Kemerdekaan Maiyah adalah kemerdekaan cinta, kemerdekaan untuk memilih bukan saja apa yang benar namun juga apa yang paling tidak memberatkan engkau lakukan dalam hidupmu.
Siapa bilang ngaji itu salah, siapa mengatakan mendengarkan ceramah itu tidak ada gunanya. Tetapi kalau hal itu engkau lakukan saat keluargamu sakaratul jau’an sedang menderita kelaparan yang sangat, kompor habis, dan besok anak batal masuk sekolah karena tidak mampu membayar iuran, maka bersiaplah menerima laknatullah untuk sorga yang engkau impi-impikan sendiri.
Kami cinta perdamaian, tapi kami lebih mencintai kemerdekaan, begitulah Jenderal Soedirman mengatakan. Hari ini kita begitu getolnya berbicara tentang HAM, mulut berbusa hingga ludah muncrat kesana-kemari, tapi sering luput mencermati lingkungan sosial kita sendiri. Dengan baju intelektualitas kita sering merasa menjadi dewa, orang paling penting untuk menegakkan peradaban dunia yang gersang spiritual, namun engkau tidak adil dan engkau menjadi orang dzalim yang paling dzalim karena mendzalimi dirinya sendiri.
Engkau lupa menghitung berapa pintu kemiskinan engkau lewati dan kau biarkan saja menganga menuju tempatmu kini berdiri. Engkau takluk pada kedudukan yang tak kasat mata, dan engkau menjadi buta karenanya.
Kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak asasi manusia. Kedamaian lebih mungkin tercipta dalam situasi semua bangsa menghargai hak kemerdekaan bangsa lain. Jadi, kemerdekaan adalah prasyarat untuk terciptanya perdamaian. Penjajahan disingkirkan, perdamaian diciptakan.
Tujuh puluh satu tahun sesudah negara Indonesia diproklamirkan, apakah sekarang kita sudah benar-benar merdeka? Merdeka, tapi bingung. Negara yang sudah terbebaskan dari penjajahan bangsa lain ini ternyata masih bingung mengatur kemerdekaannya untuk mensejahterakan bangsanya sendiri. Ditengah persoalan biaya sekolah yang melambung, pengangguran membubung, usaha perekonomian menggantung, negara masih terjerat persoalan politik anak-anaknya yang tak kunjung dewasa.
Negara belum merdeka. Karena bagaimana mungkin di sebuah negara yang sudah merdeka masih berkeliaran orang-orang yang tidak memperbolehkan warga lainnya untuk hidup dan memilih cara hidup laiknya orang yang merdeka. Kemerdekaan harus menjadi pintunya orang yang beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur. Motivasi untuk melakukan tindakan baik bukan karena tekanan rasa takut atau karena adanya imbalan. Dan semua ini hanya bisa termanifestasikan melalui cinta, sebentuk praktek kekuatan manusia yang hanya dapat dipentaskan dalam kebebasan dan kemerdekaan.
Desa mawa cara, negara mawa tata, desa memiliki kearifan, negara memiliki aturan. Berapa kali lagi negara harus mendapatkan pelajaran bahwa arogansi suatu kaum dengan faham-faham yang destruktif sungguh membuat sebuah bangsa akan terpecah belah. Berapa banyak kekacauan dunia harus dihidangkan di meja hingga kita tahu nikmatnya persaudaran senasib sepenanggungan mangan ora mangan sik penting ngumpul. Inna ma’iya Rabbii sayahdiini, sesungguhnya Tuhanku besertaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.
Ngumpul, maiyahan, artinya bukan sak amben dadi siji gubetan sarung, tetapi kalau pun satu di Papua, satu Nusa Tenggara, satu di Aceh Raya, semuanya berpikiran satu, saling mengabarkan, saling menyabarkan, saling menguatkan, bahwa apapun yang kita alami ini ora ndeweki. Hingga dari situlah rasa keadilan menjadi muara.
Hakikat kemerdekaan dan kebebasan (al-hurriyah) adalah kemerdekaan dan kebebasan spiritual. Banyak orang yang secara fisik bebas merdeka tetapi ruhaninya terbelenggu dan menjadi budak hawa nafsu. Sebaliknya banyak orang menjadi budak secara fisik tetapi secara ruhani ia adalah seorang yang berjiwa bebas merdeka, karena ia terbebaskan dari perbudakan hasrat-hasrat rendah.
Orang boleh bekerja pada tuannya yang Cina, Arab, Bule, Kristen, Hindu, Budha, Khong Hu Cu, dan lain-lainnya. Tetapi sepanjang secara profesional ia hanya bekerja, dan ia mendapatkan toleransi untuk melakukan hak-hak privasinya secara spiritual, maka ia adalah orang yang merdeka. Sebaliknya walau pun engkau berkoar-koar tentang moral tetapi sebab ambeganmu mung dibayar, itu berarti dirimu masih dijajah kepentingan.
Seorang yang terbelenggu kebebasannya hanya akan bertindak menuruti kontrak kepentingan, dan walau hatinya menolak ia tetap takkan mampu mengekspresikan rasa cintanya. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prasyarat utama untuk terwujudnya cinta sejati. Cinta yang terbelenggu dan terkungkung ikatan-ikatan dan batasan-batasan tertentu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Cinta harus terpancarkan dan terbebaskan dari keterpendaman. Dititik ini kanjeng Imam Ali r.a. menyampaikan, “Janganlah engkau menjadi budak bagi orang lain, karena sungguh Allah telah menjadikanmu dalam keadaan merdeka.”
Orang-orang miskin yang termarginalkan, orang-orang yang tinggal di gang-gang yang sumpek dan berbau apek, anak-anak yang butuh sekolah, para gelandangan, tukang tambal ban, tukang sapu, intelektual fakir, dan orang-orang yang mengakali kartu jaminan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang semestinya, semuanya adalah saudara kita. Dan jika untuk bertindak menyantuni mereka engkau masih memerlukan ijin resmi, berarti engkau belumlah menjadi manusia yang merdeka sepenuhnya.
Wonosobo, 29 Juli 2016
Gusblero Free
Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid lima KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Rabu Pahing 10 Agustus 2016, Pukul 19.30 WIB – selesai, di Pendopo Wakil Bupati Wonosobo.