyentuh kita.”

 

Kami pun terus melanjutkan perjalanan sampai akhirnya keluar dari Tanah Al-Hirsh (Keserakahan) dan kemudian tiba di Tanah Al-Hasad (Kedengkian).

 

Di tengah gurun itu terdapat banyak mesin-mesin (semacam pabrik). Dari cerobong asapnya, mengepul asap hitam yang tebal yang menjadikan angkasa menjadi gelap. Di dalamnya terdapat roda-roda bergerigi besi yang amat besar dan berputar dengan cepat sehingga menggetarkan seluruh kawasan padang pasir. Suara gemuruh roda itu sungguh memekakkan telinga. Para pekerjanya semuanya berkulit hitam legam.

 
Saya terus melangkah seraya menyaksikan sebuah mesin penggiling yang ada di dekat jalan. Sementara bayang-bayang hitam tampak berkumpul di dekatnya. Saya menoleh ke belakang dan saya melihat al-Hadi tertinggal jauh di belakang. Seketika saat itu, ketakutan mulai menyergap karena al-Hadi tertinggal jauh dibelakang, sementara makhluk hitam itu semakin terlihat mendekati.

 
Bayang hitam itu kemudian berkata, “Sekarang kamu sudah dekat dengan penggilingan ini. Lihatlah apa yang ada dalam mesin-mesin yang tak pernah kamu saksikan di dunia.”

 
Saya ingin berhenti dan menyaksikan apa yang ada di dalamnya. Namun, lantaran menyadari bahwa bayangan hitam selalu berbuat keburukan, saya tidak menghiraukan ucapannya. Lantas, saya pun buru-buru memacu kuda saya sambil mengucapkan, “Katakanlah! Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai al-Falaq. Dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia mendengki.” (QS. Al-Falaq 1-5)

 

Bayangan hitam itu berkata, “Sungguh kasihan, sewaktu di dunia kamu tidak mengucapkan ‘aku berlindung’. Sekarang apa manfaatnya ucapan kamu itu!”

 

Saya merasa menjadi tambah takut. Bayangan hitam itu kemudian berlari meninggalkan saya dan bersembunyi di  balik bukit. Saya mengira telah selamat dari gangguannya. Namun saya berpikir, mengapa al-Hadi menjauh dari saya dan tidak menemani saya?”

 
Tiba-tiba bayangan hitam muncul di hadapan saya dalam bentuk binatang yang menyeramkan. Kuda saya sangat terkejut dan ketakutan. Ia berlari keluar dari jalan dan terjatuh di dekat mesin giling itu. Saya pun ikut terjatuh dan tak mampu menggerakkan tubuh.

 
Mesin penggiling yang jauh itu kemudian bergerak dan berjalan mendekati saya laksana seekor naga yang hendak menelan saya. Kobaran apinya nyaris menjilat saya. Bayangan hitam itu lalu mengejek, mencemooh, dan menertawakan saya seraya menari-nari gembira, dan berkata, “….dari kejahatan orang yang dengki, apabila ia mendengki. Wahai pendengki, kamu telah berhasil lepas dariku di beberapa manzil sebelumnya. Tapi saat ini, Kamu tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kamu kira akan mampu lepas begitu saja dari cengkeramanku, sekarang rasakanlah.”

 

Mendengar ejekan dan cemoohannya, Jantung saya berdegup kencang dan mengalirkan darah dengan deras ke seluruh pembuluh darah saya. Dengan sekuat tenaga, saya mengucapkan, “Yaa Rasul…!”

 
Tiba-tiba mesin penggiling yang sudah dekat dengan tubuh saya berbalik dan menjauh dari saya, satu sama lain saling bertabrakan dan hancur berkeping-keping. Bayang-bayang hitam itu juga ikut lari dan terjepit di salah satu roda mesin penggiling yang manggilasnya dan menghancurkan tulang belulangnya.

 

Udara yang sangat panas dan dipenuhi bau asap belerang, membuat leher saya tercekik dan merasakan dahaga. Lalu, saya melihat al-Hadi berlarian ke arah saya. Tak lama kemudian, ia sudah ada di hadapan saya dan membuka kantung yang berisi hadiah syafa’at dari Rasulullah SAW. Sebuah teko yang terbuat dari kristal yang cahayanya ke angkasa hingga menerangi padang pasir. Ia juga memberi saya segelas air jernih dan dingin yang langsung saya teguk. Rasa haus saya mendadak sirna dan rasa sakit di sekujur tubuh mendadak hilang. Darah pun mengalir ke tubuh saya, dan batin saya pun menjadi lega kembali.

 

Kemudian saya melihat kondisi kuda saya yang ternyata sudah tidak bernyawa. Lalu saya mengambil ransel dan mengikatnya ke punggung. Sementara al-Hadi memikul kedua kantung itu. Dengan bersamaan kami pun kemudian berjalan melintasi padang pasir yang sama luasnya dengan padang pasir Afrika, namun dipenuhi dengan banyaknya mesin-mesin yang mengepulkan asap pekat yang membuat udara menjadi gelap dan berbau busuk. Saya bahkan melihat dari berbagai pipa di mesin-mesin itu, keluar sosok-sosok manusia yang terbakar api, seperti rokok yang keluar dari pipa-pipa pabrik rokok.

 

Al-Hadi kemudian berkata, “Para pendengki yang menampakkan rasa dengkinya terhadap orang beriman dengan lisan dan tangannya, akan digencet dalam mesin-mesin ini, sampai api dalam batinnya membakar seluruh tubuhnya. Dengki adalah sama dengan api. Rasa dengki itu memakan iman, sebagaimana api memakan kayu bakar.”

 

MFB8

 

Disebabkan jalan yang kami tempuh sangat gelap gulita, al-Hadi berjalan di depan dan saya mengikutinya di belakang. Saya berkata. “Tampaknya kita salah jalan. Menurut pesan itu, kita tidak akan menghadapi berbagai kesulitan?”

 

“Kita tidak salah jalan. Sedikit sekali orang yang menyadari kedengkian yang sedikit atau banyak di dalam dirinya. Kalaulah bukan karena kemurahan syafa’at Rasulullah SAW, kemungkinan besar keadaanmu tidak lebih baik dari mereka yang merasakan siksa dikarenakan kobaran rasa dengki dalam hati mereka. Cepat atau lambat mereka akan terbebas dari siksaan itu, dan menerima rahmat serta ampunan Allah.”

 

Udara terasa sangat panas dan berbau busuk. Ransel yang saya panggul terasa sangat berat, karenanya, saya melangkah dengan lebih cepat agar segera terbebas dari daerah yang penuh malapetaka dan siksa ini. Selain itu, saya juga khawatir kalau-kalau bayangan hitam itu tidak mati dan kembali mengejar saya.

 

Setelah berjalan cukup lama, dengan bermandikan keringat yang mengalir dari badan dengan bau yang tak sedap mulai menembus baju, dan dengan kaki yang penuh luka, akhirnya saya pun berhasil keluar dari Tanah  Kedengkian.

 
Kami pun mulai memasuki kawasan yang udaranya harum dan segar. Angin sepoi-sepoi yang sejuk mulai berhembus. Di kejauhan tampak membentang padang rumput luas dan gunung-gunung yang hijau. Lalu kami berjalan menuju mata air untuk beristirahat dan melepas lelah barang sejenak.

 

Kemudian saya bertanya pada al-Hadi, “Apakah bayangan hitam itu sudah mati dan binasa karena terjepit roda mesin penggiling?”

 

“Ia tidak akan pernah mati dan binasa. Namun dalam perjalanan ini, ia tidak akan mengganggumu karena kita telah cukup jauh dari tanah Barhut. Selama tidak memiliki sifat sombong dan takabur, kamu tidak akan menyaksikan daerah yang dihuni orang-orang yang disiksa lantaran sombong dan takabur. Tak lama lagi kita akan sampai ke Wadi as-salam (Tanah Keselamatan).”

 

Semakin kami berjalan, nafas kami semakin terasa lega karena udaranya makin bersih dan segar. Tatkala kami berjalan lebih dekat lagi, kami menyaksikan dengan jelas gunung-gunung yang penuh tetumbuhan hijau dan subur. Kebun-kebun dengan buah-buah yang ranum, dan air pancuran yang jernih. Terlihat di puncak bukit, terdapat banyak kemah yang terbuat dari sutera putih yang mengkilat.

 

Hadi kemudian berkata, “Ini adalah tepian kota. Para penghuni kota ini tinggal di kemah-kemah itu. Tiang kemah itu terbuat dari emas dan tali-temalinya terbuat dari perak murni.”

 

Setelah beberapa jauh meninggalkan kawasan perkemahan itu. Hadi pun kemudian berkata, “Tunggu di sini, saya akan mencarikan kemah untukmu.”

 

“Apa nama daerah yang udaranya begitu segar dan suasananya amat menyenangkan hati ini? Tanyaku. “Rasanya saya ingin tinggal beberapa hari di sini.”.

 

“Daerah ini adalah Wadi al-Aman (Tanah Keamanan) dan tanah suci. Kamu memang diharuskan tinggal disini dalam beberapa hari.”

 

Sesampainya di depan kemah tersebut, al-Hadi mengeluarkan sebuah lembaran dari dalam ransel, lalu ia berjalan menuju tenda yang terdapat di puncak bukit. Saya mengikutinya dengan pandangan saya. Ketika ia sampai ke tenda itu, lalu ia membacakan lembaran tersebut. Lalu saya melihat beberapa anak laki-laki dan perempuan keluar dari kemah dan berlarian ke arah saya.

 
Al-Hadi juga berada di belakang mereka. Lalu al-Hadi mengeluarkan bungkusan lain dari kantung tersebut seraya berkata kepada saya, “Pergilah dengan mereka ke dalam kemah, dan beristirahatlah untuk beberapa waktu, sementara saya akan pergi ke  ibukota. Kepergian saya kali ini adalah untuk menyiapkan rumah bagimu, lalu aku akan segera kembali lagi ke sini”

 

Al-Hadi, kamu hendak meninggalkan saya sendirian di tempat asing ini?”

 

“Aku pergi demi menyelesaikan urusan dan kepentinganmu. Ini adalah kampungmu, dalam kemah itu kamu akan berjumpa dengan teman-temanmu.”

 

Setelah berkata demikian, al-Hadi pun segera terbang. Lalu saya berjalan bersama para pelayan itu menuju kemah. Dalam kemah itu terdapat bidadari yang sedang duduk di atas sofa.

 
Melihat kedatangan saya, seorang pemuda berwajah bersih dan bersinar laksana matahari, masuk ke dalam kemah dengan membawa teko dan bejana yang terbuat dari perak murni. Ia lalu membasuh kepala dan muka saya. Air dalam teko itu beraroma harum bunga dan sejuk. Setelah itu, saya melihat wajah saya di cermin. Wajah saya jauh lebih bersih dan lebih indah di bandingkan bidadari yang sedang duduk di singgasana, yang dalam catatan itu adalah istri saya.

 

Kemudian saya duduk berdampingan dengannya. Kemah yang saya tempati memiliki lima tiang. Tiang tengahnya terbuat dari emas dan permata, dan lebih besar dari tiang lainnya. Saya kemudian bertanya, “Mengapa kemah ini memilki sejumlah tiang penyangga?”

 

Ia menjawab, “Semua kemah yang kita saksikan di puncak bukit ini berada di atas 5 (perkara): shalat, puasa, zakat, haji dan wilayah, dan tak ada seruan terhadap sesuatu sebagaimana seruan terhadap wilayah. Dan tiang di tengah ini adalah tiang wilayah, Lebih besar dari yang lain, dan semua sisi-sisi kemah bertumpu padanya.”

 

“Saya ingin berjalan-jalan di sekitar sungai dan kebun-kebun beserta kemah-kemah yang ada di puncak gunung, seraya menyaksikan seluruh keindahan tempat ini, barangkali saya bertemu dengan seseorang kenalan di daerah ini.”

 

“Engkau di sini bebas melakukan apa saja sesuka hatimu, semua yang engkau inginkan sudah tersedia. Namun, bila hendak memasuki kemah seseorang, engkau harus meminta izin terlebih dahulu dan mengucapkan salam.”
Kemudian ia kembali berkata, “Ketika saya memasuki kawasan ini, saya telah melihat kemah milik putri bungsumu. Mengingat pengenalanku kepadamu dari sebelumnya, saya telah menemuinya dan menjadikannya sahabat saya. Kalau pun engkau ingin pergi ke sana, saya akan menemanimu.”

 

“O, ya, tentu. Saya akan mengunjunginya.”

 

Kemudian saya bangkit dan berjalan bersamanya ke kemah tersebut. Sesampainya di dekat lembah itu, saya mengucapkan salam. Penghuninya pun mengenali suara saya. Ia lalu keluar dari kemah dengan ditemani para penyambutnya. Setelah saling berjumpa dan mengucapkan syukur kepada Allah, kami segera masuk ke dalam kemahnya. Kami semua duduk di kursi yang bertahtakan intan berlian. Ia dan para penyambutnya duduk di satu barisan, sementara saya dan para penyambut saya duduk di barisan lain, dan saling berhadap-hadapan.

 

Saya kemudian bertanya kepada putri saya, “Bagaimana perjalananmu selama ini?”

 

Ia lalu menjawab, “Saya menemui banyak kesulitan di manzil yang pertama. Dan di tanah kedengkian, saya mengalami penderitaan. Tampaknya seluruh pejalan mengalami kondisi yang sama seperti saya. Bahkan ada yang lebih parah lagi di berbagai tempat, saya menyadari bahwa keselamatan saya tak lain berkat pertolongan ayah. Karena itulah saya mendo’akan ayah dan memohon kepada Allah agar mencurahkan rahmat-Nya kepada ayah, hingga kemudian tiba saatnya keberangkatan adik perempuan ke alam ini. Dan semasa ayah mendekat di masa kepergian (meninggal dunia). Saya senantiasa berdo’a kepada Allah SWT demi kesembuhan ayah, sehingga ibu dan adik-adik saya yang lain tidak ditinggal sendirian tanpa ada yang mengurus.”

 

“Bagaimana keadaan adik perempuanmu yang telah berpergian ke alam ini?”

 

“Di sini saya melihat, ia memiliki kemuliaan dan keagungan yang jauh melebihi saya. Saya bertanya padanya tentang peristiwa yang dialaminya sewaktu menempuh perjalanan ini. Ia menjawab bahwa ia tidak menyaksikan berbagai bencana apapun, dan tidak pula berjalan kaki, tetapi ia melihat sebagian tanah terlipat dalam sebagian yang lain.”

 

“Rahasianya adalah karena sepanjang usianya yang hanya mencapai 18 tahun di dunia), ia tidak mendapatkan waktu yang lebih banyak untuk memikulkan beban dan kesulitan pada dirinya.”

 

Setelah bercakap-cakap, saya pun berpisah dengan anak saya dan kemudian kembali ke perkemahan. Sambil berjalan saya merenung, dan tenggelam dalam lamunan. Telah tampaklah kekurangan dalam diri dan amalan saya dari apa yang telah saya lakukan selama ini. Dan saya pun harus merasakan berbagai derita dan bencana, yang kini telah terlepas dari pundak saya.

 

Alhamdulillah……..wa Subhanallah….wa Allahu Akbar….!

 

Nun, pada kenyataannya. Jasad manusia dan alam material dengan segala keindahan yang menjadi tabiatnya adalah merupakan tirai yang tebal yang menghalangi pandangan manusia dalam menyaksikan akan keberadaan kehidupan di alam lain. Dan kematian pada hakikatnya hanyalah sebuah nama yang muncul dari tirai ini, ketika tirai yang lain terbuka. Adapun manusia dengan hakikat akan kematiannya sebenarnya mampu untuk melihat yang tersembunyi dari apa yang belum tersaksikannya, dan (bila ia pun demikian) maka, ia pun akan menjadi “terjaga” dari kenyataan bahwa selama ini ia telah lalai.

 

 

Gusblero Free