Bada-al Islamu ghariiban wa saya’uudu ghariiban kamaa bada-a Fathuuba lil ghurabaa`
Dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut)”. [H.R.Muslim]
Seorang sahabat bertanya: “Siapakah orang asing itu wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka adalah orang-orang shalih yang sedikit jumlahnya di kalangan manusia yang ramai. Orang-orang yang menyelisihi mereka lebih ramai daripada orang-orang yang mengikut mereka.” (HR. Ahmad, Thabrani dan Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan: ”Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang dirusak manusia.”
Islam dimulai dalam keadan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
Kemudian Islam mulai tersebar dan orang-orang masuk (Islam) dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain. Dan Islam akan kembali asing di akhir zaman, sebagaimana awal kemunculannya. Ia tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka asing.
Yang dimaksud asing bukan berarti mereka jauh dari negeri asalnya ibarat orang asing, tetapi mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan istiqamah terhadapnya.
Al-Ghuraba adalah orang-orang yang Hijrah dari segala bentuk kemusyrikan yang kotor, melaksanakan titah perintah Allah justru disaat sebagian besar masyarakat menyerah dan berkompromi dengan kejahiliyahan.
Sikap anti komprominya dengan kemusyrikan dan kejahiliyahan membuat Al-Ghuraba juga berhijrah dari mayoritas yang kehilangan prinsip (Islam) yang rahmatan lil ‘alamin, menyempal dari arus mainstream hingga menempatkannya menjadi orang Islam yang terasing dan diasingkan.
Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba’ adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba’ yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.
Mereka adalah orang-orang yang mengikuti firman Allah: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka (hijrah) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil 10). “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am 116).
Sungguh merekalah orang-orang yang Istiqomah dalam berkeyakinan dan bersikap, dan Allah member kabar gembira bagi mereka. Sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW: “Ada satu golongan dari umatku yang akan selalu berada di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.” (HR Muslim, no. 1920)
Laisal gharibu huwalladzi faraqad diyara wadda’al aan
Walakinnal ghariba huwalladzi yajiddu wan naasu min haulihi yal’abun
Wa yash-hu wan naasu min haulihi yanaamun
Wa yasluku darbal khairi wan naasu fii dhalalihim yatakhaththathun
Bukanlah orang asing itu mereka yang berpisah dari negeri mereka dan mengucapkan selamat tinggal sekarang
Tapi orang asing itu ialah mereka yang tetap serius dikala manusia di sekelilingnya asyik bermain-main
Dan tetap terbangun ketika manusia disekelilingnya asyik tidur dengan lenanya
Dan tetap mengikuti jalan lurus dikala manusia dalam kesesatannya tenggelam
tanpa arah
Wa shadaqasy syaa’iru idz yaquul:
Qaala lii shahiibun araaka ghariiba
Baina haadzal anaami duuna khaliili
Qultu, kalla! Balil anaamu ghariibun, ana fii ‘aalami wa haadzihi sabiilii
Haadza huwal ghariib: Ghariibun ‘indal ‘aabitsiina minal basyar
Walakinnahu ‘inda rabbih, fii maqaamin kariim
Dan betapa benarnya sebuah syair ketika dia berkata
Berkata kepadaku para sahabat, ‘aku melihatmu sebagai orang asing’
Di antara orang banyak ini engkau tanpa teman dekat
Maka aku berkata, sekali-kali tidak! Bahkan orang banyak itulah yang asing, sedang aku berada di kehidupan dan inilah jalanku
Inilah orang asing itu
Asing di sisi mereka yang hidup sia-sia di antara manusia
Tetapi disisi Rabb-nya, mereka berada di tempat yang mulia
Ghurabaa` wa li ghairillaahi laa nahnil jibaa
Ghurabaa` war tadhainaa haa syi’aaran lil hayaah
Orang-orang yang terasing dan diasingkan, dan kepada selain Allah mereka takkan menunduk.
Orang-orang yang terasing dan diasingkan, dan mereka rela terasing sebagai syi’ar dalam kehidupan
Qaala Rasulullahi Shallallaahu ‘alaihi was Sallam, Bada-al Islamu ghariiban wa saya’uudu ghariiban kamaa bada-a Fathuuba lil ghurabaa`
Bersabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing.
KAJIAN BAHASA
- Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
- Makna kalimat ” bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]” : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
- Makna kalimat ” fa thuuba lil ghurabaa’ [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut) ] ” : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu ‘ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni’ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.
Gusblero Free