Orang Islam Yang Terasing dan Diasingkan

gusblero - ghuraba1

 

Bada-al Islamu ghariiban wa saya’uudu ghariiban kamaa bada-a Fathuuba lil ghurabaa`

 

Dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut)”. [H.R.Muslim]

 

Seorang sahabat bertanya: “Siapakah orang asing itu wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka adalah orang-orang shalih yang sedikit jumlahnya di kalangan manusia yang ramai. Orang-orang yang menyelisihi mereka lebih ramai daripada orang-orang yang mengikut mereka.” (HR. Ahmad, Thabrani dan Baihaqi).

 

Dalam riwayat lain disebutkan: Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang dirusak manusia.

 

Islam dimulai dalam keadan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.

 

Kemudian Islam mulai tersebar dan orang-orang masuk (Islam) dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain. Dan Islam akan kembali asing di akhir zaman, sebagaimana awal kemunculannya. Ia tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka asing.

 

Yang dimaksud asing bukan berarti mereka jauh dari negeri asalnya ibarat orang asing, tetapi mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan istiqamah terhadapnya.

 

Al-Ghuraba adalah orang-orang yang Hijrah dari segala bentuk kemusyrikan yang kotor, melaksanakan titah perintah Allah justru disaat sebagian besar masyarakat menyerah dan berkompromi dengan kejahiliyahan.

 

Sikap anti komprominya dengan kemusyrikan dan kejahiliyahan membuat Al-Ghuraba juga berhijrah dari mayoritas yang kehilangan prinsip (Islam) yang rahmatan lil ‘alamin, menyempal dari arus mainstream hingga menempatkannya menjadi orang Islam yang terasing dan diasingkan.

 

Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba’ adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba’ yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.

 

Mereka adalah orang-orang yang mengikuti firman Allah: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka (hijrah) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil 10). “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am 116).
Sungguh merekalah orang-orang yang Istiqomah dalam berkeyakinan dan bersikap, dan Allah member kabar gembira bagi mereka. Sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW: “Ada satu golongan dari umatku yang akan selalu berada di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.” (HR Muslim, no. 1920)

 

Laisal gharibu huwalladzi faraqad diyara wadda’al aan
Walakinnal ghariba huwalladzi yajiddu wan naasu min haulihi yal’abun
Wa yash-hu wan naasu min haulihi yanaamun
Wa yasluku darbal khairi wan naasu fii dhalalihim yatakhaththathun

 

 

Bukanlah orang asing itu mereka yang berpisah dari negeri mereka dan mengucapkan selamat tinggal sekarang
Tapi orang asing itu ialah mereka yang tetap serius dikala manusia di sekelilingnya asyik bermain-main
Dan tetap terbangun ketika manusia disekelilingnya asyik tidur dengan lenanya
Dan tetap mengikuti jalan lurus dikala manusia dalam kesesatannya tenggelam
tanpa arah

 

Wa shadaqasy syaa’iru idz yaquul:
Qaala lii shahiibun araaka ghariiba
Baina haadzal anaami duuna khaliili
Qultu, kalla! Balil anaamu ghariibun, ana fii ‘aalami wa haadzihi sabiilii
Haadza huwal ghariib: Ghariibun ‘indal ‘aabitsiina minal basyar
Walakinnahu ‘inda rabbih, fii maqaamin kariim

 

Dan betapa benarnya sebuah syair ketika dia berkata
Berkata kepadaku para sahabat, ‘aku melihatmu sebagai orang asing’
Di antara orang banyak ini engkau tanpa teman dekat
Maka aku berkata, sekali-kali tidak! Bahkan orang banyak itulah yang asing, sedang aku berada di kehidupan dan inilah jalanku
Inilah orang asing itu
Asing di sisi mereka yang hidup sia-sia di antara manusia
Tetapi disisi Rabb-nya, mereka berada di tempat yang mulia

 

Ghurabaa` wa li ghairillaahi laa nahnil jibaa
Ghurabaa` war tadhainaa haa syi’aaran lil hayaah

 

Orang-orang yang terasing dan diasingkan, dan kepada selain Allah mereka takkan menunduk.

Orang-orang yang terasing dan diasingkan, dan mereka rela terasing sebagai syi’ar dalam kehidupan
Qaala Rasulullahi Shallallaahu ‘alaihi was Sallam, Bada-al Islamu ghariiban wa saya’uudu ghariiban kamaa bada-a Fathuuba lil ghurabaa`

 

Bersabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing.

 

 

KAJIAN BAHASA

  1. Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
  2. Makna kalimat ” bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]” : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
  3. Makna kalimat ” fa thuuba lil ghurabaa’ [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut) ] ” : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu ‘ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni’ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.

 

Gusblero Free

Ayat di Atas Bukit

 gusblero - bukit thursina1

Kisah berikut ini memang benar-benar nyata dan terjadi, karena Allah SWT sendirilah yang mengabarkan kepada kita melalui Al-Qur’an.

 

Setelah menyempurnakan puasa selama 40 hari dan beribadah sendirian di atas bukit Sinai (Thursina), Kanjeng Nabi Musa AS mendapatkan petunjuk-petunjuk Allah yang kemudian menjadi kitab Taurat.

 

Kanjeng Nabi Musa merasa bersyukur. Akan tetapi masih ada sesuatu yang mengguncang hatinya. Ia merasa sangat rindu (hasrat yang tak bisa lagi dipendam) untuk melihat wajah Sang Kekasih yang telah berkata-kata kepadanya, wajah Rabbnya.

 

“Dan tatkala Musa datang menurut waktu yang telah kami tentukan. Dan telah berfirman Rabbnya kepadanya, berkatalah ia, ya Rabb perlihatkanlah (dirimu) keapadaku, agar aku dapat memandang Engkau.

 

Berfirman Allah: Engkau sekali-kali tidak akan mampu melihatku, tetapi arahkanlah pandangan engkau ke gunung itu. Maka jika ia tetap pada tempatnya, niscaya engkau dapat melihatKu.”

 

Ibnu Abbas ra, sahabat Rasulullah SAW meriwayatkan bahwa Allah berfirman kepada Kanjeng Nabi Musa: “Pergilah engkau, dan lihatlah batu di atas puncak gunung itu, duduklah engkau di atas batu itu, kemudian Aku akan menurunkan bala tentara-KU kepadamu.”

 

Dan ketika telah sampai di puncak batu tersebut, maka Allah pun menurunkan bala tentaranya, para Malaikat hingga langit ketujuh, untuk menampakkan diri kepada Kanjeng Nabi Musa AS. Diperintahkan para Malaikat penghuni langit untuk menampakkan diri di hadapan Kanjeng Nabi Musa AS sambil mengeraskan suara tasbih, tahlil mereka, bagaikan suara petir yang menyambar-nyambar.

 

Kemudian para Malaikat penghuni langit kedua diperintahkan menampakkan diri, dengan warna dan bentuk yang beraneka ragam, mereka bersayap dan memiliki raut muka, diantaranya ada yang berbentuk seperti singa. Beriringan di hadapan Kanjeng Nabi Musa AS sambil mengeraskan suara-suara tasbihnya.

 

Mendengar teriakan-teriakan tersebut, Kanjeng Nabi Musa AS menggigil. Ia merasa ngeri dan kemudian berkata: Ya Rabb, sungguh aku menyesal atas permohonanku. Apakah engkau berkehendak untuk menyelamatkanku dari tempat ini?

 

Pimpinan dari kelompok Malaikat tersebut berkata: Hai Musa, bersabarlah atas apa yang engkau minta, apa yang engkau lihat ini baru sebagian kecil saja.

 

Allah SWT memerintahkan para penghuni langit ketiga turun. Lalu keluarlah Malaikat-malaikat yang tak terhitung jumlahnya dengan aneka ragam bentuk dan warnanya. Ada yang seperti api yang menjilat-jilat, mereka memekikkan tasbih, tahlil dengan suara hiruk pikuk menggelegar.

 

Kanjeng Nabi Musa semakin berputus asa. Ia mendengar pimpinan kelompok Malaikat itu berkata: wahai Musa, bersabarlah hingga engkau tidak akan sanggup lagi untuk melihatnya.

 

Kemudian penghuni langit keempat turun. Ada yang berbentuk seperti kobaran api yang menjilat-jilat, ada pula yang seperti salju. Dengan suara melengking mereka memekikkan tasbih dan tahlil.

 

Maka demikianlah para penghuni dari setiap langit turun satu demi satu. Semua Malaikat tersebut bergerak maju sambil cahayanya menyambar semua mata yang ada. Mereka datang membawa tombak yang sangat panjang dan lebar. Tombak-tombak itu bagaikan api yang bersinar terang benderang melebihi sinar matahari.

 

Kanjeng Nabi Musa AS menangis dan meratap. Ya Rabb, ingatlah aku, jangan Engkau lupakan diriku. Aku adalah hamba-Mu. Aku tidak mempunyai keyakinan bahwa aku akan selamat dari tempat ini. Jika aku keluar maka aku akan terbakar, jika aku masih disini aku akan mati.

 

Pimpinan para Malaikat itu pun berkata: Nyaris dirimu dipenuhi ketakutan dan nyaris hatimu terlepas wahai Musa. Tempat yang engkau gunakan untuk duduk adalah tempat yang akan engkau pergunakan untuk melihat Rabbmu.

 

Kemudian turunlah Malaikat Jibril AS, Mikail AS dan Israfil AS, beserta seluruh Malaikat penghuni langit ketujuh, termasuk pemikul Al-Arsy dan Al-Kursy. Mereka secara bersama-sama menghadap kepada Nabi Musa sambil berkata: “Wahai orang yang terus menerus salah. Apa yang menyebabkanmu naik ke atas bukit ini. Mengapa engkau memberanikan diri meminta Rabbmu untuk dapat melihat Nya?” Nabi Musa as gemetar hingga kedua lututnya seakan-akan luruh dari persendian.

 

Ketika Allah SWT melihat itu, maka ditampakkanlah tiang-tiang penyangga Al-Arsy, lalu Kanjeng Nabi Musa AS bersandar pada salah satu tiang tersebut hingga hatinya tenang.

 

Malaikat Israfil berkata: Hai Musa, demi Allah, kami ini sekalipun pemimpin para Malaikat, sejak kami diciptakan kami tidak berani mengangkat pandangan mata kami ke arah Al-Arsy. Karena kami sangat khawatir dan sangat takut kepada Rabb. Mengapa engkau berani melakukan ini wahai hamba yang lemah?

 

Setelah hatinya tenang, Kanjeng Nabi Musa menjawab: Wahai Israfil, aku hanya ingin mengetahui akan Keagungan Wajah Rabbku yang selama ini aku belum pernah melihatnya.

 

Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada langit: Aku akan menampakkan Diri, bertajalli pada gunung itu.

 

Maka begetarlah seluruh langit dan bumi, gunung, matahari, bulan, mega, surga, neraka, para malaikat dan samudera. Semua bersungkur dalam sujud, sementara Kanjeng Nabi Musa masih memandang ke arah gunung itu.

 

Tatkala Rabbnya menampakkan diri di atas gunung, maka hancur luluhlah gunung itu dan Kanjeng Nabi Musa pun jatuh pingsan. Kanjeng Nabi Musa seakan-akan mati karena pancaran Cahaya Allah SWT yang Mulia dan ia terjatuh dari batu dan batu itu sendiri terjungkal terbalik menjadi semacam kubah yang menaungi Kanjeng Nabi Musa agar tidak terbakar Cahaya.

 

Kemudian Allah mengutus Malaikat Jibril AS untuk membalikkan batu itu dari tubuhnya. Wajah Kanjeng Nabi Musa AS memancarkan cahaya kemuliaan, dan rambutnya memutih karena cahaya.

 

“Maka setelah Musa tersadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku sungguh bertaubat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama kali beriman.” (QS. Al-A’raf).

 

Kanjeng Nabi Musa AS pun berkata,”Saya beriman, bahwa sesungguhnya tidak ada seorangpun yang mampu melihat-Mu ya Allah dengan mata lahir, kecuali ia akan mati.”

 

“Wahai orang yang terus menerus salah. Apa yang menyebabkanmu naik ke atas bukit ini. Mengapa engkau memberanikan diri meminta Rabbmu untuk dapat melihat Nya?”

 

 

Gusblero Free

Valentine Day, Kawan….OK

gusblero - penunggang gelombang

Cerita tentang cinta kasih, saya punya kisah yang akan jadi sejarah bagi hidup saya sendiri. Cerita tentang sebentuk perhatian yang saya maknai sendiri sebagai anugerah Allah dalam kehidupan ini.

 

Januari 2018 adalah bulan pertama anak saya kerja selepas lulus kuliah. Nothing special, langkah pertama dalam hidup dimulai. Saya hanya melihat anak saya bangun pagi, mandi, berangkat kerja, sore pulang, mandi, shalat, ngobrol sebentar seperti keseharian.

 

Saya tak pernah mempengaruhi ia harus menjalani hidup bagaimana, seperti apa, dan lain sebagainya. Kecuali satu hal, saya mengajarinya prinsip, laku utama dalam hidup.

 

Pebruari awal 2018, saya mulai sedikit kaget. Tangki motor butut saya penuh terisi bensin, tetapi saya lupa bertanya siapa yang sudah mengisinya. Lalu Selasa siang 6 Pebruari 2018 sebuah screenshot melayang via wa, saya ditransfer 500 ribu rupiah, dari anak saya.

 

Subhanallah wa Allahu Akbar. Itu pasti dari gaji anak pertama saya. Saya klarifikasi, dan benar. Saya bilang Isa ga perlu kirim-kirim, btw transferan itu akan tetap saya simpankan untuknya. Anak saya hanya membalas pendek, nggak apa-apa, itu untuk papa.

 

ITU UNTUK PAPA. Perhatikan kalimat ini, dan rasakan getarannya. Saya tidak akan mengatakan tentang jumlah, 500 ribu rupiah hari ini bisa besar bisa kecil. Tetapi yang terbesar adalah ia Isa, anak saya itu, menampakkan perhatiannya kepada orang tua, dan itu yang paling penting.

 

Dalam usia semuda itu, barangkali ia sadar betul pada hari-hari yang tak mudah kami lewati. Sampai di titik kuliah rampung dan dipercaya untuk diajak bekerja pada sebuah instansi pemerintahan adalah miracle. Keajaiban besar dalam kehidupan kami yang kecil.

 

Pebruari adalah bulan kasih sayang. Anda boleh silahkan terus untuk saling berdebat tentang makna Valentine di bulan Pebruari. Sementara itu biarkan saya tertunduk pada Kasih Sayang Allah yang memenuhi seluruh ruang-ruang persepsi dan imajinasi saya pada nilai-nilai spiritualitasi: Allah tengah tersenyum.

 

Dan itu cukup untuk menjelaskan, doa-doa saya selama ini tidak gagal, tetapi Ia telah mengaturnya. Bahkan seandainya seribu doa saya dicoret-Nya sekalipun, saya merasa anugerah kali ini masih begitu besarnya untuk kehampaan saya yang begitu kecil. Saya malu begitu malunya.

 

Ini hari kasih sayang. Semisal ini hari yang mujarab bagi terkabulnya sebuah pengharapan, maka sepenuhnya saya akan memohon agar Allah berkenan untuk terus membimbing, melindungi, memberikan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada anak-anak saya Isa Maulana Tantra, Ellia Sina, Suryo Atmojo Bonanza Raya.

 

Tak banyak yang saya bekalkan kepada Isa selama ini, kecuali menyingkirkan dendam, melupakan kepahitan, menahan diri, percaya dan mengimani pertolongan Allah.

 

Cukup tak cukup pada akhirnya Kehendak Allah juga yang terjadi. Begitulah saya berbagi sedikit kebahagiaan ini.

 

Jabat erat dan salam untuk semua…la haula wala quwwata illa billah Al Malikul Haqqul Mubin.

 

Gusblero Free, 14 Pebruari 2018

Kartu Kuning Ala Pesantren

gusblero - habib Luthfi bin Yahya_syekh Hisyam Kabbani1
Dalam tradisi pesantren, tindakan serupa tidak menghormati tamu, lebih buruk lagi merendahkannya, adalah sebuah perbuatan yang pasti akan diganjar dengan hukuman, atau berdampak dikeluarkan. Dikarenakan adab adalah juga adat, sebuah hukum yang memayungi martabat kehormatan pesantren.

Tulisan ini tidak akan membahas apa yang menjadi latar belakang seorang anak muda tiba-tiba dengan beraninya mengeluarkan kartu kuning untuk Presiden pada sebuah acara perhelatan resmi. Tulisan ini juga tidak akan menyebut nama anak muda tersebut, karena alasan yang lebih pokok agar tidak membekaskan kegundahan dikelak hari.

 

Akan tetapi satu hal pasti, seandainya saya adalah orang tua dari anak muda tersebut, saya tidak akan pernah merasa bangga sama sekali dengan apa yang telah dilakukannya. Saya juga tidak akan bertepuk tangan baginya untuk kehadirannya di beberapa tayangan televisi sebagai narasumber.

 

Adab di Atas Ilmu

Al adabu fauqal ‘ilmi, adab di atas ilmu. Ujung pencapaian dari sebuah ilmu itu adalah untuk membentuk seseorang yang berkarakter. Makna berkarakter dalam hal ini tentu saja memiliki adab, akhlak yang baik atau akhlakul karimah, ini selaras dengan tujuan Islam. Terkait soal akhlak ini, Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus (tidak lain) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (manusia).”

 

Anda boleh berhasil bahkan dengan tumpukan prestasi yang hampir menyamai gunung, Anda boleh mengumpulkan banyak harta hingga bisa menyelam di dalamnya. Akan tetapi hilangnya adab penghormatan kepada orang yang lebih tua, hilangnya rasa empati terhadap lingkungan sosial, akan menggambarkan kekurangan Anda sebagai orang yang berilmu.

 

Percuma orang kaya tidak beradab, percuma orang berilmu tidak beradab. Oleh karena sebab adab menjaga keselarasan dalam hubungan inter antar mahluk juga kemuliaan seorang manusia kemudian direpresentasikan.

 

Jika engkau tidak beradab sedangkan engkau berilmu, maka berarti ilmumu tidak bisa mendidikmu. Seseorang yang beradab padahal dia tidak berilmu maka itu lebih baik dibanding seorang yang berilmu tetapi tiada beradab. Jika ingin menyampaikan ilmu haruslah beradab, jika ingin menasihati haruslah beradab, jika ingin memberi teguran juga harus beradab, atau jika ingin memberi peringatan sekalipun haruslah dengan cara-cara yang disesuaikan dalam adab.

 

Kita bisa mencontoh tindakan utama para ulama. Walaupun muktabar dan dipenuhi keramat yang susah dijabar, mereka tetap menjaga adab dalam berkomunikasi dengan lawan bicara. Mereka tidak pernah arogan dalam bersikap, karena para ulama itu sadar betul sebagaimana Allah mengangkat derajat begitu mudahnya, sedemikian mudahnya pula bagi Allah untuk membalikkannya.

 

Negeri Yang Beradab

Diantara sila-sila yang menjadi dasar perikehidupan kita dalam  berbangsa dan bertanah air ada disebut-sebut tentang adab. Tetapi hari ini rumusan-rumusan tentang “per-adab-an” nampaknya sedang gagal kita pusakai sebagai nilai-nilai luhur, bahkan justru kemudian kita larut dalam hegemoni “peradaban” penuh kepentingan yang mengunggulkan nilai-nilai instan.

 

Sebagai orang tua yang memiliki anak dan akan hidup dimasa depan, kondisi ini sungguh membuat miris. Orang-orang muda akan terus berjuang hebat agar bisa merebut dan berada di tampuk kekuasaan. Sementara orang-orang tua juga akan terus meramu obat untuk menunjukkan keperkasaannya dengan kekuasaan yang begitu sempurna. Kesadaran tentang hilangnya adab dalam perjalanan negeri ini akan menjadi wujud ketidak sempurnaan paling sempurna yang akan membuat kita menyesal dan menangis.

 

Kembali ke topik awal. Kelakuan mahasiswa memberikan kartu kuning kepada seorang kepala negara dalam momentum  Dies Natalis UI ke 68 jelas tidak bisa dikategorikan sebagai sikap atau nalar kritisnya anak muda yang benar. Bahkan kelakuan itu sendiri tidak bisa dimasukkan sebagai sebuah tindakan yang bernalar.

 

Dalam tradisi pesantren, tindakan serupa tidak menghormati tamu, lebih buruk lagi merendahkannya, adalah sebuah perbuatan yang pasti akan diganjar dengan hukuman, atau berdampak dikeluarkan. Dikarenakan adab adalah juga adat, sebuah hukum yang memayungi martabat kehormatan pesantren. Barangkali ini sedikit perbedaan antara pesantren dengan institusi pendidikan seperti universitas yang lebih mengunggulkan prestasi dibanding pembangunan karakter manusia.

 

Entahlah. Satu hal pasti, kesadaran tentang hilangnya adab dalam perjalanan negeri ini akan menjadi wujud ketidak sempurnaan paling sempurna yang akan membuat kita menyesal dan menangis. Di titik ini, kewibawaan guru, orang tua, dan negara dipertaruhkan!

 

Wonosobo, 9 Pebruari 2018

Garis Tangan, Angkat Tangan, Jabat Tangan

gusblero - polwan

 

Seorang lelaki yang saya jumpai di dekat sebuah sungai berkisah tentang Qadha dan Qadar. Saya berpikir ia akan menjelaskan tentang hukum dan ketetapan Allah sejak zaman azali, seperti halnya pelajaran yang pernah saya dapatkan di mushala kampung dulu. Perkiraan saya ternyata salah.

 

Hidup, dalam perkara apapun, hendaknya tiap orang menyadari tentang apa yang sudah tertulis sebagai “garis tangan”, kesadaran ini yang pada puncaknya akan menghasilkan ketawakalan. Akan tetapi sebelum semuanya terhenti pada titik ketawakalan, tiap orang juga harus melakukan berbagai upaya untuk meraih yang diinginkan, itu yang disebut “angkat tangan”.

 

Orang menanam padi di sawah sebagi bentuk usaha ekonomi, orang mengunci sepeda untuk keamanan, orang terjun ke masyarakat untuk menggalang dukungan. Semua itu menjadi bagian dari sebuah upaya “angkat tangan”, tandang gawe, ucul-ucul, kerja upaya.

 

Tidak cukup itu saja. Orang perlu juga melakukan apa yang disebut “jabat tangan”, mengenalkan diri, bersosialisasi dengan tetangga, wilayah baru, lingkungan sekitar. Tujuannya untuk melancarkan segala sesuatu. Agar keamanan bisa dijaga bersama, agar beban umum bisa saling disengkuyung, atau agar urusan politik bisa mendapatkan dukungan.

 

Penerimaan iman tentang Qadha dan Qadar kurang lebih harus begitu. Menyadari akan adanya garis tangan, terus berupaya dan ringan dalam mengangkat tangan, serta tidak rikuh untuk melakukan jabat tangan. Hendak dibolak-balik seperti apa intinya ya begitu. Its simple way to live a life.

 

Firman Allah dalam Hadits Qudsy: “Man lam yardha biqadha’i, wa lam yasykur bini’mati, wa lam yashbir bibala’i, falyakhruj tahta sama’i walyathlub rabba siwa’i, Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.

 

Gusblero Free, 8 Pebruari 2018