Mengapa Saya Menulis, Bagaimana Saya Menulis, dan Apa Yang Saya Tulis.

Apa yang telah tertulis takkan terlepas, apa yang akan terlepas sudah tertulis. Begitulah pertamakali Allah menciptakan qalam. Pena yang kemudian menuliskan akar kejadian dari seluruh penciptaan semesta. Saat takdir disampaikan satu persatu, kemudian manusia menerima segala ketentuan-Nya, lalu Kun jadilah. Maka begitu pulalah saya menerima dunia kepenulisan sebagai bagian dari takdir seutuhnya. Saya penulis dan bukan pengarang. Disebabkan saya hanya akan menulis sesuatu yang ingin disampaikan, untuk kelak hari saya bisa memiliki secercah keyakinan dalam menyampaikan pertanggungjawaban. Ya, saya telah menyampaikan.

Sama seperti pena (qalam) yang pertamakali bertanya apa gerangan yang harus saya tuliskan, maka jawabnya adalah apapun yang kemudian memintas dan terlintas dalam diri. Semesta yang menghadirkan kearifan dengan melukiskan dirinya secara terbuka. Pohon pisang yang mampu bertahan hidup dalam segala kondisi, tidak rentan dengan perubahan musim, mampu regenerasi, dan ragam kemanfaatan bisa diambil dari keberadaan dirinya, bahkan setelah kematiannya. Indah dan penuh kemanfaatan. Lukisan semesta itu menjadi pintasan-pintasan yang sangat terbuka bagi kita untuk mendekat akan keberadaan-Nya. Karena bukankah sebelum segala sesuatu itu terwujud tak ada, kecuali berasal dari Dzat-Nya.

Dengan melihat keberadaan alam kita melihat prototipe mahluk secara universal. Kita melihat bayangan purnama yang jatuh di sungai, di kolam, di tempayan, di air diam dalam tempurung kelapa yang walau di tempat yang berbeda-beda kita tetap melihat bentuk bulan yang sama bulatnya. Ada cahaya yang terbagi, ada wajah bulan di mana-mana, namun tak berubah wujudnya. Bulan tetap pada letaknya. Pada manzilah yang sudah tertata kita melihat bulan yang satu, yang kemudian kita ingin menuliskannya. Catatan-catatan tentang semesta raya pun kemudian hadir mengilhami kita untuk menulis keindahan purnama dalam derajat magis yang menggetarkan. Ada kaidah-kaidah humanisme yang dibangun. Dalam diri tiba-tiba hadir perasaan tunduk dan pasrah. Rasa mencintai, namun yang justru akan ternodai jika digambarkan, hingga kita tak bisa menyebutkannya sebagai sekadar cinta. Dalam istilah pronoun kita tidak lagi melihat bulan sebagai subyeknya, tetapi obyeknya. Kitalah subyeknya.  

Dalam konsep religi yang saya anut, akan selalu tak cukup tinta bagi kita untuk menuliskan kemuliaan-Nya. Laisa kamitslihi syaiún. Tuhan tak terumpamakan lainnya. Kita hanya bisa membahas kemurahan kasih-Nya, dan sungguh tak pantas menyinggung seolah tahu kemurkaan-Nya. Bagaimana mungkin Ia Yang Maha Besar dengan segala ke-Maha Agung-an-Nya akan tercederai kemurkaan terhadap mahluk yang bahkan tak lebih dari sekadar zarah di keluasan ciptaan-Nya. Melalui pengenalan terhadap alam semesta saya mengetahui bahwa keberadaan kehidupan di dunia ini kita berbagi. Bukan hanya antar manusia, namun juga dengan gunung, dengan sungai, dengan samudera, dengan langit, dengan seluruh ciptaan Allah yang masing-masing memikul amanahnya sendiri-sendiri.

Itulah asyiknya menulis religi. Ada kenyamanan saat saya menulis naskah-naskah itu. Ada sesuatu yang menuntun dan membukakan pengenalan bahkan terhadap rahasia hidup yang selama ini terkunci. Ini jelas berbeda dengan konsep berkarya untuk menghasilkan popularitas. Menambahi halaman untuk mempertebal pemasukan, dan sebagainya. Dalam dimensi religi rasa syukur atas azas manfaat dari sebuah karya menumbuhkan hikmah tak terperi. Ia yang mencari akan menemukan, dan ia yang telah menemukan akan menyimpannya sebagai karunia yang penuh kenikmatan. Barangkali ini kredo paling tepat untuk menjelaskan kenapa saya hari ini lebih menyukai tema-tema religi.

Religiusitas menempatkan kita dalam posisi dua arah. Kehidupan yang kita jalani hari ini dan kehidupan setelah kita mati. Dalam penggambaran perjalanan seorang salik kita melihat itu sebagai keadaan dimana dunia ruhaniahnya mulai bocor. Seperti telur yang mulai retak, lamat-lamat ia mulai mendengar suara di luar dirinya. Saat tirai hijab penghalang hidup bisa dilubanginya ia mendengar adzan pertama di telinga kanannya. Lalu dalam keadaan masih buta digendongnya kita penuh cinta kasih. Ada tangis menandai puncak dari sekalian rasa syukur. Ada pengakuan dalam kalimat hamdalah, yang melaluinya kemudian kita dikenalkan pada wujud cahaya.

Allah telah menampakkan pena dari takdir kecilnya mahluk yang tersembunyi. Dalam pena yang juga telah memberikan titik-titik penggambaran sangat jelas sebagai timeline perjalanan dan wujud utuh keberadaan mahluknya. Kita hidup dari satu titik menuju titik lainnya dalam khazanah hayat yang disebut sedang berproses. Zona timeline adalah titik-titik virtual yang bermula dari persaksian inna lillahi wa inna ilaihi rojiún sebagai titik awal asal-usul manusia, yang dalam pelajaran sekolah dasar dulu, kita kemudian menyambungkannya satu-persatu untuk membentuk gambar sesuai persepsi bayangan kita. Maka begitulah takdir ini berjalan. Dari ribuan titik yang ada kita bisa memilih rangkaian titik-titik menjadi feedback takdirnya diri kita sebagai manusia.

Kita bisa menjadi pohon beringin, kita bisa menjadi lilin, kita bisa menjadi harimau, kita bisa menjadi Angel. Namun kita tak memiliki pemahaman seberapa lama waktu kita bermain-main dengan titik-titik itu. Ada kalanya saat kita baru menyelesaikan separuh badan gambar manusia, tiba-tiba sudah tiba waktu kembali ke titik awal hingga kita tak pernah benar-benar bisa sempurna untuk menggambarkan keinginan kita dalam wujudnya manusia. Di titik inilah, menulis, sebagai keinginan untuk menyampaikan visi tindakan manusia, menjadi imajinasi ruh yang paling menyelamatkan. Tidak penting benar kita akan menjadi apa, adalah sesuatu yang indah manakala kita bisa diterima sebagai bagian dari rahasia penciptaan-Nya. Al insannu sirri wa anna sirruhu, manusia itu rahasia-Ku dan Akulah rahasianya.

Menjadi penulis adalah bagian dari sebuah shirat, titian perjalanan hidup. Saya menjadikan dimensi kepenulisan sebagai matra shalawat kepada Sang Maha Hidup, Pemilik Cinta dan Yang Dicintai. Segala yang mengalir dari pena adalah persaksian diri, yang semisal ada pahala mengalir dari kemanfaatan orang yang membacanya semoga kemudian Allah berkenan melimpahkannya sebagai hadiah untuk orang-orang yang saya cintai, dan seluruh keluarga saya. Sebagai warisan dan juga sedekah ilmu untuk berbagi kepada sesama. Persembahan terbaik dari seorang hamba manusia kepada Sang Khalik atas amanah hidup yang dipikulnya.

Ia yang telah memberi kita mata yang dengannya kita bisa melihat dengan jelas akan segala keindahan yang tergelar hingga di ujung cakrawala. Ia yang terus mendekap kita dalam ketenangan saat tidur, terlelap dalam ketiadaan sampai kemudian terjaga. Tak ada rumus penghormatan lebih lagi kecuali kita meneruskan pena dengan menuliskan serangkaian niatan baik, tindakan baik, hasil baik dalam buku kebaikan yang kelak kita kembali akan kita serahkan sebagai laporannya. Ini menjadi sebentuk thariqah, rutinitas yang memunculkan gairah positif hingga secara bertahap kita merasa bisa mendekatkan diri dan semakin mendekat dengan nafs al haqq, jiwa riil yang bertahta dalam kemasyukan yang tak ternodai lainnya. Jelas di sini kehidupan sebagai seorang penulis bukanlah semata gaya, namun lebih mirip pilihan munajat. Sebab ada makna persembahan cinta yang didekap begitu rupa untuk menjaga kemuliaannya.

Tetapi berbicara tentang gaya, dalam kepenulisan, bukanlah harga mati dalam saya melahirkan tulisan. Imajinasi spiritual hanyalah sebuah konsep, yang justru hanya akan berpotensi menjadi penyesatan, manakala kita tak memiliki bekal ilmu sebagai landasan. Dalam membuat tulisan-tulisan religi, hampir sepenuhnya tulisan saya justru bukan berawal dari keinginan saya sebagai umumnya seorang penulis hendak menulis. Lebih menyerupai adanya impuls, dorongan ruhani. Sesuatu yang hadir sebagai ilham, yang akan terus menuntut untuk ditulis bila dalam sehari dua hari saya tak menuangkannya. Ilham yang demikian juga tak mesti hadir dari sebuah peristiwa atau sesuatu yang keramat. Ia bisa mendadak muncul dari pemandangan sehari-hari, Melihat ombak ketika laut pasang, melihat petani turun lembah mengangkut sayuran, melihat para pekerja pulang senja menenteng jajanan. Kita melihat sensualitas dalam warna hidup yang beragam. Ada ikan yang berenang dengan tenang di antara gelombang, ada rasa syukur atas apa yang bisa kita petik hari ini, dan ada kebahagiaan yang terpancar atas karunia rezeki yang kemudian bisa kita bagi.

Perjalanan selama memasuki dunia ilham ini sejatinya hanya berlangsung dalam kilasan waktu yang sebentar saja, walau mungkin ruhaniah kita mengalami banyak peristiwa. Tiba-tiba kita berada dalam perjalanan bersama seseorang yang asing, kita terlibat dalam banyak dialog, dan selama percakapan-percakapan itu terjadi kita merasa bahwa seseorang itu sudah begitu karibnya dengan diri kita. Ada saat-saat kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain ibarat potongan-potongan scene dalam sebuah film. Dalam kalimat dulu guru mursyidmu itu belajar di Gunung Jati misalnya, maka gambar terlihat adalah potongan wilayah Cirebon. Lalu mungkin kita berpindah gambar ke gunung Tidar, ke gunung Sindoro, atau berikutnya seakan berada di Surabaya, untuk menunjukkan bagian-bagian perjalanan dari sang mursyid yang penting untuk diketahui. Dalam perjalanan itu bahkan diketahui apa yang dilakukan juga apa yang ditinggalkan sang guru mursyid selama menziarahi sebuah wilayah.

Dari ilham yang satu ke ilham yang lain kita melintasi waktu yang panjang, namun hampir tak pernah ada suasana malam, seingat saya tidak pernah ada warna kegelapan. Seingat saya juga tidak pernah bertemu dengan sosok yang berlawanan jenis, kecuali tokoh pelengkap yang kadang bisa saja hadir sebagai indung masa silam yang kemudian kita dikenalkannya. Tetapi yang demikian sangat jarang. Perjalanan dalam dunia ilham adalah wilayah esoteris yang tak menunjukkan kebutuhan-kebutuhan semenjana. Tak ada perbincangan rasa haus dan lapar. Tak ada hasrat bercinta, atau drama-drama nafsu kehidupan manusia lainnya. Kita tidak bisa memilih wilayah, bertemu dengan siapa, dan sebagainya. Kita bisa berkali-kali mati hingga kita mendapatkan penyadaran utuh hakikat kematian yang belum pernah kita alami. Tetapi, kita mati.

Lalu saat berikutnya tiba-tiba kita tersadar dengan badan penuh keringat, dan baru menyadari sebenarnya kita tak pernah kemana-mana, walau kita mengalami banyak peristiwa begitu rupa. Kita masih dalam kondisi sama sebelum peristiwa itu terjadi. Di atas bus dalam perjalanan menuju suatu tempat misalnya. Atau di sebuah tempat berbentuk makam yang sebenarnya kita tengah berziarah misalnya. Atau bahkan mungkin hanya serasa semisal tengah tertidur di depan laptop dalam waktu yang tidak begitu lama. Kita memasuki futuhul ghaib dengan menjalani peristiwa yang sangat gamblang, namun terhalang untuk menceritakannya kembali. Ada hijab terselubung untuk merekonstruksi wajah dari sekalian tokoh-tokoh yang telah berhubungan dengan kita. Kita bahkan tidak bisa dengan mudah menyebutkan persisnya di mana tempat kejadian berlangsung, namun ada butiran-butiran pesan yang jelas untuk dicatat.

Kita tidak mendapatkan pemahaman-pemahaman itu melalui buku, atau apa yang disampaikan orang, tetapi melalui pelakunya sendiri. Namun walau apa yang kita terima itu adalah bentuk dari hakikat sebuah kebenaran, tetap saja kita tak memiliki hak untuk dengan semena-mena mengungkapkannya kepada yang lain. Semacam relasi privat yang tak boleh di-published. Kita juga tak berhak mengungkapkannya berdasar logika semata, karena kehendak yang demikian adalah juga serupa nafsu. Hingga jika kita menerjangnya, akan terputus jalan menuju lubang dimensi nirmala itu. Ini adalah dimensi paralel yang menghubungkan satu ruh dengan ruh lainnya.

Hubungan kita dengan alam, dengan flora, dengan fauna, dengan semesta raya juga memiliki domain tersendiri. Komunikasi dengan alam yang kemudian menghasilkan kontak batin tidak sepenuhnya berlangsung dalam jagat mistik supranatural, akan tetapi rasa kebersamaan secara terus-menerus berupa kearifan. Berbeda dengan thariqat sufi yang menempuh jalan keilahian dengan wirid dan amalan, membangun hubungan harmonis dengan alam akan menghasilkan esensi spiritualitas yang lain. Dalam terminologi eko-sufism kita belajar dengan alam akan membuat kita alim, paham akan sesuatu, namun juga ‘alamah, memiliki ketundukan yang sama bagaimana alam itu tunduk akan perintah Allah, dan seterusnya. Memahami sujudnya gunung, tasbihnya dedaunan, dan wiridnya hujan, melahirkan intimate sensation yang membuat kita tersungkur dalam puncak syukur penuh tangis kebahagiaan. Kita bisa bercakap dengan hujan, dan bisa memintanya untuk sekadar berhenti, namun tidak berarti kita yang mengendalikan. Pemahaman tentang jagat makro akan membukakan pintu kegaiban tersendiri bahwa manusia memang wujud mikro dari seisi alam yang mengandung unsur-unsur kosmik mineral, tumbuhan, hewan, hingga sifat kemalaikatan dan keilahian melalui ruh yang ditiupkan-Nya.  

Dengan mengikuti ilham ini saya memasuki dimensi kepenulisan yang menentramkan. Tulisan-tulisan yang hadir pun secara deskriptif mendapatkan argumentasi nalar yang mudah, disebabkan berasal dari hal-hal yang bersifat keseharian dengan teologi ekologi dan sosial sebagai kearifan. Ia menjadi risalah bidayah, kitab pembuka dari bahasa langit yang telah terujudkan dalam firman. Manifesto teofani yang kasat mata. Mutiara berserakan dari ayat-ayat kauniyah yang kita luput memperhatikannya selama ini. Ada perasan take and give pertanggungjawaban terhadap Tuhan yang telah memberikan keleluasaan bagi kita untuk mendengar, melihat, dan menikmati keseluruhan itu, bahwa dengan menulis religi saya mendapatkan keluasan ruang bersyukur yang tanpa ada ujung batasnya.

Esensi tulisan-tulisan saya hari ini haruslah ada nilai humanisme untuk perbaikan diri. Bukan untuk sebuah sebab yang sedang viral, namun seacara esensi ia memang layak dituliskan. Seorang penulis tidak pada tempatnya diintervensi oleh sekadar trend untuk mempertahankan keyakinannya dalam menyampaikan sesuatu. Bagi saya nominasi trend hanyalah kalimat yang lahir dari industri media yang lebih menggarisbawahi pendapatan komersial bahkan dengan resiko mengesampingkan nilai-nilai edukasi. Menjual judul-judul yang bombastis untuk mencari sensasi, ia serupa ledakan petasan yang bahkan kita tak akan berani mendekatkannya pada anak kita sendiri.

Dalam menulis saya selalu berusaha menyelesaikannya sekali jadi. Itu sebabnya saya harus memilih ruang dan juga waktu yang tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas lainnya. Itu pula sebabnya saya hanya bisa menulis sesudah seluruh materinya dirasa mencukupi. Saya tak berharap pembaca tulisan saya buru-buru beranjak mengambil kesimpulan dari sekelebatan high light. Sebuah tulisan harus memiliki energi yang kuat yang secara bahasa seorang pembaca merasa perlu mengulanginya lagi. Bahkan kalau mungkin ia tak akan bisa dengan mudah menyampaikan tulisan itu kecuali dengan cara menghafalkannya.

Jika ada pertanyaan apakah benar dunia kepenulisan adalah takdir saya yang sesungguhnya, maka jawaban saya saat ini adalah setidaknya saya sudah menentukan pilihan. Menulis religi sebagai sebuah sikap sudah menjadi rukun peribadatan dalam kehidupan saya. Saya melihat anugerah hidup adalah sesuatu yang harus dituliskan secara sempurna. Bukan melulu berisi logika untuk memikirkan bagaimana cara melihat hidup dan mencukupi kehidupan kita sehari-hari. Namun juga bagaimana kita bisa mengisi, menggunakan, serta mengoptimalisasikan anugerah akal sebagai bagian pertanggungjawaban kita kepada Tuhan Sang Pencipta yang telah menganugerahi kita akal sebagai wujud pemuliaan  sebagai manusia.

Saya terus menulis, dan akan terus menulis. Karena tulisan adalah juga menjadi sesuatu yang bisa diwariskan. Terlebih jika itu kemudian berbentuk sebuah karya. Anak turun kita harus mengetahui apa yang telah dilakukan para orang tuanya. Tulisan adalah warisan otentik dari literasi peradaban manusia yang bisa dibaca kapanpun waktunya. Ia bahkan wujud kebudayaan dari sebuah era. Hingga ketika kita bisa hadir menjadi salah satu variabel dari kebudayaan itu, tentu bukan hanya kebanggaan dzahir semata hasilnya. Akan ada inspirasi muncul dari kelak penerus kita. Nalar untuk menulis. Nalar untuk menggunakan panca indera yang ada, otak berpikirnya, intelektualitasnya.

Wonosobo, 26 September 2020

Gusblero

Catatan:

Naskah ini telah diterbitkan dalam Antologi Esai Proses Kreatif “Menanam Kata Menuai Asa”, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 2020