Pada tanggal 9 Dzulhijjah 11 H saat haji Wada’ dikala matahari tergelincir, Rasulullah SAW berangkat ke Arafah dan melakukan khutbah terakhirnya di hadapan seratus empat puluh empat ribu jamaahnya. Beliau berdiri di tengah-tengah mereka dan bersabda, “Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin setelah tahun ini aku tidak akan dapat menemui kalian di tempat ini selama-lamanya.
.
Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian seperti kesucian hari dan bulan ini di negeri ini sampai datang masanya kamu menghadap Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap-Nya. Pada waktu itu kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu.
.
Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana berlaku di jaman jahiliyah juga tidak berlaku lagi. Dan sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Ikhwah fillah, barang siapa telah diserahi amanat, maka tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya. Jangan kamu mendzalimi orang lain dan jangan pula kamu terdzalimi.
.
Ketahuilah, sesungguhnya setan telah berputus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selama-lamanya. Namun dia (setan itu) akan ditaati dalam perbuatan-perbuatan yang menurut kalian remeh, maka dia pun merasa puas terhadap hal itu. Oleh karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.
.Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan wanita karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah. Dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberi mereka nafkah dan pakaian secara baik.
Wahai manusia, dengarkanlah! Sungguh aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian yang jika kalian pegang teguh, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.
Wahai manusia, sesungguhnya tiada lagi nabi sesudahku, dan tiada lagi umat sepeninggal kalian. Sembahlah Allah, Rabb kalian, dan dirikanlah shalat lima waktu. Laksanakan shaum Ramadhan dan bayarlah zakat secara sukarela. Tunaikanlah haji di Baitullah, dan taati pemimpin kalian, niscaya kalian akan masuk surga Rabb kalian. Perhatikan kata-kataku. Sesungguhnya setiap muslim itu bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari yang lain kecuali atas dasar keridlaan.”
.
Rasul sejenak terdiam, lalu bersabda: “Kalian akan ditanya tentang aku, maka apakah yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan memberi nasehat.” Sambil menunjuk ke langit Rasul berkata: “Ya Allah, saksikanlah.”
.
Selesai menyampaikan khutbah, wahyu terakhir turun, dan putuslah wahyu untuk selama-lamanya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Kuridlai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah 3)
.
Tatkala dakwah Islam telah sempurna, tanda-tanda perpisahan dengan kehidupan dan orang-orang yang hidup di dunia mulai tampak pada diri Rasullah SAW.
Pada awal bulan Shafar 11 H Rasulullah pergi ke Uhud. Seusai menshalati syuhada Perang Uhud beliau bersabda: “Sesungguhnya aku mendahului kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sungguh aku melihat telagaku, sekarang ini. Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci perbendaharaan dunia. Demi Allah, aku tidak khawatir kalian menjadi musyrik sepeninggalku. Tetapi aku khawatir kalian memperebutkan dunia.”
.
Untuk pertama kalinya, hari Senin 29 Shafar 11 H, Rasulullah sakit. Suhu badan Nabi yang sangat tinggi menyebabkan para sahabat dapat melihat urat nadi di bagian kepala beliau. Hingga suatu ketika, Rasulullah pernah meminta tujuh gayung air diguyurkan ke kepala beliau yang mulia.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah berujar: “Sesungguhnya ada seorang hamba diberi pilihan oleh Allah. Yaitu diberi kemewahan dunia sesuai apa yang dikehendakinya, atau diberi apa yang ada di sisi-Nya. Lalu hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya.”
Terdengar suara isak tangis, dialah Abu Bakar. Para sahabat keheranan, sebagaimana ketika Haji Wada’ saat wahyu terakhir turun, ia juga menangis. Pada waktu itu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya setelah kesempurnaan itu yang ada hanyalah kekurangan.” Para sahabat di kala itu mendapatkan kesan bahwa setelah agama ini disempurnakan risalahnya, maka akan ada orang yang paling dicintai di tengah mereka yang akan pergi. “Kami tebus engkau dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami, wahai Rasul.” ujar Abu Bakar berlinang air mata.
.
Semakin hari sakit Rasulullah semakin bertambah, dan selama itu Abu Bakar ditunjuk menjadi imam shalat. Sesekali Rasulullah menyingkap tabir di kamar dan memperhatikan kaum Muslimin sedang shalat di masjid Nabawi sembari tersenyum. Tak jarang pula ketika Rasulullah hendak bangun, namun badan beliau tak kuat. Kemudian beliau jatuh pingsan berulang-ulang, hingga beliau harus dipapah oleh para sahabat, dengan kepala terbalut kain.
.
Pada hari Ahad 11 Rabi’ul Awal 11 H, Rasulullah memerdekakan budak laki-lakinya, menshadaqahkan tujuh dinar sisa hartanya, dan menghibahkan senjata-senjatanya kepada kaum Muslimin. Pada malam itu, Aisyah meminjam minyak lampu dari tetangganya untuk penerangan kamar Rasulullah, sementara baju besi Rasulullah digadaikan kepada orang Yahudi seharga tiga puluh sha’ gandum. Demikianlah kondisi Rasulullah di saat-saat kritis.
.
Hingga keesokan harinya, di akhir waktu dluha, Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H, Rasul memanggil Fathimah, putri tercintanya, lalu membisikkan sesuatu kepadanya, dan Fathimah pun menangis. Kemudian Rasul memanggil Fathimah lagi, dan membisikkan kembali sesuatu. Fathimah pun tersenyum.
.
Para sahabat bertanya hal itu kepada Fathimah, dan dijawabnya: “Nabi membisiki aku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian beliau membisiki aku lagi, dan mengabarkan bahwa aku adalah orang pertama diantara anggota keluarga beliau yang akan menyusul beliau. Lalu aku tersenyum.”
.
Fathimah melihat penderitaan berat yang dialami ayahandanya, sehingga ia berkata: “Alangkah beratnya penderitaanmu. Ayah…” ungkapnya lirih. Dengan suara parau sembari tetap tersenyum, Rasul menghibur buah hatinya: “Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
.
Para sahabat sudah merasa bahwa inilah saat-saat datangnya ajal bagi Nabi mereka. Mereka berkumpul di sekitar kediaman Nabi, begitu pula kaum Muslimin lainnya.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru mengucap salam dari luar pintu: “Bolehkah saya masuk?” ujar suara itu. Fathimah tidak mengijinkannya, “Ayahku sedang sakit,” ujarnya sembari membalik badan dan menutup pintu.
.
Rasul menanyai puterinya siapa yang tadi mengetuk pintu. “Tidak tahu Ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya,” jawab Fathimah dengan tutur lembut. Lalu Rasul menatap puterinya dengan pandangan menggetarkan, “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan fana, dialah yang memisahkan pertemuan dunia, dialah Malaikat Maut.”
.
Fathimah tak kuasa menahan ledakan tangisnya. Malaikat Maut datang menghampiri ruangan itu. Rasulullah bertanya mengapa Jibril tidak ikut bersamanya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di langit dunia menyambut ruh kekasih Allah, dan penghulu alam semesta ini.
.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah,” pinta Rasul dengan suara amat lemah. Jibril berkata, “Pintu-pintu langit terbuka, semua malaikat menanti ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” ujar Jibril. Rasul mencium bau wangi surga dari pembaringannya ini. Tapi ternyata itu tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril.
“Kabarkan padaku bagaimana nasib umatku kelak,” pinta Rasul. Jibril tersenyum, “Jangan khawatir wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.”
.
Detik-detik semakin dekat saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan, ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. Fathimah terpejam, dan Ali yang ada di sampingnya menunduk semakin dalam. Jibril seketika memalingkan mukanya ke arah lain.
.
“Jijikkah kau melihatku hingga kau palingkan wajahmu. Wahai Jibril?” tanya Rasulullah kepada malaikat pengantar wahyu itu. “Siapa sanggup menyaksikan kekasih Allah direnggut ajal,” jawab Jibril.
.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tak tertahankan lagi. Kulitnya serasa mengelupas dari ujung jari kaki ke bagian atas tubuhnya. Sekujur badannya mengalami kesemutan luar biasa, merambat naik ke atas, dan seribu mata pedang seperti dihujamkan seketika di batang lehernya. Rasulullah merasa telah diambang perpisahannya,” Ya Allah, dahsyat nian maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”
.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seperti hendak membisikkan sesuatu. Ali mendekatkan telinganya kepada Rasulullah, “Uushikum bish-shalati, peliharalah shalat, wa maa malakat aimanuku, dan peliharalah orang-orang lemah diantara kamu.”
.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, para sahabat saling berpelukan. Fathimah menutupkan tangan di wajahnya, air matanya kian menderas. Ali mendekatkan telinganya kembali ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan itu. Terdengar suara lirih Rasul ketika ruh mencapai kerongkongan,” Ummatii….ummatii…..umatku….umatku…..”
“Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami. Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu. Penyantun dan penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS At-Taubah 129)
.
Menyalalah hati….hatiku…..nyala!!
Gusblero Free