Surah Maryam 1 – 1

gusblero_sirrul asrar

ALLAH LEBIH TAHU perkara keindahan yang sebenarnya. ALLAHU A’LAMU BIMURADIHI, Allahlah yang lebih tahu apa maksudnya. Betapa begitu indahnya Ia mengulang kisah saat Kanjeng Nabi Zakaria memohon kepada-Nya. Dengan berbisik sangat lembut, yang menggambarkan bahkan tak satu pun Malaikat nyaris bisa memahami isyaratnya.

 

Bagaimana seorang Rasul yang telah renta, hendak mengemukakan suatu permohonan yang bagi orang lain mungkin dianggap lucu. Yaitu memohon keturunan dalam usia yang menurut setengah riwayat waktu itu telah mencapai 90 tahun. Dengan kondisi Isya binti Faqudza, istrinya, dikatakan telah mandul pula.

 

WA LAM AKUM BIDUÁIKA RABBI SYAQIYYA. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.

 

Kalimat-kalimat Kanjeng Nabi Zakaria yang pasrah dan merintih itu, jika didengar seluruh alam semesta, pasti akan bisa meluluh lantakkan gunung dan benua dalam keharuan munajat yang disampaikannya.  Core of the core, puncaknya roja’ dan khauf.

 

FAHAB LI MIN LADUNKA, maka berilah aku dari sisi-Mu.

 

Kalimat-kalimatnya runtut dan takdzim. Jika bukan karena Kehendak Allah, tujuh samudera sekalipun rasa-rasanya tak akan pernah sampai untuk menuliskan kalimat-kalimat ini.

 

Kalimat-kalimat yang kemudian diabadikan oleh Allah sendiri dalam Al Qurán. Tentang kepasrahan seorang Nabiyullah yang memohon dengan harap-harap cemas disebabkan mengetahui bahwa Allah sendiri adalah pewaris yang lebih baik dari segala pewaris.

 

Subhanallah. Istajib lana Ya Allah. Istajib lana Amin Yaa Mujiibus Sailin. Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah mengabulkan permohonan hamba-Mu yang terpilih.

 

  1. kaf hā yā ‘aīn ṣad, Kaf Ha Ya ‘Ain Shad

 

  1. żikru raḥmati rabbika ‘abdahu zakariyyā, Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria

 

  1. iż nādā rabbahu nida`an khafiyyā, (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut

 

  1. qāla rabbi innī wahanal-‘aẓmu minnī wasyta’alar-ra`su syaibaw wa lam akum bidu’a`ika rabbi syaqiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku

 

  1. wa innī khiftul-mawāliya miw wara`ī wa kānatimra`atī ‘āqiran fa hab lī mil ladungka waliyyā, Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu

 

  1. yariṡunī wa yariṡu min āli ya’quba waj’al-hu rabbi raḍiyyā, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Yakub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.”

 

  1. yā zakariyya innā nubasysyiruka bigulāminismuhu yaḥyā lam naj’al lahu ming qablu samiyyā, (Allah berfirman), “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.”

 

  1. qāla rabbi annā yakunu lī gulāmuw wa kānatimra`atī ‘āqiraw wa qad balagtu minal-kibari ‘itiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua?”

 

  1. qāla każālik, qāla rabbuka huwa ‘alayya hayyinuw wa qad khalaqtuka ming qablu wa lam taku syai`ā, (Allah) berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

 

  1. qāla rabbij’al lī āyah, qāla āyatuka allā tukalliman-nāsa ṡalāṡa layālin sawiyyā, Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” (Allah) berfirman, “Tandamu ialah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat.”

 

  1. fa kharaja ‘alā qaumihī minal-miḥrābi fa auḥa ilaihim an sabbiḥu bukrataw wa ‘asyiyyā, Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang

 

 

Wonosobo, 2 Nopember 2019

TAN JIN SING, Orang Wonosobo, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

Tan Djing Sin_gusblero_3

 

SEBUAH POSTINGAN tweeter menggelitik saya: “Sebenarnya Tan Jing Sin (1760-18310, BUKAN Raffles, sebagai penemu Candi Borobudur. Gubernur Jendral Raffles, takkan tercatat dlm sejarah sebagai penemu Borobudur, jika Pimpinan Tionghoa sekaligus Bupati Jogja bernama Tan Jing Sin tak menunjukkan jalan menuju Candi Borobudur.” (@Azmiabubakar12 , tweet 7 Sep 2019).

 

Berbekal postingan itu saya kemudian melacak history terkait itu. Dan ini hasilnya:

 

Pada 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

 

Saat itu, Raffles mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd.

 

Tan Jin Sing kemudian menyampaikan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil. Demikian ditulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.

 

Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan.

 

Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. Kata Paimin namanya candi Borobudur, tulis Werdoyo.

 

Kondisi candi saat itu menyedihkan. Ditumbuhi tanaman dan bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali.

 

Borobudur tempo dulu

 

Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha.

 

“Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo.

 

Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia.

 

Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro.

 

Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813.

 

Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan.

 

Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro.

 

Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.”

 

Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius.

 

Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan.

 

Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat.

 

Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

 

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing yang kemudian terkenal sebagai Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu?

 

Tan Djing Sin_gusblero_1

 

Menyebut nama Kapitan Tan Jin Sing bisa jadi sebagian kita banyak yang tidak mengenalnya. Namun  bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya Tan Jin Sing adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Menilik dari sejarahnya, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.

 

Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.

 

Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Ternyata salah, Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.

 

Dalam riwayatnya Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau lebih dikenal dengan panggilan Bah Teng Long.  Namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.

 

Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.

 

Pendapat ini merujuk dari silsilah Bupati Banyumas Raden Tumenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.

 

Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Raden Ayu Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.

 

Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada Raden Ayu Patrawijaya agar diperkenankan mengasuh dan membesarkan Raden Luwar.

 

Tan Djing Sin_gusblero_6

 

Singkat cerita permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari Raden Ayu Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.

 

Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan Raden Ayu Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya Raden Ayu Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.

 

Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.

 

Tan Djing Sin_gusblero_5

Para Pemimpin Kabupaten Wonosobo

Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Mahkota Raja jaman dulu

Kabupaten Wonosobo sesungguhnya merupakan penerus kejayaan kraton Majapahit. Rajanya bernama Prabu Brawijaya V 1448 – 1478. Prabu Brawijaya V menikah dengan Ratu Wandan Kuning, putri Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Dari pernikahan ini lahir Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.

Setelah dewasa Raden Bondan Kejawan dijodohkan dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan Raden Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih ini lahir tiga putra, yaitu Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendawa dan Nyi Ageng Ngerang.

Sebetulnya Ki Ageng Tarub merupakan anak dari Syekh Magribi. Ibunya adalah Dewi Rasawulan, putri Bupati Wilwatikta Tuban. Dengan demikian Ki Ageng Wonosobo itu cucu langsung Ki Ageng Tarub. Jadi Ki Ageng Wonosobo masih trahing kusuma rembese madu.

Keturunan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng menjadi orang penting dalam sejarah Jawa. Tiga bersaudara selalu berperan dalam perjuangan kraton Demak Bintara, Pajang, dan Mataram. Keturunan Ki Ageng Wonosobo yang menonjol ditunjukkan oleh Ki Ageng Juru Martani. Keturunan Ki Ageng Getas Pendawa diperankan oleh Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan Ki Ageng Ngerang diwakili oleh Ki Ageng Penjawi.

Nama kecil Ki Ageng Wonosobo adalah Syekh Ngabdullah Al Akbar. Ki Ageng Wonosobo menikah dengan Dyah Plobowangi, putri Demang Selomerto. Kediaman Dyah Plobowangi ini terkenal dengan sebutan Plobangan Selomerto. Atas usul Ki Demang Selomerto, daerah yang selama ini dipimpin dinamakan Wonosobo.

Kademangan Wonosobo makin maju. Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Status Kabupaten Wonosobo waktu itu masih dalam pembinaan kerajaan Demak Bintara. Wajar sekali pendirian daerah pemekaran harus diampu oleh kekuasaan induk. Posisi itu tetap berlangsung setelah bergesernya kekuasaan dari Demak, Pajang, Mataram dan Kraton Surakarta Hadiningrat.

Dan urutan Pemimpin Kabupaten Wonosobo versi Dr. Purwadi SS, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), sebagi berikut:

1. Tumenggung Adipati Wonosobo I, 1489-1529. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Raden Patah.

2. Tumenggung Adipati Wonosobo II, 1529-1540. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Adipati Unus.

3. Tumenggung Adipati Wonosobo III, 1540-1582. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Sultan Trenggono.

4. Tumenggung Adipati Wonosobo IV, 1582-1607. Dilantik pada jaman kerajaan Pajang. Rajanya Sultan Hadiwijaya.

5. Tumenggung Adipati Monconagoro I, 1607-1647. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Prabu Hadi Hanyakwati.

6. Tumenggung Adipati Monconagoro II, 1647-1670. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

7. Tumenggung Adipati Monconagoro III, 1670-1699. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

8. Tumenggung Adipati Monconagoro IV, 1699-1712. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Amral.

9. Tumenggung Adipati Monconagoro V, 1712-1728. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana I.

10. Tumenggung Adipati Wonokusumo I, 1728-1750. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana II.

11. Tumenggung Adipati Wonokusumo II, 1750-1790. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana III.

12. Tumenggung Adipati Wonokusumo III, 1790-1821. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IV.

13. Tumenggung Adipati Wonokusumo IV, 1821-1825. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana V.

14. Tumenggung Adipati Setjonagoro 1825-1832. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VI.

15. Tumenggung Adipati R Mangunkusumo 1832-1857. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

16. Tumenggung Adipati R Kertonegoro 1857-1863. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

17. Tumenggung Adipati Tjokroadisoerjo 1863-1869. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

18. Tumenggung Adipati Suryohadikusuma, 1889-1898. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

19. Tumenggung Adipati R Suryohadinagoro, 1898-1919. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

20. Tumenggung Adipati RA Sosrohadiprojo, 1919–1944. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

21. Tumenggung Adipati Singgih Hadipuro, 1944-1946. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana XI. Patihnya RMAA Sosrodiningrat yang menjadi anggota BPUPKI.

22. R Soemindro, 1946-1950. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

23. R Kadri, 1950-1954. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

24. R Omar Soerjokoesoemo, 1954-1955. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

25. R Sangidi Hadisoetirto, 1955-1957. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

26. Rapingoen Wimbohadi Sedjono, 1957-1959. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

27. R Wibowo Helly, 1960-1967. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

28. Drs. Darodjat AWS, 1967-1974. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

29. R Mardjaban 1974-1975. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

30. Drs. Soekamto 1975-1985. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

31. Drs. Poedjihardjo 1985-1990. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

32. Drs. H Soemadi 1990-1995. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

33. Drs. H Margono 1995-2000. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

34. Drs. Trimawan Nugrohadi, 2000-2005. Dilantik pada jaman Presiden Abudurrahman Wahid.

35. Drs. H. Abdul Khaliq Arif, 2005-2015. Dilantik jaman Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

36. Eko Purnomo SE. MM., 2016-2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

37. H. Afif Nurhidayat S.Ag, menjabat sejak 2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

Source: https://arbaswedan.id/sejarah-kabupaten-wonosobo/