Taman Batu Gamelan di Wonosobo

 

Sejumlah peralatan gamelan yang terbuat dari batu berserakan di Dukuh Sawangan Desa Tumenggungan Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo tak tertata. Barang-barang peninggalan zaman dahulu itu antara lain berupa gong, kendang, bonang, dan lain-lainnya. Sebagian ada yang terlihat penuh dan utuh, tetapi lebih banyak yang terpendam dibandingkan yang muncul di permukaan.

 

Kondisi tempat itu saat ini tidak lebih dari sebuah tegalan, lahan kering yang ditanami dengan tanaman musiman atau tahunan.

 

Lokasinya hanya seratusan meter dari jalan pedesaan. Terletak di dukuh Sawangan desa Tumenggungan kecamatan Selomerto kabupaten Wonosobo, dengan jarak sekitar tujuh kilometer dari pusat kota.

 

Beberapa bunga setaman terlihat di beberapa sudut, menjelaskan kondisi tempat itu sering juga digunakan orang untuk melakukan tirakat. Yang pasti, sekilas saat kita sudah berada di lokasi itu, segera akan terbayang sebuah taman dengan seperangkat gamelan yang terbuat batu tergelar di atas sepetak lahan kebun berukuran kurang lebih enam ratus meter persegi.

 

“Batu-batu berbentuk seperangkat gamelan ini sudah ada di sini sejak lama. Turun temurun entah sudah berapa generasi, dari simbah saya, orang tua saya, hingga kemudian diwariskan kepada saya.” demikian Sarman (55 tahun) pemilik lahan kebun itu menjelaskan.

 

Sangat disayangkan kepedulian dari pemerintah daerah Wonosobo maupun aparat desa setempat sangat kurang. Padahal selain untuk melestarikan benda-benda purbakala, hematnya tempat ini bisa menjadi satu destinasi wisata baru di Wonosobo yang memang kaya dengan situs-situs kuno seperti ini.

 

“Hingga pada saatnya nanti, dari simpul-simpul situs yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Wonosobo kita bisa menarik benang sejarah Wonosobo yang sebenarnya.” papar Gusblero budayawan Wonosobo yang kebetulan ikut hadir di tempat itu.

 

Di dukuh Sawangan Tumenggungan Selomerto sendiri peninggalan kuno berupa alat gamelan terbuat dari batu bukan satu-satunya. Tak jauh dari lokasi tersebut, hanya terpisah sekitar lima ratus meter terdapat juga situs berupa dua arca tengah bersemedi.

 

Terlepas dari segala fenomena tentang keanehan yang sering terjadi di lokasi-lokasi tersebut, mestinya pemerintah daerah Wonosobo lebih berperan aktif untuk ikut merawat heritage warisan nusantara yang ada.

 

Note : liputan ini dimuat di Harian SUARA MERDEKA dan Harian WONOSOBO EKSPRES, Selasa 25 Oktober 2016

Maharani Shima

sima11

 

Shima, Sihma, atau sering dituliskan sebagai Sima, adalah putri seorang pendeta di wilayah Sriwijaya. Ia dilahirkan tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut Musi Banyuasin. Tahun 628 ia dipersunting oleh pangeran Kartikeyasingha yang merupakan keponakan dari kerajaan Melayu Sribuja. Menyeberangi laut Jawa, melewati pantai utara Jepara, ia kemudian diboyong ke daerah yang dikenal sebagai wilayah Adi Hyang (Leluhur Agung), atau Dieng sekarang. Di sinilah kemudian Shima, sebagai pemeluk Hindu Syiwa yang taat, kemudian tinggal.

 

Ayah Kartikeyasingha adalah Raja Kalingga yang memerintah antara tahun 632-648 M. Tahun 648 M ketika ayahandanya wafat, Kartikeyasingha naik tahta dan memerintah sampai tahun 674 M. Mulai saat itulah peran permaisuri Shima dalam politik mulai kelihatan.

 

Perkawinan Kartikeyasingha dengan Shima melahirkan dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara). Lalu untuk mempererat persahabatan dengan kerajaan Galuh Purba, yang wilayahnya sampai di sekitar perbatasan sungai Ci Serayu, mereka kemudian menjodohkan anaknya yang bernama Parwati dengan Amara (Mandiminyak), anak Raja Galuh Wretikandayun .

 

Saat Kartikeyasingha wafat tahun 674, Shima mengambil alih posisi suaminya sebagai raja sampai dengan tahun 695 M dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Menurut sejarah, Ratu Shima, yang telah menjadi janda itu, kemudian sempat dipinang oleh Sri Jayanasa raja Sriwijaya, namun Ratu Sima menolaknya. Ia tidak bisa mentolerir sikap kerajaan Sriwijaya yang telah melakukan ekspansi besar-besaran menyerbu Melayu Sribuja, kerajaan kakak mertua sang ratu.

 

Karena alasan itu pada tahun 686 Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Mengetahui rencana ini, Tarusbawa, raja Sunda, turun tangan dan mengirim surat kepada Sri Jayanasa bahwa ia tidak setuju dengan rencana itu. Alasannya adalah agar jangan timbul kesan bahwa gara-gara pinangannya ditolak oleh Ratu Sima, maka Sri Jayanasa hendak menyerbu Kalingga. Mau tak mau Sri Jayanasa terpaksa menyetujui usul Tarusbawa, yang juga adalah saudaranya sendiri. Kapal-kapal Kalingga, yang waktu itu sempat ditahan, dilepaskan setelah hartanya dirampas. Tindakan Sriwijaya hanya sekedar mengganggu keamanan laut Kalingga.

 

Sri Jayanasa Raja Sriwijaya mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704). Sedangkan Ratu Shima mangkat 3 tahun kemudian, yaitu tahun 695 M. Sebelum mangkat, Kerajaan Kalingga dibagi dua. Di bagian utara disebut Bumi Mataram (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M). Di bagian selatan disebut Bumi Sambara (dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala, 695 M-742 M).

 

Sanjaya (cucu Parwati) dan Sudiwara (cucu Narayana) kelak menjadi suami isteri. Perkawinan mereka adalah perkawinan antara sesama cicit Ratu Sima. Anak hasil perkawinan mereka bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.

 

Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Kalingga sehingga membuat Raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran. Masa-masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama Budha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Budha).

 

Dalam hal bercocok tanam Ratu Shima juga mengaudopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang sistem pengairan yang diberi nama Subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian melahirkan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan cara bertani atau bercocok tanam.

 

Kerajaan Kalingga beratus tahun yang lalu bersinar terang emas penuh kejayaan. Memiliki Maharani Sang Ratu Shima nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di banyak negeri. Pamor Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadap muka dengannya, apalagi menantang. Situasi ini justru membuat Ratu Shima amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.

 

Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan menukarkan posisi pejabat penting di lingkungan istana. namun puluhan pejabat yang digantikan ditempat yang tak diharap, maupun yang dipensiunkan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sanghyang Maha Wenang.

 

Berita tentang Ratu Shima yang adil beserta negerinya yang makmur dan rakyatnya yang jujur telah terdengar sampai China dan sampai di telinga Raja Ta-che. Raja Ta-che penasaran kenapa kerajaan Holing (Kalingga) bisa begitu terkenal akan kejujurannya hingga sampai terdengar di China yang terbilang sangat jauh dari Jawa. Akhirnya Raja Ta-che ingin membuktikan kebenaran dari kejujuran rakyat Kalingga.Ia pun mengirim utusann untuk membuktikan hal itu. Utusan Raja Ta-che diperintah untuk menaruh pundi-pundi emas secara diam-diam di tengah jalan dekat keramaian pasar. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga sampai tiga tahun pundi-pundi itu ternyata tetap di tempat semula tak ada yang menyentuh apalagi memindahkannya.

 

Hingga suatu hari anak tertua dari Ratu Shima saat berjalan melewati pasar, tak sengaja kakinya menyenggol pundi-pundi tersebut. Salah seorang (pengawas utusan) melihat kejadian tersebut, lalu melaporkan kepada pemerintah kerajaan akan kejadian tersebut. Segera setelah mendapatkan laporan tersebut Ratu Shima langsung memerintahkan hukuman mati kepada pelakunya, yang tak lain adalah anaknya sendiri.

 

Beberapa Patih kerajaan tidak setuju dengan keputusan Ratu Shima. Mereka mengajukan pembelaan untuk Sang Putra Mahkota. Pembelaan mereka yaitu, Sang Putra Mahkota menyenggol pundi-pundi tersebut karena tidak sengaja dengan kakinya, maka lebih baik cukup kakinya saja yang dipotong, tidak perlu dihukum mati karena tidak ada unsur kesengajaan.

 

Setelah melalui perdebatan yang panjang, Ratu Shima menyetujui pembelaan dari Patih kerajaan. Sang Putra Mahkota pun akhirnya hanya dihukum potong jari dari kaki yang telah menyenggol pundi-pundi tersebut. Akhirnya uusan Raja Ta-che kembali ke china setelah melihat kebenaran tentang adilnya Ratu Shima yang mau menghukum anaknya yang telah melakukan kesalahan dan kejujuran rakyat Holing (Kalingga) yang benar-benar luar biasa.

 

Catatan tentang kerajaan Kalingga bisa dirunut dalam Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti ini bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Dalam Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Serayu (Sarayu, dalam bahasa Devanagari atau Kota Dewa) adalah sungai kuno yang mengalir di daerah yang kini disebut Uttar Pradesh di India. Sungai ini merupakan satu dari tujuh mata air yang disucikan (sungai Gangga, sungai Sindhu, sungai Saraswati, sungai Wipasa, sungai Kausika, sungai Yamuna, dan sungai Serayu).

 

Sungai Sarayu di India juga memainkan peran penting untuk kota dan kehidupan Ayodhya, dan menurut wiracarita Hindu Ramayana, sungai ini adalah tempat Rama, Awatara ketujuh Wishnu memasukkan dirinya untuk kembali ke bentuk abadinya, bentuk Mahawisnu ketika ia mengundurkan diri dari tahta Kosala. Sarayu juga merupakan sungai, dimana tepinya adalah tempat Raja Rama lahir.

 

Menurut para sejarahwan candi dieng dibangun pada abad ke-7 Masehi. Perintah membangun candi diberikan oleh Ratu Shima dari Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga. Tujuannya sebagai tempat pemujaan. Ratu Shima juga mendirikan beberapa candi lain di kawasan Dieng, seperti Candi Gatotkaca di bukit Pangonan, Candi Dwarawati di kaki Gunung Prahu, dan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di Dieng. Candi-candi yang berada di luar kompleks tersebut pada umumnya terletak menyendiri dan dikelilingi pepohonan.

 

Apabila melihat dari namanya, Kerajaan Kalingga kemungkinan didirikan oleh sekelompok orang India yang mengungsi dari sebelah timur India ke Nusantara. Dugaan ini didasarkan pada laporan tentang penghancuran daerah Kalingga di India Raja Harsja. Orang Kalingga yang tersisa melarikan keluar negeri. Mereka berasal Orrisa yang kerajaannya dihancurkan oleh maharaja Asoka.

 

Kalingga di India adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaannya. Negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang secara dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma. Kesejarahan semacam inilah yang nampaknya atau mungkin saja mengilhami Maharani Ratu Shima dalam mengatur pemerintahannya saat itu.

Yogyakarta, 17 Oktober 2016

BULBUL

gusblero©2013
.

hai burung burung bulbul

rambutnya gaya jambul

menari mumbul-mumbul

hidupnya bagai ngibul
.

hai burung burung bulbul

si manis dari stambul

siang hari bersiul-siul

malamnya duit ngumpul
.

bulbul yeah yeah

bulbul yeah yeah
.

inilah gambaran kisah yang ada dijaman yang amburadul

banyaknya orang-orang bertingkah laku seperti bulbul

Memahami Budaya

14520613_10207644960586368_5563291212941704022_n

BULAN MUHARAM atau bulan Suro dalam kalender masyarakat Jawa senantiasa dimeriahkan dengan berbagai ritual. Bukan hanya yang bersifat nguri-nguri tradisi ngumbah keris, nyuwargakake luhur, mesu raga matek ilmu ngolah kasampurnan, dan segala tetek-bengeknya, bulan Suro sering disifati secara personal sebagai ‘pintu’ terbukanya channel gaib untuk serangkaian tujuan yang secara galib susah diwujudkan.

Anda yang bukan ‘Jawis’ jangan keburu alergi dengan local wisdom habit seperti ini. Kalau ditelisik lebih jauh, semua tindakan yang dilakukan itu bukannya tanpa dasar. Seperti kita ketahui, landasan kearifan lokal masyarakat Jawa berasal dari ‘titen’, ‘tengara’, ilmu pengamatan yang kemudian menjadi serangkaian pedoman manusia Jawa dalam menjalani hidup. Bagaimana ia harus bersikap terhadap alam, bagaimana ia harus menjaga laku ‘mestakung’, semesta mendukung, agar jagat makro tidak menjadi liar dan hilang kendali.

Dan tentang apa yang disebut ilmu ‘titen’ itu, sejatinya juga bukan ilmu fiksi, ilmu karangan. Justru disebut ‘titen’ itu karena fenomena sama telah terjadi dan terus berulang pada waktu alam memberikan tanda yang sama dari waktu ke waktu sebelum dan pada saat kemunculannya. Contoh simpel, ketika kera, macan, ular dan segala macam binatang turun gunung, pastilah akan terjadi sesuatu dengan puncak gunung.

Itu contoh ‘titen’ terhadap perilaku biotik dan abiotik di sekitar lingkungan. Tengara atau ‘titen’ terhadap waktu pun ada rumus-rumusnya sendiri. Walaupun simbah-simbahnya terlihat ‘wangkot’ keras kepala kalau diajak merumuskan segala sesuatu dengan logika, namun dalam prinsip hidup para ‘Jawis’ kolot ini bukan asal-asalan memasukkan unsur ‘titen’ dalam ilmu antropologinya.

Bulan Suro atau bulan Muharam dalam kalender Islam, adalah waktu dalam kurun sebulan yang ditandai oleh banyak penghayat kehidupan sebagai waktu-waktu datangnya pertolongan Allah untuk segala hal yang selama ini didambakan.

Sekadar melembutkan ingatan misalnya Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit, Nabi Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya sesudah bumi ditenggelamkan selama 6 bulan, Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud, Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa, Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara, Penglihatan Nabi Yakub yang kabur dipulihkkan Allah, Nabi Ayyub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritainya, Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam, Laut Merah terbelah dua untuk menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari tentera Firaun, Kesalahan Nabi Daud diampuni Allah, Nabi Sulaiman dikaruniakan Allah kerajaan yang besar, Nabi Isa diangkat ke langit, dan beberapa kejadian lainnya semuanya terjadi di bulan Suro, bahkan lebih gila lagi, tepat tanggal 10 Muharam.

Kalau sudah begitu, apa iya salah orang menandai Suro sebagai waktu-waktu spesial bagi mereka-mereka yang memiliki kebutuhan khusus dalam hidupnya. Bahkan dalam sebuah kitab klasik karangan Imam Yusuf bin Hasan bin Abd al-Hadi al-Maqdisi ad-Dimasyqi al-Hanbali yang berjudul ‘Ma’arif al-In’am wa Fadhl as-Syuhur wa al-Ayyam’ juga mengungkapkan fakta lain, bahwa ternyata semut (binatang) pun berpuasa pada tanggal 10 Muharam.

Suatu ketika, Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Qadir Billah, terheran dengan semut yang enggan memakan roti pemberiannya, padahal sudah tiap hari kebiasaan itu ia lakukan. Tapi entah mengapa pada siang hari itu roti-roti yang ia berikan masih utuh. Ia pun lantas menanyakan kejadian aneh itu kepada para penasehatnya. Mereka menjawab, alasan semut tidak menyantap roti tersebut lantaran hari itu adalah 10 Muharam. Kisah yang sama juga pernah dicermati oleh seorang alim, Fath bin Syukhruf. ”Roti yang tiap hari aku berikan kepada semut, tidak mereka makan ketika 10 Muharam,” katanya.

Tindakan semut ini, bagi yang sudah mempelajari ‘Daqoiqul Akhbar’ kitab kejadian, konon didasari pengenalan isi alam semesta yang diciptakan pada bulan Muharam. Ajibnya, tanggal 10 Muharam juga. Itu adalah hari pertama Allah menciptakan alam, hari pertama Alllah menurunkan rahmat, hari pertama Allah menurunkan hujan, Allah menjadikan ‘Arasy, Allah menjadikan Luh Mahfuz, Allah menjadikan alam, Allah menjadikan Malaikat Jibril, dan hari saat nabi Adam bertaubat kepada Allah.

Nah, mumpung 10 Muharam belum kelewat dan waktunya juga sudah dekat. Tidak ada salahnya kita meniru kearifan semut, kearifan simbah-simbah, kearifan alam semesta dalam menyambut kedatangannya. Sebagai ‘tamu khusus’ manfaatkan waktu 10 Muharam untuk hal-hal yang ‘khusus’ pula. Tidak usah takut bayangan di-bid’ah-bid’ah-ke, sepanjang yang kita imani bukan tindakan khurafat bin takhayul binti bukhul.

Salam kemerdekaan Maiyah!

Gusblero, 5 Oktober 2016

Catatan : tulisan ini sebagai pengantar penyelenggaraan jilid tujuh KAFILAH SYAFA’AT Lingkar Maiyah Wonosobo, Senin Pon 10 Oktober 2016, Pukul 20.00 WIB – selesai, di Warung Esem (Suara Merdeka) Jl. Veteran 31 Sudagaran Wonosobo.