EPILOG

Alhamdulillaahi Rabbil ‘Alamiin. Wal ‘aqibatu lil muttaqiin wa-shalatu wa-salamu ‘alaa Rasuulina Muhammad wa aalihi wa shahbihi ‘ajma’in.

Allaahumma nadhdhim ahwalana wa hassin af’alana wa khalishna min alamil faqri wa li-dzulli wa’shimna minal bala’I wal waba’I wa tha’uun, wa min syuruuril a’da’I wa-syayathiin wa-nafsil ‘ammarati bissuu’i

Allaahumma bassirlanal intidhama fi jamii’il ‘umuuriddunyawiyyah wa-diiniyyah wa hashshil muradana bil khair

Allaahumma ba’idna minasysyarri wal ‘ishyaan

Allaahumma inna na’udzubika min juhdil bala’I wa darkisysyaqa’I wa suu’il qadha’I wa syamatatil a’da’i

Yaa Muhawwilal hauli wal ‘ahwali hawwil halana ilaa ahsani hal

Allaahumma Yaa Katsiirannawal wa Yaa Khaliqu jamii’il af’ali wa-fiqna li-niyatil khair fi jamii’il ‘aqwali wal ‘ahwal

Allaahumma sallimna wa sallim diinana wa taslub waqtannaz’I iimaanana wa la tusallith ‘alaina man la yakhafuka wa la yarhamuna warzuqna khaira’iddunya wal aakhirati innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir

 

Segala puji bagi Allah seru sekalian alam, dan kesudahan yang nikmat semoga diberikan kepada orang-orang yang takwa. Shalawat dan salam untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad, keluarga dan sahabatnya semua.

Yaa Allah tertibkanlah keadaan kami, baguskanlah tindak langkah kami, dan selamatkanlah kami dari derita faqir dan kehinaan, dan jagalah kami dari segala marabahaya dan wabah penyakit, terutama sakit tha’un, dan juga dari segala kejahatan para musuh dan setan, dan dari segala kejahatan bisikan nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan.

Yaa Allah mudahkanlah bagi kami mengurusi semua persoalan dunia dan agama, serta sampaikanlah kepada cita-cita kami dengan baik.

Yaa Allah jauhkanlah kami dari kejahatan dan perlakuan durhaka.

Yaa Allah sesungguhnya kami memohon perlindungan kepada Engkau dari tekanan marabahaya, derita sengsara, kepastian yang buruk serta kegirangan musuh.

Yaa Allah Yang Maha Merobah masa dan keadaan, robahlah keadaan kami kepada nasib yang lebih baik.

Yaa Allah Yang Maha Berlimpah Karunia-Nya, Yang Menciptakan Segala Yang Ada, tolonglah kami untuk berniat bagus dalam segala ucapan dan tindakan.

Yaa Allah selamatkanlah kami dan agama kami, serta janganlah Engkau cabut iman kami sewaktu akan mati. Dan janganlah Engkau kuasakan pimpinan diatas kami orang-orang yang tidak takut kepada Engkau serta tidak ada kasih sayang kepada kami, dan berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat, sesungguhnyalah Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

epilog1

Yaa Allah aku mohon pertolongan-Mu, jadikanlah aku ini hamba-Mu yang shalih

Yaa Allah aku mohon pertolongan-Mu, jadikanlah aku ini hamba-Mu yang taat. Taat pada-Mu Yaa Allah, taat pada Rasul-Mu, taat pada kedua orang tuaku, taat pada semua guru mursyidku yang telah membimbingku menuju jalan sampai kepada-Mu.

Yaa Allah aku mohon pertolongan-Mu, jadikanlah aku ini hamba-Mu yang bijaksana, yang dibekali oleh-Mu ilmu yang menjadikan teguhnya pendirianku dalam bertaqwa mengabdikan diri pada-Mu dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat-nikmat-Mu Wahai Tuhan Yang Maha Berbelas Kasih.

Amin amin Yaa Rabb al-Alamin.

 

 

TENTANG PENULIS

2Gusblero, bukan keturunan atau sebutan anak kyai dan bahkan bukan nama sebenarnya. Frasa “gus” yang tidak terpisah dengan “blero” sudah menjelaskan kondisi itu. Ia hanya orang biasa yang mencoba menanggung-jawabi keresahan jiwanya dengan cara sorogan (mendatangi orang-orang alim untuk mendapatkan pencerahan).

 

Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah sebagian dari pemahamannya tentang konsep untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Diluar itu ia juga menulis novel “Daun Gugur di Manggarai” (Grahamedia, Jakarta 2006), “Miscall From Baqa’” (Gemamedia, Wonosobo 2014). Album musiknya berjudul “Asmara Ndalho” (2010) dan “Penyihir” (2017). Prestasi yang pernah didapatkannya selama ini adalah beberapa penghargaan di bidang lomba mengarang, dan menulis lagu.

 

Alamat sekarang : Jl. Kasiran No. 15 Muktisari RT. 03/07 Singkir Jaraksari Wonosobo 56311 Telepon 0286 – 321284, 0821 3687 9916.

14. SEEKOR PERKUTUT UNTUK PRESIDEN

perkutut presiden

Pagi hari di depan gardu pos penjagaan istana kepresidenan seorang lelaki tua nampak berjalan tertatih sambil menjinjing sebuah kurungan yang ditutupi dengan kain kelambu berwarna hitam. Ia adalah seorang lelaki renta yang telah berjalan sangat jauh dari sebuah desa di lereng pegunungan Tangkuban Prahu hanya untuk menghadiahkan seekor burung perkutut untuk Presiden, begitulah yang dikatakannya. Dan nampaknya memang begitu, tak kurang tak lebih ‘hanya sekedar memberikan burung perkutut sebagai hadiah’. Ini terbukti dengan keengganannya untuk mengisi buku tamu, walau seluruh pertanyaan dari para penjaga dijawabnya dengan sejujur-jujurnya. Lalu setelah menyerahkan kurungan itu, ia segera undur diri mohon pamit serta mendoakan semoga sang pemimpin selalu dianugerahi Tuhan jalan keselamatan.

 

Lelaki itu kembali pulang, jalan kaki, ya sekali lagi jalan kaki. Bedanya kalau jalan kaki kali pertama saat menuju istana semata-mata labih kepada kehati-hatiannya agar burung perkutut yang dibawanya tidak mengalami shock sepanjang perjalanan yang dilewatinya, maka kepulangannya dengan berjalan kaki adalah untuk mensyukuri setiap jejak langkah yang telah mengantarkannya hingga sampai di pintu gerbang istana kepresidenan. Sungguh seorang lelaki tua yang sangat sederhana. Tulus dan sederhana.

 

Burung perkutut itu bernama Slamet, seperti lazimnya burung perkutut piaraan ia memang harus mempunyai nama. Setiapkali dipanggil namanya perkutut itu selalu menyahut dengan suaranya yang ‘kung’, merdu dan melengkung, membuat gembira siapapun yang mendengarnya. Tanpa terkecuali para penjaga pos istana kepresidenan itu, berapa kalipun mereka menggoda dan menyapanya, perkutut itu selalu menjawabnya dengan suaranya yang kung-kang-kung-kang-kung.

 

Semua orang tertawa. Tak sabar ingin menyampaikan hadiah yang diperkirakan akan bisa menyenangkan junjungannya, seorang penjaga bersegera membawa kurungan itu menemui sekretaris dalam istana agar segera dihaturkan kepada Presiden.

 

Slamet Slamet Slamet……..Kung !

Slamet Slamet Slamet……..Aghh !

 

Langit terang udara tenang. Di pagi hari Presiden membaca koran  di aula belakang. Melihat salah seorang sekretarisnya masuk menghadap seraya membawa kurungan nampaknya cukup membuat hatinya bertanda tanya. Kelopak matanya terangkat, dahinya merenung. Ia menatap tajam ke arah sekretaris yang secara tergopoh-gopoh segera menjelaskan apa yang sesungguhnya tengah dibawanya.

 

“Seorang lelaki tua menghaturkan hadiah ini untuk Bapak.” Ucapnya dengan badan setengah membungkuk. Sebelah tangan kanannya menunjuk dengan sopan ke arah kurungan.

“Hadiah? Siapa?” Pertanyaan yang diajukan nyaris tanpa ekspresi ini rupanya cukup membuat gugup sekretaris. Khawatir akan semakin bingung dalam menjawab pertanyaan dari Presiden, sekretaris itu segera membuka kain kelambu yang menutupi kurungan.

 

“Seekor burung perkutut, Pak.” Jelasnya seraya tersenyum.

“Burung perkutut?!”

“Iya Pak.”

“Dari siapa?”

“Seorang lelaki tua Pak.”

“Siapa?”

“Dia bilang katanya dari lereng Tangkuban Prahu.”

“Siapa?”

“Lelaki tua itu.”

“Siapa?”

“Lelaki itu cuma bilang begitu.”

“………………………….?”

“Katanya mau ngasih hadiah sama Bapak.”

“………………………….?”

“Coba nanti saya tanyakan pada penjaga, Pak.”

 

Hening dalam ruangan. Presiden nampak kembali akan melanjutkan membaca koran. Sekretaris itu rupanya menjadi salah tingkah. Dia sudah akan mencapai pintu keluar ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu.

 

“Emm…nama perkutut itu Slamet, Pak.” Ucapnya sedikit pelan.

“Ya?!”

“Perkutut itu Pak, namanya Slamet…….”

“Slamet?!”

“Iya Pak, Slamet. Tadi penjaga pos bilangnya begitu, namanya Slamet. Iya, Slamet.”

 

Sekretaris itu terus berusaha menjelaskan walau dari wajahnya jelas kelihatan ia agak takut-takut bakal mendapatkan teguran dari Presiden. Beruntung belum lagi hilang gema suara dari Sekretaris mengucapkan slamet slamet slamet, perkutut dalam kurungan itu nampak sudah mulai menari-nari sambil memamerkan suaranya yang kung-kang-kung-kang-kung membuat Presiden sedikit terhenyak. Kejadian itu tak pelak sedikit melegakan hati Sekretaris, apalagi kemudian dilihatnya Presiden segera bangkit dari kursinya.

 

“Hahaha………! Slamet ya? Slamet ya?”

“Kung!”

“Slamet….!”

“Kung!”

“Slamet Slamet Slamet………..!”

“Kung kang kung kang kung……..!”

“Ok!”

“Kung!”

“Hahaha………! Slamet Slamet Slamet……!”

“Kung kang kung kang kung……..!”

“Yess…!”

“Kung!”

 

Presiden itu begitu gembiranya hingga tak memperhatikan beberapa orang di sekitarnya juga ikut-ikutan tertawa. Pertanyaan tentang siapa sebenarnya lelaki tua yang telah mengirimkan perkutut itu ke istana nampaknya untuk sementara waktu terlupakan begitu saja.

 

Slamet Slamet Slamet……..Kung !

Slamet Slamet Slamet……..Aghh !

 

Hari-hari berlalu, perkutut itu kian hari kian terlihat jinak dan akrab dengan Presiden. Di sela-sela waktu senggangnya Presiden terlihat kerap mengajaknya bercanda. Satu hiburan baru nampaknya telah ikut melengkapi kegembiaraan suasana setiap pagi di aula belakang istana.

 

“Slamet Slamet Slamet…..!”

“Kung kang kung kang kung..!”

“Ok, Slamet?!”

“Kung kung!”

“Yess..!”

“Kung!”

 

Masya Allah wa Subhanallaah…..

 

 14-1

Berapa banyak orang yang kuat, kuat sekali dalam tindakan-tindakannya lagi pintar, akan tetapi dia tidak kaya

Dan ada orang yang lemah, lemah sekali dalam tindakan-tindakannya, tetapi seakan-akan rizkinya tinggal menciduknya dari lautan

Ini adalah suatu tanda dan bukti bahwa Allah terhadap mahluknya mempunyai rahasia yang samar dan tidak terbuka

 

Kewajiban bagi seorang yang kuat pendiriannya haruslah memandang amal sesuai hakekatnya, amal secara sebenar-benarnya. Hendaklah kita jangan memandang selain kepada Allah, sebab apabila amal itu berkenan diterima dan dimuliakan oleh Allah, maka anugerah yang besar akan didapat semata-mata karena karunia-Nya. Dan hendaklah kita senantiasa berhati-hati dalam mengerjakan amalan amal itu, karena sekiranya amal-amal tersebut tidak pantas untuk dihadapkan untuk mendapatkan ridho-Nya, maka hilanglah nilainya yang tinggi itu dan kembali kepada nilai asalnya, atau bahkan lebih hina lagi tanpa ada harganya sama sekali.

 

Seikat mawar yang harganya di pasar cuma seribu rupiah, namun kalau seseorang mempersembahkannya kepada seorang raja yang mana raja tersebut kemudian berkenan menerimanya, barangkali akan membuat mawar yang tadinya cuma seharga seribu rupiah menjadi berharga seratus ribu rupiah. Sebaliknya jika raja kurang berkenan maka mawar tersebut harganyapun akan kembali seperti semula, murah dan hanya sekadar harga. Demikian juga dengan amalan amal kita. Rendahkan suaramu, memujilah hanya kepada yang Maha Berhak untuk menerimanya. Insya Allah hati kita akan tenteram dan merasa damai senantiasa.

 

Masya Allah wa Subhanallaah………….

 

Dua bulan semenjak tinggal di istana burung perkutut itu semakin membuat banyak orang terpikat kepadanya. Sampai suatu hari tiba-tiba perkutut itu terlihat lesu dan tak berdaya. Ia hanya diam membisu sepanjang hari dalam kurungan serta tidak mau makan dan tidak mau bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Hal ini tak urung membuat Presiden menjadi murung hingga menyebabkan para pegawai istana jadi ikut-ikutan terkena getahnya. Segera dipanggilnyalah seorang dokter hewan yang ada untuk mengetahui apa sebenarnya yang tengah dialami burung perkutut itu.

 

Namun walau sudah ditangani dokter hewan ahli sekalipun perkutut itu tetap saja terlihat murung, bahkan saat malam tiba perkutut itu terlihat kian gelisah bergerak ke sana kemari tanpa jelas penyebabnya. Maka ketika sampai keesokan pagi harinya saat Presiden memanggilnya ‘Slamet Slamet Slamet’ namun perkutut itu tetap diam seribu bahasa, jelas hal ini membuat Presiden menjadi kecewa. Dipanggilnyalah kembali dokter hewan lain yang sekiranya lebih ahli, namun perkutut dalam kurungan itu justru terlihat lebih blingsatan lagi. Burung perkutut itu kian bergerak liar. Tepat ketika Presiden gundah dan orang-orang di sekelilingnya bertambah panik seorang sekretaris istana tiba-tiba memasuki ruangan untuk mengabarkan sebuah bencana banjir telah menelan kota di ujung wilayah negara. Presiden tertegun, semua orang terhenyak, perkutut meronta, banjir bandang tiba.

 

 14-2

Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?

Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam

Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu

 

Sebagaimana Imam Hasan Basri berkata : Andaikan dunia berada dalam kekuasaanmu, namun engkau tidaklah tetap sebab engkau akan mati. Semuanya akan engkau tinggalkan dan nantinya akan dibagi-bagikan kepada ahli warismu sehingga mereka akan saling cakar-cakaran. Maka cukupkan bagimu berserah diri dan bertawakkal hanya kepada Yang Maha Berhak untuk di-tawakkal-i. Insya Allah hidup kita akan mendapat hikmah selama-lamanya.

 

Hari-hari selewat bencana itu dipenuhi kembali dengan suara perkutut yang menari dan bernyanyi-nyanyi riang seperti saat pertama kali kedatangannya. Bencana lewat, orang berbenah diri menatap segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kehidupan normal berjalan kembali seperti biasanya dengan agenda sidang-sidang khusus, kunjungan ke luar negeri, peninjauan wilayah dan pemetaan program kendali.

 

Masya Allah wa Subhanallaah……..

 

Dua bulan kemudian burung perkutut itu kembali berulah. Mogok makan, tak mempan dirayu, bahkan membentur-benturkan sayapnya dalam kurungan hingga menyebabkan beberapa helai bulu sayapnya yang berwarna semen dan tembaga nampak berhamburan. Orang-orang tegang. Kejadian berikutnya sebuah bom meledak tepat di depan halaman sebuah kedutaan yang melukai banyak orang. Presiden tercenung, namun ia belum juga memahami akan isyarat yang sebenarnya sudah datang memberitahunya lebih dini.

 

Masya Allah wa Subhanallaah……..

7177931610_b80de92c0c_b

Waktu demi waktu terus bergulir, tanggal demi tanggal dalam lembar almanak berlalu seiring perjalanan sang waktu. Ketika di penghujung tahun perkutut itu kembali memperlihatkan kekalutannya, Presiden mulai was-was. Ia adalah seorang yang tak bebal dengan segala pernak-pernik hal yang bersifat metafisik. Ia nampak mulai belajar membaca gelagat, namun tetap saja ia terlambat. Ketika isyarat itu berhasil ditangkapnya, sebuah bencana tanah longsor di wilayah barat telah kembali menelan korban.

 

Masya Allah wa Subhanallaah……..!

Masya Allah wa Subhanallaah……..!

 

 14-3

Takdir Allah sudah putus dan putusan Allah sudah terjadi, istirahatkan hatimu dari kata-kata ‘barangkali’ atau ‘kalau-kalau’.

 

 14-4

Apa-apa yang sudah ditakdirkan pasti akan terjadi, pasti akan datang waktunya. Hanya orang-orang bodoh yang akan lelah dan tertinggal sedih

Bisa saja yang engkau cemaskan akan terbukti, sementara harapan yang engkau tunggu-tunggu tak kunjung datang

 

 Presiden terhenyak. Bencana demi bencana terus bergerak silih berganti mengurung negeri. Pelupuk matanya terasa panas, ia hendak menangis namun tak jadi. Pikirannya terguncang. Ia melihat seratus dua puluh juta tangan rakyatnya melambai-lambai. Presiden itu menderita bahaya, ia mengadu nasib dengan sejarah. Namun walau sedikit goyah ia masih terlihat perkasa. Ia bergerak perlahan menuju malam yang menyembunyikan bayang-bayang tubuhnya meluncur dalam zikir hening yang subur dan sunyi. Ia ingin mengadu, namun tak berani. Ia mengenang riwayat seorang Nabi yang mengadu kepada Allah tentang suatu hal yang ingin diinginkannya dan yang ingin tidak diinginkannya. Lalu Allah menjawab:

 

 

“Engkau mengadukan Aku? Aku tidak layak dicela dan Aku tidak layak menjadi tempat pengaduan, demikianlah urusanmu dinilai dalam ilmu gaibKu.

Kenapa engkau tidak rela menerima takdirKu? Apakah engkau ingin Aku merubah dunia seluruhnya untukmu? mengganti semua catatan di Lauhilmahfudz?

Jadi Aku harus mentakdirkan apa yang engkau inginkan dan tidak yang Aku inginkan?

Jadi harus terjadi apa yang engkau sukai, dan bukan yang telah Aku takdirkan?”

 

Masya Allaah wa Subhanallaahu……….!

 

Siang hari selepas kunjungan di daerah, empat kendaraan mewah merayap di ketinggian jalan menuju puncak gunung Tangkuban Prahu. Setelah berulangkali mencari informasi akhirnya bisa diketahui kemana Presiden harus pergi untuk bisa menemui lelaki tua yang telah menghadiahkan burung perkutut kepadanya.

 

Jalanan di wilayah pedesaan begitu becek, namun tak sulit bagi rombongan kendaraan itu untuk melompatinya. Dua kilometer dari arah yang dituju telah mulai terlihat sebuah rumah yang berdiri di lereng perbukitan. Mendadak semua terlihat tegang, dan lalu, drama itupun mulai terjadi.

 

Seorang perempuan tua yang menggendong seikat kayu tiba-tiba muncul dari arah sebuah tikungan hingga menyebabkan sopir pengawal terdepan terperanjat. Kendaraan sedikit oleng dan tak ayal menyerempet kayu yang dibawa perempuan tua itu. Mobil berhenti namun sejenak kemudian terlihat akan kembali meneruskan perjalanan. Perempuan tua itu terjatuh.

 

Inna lillaahi………..

 

Mobil kedua ikut bergerak menyusul, namun kendaraan ketiga yang membawa Presiden berhenti. Presiden itu membuka kaca jendela, namun pandangannya terhalang tumpukan kayu. Ia bergerak turun dari mobilnya, para pengawal segera berlari di sampingnya dan beberapa diantaranya bergegas mendahului menuju tempat dimana perempuan tua itu terjatuh. Wajah-wajah mereka nampak sedikit pucat tak berani menduga-duga apa yang akan terjadi.

 

Tubuh perempuan itu nampak tergolek tak berdaya. Dengan nafas yang tersengal-sengal ia mencoba menatap sekelilingnya. Ia merasa nanar. Ia hanya bisa merintih lirih saat kedua tangan Presiden memapah kedua lengannya.

 

“Nenek tidak apa-apa?” Tanya Presiden pelan-pelan.

“Tidak Tuan, nenek tidak apa-apa.” Jawab perempuan tua itu dengan terbata-bata. Nampaknya ia justru terlihat lebih takut dikerumuni orang-orang yang badanya kekar-kekar itu daripada merasakan sakit mungkin dideritanya.

“Betul Nenek tidak apa-apa?” Tanya Presiden lagi.

“Tidak Tuan, nenek tidak apa-apa.” Perempuan tua itu kembali mengulang jawabannya. Para pengawal menebar senyum, namun wajah perempuan itu masih memperlihatkan ketakutannya terhadap orang-orang yang saat itu ada di sekelilingnya.

“Nenek mau kemana?” kali ini suara Presiden yang terdengar begitu halus terasa mampu membuyarkan rasa takut yang tadinya masih menyelimuti wajah perempuan tua itu. Ia melihat wajah-wajah di sekelilingnya bergonta-ganti, lalu ia melihat laki-laki yang berdiri memapah tubuhnya itu tersenyum kepadanya.

“Nenek mau menjual kayu.” Jawabnya perlahan.

“Menjual kayu?”

“Iya Tuan.”

 

Presiden sedikit mengendurkan tangannya. Ia melihat perempuan tua itu telah mampu berdiri kembali seperti sediakala. Wajah Presiden bersinar. Ia mengambil lima lembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya yang lalu diberikannya kepada perempuan tua itu dengan sopan.

 

“Ini untuk membantu Nenek berobat……” ucap Presiden merendah. Namun belum lagi Presiden selesai dengan ucapannya, perempuan itu telah menyergahnya.

“Berobat?!”

“Barangkali tadi Nenek kaget lalu………”

“Nenek tidak apa-apa Tuan.”

“Nek……” Presiden sedikit melangkah lebih maju.

“Nenek mau menjual kayu.”

“Ini untuk Nenek.”

“Apa Tuan mau membeli kayu?”

 

Inna lillaahi………..

 

“Kalau saya mau membeli kayu, apakah Nenek mau menerima uang ini?”

“Kalau Tuan mau membeli kayu.”

“Baiklah Nek, saya beli kayunya. Sekarang terimalah ini.”

“Uang sebanyak ini?”

“Ini untuk Nenek.”

“Tapi harga kayu nenek tidak sebanyak ini?”

“Tidak apa-apa Nek, terimalah uang ini.”

“Subhanallaah. Siapakah anda ini Tuan?”

“Saya hanya seseorang yang mohon untuk dimaafkan Nek.”

“Subhanallaah. Amin Amin.”

“Sudah ya Nek, saya pergi dulu.”

“Ini kayunya?”

“Biarlah untuk Nenek saja.”

“Nenek sudah menjualnya?”

“Saya kembal..eh saya berikan la…oh maaf, saya berikan saja untuk Nenek.”

“Lalu?”

“Nanti bisa Nenek jual lagi.”

“Tapi…….?”

“Kenapa Nek?”

“Siapa yang akan mau membeli nanti?”

“Terserah Nenek mau menjualnya kemana.”

“Tapi……?”

“Kenapa lagi Nek?”

“Harganya saja tadi sudah lima ratus ribu?”

 

Inna lillaahi………..

 

Presiden tersenyum. Kedua kelopak matanya nampak berkaca-kaca. Setelah beberapa pengawal ikut membantu memberikan penjelasan kepada perempuan tua itu barulah rombongan bisa kembali berangkat. Langit di pucuk bebukitan nampak mulai mengendapkan halimun. Dada Presiden berdebar-debar.

 

14-5

 Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?

Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam

Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu

 

Rumah itu dikelilingi banyak kembang mawar yang tumbuh di sepanjang lahan-lahan yang terletak di sekitar bangunan. Seorang perempuan berusia tiga puluhan menggendong seorang anak kecil yang kondisinya terlihat sedang kurang sehat. Perempuan itu menatap satu persatu kendaraan yang mendekati rumahnya. Ia mengernyitkan dahinya mencoba menerka.

 

“Assalamu’alaikum…..”

“Wa alaikum salam….”

“Mohon maaf………”

“Tuan mau membeli bunga?”

“Saya mencari rumahnya hamba Allah.”

“Tuan ini siapa?”

“Saya…e hanyalah seseorang yang mau meminta maaf.”

1-nUwNUdpnI8pv5JZyQ-RGgA

Rumah itu tidak permanen, seluruhnya bahan bangunannya terbuat dari kayu yang beberapa sudah lapuk diantaranya. Pondasi bangunan rumah itu dari batu-batu gunung yang disusun dengan rapi. Dua tiga kurungan burung nampak terbengkelai di samping rumah, seekor ayam jago bertengger di atasnya.

 

“Kurungan-kurungan itu?!”

“Itu kepunyaan Abah. Dulu beliau mempunyai banyak sekali koleksi perkutut. Beliau juga pernah memberikan seekor perkutut yang sangat disayanginya kepada Pak Presiden, begitu dulu Abah pernah bercerita.”

“Ehm……”

“Abah memang begitu kalau punya mau. Dari sini ke Jakarta Abah itu jalan kaki, tapi semuanya tetap ia lakukan juga dan ia merasa senang sekali, apalagi setelah bisa mengantar burung perkutut kesayangannya itu sampai istana.”

“Ehm……”

“Oh maaf, Tuan-tuan kenal Abah saya? Atau Tuan-tuan ini……?”

“Sayalah yang dikirimi perkutut itu, Dik.”

“Jadi….?!”

“Sayalah Presiden.”

“Masya Allah…….!”

 

Inna lillaahi…………..!

 

Perempuan berusia tiga puluhan itu segera menjatuhkan dirinya bersujud di depan kedua kaki Presiden. Ia terlihat begitu paniknya hingga membuat anak kecil yang telah tertidur dalam gendongannya terbangun ; Mak…!

 

“Maafkan saya Tuan Presiden, maafkan saya….” Suaranya terbata-bata bercampur isak. Melihat itu Presiden yang berdiri hanya satu depa di depannya segera merengkuh tubuh perempuan itu dengan kedua tangannya agar segera berdiri.

 

“Maafkan saya Tuan……..”

“Tidak apa-apa.”

“Saya tidak tahu……”

“Sudahlah.”

“E….e…….”

“Abah ada?”

“Abah?!”

“Iya, Abah yang telah memberi saya perkutut.”

“Tuan…..?”

“Ya…?!”

“Tuan ingin menemuinya?”

“Iya, tentu saja. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih kepadanya.”

“Tuan……..”

“Antarkan saja saya kepadanya.”

“Baiklah, Tuan. Tuan petiklah mawar di halaman rumah itu, nanti saya akan mengantar Tuan menemuinya.”

“Maksud Adik?!”

“Petiklah mawar itu, Tuan, kita akan mengantarkannya bersama-sama.”

 

Inna lillaahi………..!

Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un

 

Di lereng Tangkuban Prahu udara di siang hari itu bertiup begitu sejuknya, namun entah kenapa siapapun yang saat itu ikut hadir di tempat itu merasa tercekat seisi tenggorokannya. Wajah Presiden tertunduk kuyu, mulutnya membisu. Ia menghela nafas panjang, lalu lamat-lamat ia mencium harum aroma kayu cendana yang dibawa kesiur angin yang mengalir dari arah sebelah bukit.

 

 14-6

Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?

Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam

Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu. 

 

Bintara, Januari 2006

 

Gusblero Free

13. TEPA SLIRA

DBTEyCcV0AAbnFS

“Kunyuk!”

“Siapa yang kunyuk?”

“Kamu!”

“Apa salah saya?”

“Kamu tidak menghargai protokelir.”

“Lho kok begitu? Saya kan sudah mau minta ijin.”

“Ijin sama siapa?”

“Ya sama sampeyan.”

“Kenapa kamu tidak dinas?”

“Dinas bagaimana maksudnya?”

“Kamu kan tahu ini kantor instansi?”

“Lha iya, lalu?”

“Kenapa kamu tidak pakai sepatu?”

“Saya petani.”

“Tapi ini kantor.”

“Ya, saya tahu ini kantor. Tapi saya kan petani.”

“Kunyuk! Kalau petani lalu memangnya kenapa?”

“Sampeyan jangan kurang ajar sama orang tua. Saya petani, bukan kunyuk!”

“Tapi kamu tidak menghargai peraturan.”

“Saya cuma mau sowan Bapak.”

“Lalu kenapa kamu cuma memakai sandal?”

“Saya tidak punya sepatu.”

“Kamu kan bisa pinjam.”

“Saya malu kalau harus pinjam-pinjam.”

“Kenapa harus malu?”

“Nanti dikira mengada-ada.”

“Kamu petani sombong!”

“Kalau ke sawah saya juga tidak pakai sepatu.”

“Apa hubungannya?”

“Tadi sampeyan nyuruh-nyuruh saya tampil dinas.”

“Ya.”

“Kalau saya harus tampil dinas sesuai pekerjaan saya malah harusnya saya tidak usah repot-repot pakai sandal segala.”

“Tapi ini bukan sawah, ini kantoran.”

“Kalau petani ya begini. Apa saya perlu bawa cangkul untuk menunjukkan bahwa saya memang petani?”

Kunyuk! Aku tidak mau tahu dengan segala macam istilah petani dan thethek-bengek  tentang sawahmu. Tugasku menjaga kedisiplinan, titik!”

“Saya mau sowan  Bapak.”

“Tidak boleh!”

“Siapa yang tidak membolehkan?”

“Aku!”

“Saya tidak mau ketemu sampeyan. Saya mau sowan Bapak!”

“Ti..dak bisa!”

“Apa urusannya dengan sampeyan, apa Bapak itu anaknya sampeyan?”

“Kamu wong edan!”

“Kenapa sampeyan menghalang-halangi?”

“Karena aku orang yang wajib menjaga di sini.”

“Sampeyan tidak punya tepa slira

“Lalu?”

“Harusnya Bapak memelihara anjing saja sebagai penjaga.”

“Kunyuk!”

“Anjing lebih konsisten, tidak peduli pakai sepatu apa tidak, juga tidak pernah butuh uang pelicin.”

“Awas kamu.”

“Sampeyan yang harus hati-hati dengan jabatan sampeyan.”

“Kamu mau menantang aku, ya?”

“Tidak, saya hanya melihat pakaian sampeyan nampak kedodoran.”

“Anjing!”

“Lho, saya tidak bilang sampeyan itu anjing.”

“Kunyuk!”

“Saya juga tidak bilang sampeyan itu kunyuk.”

“Semprol!”

“Nah, Sampeyan sendiri kan yang dari tadi bilang anjing, kunyuk, lalu sekarang semprul. Jadi, an..jing…ku..nyuk…sem..prol!”

“Hemrkh…!”

“Hati-hati sampeyan, nanti bisa sakit gigi.”

“Bangsat!”

“Hati-hati juga sampeyan.”

“Hwrkadah…!”

“Kalau nanti sampeyan nganter kunjungan ke sawah, sampeyan juga harus memakai pakaian dinas petani. sampeyan harus bawa cangkul dan  juga kaos oblong yang bau lemi.”

“Minggat!”

“Ya, saya mau pergi.”

“Ming..gat!”

“Ya, saya…”

“Ming..gatttt!”

“E..e iya..e..anjing, eh..kunyuk, eh…semprol, eh..iya..iya.”

“Ming…gaaaatttttt!!!”

 

Matahari perubahan di atap-atap perkantoran, nyala teriknya terasa nyalang membakar di ubun-ubun kepala. Di jagat hidup yang berwarna birokrasi energi persaudaraan sebagai sesama anak bangsa patut dipertanyakan kenapa terkadang password-nya harus menilik merk sepotong sepatu, warna baju atau naik kendaraan apa datangnya.

 

Tampuk kekuasaan demokrasi di era perubahan baru bukanlah singgasana sang maharaja, bahkan seandainya ia menjadi singgasana ratuning jagad haruslah ia memiliki kekuatan untuk me-manunggaling-kan manunggaling kawula lan penguasa, agar tidak timbul jarak, sehingga rakyat bisa mencicipi buah keadilan situasi tata tentrem karta raharja.

 

“Kalau semuanya harus di-gebyah uyah ya nanti bisa kehilangan kewibawaan dong.”

“Maksudnya?”

“Nanti semua orang jadi semau gue.”

“Ya belum tentu, lihat-lihat orang dan apa maksudnya.”

“Tapi ini kan standar birokrasi.”

“Iya sih, tapi anda kan juga harus menjaga simpati bos anda sendiri di mata masyarakat.”

“Terus menurut anda saya harus bagaimana?”

“Ya biasa saja, jangan terlalu kaku.”

“Contohnya.”

“Jangan keburu alergi melihat orang yang tampilannya biasa-biasa saja, karena bisa saja orang yang datang dengan keringat yang masih sumuk, mundhuk-mundhuk dan suaranya ngos-ngosan itu lebih tulus bektinya kepada bos anda, juga niatannya sowan itu dalam rangka ikut nguri-uri atau ngreksa kawibawaning praja demi kenyamanan penyelenggaraan pemerintahan.”

“Wuadhuh, kalau semuanya diurusi bisa-bisa bos tidak bisa istirahat dong.”

“Lho anda kan bisa mengatur jadwal temunya. Saya yakin orang-orang yang datang itu juga berpikiran realistis artinya mereka sendiri juga sadar bahwa dalam sekali pisowanan itu belum pasti mereka bisa langsung bertatap muka.”

“Saya cuma was-was kalau-kalau bos tidak berkenan.”

“Lha ngapain juga tiap hari turun ke desa-desa kalau di rumah sendiri tidak mau menemui warga yang mau beranjangsana?”

“Itu tugas Pak.”

“Saya kira kalau cuma tugas-tugas pemerintahan sudah ada pendelegasiannya. Anda sendiri bilang semuanya harus sesuai tupoksi, saya yakin bos anda juga ingin kok berakrab-akrab ria dengan masyarakatnya.”

“Iya sih.”

Lha iyess, saya yakin itungannya bukan cuma persoalan politik-politik semata. Kalau saya jadi orang sukses saja maunya ketemu dulur-dulur dan temen-temen semua, istilahnya berbagi perasaan.”

“Iya lah eh…ngomong-ngomong anda sendiri mau sowan?”

“Tadinya sih iya, cuma sekarang tidak tahulah emm…mungkin saya mau mencari wedang kopi saja.”

“Anda bisa dahar unjukan di belakang.”

“Terima kasih, saya mau numpang di rumah teman sajalah.”

“Lho di sini kan sama saja.”

“Iya kopinya sama, cuma nggak tahu kalau minum di rumah-rumah pejabat itu perasaan saya jadi agak tegang.”

“Huahaha…anda bisa aja.”

“Namanya juga manusia Mas, rakyat kecil lagi.”

“Terus bagaimana?”

“ Ya tahu diri lah.”

 

Ups, barangkali sudah menjadi sesuatu yang jamak bagi rakyat kecil kebanyakan, menghimpun seluruh persoalan agar tidak menjadi semacam ‘bom gerundelan’, lalu menghanyutkan seluruh uneg-uneg itu di kali bersamaan saat mandi, atau hanya mengemasnya sebagai bumbu plesetan saat ngumpul-ngumpul di gardu ronda.

 

Ups, I say it again. Barangkali itulah yang paling sederhana, tidak berbau-bau menghasut, menghujat juga anarki. Plung!…Lap! Selesai.

 

Wonosobo, Oktober 2004

 

 Gusblero Free

12. PERJUANGAN KELAS

Jawara_Penca_by_indra15

Kemiskinan seperti burung Nazar. Kemiskinan membuat rambu-rambu kedisplinan hidup menjadi nyaris tidak berguna, karena kemiskinan selalu menempuh jalannya sendiri yang membuat orang menjadi tidak peduli terhadap lingkungan, bahkan terhadap masyarakat di sekitarnya.

 

“Kenapa di jaman ini orang menjadi begitu tega untuk melakukan tindakan kriminal yang kadang-kadang tidak masuk diakal?”

“Karena orang-orang merasa sensitif.”

“Kenapa orang-orang harus merasa sensitif?”

“Karena kemampuannya terbatas.”

“Kenapa bisa terbatas?”

“Karena tidak leluasa.”

“Kenapa tidak leluasa?”

“Karena tidak punya.”

“Kenapa tidak punya?”

“Karena miskin.”

“Kenapa miskin?”

“Karena tidak ada.”

 

Kemiskinan menjadikan hidup terasa gerah, tidak leluasa, kehilangan kehormatan, sia-sia dan tanpa daya. Kemiskinan menjadikan hidup orang-orang yang diserangnya menjadi tidak ada, kemiskinan menjadi teroris yang mengharu biru orang-orang yang berjiwa kerdil untuk bertindak semau gue, dan pada puncaknya kemiskinan menjadi bom yang siap meledak di mana-mana karena rasa sakit hati yang timbul disebabkan keadaan yang sangat miskin justru dijadikan alat program gendruwo peradaban untuk melakukan penggusuran demi penggusuran di ladang-ladang bencana.

 

“Jadi, sebetulnya orang miskin itu tidak ada?”

“Iya,”

“Kenapa tidak ada, apa mereka semua sudah pada mati?”

“Siapa yang mati?”

“Orang-orang miskin itu?”

“Tidak ada ya tidak ada.”

“Lalu kenapa ada program-program pengentasan kemiskinan?”

“Itu kan program untuk mencari-cari pengakuan.”

“Siapa yang cari-cari pengakuan?”

“Ya, orang-orang yang mempunyai pekerjaan.”

“Kenapa harus mencari-cari pengakuan?”

“Ya, supaya diakui bahwa orang-orang itu sudah bekerja.”

“Apa tidak ada kerjaan lain?”

 

Kemiskinan seperti burung Nazar. Kemiskinan adalah coro, tapi bukan tahi kerbau. Kemiskinan adalah nyamuk dan lalat-lalat yang beranak-pinak di perempatan-perempatan jalan, di etalase-etalase pertokoan, di kolong-kolong jembatan, di sepanjang gang-gang perkampungan yang sumpek dan berbau apek.

 

Kemiskinan menjadi hantu yang menari-nari, yang luput dari perhatian karena sudah begitu banyaknya burung-burung piaraan yang pandai berkicau dan elok rupawan menguasai pikiran sebagian besar masyarakat manusia. Kemiskinan mengendap-endap di alam masyarakat modern serupa anjing kumal berpenyakitan yang berjalan terseok-seok dan lamban ketika mercu suar peradaban ditegakkan untuk mengukuhkan adanya pembangunan.

 

Kemiskinan selalu lepas kontrol, ia hanya hidup subur di ladang-ladang demo dengan lolongannya yang memekakkan telinga, namun tetap saja tak kurang tak lebih pada akhir nasibnya akan menjadi potret sampah penghuni gorong-gorong dan selokan-selokan penuh limbah yang wajib untuk segera ditutup rapat-rapat karena baunya sangat mengganggu selera makan.

 

Kemiskinan seperti nasi jagung dan ampas tahu, ia menjadi tidak tentu, karena walaupun di-emoh-i seperti panu, ternyata kemiskinan juga selalu dihadirkan di meja-meja rapat para pejabat untuk secara tegas-tegas menyuarakan anti kemiskinan.

 

“Kenapa para pejabat suka sekali membicarakan program anti kemiskinan?”

“Supaya mereka bisa jaga-jaga diri.”

“Jaga diri apa?”

“Dari segala macam bentuk kemiskinan.”

“Lho?!”

“Memang kenapa?”

“Apa mereka bisa miskin?”

“Memangnya nggak bisa?!”

“Soalnya mereka sudah terlanjur kaya.”

“Maksud kamu?”

“Biasanya orang kalau sudah terlanjur kaya itu akan semakin kaya, kalau yang miskin aku tidak tahu, mungkin juga mereka malah mati atau malah tidak ada sama sekali.”

“Jadi, orang kaya itu terlanjur, ya?”

 

Reformasi menciptakan desentralisasi kekuasaan, desentralisasi kekuasaan menciptakan kekuasaan yang sentralistik, lalu muncullah raja-raja kecil yang berkerumun bagai laron mencicipi khuldi peradaban yang bernama otonomi kedaerahan, dan sekejap sesudah itu mereka berubah menjadi makhluk-makhluk asing yang takut dan trauma pada asal-usulnya, hingga pada akhirnya mereka menghalalkan segala cara agar tetap bisa bertahan di kelasnya sebagai borjuis-borjuis baru, aristokrat-aristokrat baru, OKB-OKB jaman kalabendu.

 

Inilah kalabendu. Di dalam kalabendu lahirlah politikus-politikus busuk yang muncul bagai barisan kurawa bersepatu. Mereka-mereka menjadi Sengkuni yang beraroma parfum dan gincu, minyak Sinyongnyong, air condotioner, viagra dan shabu-shabu. Mereka seperti pahlawan kesiangan yang tidurnya mendengkur di atas ranjang gading yang tidak pernah rapi karena zakarnya tak pernah lentur, dan ketika terbangun selalunya muncul gerakan tidak sadar untuk tetap mempertahankan potensi kemiskinan agar selalu ada, sehingga mereka tetap menjadi raja-diraja.

 

“Berarti kemiskinan memang sengaja diciptakan, dong?”

“Kemiskinan adalah situasi keadaan yang tercipta karena munculnya kebudayaan baru yang bernama feodalisme.”

“Kenapa harus ada simbol-simbol feodalisme?”

“Karena feodalisme adalah instrumen kekuasaan.”

“Maksudmu?”

“Orang hidup butuh pengakuan, kekuasaan adalah kunci untuk mendapatkan status agar dengan mudah orang-orang melegitimasi apa yang telah dilakukannya.”

“Contohnya apa?”

“Orang mampu akan menunjukkan dirinya mampu dengan mengangkat seorang pembantu, orang-orang kaya akan menunjukkan dirinya kaya dengan memperlihatkan banyaknya kolega, sementara orang-orang yang berkuasa akan menunjukkan bahwa dirinya memang berkuasa dengan jalan memperlihatkan otoritasnya.”

“Itu artinya?”

“Akan tetap ada sebauh situasi untuk tetap menciptakan kasta, sehingga tetap akan ada perbedaan antara orang-orang yang mampu dan orang-orang yang tidak berdaya.”

“Jadi orang miskin itu orang yang tidak berdaya?”

“Bukan begitu. Orang miskin itu tidak ada.”

“Jadi kita juga tidak ada, dong?”

“Kenapa tidak ada?”

“Karena kita kere.”

“Itu bukan berarti kita miskin.”

“Lalu?”

“Ya, cuma sedang tidak berdaya saja.”

 

Alakazam Abrakadabra! Mulutku bisu, Ya Allah, tanganku terkepal di atas hamparan plastik para pedagang di kaki lima. Semangatku mengembara di tubuh-tubuh tak berdaya barisan para pedagang asongan. Aku melihat jaman yang berlari cepat dan sembilan juta orang-orang tak berdaya jatuh bangun di bawah kibaran bendera sang saka.

 

Alakazam Abrakadabra!  Mulutku bisu, Ya Allah, otakku buntu. Bagaimana mungkin kemajuan jaman hanya diwujudkan dengan banyaknya pembangunan, sementara di sekelilingnya ratusan ribu anak manusia kehilangan rasa keadilan dan perlahan-lahan bergerak menuju ke antrian mati.

 

“Ah, tidak usah kamu ngomong keadilan.”

“Memangnya kenapa?”

“Karena itu pamali.”

“Kenapa harus jadi pamali?”

“Karena nanti bisa menyakitkan hati.”

“Aku tidak sakit hati.”

“Iya, tapi omonganmu bisa membuat banyak orang marah-marah.”

“Kenapa mereka harus marah-marah?”

“Karena kamu dianggap provokatif.”

“Kenapa dianggap provokatif?”

“Karena omonganmu bisa menghasut banyak orang.”

“Lhah, begitu saja kok marah-marah?”

“Karena bisa mengganggu banyak kepentingan.”

“Kepentingannya siapa?”

“Ya kepentingannya mereka yang berkepentingan.”

“Memangnya sebagai rakyat aku juga tidak boleh punya kepentingan?”

“Ya harus disesuaikan. Kepentinganmu itu harus kepentingan orang banyak.”

“Ya jelas dong, aku khan berbicara sebagai rakyat.”

“Lalu?”

“Banyakan mana coba repotnya orang-orang yang kamu anggap penting itu dengan pengorbanan rakyat?”

“Menurut kamu?”

“Jelas lebih banyak pengorbanan rakyat dong.”

“Bagaimana mungkin?”

“Lihat saja, apapun langkah-langkah yang diambil oleh orang-orang yang kamu anggap penting itu, selalunya pasti ada kontrak politik.”

“Kamu yakin?”

“Lhah, kalau tidak yakin mana mungkin aku bertanya?!”

 

Bayi-bayi tabung yang lahir di orde reformasi, mereka menjadi berjiwa kerdil karena terlalu sering sakit hati. Susu-susu yang mereka tetek dari ibunya menjadi buah kehampaan karena bau polusi dan limbah insektisida. Kita tidak membutuhkan perubahan, karena perubahan bisa berarti revolusioner. Kita hanya membutuhkan penataan ulang, sehingga nanti tidak akan menimbulkan sakit hati. Kita harus berdamai, apalagi dengan saudara sebangsa sendiri. Kita harus rekonsiliasi untuk menemukan bersama cara mencintai negeri ini dengan cara-cara yang lebih bersih dan lebih sempurna lagi.

 

Jelas sebagai bangsa yang ‘kere’ kita harus bangkit agar tidak selamanya kita menjadi ‘kere’. Kita tidak boleh menolak untuk menjadi kaya, namun kita harus mengutuk maling yang beroperasi di rumah kita sendiri. Menjadi kaya itu hukumnya wajib bagi warga ‘masyarakat kere’, agar mulut bisa kembali bersuara dan mata bisa kembali menatap utuh di segenap cakrawala.

 

“Huahahaha…!”

“Kenapa kamu tertawa?”

“Kamu lucu.”

“Kenapa lucu?”

“Karena kamu nganeh-anehi.”

Koyo wong edan maksud kamu?”

“Ho’oh. Huahaha…!”

“Biarin.”

“Kok biarin?”

“Daripada ndalho..”

“Apa itu ndalho?”

Ndalho ya konyol.”

“Kok konyol?”

“Lhah, memang konyol kok.”

“Apanya yang konyol?”

“Orang-orang yang kamu anggap penting itu.”

“Maksudmu?”

“Bagaimana enggak konyol, mereka bilang mau melakukan program pemberdayaan pada masyarakat, tapi nyatanya kalau tidak ada dana dari pemerintah mereka tidak mau melakukannya.”

“Tidak mau melakukannya?”

“Ya, karena sama-sama tidak berdaya. Huahaha…!”

“Lalu?”

“Ya ngutang lagi.”

“Lalu?”

“BBM naik lagi.”

“Lalu?”

“Ya demo lagi.”

“Lalu?”

“Kisruh lagi.”

“Lalu?”

“Kita masih tetap kere. Huahaha…!”

 

Krisis moral menghantui perjalanan anak bangsa dalam me-noto nagoro. Kedukaan masa silam sebagai bangsa terjajah untuk melepaskan diri dari belenggu keterbelakangan saling silang-sengkarut dengan ambisi pribadi untuk berlomba-lomba lekas-lekas menjadi mukti. Inilah potret kekerasan di awal perubahan yang diseragamkan dengan cadar nilai-nilai moral.

 

Benarkah kita mempunyai etika, ketika kebebasan berupaya hanya serupa menaruh cicak di sarang laba-laba? Kita harus mempunyai ruang bicara tanpa harus mengusung sejumlah arogansi massa. Kita juga harus mempunyai payung hukum yang luwes dan jelas, sehingga tidak ada pengendalian publik dengan cara-cara menurunkan keamanan model Rambo segala. Kita adalah anak bangsa yang mulia yang masih menyimpan banyak peluang untuk menjadi jaya disepanjang masa.

 

 

Wonosobo, Oktober 2004

 

 

GUSBLERO FREE

11. AMPUNI AKU, YAA RABB

shajar yunus

Aku ingin mencari Khidr, karena derita yang mengalir serupa mata air menggenang di lembah-lembah kehidupan. Aku akan mencari Khidr, seperti Wong Agung Ngeksigondo mencoba menyelaminya di dasar-dasar samudera. Tiga tahun dari tiga puluh tujuh tahun usiaku telah kujelajahi rimba nasib, terlunta-lunta sebagai seseorang yang nista, terlempar-lempar dari peradaban buram. Aku menggapai-gapai, melambai-lambai.   Duka bertunas hati tercerai berai, ke segala arah.

 

“Kenapa kamu menangis?”

“Aku tidak menangis.”

“Tapi kamu mengeluarkan airmata.”

“Aku cuma bersedih, tahu-tahu keluar airmata.”

“Kamu jelas-jelas menangis.”

“Aku cuma bersedih, tidak menangis.”

“Lalu airmatamu?”

“Aku tidak tahu, ia keluar dengan sendirinya.”

“Kalau begitu kamu pasti berduka.”

“Kenapa aku harus berduka? Aku tidak kehilangan apa-apa.”

“Kamu menangis.”

“Tidak, aku cuma bersedih.”

“Apa yang kamu sedihkan?”

“Kesedihan.”

 

Rinduku melaut sebagai manusia, rinduku membubung sebagai sesuatu yang fana. Berkali-kali nafsuku ingin tampil sebagai manusia, hatiku berontak menjadi sesuatu yang tanpa daya. Kemiskinan dan kelaparan menghantui sepanjang hari-hariku, keangkuhan dan penistaan tergelar menjadi lembaran karpet kehidupan manusia. Di manakah Khidr, wahai penghulu kutub wali abdalku?

 

“Kamu putus harapan?”

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Kelihatannya kamu terbentur cita-cita, putus asa, lalu mencoba mencari sesuatu yang tidak ada.”

“Aku tidak putus asa, gairahku melambung ke mayapada.”

“Siapa Khidr?”

“Andai saja telah kutahu, andai saja telah kujumpa.”

“Itu artinya kamu mengada-ada.”

“Itu keyakinanku.”

“Keyakinanmu terlalu mengada-ada.”

“Aku yakin terhadap apa yang harus kupercaya.”

“Kamu terlalu memuja.”

“Apakah kamu percaya kalau sorga itu ada?”

“Ya, aku wajib percaya.”

“Bagaimana kamu bisa percaya tanpa keyakinanmu?”

“Aku tidak ingin terlalu memuja.”

“Kenapa kamu mengusik-usik keyakinanku?”

“Karena itu tidak masuk akal.”

“Apakah kamu yakin akan pasanganmu?”

“Ya, seratus persen aku percaya.”

“Siapakah sesungguhnya jodohmu?”

“Tentu saja aku belum tahu?”

“Apakah kamu yakin jodohmu itu seseorang yang tengah kamu cintai, seseorang yang pernah kau jumpai, ataukah seseorang yang bahkan hingga kini belum juga kamu jumpai?”

“Tentu saja aku tidak tahu.”

“Bagaimana nanti kamu bisa tahu?”

“Ya pada saatnya nanti aku jumpa.”

“Kenapa kamu masih mencoba mengusik-usik keyakinanku?”

 

Keangkuhan seperti karet, ia muncul di banyak wajah manusia. Luput dari kesejatian, ia menjadi aneka warna kedengkian, penistaan dan ketamakan untuk berkuasa. Ia mengembara di gubug-gubug reyot, lalu menciptakan ketidakpercayaan. Ia terbang kesana-kemari, lalu menumbuhkan rasa dengki dan iri hati. Ia hinggap di atas mahkota kekuasaan, lalu membisikkan isyarat untuk melakukan serangkaian penggusuran.

 

Keangkuhan seperti Midas, ia menganggap segala sesuatu yang disentuhnya akan berubah menjadi emas. Ia juga seperti Qarun, yang menganggap segala yang telah dibangunnya akan mampu mengantarkannya menuju keabadian. Keangkuhan menciptakan lagu satu negeri satu suara ‘ABS’, kemudian mereka-mereka yang lepas dari persekutuan penyeragaman ditasbihkan untuk menjadi sesuatu yang pantas untuk dienyahkan.

 

“Siapa yang mengajarimu?”

“Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Aku hanya ingin tahu.”

“Siapa yang mengajari anak-anak kecil ngompol?”

“Aku tidak tahu.”

“Siapa yang merubah warna buah ketika tiba masa petik?”

“Aku tidak tahu.”

“Aku juga tidak tahu.”

“Maksud kamu?”

“Tadi kamu bertanya siapa yang mengajariku?”

“Ya.”

“Kamu sendiri tadi sudah menjawabnya.”

“Aku tidak jelas apa maksudmu.”

“Nanti juga akan jelas.”

“Kapan?”

“Kalau kamu sudah merasa tak pantas untuk mengusikku.”

 

Yaa Rabb…

 

“Apakah kamu punya agama?”

“Kamu juga punya agama?”

“Ya.”

“Di mana?”

“Ini di KTPku.”

“Ya sudah.”

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

 

Yaa Rabb…Yaa Rabb

 

“Apakah kamu punya perasaan?”

“Ya.”

“Di mana perasaanmu?”

“Di sini, di dalam dadaku.”

“Kenapa kamu harus marah ketika aku pukuli anjingmu?”

“Jelas dong. Semua orang juga pasti akan marah kalau binatang peliharaannya dipukuli.”

“Kenapa harus marah?”

“Karena mereka punya perasaan.”

“Aku kan tidak memukuli perasaanmu, bahkan tidak memukuli dadamu.”

“Tapi ini kan menyangkut perasaan.”

“Apa perasaanmu juga ada dalam anjingmu?”

“Kamu membuatku marah.”

“Lho katanya kamu ingin aku menjawab pertanyaanmu?”

 

Yaa Rabb, bukakanlah hatiku Yaa Rabb. Bukakanlah hatiku ke segenap cakrawala agar bisa aku temukan petunjukmu walau di sela-sela tetumbuhan yang telah layu. Bukakanlah hatiku agar aku bisa menerima petunjukmu walau itu tersimpan di dalam bongkahan batu-batu.

 

Yaa Rabb Yaa Rabb,  tuntunlah aku agar aku bisa lurus menatap arah di tengah silaunya cahaya surya dan kegelapan gulita. Ajarilah aku merenangi samudera syukur dan kecukupan sebagai apapun adanya.

 

Yaa Rabb! Yaa Rabb! Yaa Rabb!

 

Aku ingin mencari Khidr, karena rindu yang terlahir telah tertumpah-tumpah. Aku akan mencari Khidr, seperti Wong Agung Ngeksigondo mencoba memahaminya di laut-laut kaca. Tiga tahun dari tiga puluh tujuh tahun usiaku telah aku lewati menunggu kelahiranku kembali tiba. Aku memantraimu, aku memanggil-manggilmu wahai Sang Khidr, ke segenap arah.

 

“Kenapa kamu tidak pergi ke laut?”

“Kenapa aku harus pergi ke laut?”

“Menurut cerita Khidr ada di laut?”

“Khidr yang mana?”

“Ya Khidr kamu.”

“Aku belum pernah jumpa.”

“Lalu bagaimana kamu akan bertemu?”

“Tergantung Tuhan mempertemukanku.”

“Bagaimana kamu akan mengenalinya?”

“Tergantung Tuhan mengijinkannya.”

“Menurutku untuk menemuinya tetap harus pergi ke laut.”

“Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu pernah bertemu dengannya di sana?”

“Ya belum, tapi kan ceritanya begitu.”

“Rumahnya di sana maksud kamu?”

“Ya tidak tentu karena dia itu suka mengembara.”

“Lalu kenapa aku harus ke sana?”

“Ya coba-coba kalau bisa bertemu.”

“Kalau tidak ada?”

“Ya cari tempat pengembaraannya.”

“Lalu aku harus bertanya kepada siapa?”

“Ya…berdoa saja moga-moga bisa ketemu.”

 

Yaa Rabb Yaa Rabb. Bukan kehidupan membuatku sangsi Yaa Rabb, tetapi bagaimana mungkin bisa kutengadahkan mukaku bila tiada kukenal wajah kekasih-Mu Yaa Rabb.

 

Andai aku menangis bukan karena aku menyesali keberadaanku, namun jangan Engkau biarkan aku terlempar ke dalam jurang yang nista. Yaa Rabb, aku terjebak silaunya surya hingga tiada aku pahami hakikat bentuk yang sebenarnya. Aku terbiasa menjilati manisnya gula hingga tiada pernah sempurna bisa merasakan madu yang sesungguhnya.

 

Ampuni aku, Yaa Rabb ! Yaa Rabb ! Ampuni aku.

 

 

“Ehemm…aku tahu seorang guru.”

“………..”

“Mungkin ia bisa mengarahkanmu.”

“………..”

“Ia seorang yang alim.”

“Apakah ia tahu segala hal?”

“Mungkin ia bisa menunjukkanmu.”

“Apakah ia tahu perkara rindu?”

“Ia tahu banyak hal.”

“Ia tahu tentang Khidr?”

“Ia bisa mengajarimu cara bersabar.”

 

 

Yaa Rabb Yaa Rabb, andai saja aku tahu betapa pedihnya rasa rindu, tentu saja tak akan aku ungkapkan rasa cinta. Andai saja aku sadar betapa beratnya menunggu saat-saat berjumpa, tentu saja tak akan aku hitung-hitung berapa dalamnya rasa suka.

 

Ampuni aku Yaa Rabb ! Yaa Rabb ! Ampuni aku.

 

Aku ingin mencari Khidr,karena derita yang mengalir serupa mata air menggenang di lembah-lembah kehidupan. Aku akan mencari Khidr, seperti Wong Agung Ngeksigondo mencoba menyelaminya di dasar-dasar samudera. Tiga tahun dari tiga puluh tujuh tahun usiaku telah kujelajahi rimba nasib, terlunta-lunta sebagai seseorang yang nista, terlempar-lempar dari peradaban buram. Aku menggapai-gapai, melambai-lambai.   Duka bertunas hati tercerai berai, ke segala arah.

 

Aku ingin mencari Khidr, karena rindu yang terlahir telah tertumpah-tumpah. Aku akan mencari Khidr, seperti Wong Agung Ngeksigondo mencoba memahaminya di laut-laut kaca. Tiga tahun dari tiga puluh tujuh tahun usiaku telah aku lewati menunggu kelahiranku kembali tiba. Aku memantraimu, aku memanggil-manggilmu wahai Sang Khidr, di manakah engkau wahai penghulu kutub wali abdalku?

 

 

Sojokerto, Nopember 2004

 

Gusblero Free

10. DI SIMPANG JALAN

 

 

Senja seusai hujan di sebuah jalan di pinggiran jalan ibukota. Sambil menyantap semangkuk bakso yang lezatnya sampai di ubun-ubun kepala saya ngobrol dengan penjualnya. Beruntung kami tidak saling mengenal satu sama lainnya sehingga obrolan kami bisa mengalir apa adanya. Lalu, karena dia penjual bakso tentu saja pembicaraan kami sampai kepada masalah penggunaan formalin segala tentunya.

 

Menurutnya, penggunaan formalin dalam ‘budi daya manusia’ membuat bakso itu sebenarnya sudah lama, serta hampir kebanyakan dari para penjual bakso utamanya yang besar-besar memanfaatkannya, terkecuali bakso tahu atau bakso dari tepung terigu. Menjadi agak aneh kalau baru sekarang Departemen Kesehatan meng-udak-udak-nya, itu pun juga gara-gara ada orang meninggal yang bisa saja memang sudah takdir dari sono-nya. Jadi, menurutnya, semua cerita tentang orang yang meninggal karena formalin itu belum tentu mutlak karena ‘menelan’ formalin, walau bisa juga memang karena runtahan formalin yang disebabkan si tukang bakso dalam meramu melebihi takarannya. Haram itu kan kalau kita dapatnya makanan dari mengambil jatah atau kepunyaan orang lain, misal mencuri atau korupsi, itu baru haram katanya.

 

Ada benarnya juga. Formalin, racun tikus, racun serangga, pisau dapur, bahkan bubuk mesiu tidak ada haramnya. Persoalan sebenarnya terletak pada ‘benar dan tidaknya’ cara kita memfungsikannya. Racun tikus itu tidak haram – bahkan kalau kita ingin menenggaknya – akan tetapi menjadi misfungsi bila kita salah menerapkan penggunaannya. Pasal yang begini tentu saja lebih masuk kepada kategori kriminal, apalagi jika kemudian itu melibat-libatkan urusan nyawa orang lain, itu perkara dosa.

 

Sama juga dengan pengaruh formalin pada makanan. Barang yang bernama formalin ini fungsinya memang untuk pengawet benda agar tidak lekas membusuk dan apek baunya, akan tetapi menerapkan formalin sebagai ‘bumbu’ agar makanan lebih bisa tahan lama itu jelas-jelas tindakan melanggar sendi-sendi pasal kemanusiaan yang adil dan beradab dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang fasik yang kikir dan pola pikir ekonominya sudah ‘naudzubillaahi min dzalik’.

 

Formalin itu alat bukti, sama seperti pisau dapur biasa yang kemudian juga bisa menjadi alat bukti bila kita menggunakan keseluruhan benda dan barang-barang itu tidak sesuai fungsinya. Itu tidak haram, akan tetapi kriminal, dan semua itu berubah menjadi dosa kalau kita justru ‘menikmatinya’, karena meletakkan sesuatu yang salah pada tempatnya sama saja mengambil sesuatu dari benda-benda atau barang yang semestinya bukan haknya.

 

Tukang bakso itu terus nyerocos bicara, sementara saya terus menyantap bakso buatannya. Panjang lebar kami bicara apa adanya, barangkali karena kami sama-sama sadar hanya orang-orang kecil yang bisanya cuma berusaha dan terus berusaha. Jelas dia beruntung saya tak canggung dengan bakso dagangannya, karena saya yakin dia jelas tak kenal saya sehingga saya yakin tak ada alasan apapun bagi dia untuk meracuni saya, misalnya.

 

Usai makan, ini kebiasaan ‘tak senonoh’ seorang perokok seperti saya, rasanya cemplang kalau sehabis makan tidak menghisap nikotin. Ya sudah. Racun lagi racun lagi. Formalin, nikotin, asap knalpot, polusi udara, dibuahi beragam bayangan tentang kecemasan. Jangan-jangan dan jangan-jangan. Jangan-jangan satu dari antara empat penyebab ini yang akan berpotensi membunuh kita?

 

Selesai membayar bakso saya berjalan lagi. Langit mulai temaram, di sepanjang kiri kanan jalan lampu-lampu mulai menyala. Empat kilo berjalan ke arah selatan saya sampai di depan sebuah warteg lalu memilih untuk beristirahat lagi. Entah kenapa di Jakarta ini saya gampang merasa lapar? Tak puas-puasnya mencicipi racun yang bertebaran di sepanjang makanan? Ikan bandeng berformalin? Ayam goreng flu burung? Rendang daging antraks? Sop buntut sapi gila? Mie keriting saus boraks? Hahaha….! Saya ingat pesan Emha Ainun Nadjib, kalau tidak kuat beli daging sapi, beli saja bumbu royco rasa sapi katanya. Kalau tidak kuat beli daging ayam ya beli saja bumbu royco rasa ayam. Hahaha….! Lalu makanan yang higienis dan bergizi tinggi, tapi tak mengandung racun itu apa? Sayur bening di-bumbu-i royco?

 

Pukul lima sore lewat dua puluh menit. sambil menunggu pesanan siap saji, ramai-ramai kita nonton televisi. Acaranya warta berita. Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik, rencana import beras, rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia, rencana operasional pemberian dana Bantuan Langsung Tunai yang akan dijadwal enam bulan sekali, rencana relokasi perumahan rakyat, rencana, rencana dan banyak rencana-rencana lagi isinya. Saya berfikir, bertanya-tanya dalam hati, yang mana satu dari antara sekian banyak rencana-rencana ini yang paling berpretensi membunuh sesama manusia? Barangkali justru satu dari sekian alasan itu yang menyebabkan seseorang kemudian menjadi frustrasi lalu mengamuk secara buta lantaran listriknya disegel, atau karena anaknya tak bisa makan, atau karena libidonya yang blingsatan karena istri yang ingin dicampurinya lagi berhalangan? Lalu sementara semua itu berlangsung, kita mendengar tuan-tuan mulia yang ada di dewan masih dengan anggunnya berpolemik ria untuk membahas masalah kenaikan anggaran.

 

Ditengah hiruk pikuk orang ramai membuat keonaran karena hidup yang nyaman sudah kehilangan ilmunya, yang manakah satu dari antara keseluruhan penyebab-penyebab itu yang paling berpotensi menimbulkan korban sesama manusia?

 

Apakah ini azab fitnah dari sebuah jaman kacau yang oleh Rasulullah pernah diwasiatkan sebagai Ayam al-Huruj? Banyak tukang pidato namun hanya sedikit orang yang alim. Banyak peminta-minta namun hanya sedikit yang mampu memberi, dan hawa nafsu mengalahkan ilmu? Orang saling membunuh, orang saling mengunggulkan kepentingannya pribadi, sehingga seseorang sudah tidak merasa aman lagi dari kejahatan temannya sendiri? Ibadah luput dari perhatian, sogok menyogok sudah menjadi budaya kebiasaan, lalu agama dijadikan kedok untuk mengejar sekedar kepentingan dunia?

 

Seribu kawan, konon terasa kurang untuk dimiliki, namun seorang musuh sungguh terlampau banyak untuk dilawan. Masih beruntunglah kita yang tidak ikut-ikutan ngedan lalu menyinggung-nyinggung dewa maut, sehingga tidak ada alasan bagi ‘dia’ untuk mendendam persoalan apapun dengan diri kita, apalagi membunuh kita saat-saat ini.

 10-1

Sejak ada uban di kepalaku aku mulai mengenal manusia yang sesungguhnya, bahwa setiap orang yang aku kenal selalunya mempunyai maksud apa-apa.

Semoga Allah membalas baik pada orang yang tidak saya kenal kepadanya. Setiap dosa membawa aku kepada keburukan dikarenakan aku mencintai yang tidak tahu bersyukur.

 

Jakarta masuk di waktu Isya. Kali ini saya harus berfikir kemana lagi saya harus melangkah sesudah tiba di persimpangan jalan? Kecemasan, rasa was-was, timbulnya pemikiran jangan-jangan, dan jangan-jangan, menjadi jamur peradaban paling subur yang tumbuh di dalam tempurung kepala manusia. Anda jangan tertawa kalau saya sampaikan di jaman ini orang justru nampak harus lebih waspada terhadap teman atau kenalannya sendiri ketimbang terhadap orang lain. Kata-kata ‘ditipu’, ‘dikhianati’. ‘dipecat’ atau ‘dipecundangi’ mustahil lahir dari hubungan diluar orang yang sudah sama-sama saling mengenal bukan?

 

Jaman wis akhir. Bagaimana kita akan menghadapi zaman dengan sedikit ilmu, sedikit kesabaran, juga sedikit sahabat dalam mengerjakan kebaikan, serta masih ditambah pula dengan kekeruhan dan kerusakan ahlak manusia?

 

Aku minta supaya mereka taat dan zuhud, namun mereka tidak mau mengerjakannya.

Aku minta supaya mereka menolongku dalam taat dan zuhud, namun mereka enggan melakukannya.

Aku minta supaya mereka membiarkanku jika aku taat dan zuhud, namun mereka justru membenciku.

Aku minta supaya mereka jangan menghalang-halangiku, namun mereka justru menggangguku.

Aku minta supaya mereka jangan mengajakku menuju jalan yang tidak diridhoi Allah dan jangan memusuhiku jika aku tidak mau mengikuti jalan mereka, namun mereka tidak mau yang demikian.

10-2 

Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan orang-orang yang tidak kita kenal, dan ‘goodbye’ kepada seluruh teman-teman yang justru lebih sering mendatangkan gangguan dan cobaan.

 

Bintara, Januari 2006

 

Gusblero Free

9. FAT MAN ON THE CRISIS

Godfather

Lelaki gemuk dengan mulut harum baunya itu mengernyitkan dahinya. Di tengah angin Jakarta yang berhembus kering dengan temperatur udara 30 derajat Celcius mobilnya yang sejuk karena air conditioning melaju dengan kencangnya menyusuri sepanjang jalan protokol di wilayah Sudirman. Apakah ini wajah jalan-jalan raya di Jakarta yang terlihat lengang bila musim lebaran tiba?

 

Tak perduli apakah ini hari lebaran atau ini saatnya panen raya bagi masyarakat umum untuk berkumpul di lokasi-lokasi pasar tradisional, mobil lelaki gemuk itu selalu mempunyai kekuasaan untuk melenggang dengan nyaman di setiap ruas jalan, tidak terbatas hanya untuk di wilayah Jakarta, di seluruh pelosok wilayah Indonesia, bahkan mungkin juga di wilayah-wilayah negara manca. Tak perduli benar apakah ini hari libur nasional yang merupakan waktu-waktu yang paling bisa dimanfaatkan sebagian besar masyarakat untuk beranjangsana, ataukah ini hari-hari biasa di Jakarta yang sangat normal bila untuk jarak yang hanya 30 kilometer harus ditempuh dengan waktu tiga jam lamanya.

 

Mobil lelaki gemuk itu selalu dilengkapi dengan kelebihan untuk menyembelih kepadatan jalan raya menjadi tidak bermakna apa-apa. tentulah itu sebuah mobil yang sangat mahal, yang hanya satu dari antara limapuluh persen plus satu dari seluruh total penduduk negeri ini yang mampu membelinya.

 

Fat Man On The Crisis. Betapa hebat dan mengagumkannya seorang lelaki bisa menjadi gemuk dan terus bertambah gemuk di tengah krisis ekonomi yang tengah mendera sebagian besar masyarakat terkini. Gemuk, sehat, harum, serta memiliki kekuasaan lebih untuk memberikan perintah kepada siapa saja. Pantaslah bila kemudian banyak sekali orang ingin memuja-muja serta ingin bisa bertemu dan bersalaman dengannya. Tidak seperti gemuknya Si Abid yang cuma gemuk lantaran kebanyakan makan kerupuk lalu kemudian meng-gelonggong tenggorokan dengan air sebanyak-banyaknya, karena jelas mau mimpi saja ia sudah tidak bisa di Jakarta ini.

 

Jakarta, betapa banyak orang sibuk mendedah mimpi. Mimpi-mimpi yang tragis dan emosional. Tragis karena menyangkut harga diri, emosional karena tak boleh gagal. Impian-impian metropolis, impian-impian yang mengesahkan untuk melibatkan orang ramai menjadi korban. Impian-impian ini kemudian menjelma menjadi dunia tersendiri, seleksi rimba peradaban.

 

Di sepanjang jalan mimpi-mimpi mereka saling bertabrakan. Di sepanjang waktu mimpi-mimpi mereka saling mengincar kelengahan. Jakarta yang sunyi dari silaturrahmi tanpa negoisasi menjadikal panji-panji kejayaan sebagai penjagal yang tidak bisa mentolerir lagi adanya ruang kompromi, kecuali sama-sama bisa saling menukar popularitas dan kemakmuran. Semua orang berebut mimpi, semua orang berebut tempat di Jakarta ini. Kecuali orang gemuk, ia selalu bisa mem-booking tempat.

 

Orang gemuk tubuhnya sangat kuat. Ia bisa membuat ciut nyali orang lalu tubuhnya merapat. Orang gemuk yang sangat pandai, ia biasa main terjun payung dan menjadikan banyak cendekiawan laiknya orkestra. Tutur katanya manis, pandangannya selalu terbuka, tak menyisakan beban. Maklum karena ia orang kaya. Ia tak merasa canggung melangkah di ke-gemerlap-an pasar dunia, bahkan setiapkali bertemu dengan kolega-koleganya di negeri-negeri manca ia tak sungkan-sungkan untuk menebar janji : “Easy man, I will prove it. I like to build my home like yours!” Bombastis dan berkuasa.

 

Fat Man On The Crisis. Sudah pastilah ia adalah orang yang mempunyai segala rupa. Yang enteng saja membeli BBM kelas dunia, yang tak perlu merasa harus pusing-pusing dan bertanya-tanya kenapa harus memesan beras dari luar negeri. Ia betul-betul seorang lelaki gemuk yang cakap. Ketika banyak orang-orang tua menanyakan kepadanya kenapa tidak membeli beras di pasar pribumi saja ia berulang masih bisa menjawabnya : “Lhah, gabahnya saja tak laku, mana bisa berasnya mutu? Jaman sudah maju, harusnya malu dong dari dulu cuma jadi petani. Dan lagi bo ini sudah eranya industri, masa iya sih pikirannya cuma berisi sembako?”

 

Orang gemuk yang klimis. Apakah anggur dari Washington DC telah membuatmu lupa bahwa bumi senyari kita adalah wilayah agraris? Soko guru kemakmuran adalah kemandirian perekonomian di sentra-sentra pasar tradisional. Kita tidak tabu pada kemajuan yang bisa menumbuhkan prestige dan gengsi, namun kita juga tak boleh segan-segan lagi untuk kembali mengolah alam. Bukan melulu berpikiran mengenai warisan lestari, namun lebih kepada orientasi kalau ladang-ladang dan sawah-sawah kembali subur, tentu berbondong-bondong pedagang dunia mau membuka lahan usaha bisnis di sini.

 

Bah! Ini memang bukan omongan ilmiah, namun tak kurang dari sepertiga penduduk negeri menjadikan tema-tema seperti ini sebagai topik utama. Orang-orang tak berdaya, orang-orang minim daya, orang-orang yang selalu menghiasi halaman paling tebal berlembar-lembar latar belakang proposal dalam mengikat kerjasama antar negara. Mereka harus dibebaskan dari label kemiskinan yang sangat menjijikkan. Mandiri tanpa program kemandirian, mandiri yang berdikari. Nah.

 

Kalau sudah begini jangan dibilang saya sok menggurui, pun walau dibilang pamrih barangkali iya. Yang demikian lebih dikarenakan saya sadar seratus persen sadar dan tahu diri bahwa saya juga tak lebih tak kurang merupakan satu di antara sekian banyak orang-orang yang saya sebut-sebut sebagai mereka. Ya wajar dan boleh-boleh saja semisal saya juga cuma mengatas-namakan mereka, toh orang-orang borjuis di lembaga dewan juga suka ngomong begitu? Jadi, kaifa yastaqimudhilli wal ‘udu a’waj? Bagaimana bayangan bisa lurus jika pohonnya saja bengkok?

 

wa kaana syadiidul hirshi ‘alaa amwaalil muslimina laa yunfiquhaa illaa fii mashaalihihim

wa yatawallaa umuurahum bi nafsihii diinan wa siyaasatan

fayas’aa fii nasril islaami

 

Khalifah Umar Ibnul Khaththab berupaya menghimpun dana yang diakomodir dari pengumpulan harta kekayaan kaum muslimin lewat zakat dan sebagainya. Adapun penggunaannya hanyalah dikeluarkan untuk kemaslahatan mereka. Beliau sendiri memimpin kebijaksanaan mengurus kepentingan rakyat baik yang berhubungan dengan urusan politik maupun yang bertalian dengan urusan keagamaan. Demikian diterangkan oleh pengarang terkenal kelahiran Libanon beragama Kristen yang bernama George Zaidan dalam bukunya Tarikh Attamaddunil Islam jilid IV terbitan Darul Hilal Cairo tahun 1927.

 

Fat Man On The Crisis. Lelaki gemuk dengan simpanan banyak dasi. Mengherankan sekali ia bisa kian gemuk tanpa terkena polusi di tengah wabah lapar dan kian fakirnya para pengangguran yang kian menumpuk berjejal-jejal dari hari ke hari. Ahh…Fat Man On The Crisis, God bless all the day whenever you command the countries.

 

Kalimalang, 18 Januari 2006

 

Gusblero Free

8. KERAJAAN EDEN

FOTO-HAJI-2014-_-Jemaah-Haji-Melempar-Jumrah-di-Mina

Sesudah ada Lia Aminuddin – yang pernah mengaku menjadi Imam Mahdi, Bunda Maria, dan lalu terakhir menjadi Malaikat Jibril yang akhirnya membuatnya harus berurusan dengan pihak aparat penegak hukum – selanjutnya akan ada apa lagi? What’s the next gitchu loh?

 

Sesudah ada Kerajaan Eden yang ngasor ke bumi, lalu gudang formalin dibumi hangus, terus berikutnya akan ada apa lagi? Bunga rampai dunia kian hari kian aneh-aneh saja. Persoalan ‘ngaku-mengaku’ sebenarnya tidaklah telak-telak benar menjadi sumber masalah antar manusia sepanjang persoalan ‘pengakuan’ ini tidak menimbulkan mudharat bagi manusia lainnya. Bahkan persoalan ‘ngaku-mengaku’ ini secara esensial sesungguhnya justru berhadap-hadapan langsung dengan hakikat dan moral si subyek, malu atau tidak ia mengaku begitu sebagai si pelaku.

 

Kalau saya mengaku sebagai salah satu cenayang yang kemudian berhasil mendudukkan SBY di tampuk kekuasaan, misalnya. Lalu tak lama berselang benar-benar ada orang yang katepu habis-habisan dengan mempercayai omongan saya yang unbelieved itu, tentu kemudian kembali kepada etika moral saya sendiri, malu tidak saya berbuat begitu? Idza lam tastahi fasna ma syi’ta, kalau tidak malu perbuatlah sesuka hatimu.

 

Kembali kepada Lia Aminuddin – kalau ini harus dimaknai sebagai fragmen kehidupan – menurut saya letak kesalahannya bukan pada persoalan kata ‘mengaku’, namun lebih pada kesalahan ‘menentukan obyek’. Di jaman yang segalanya lagi terasa amburadul ini dengan ekonomi kerakyatan yang centang-perentang dan masa depan yang nyaris tak tentu barangkali akan lebih selamat kalau ‘beliaunya’ ini ‘mengaku’ bukannya sebagai Malaikat Jibril, namun sebagai Malaikat Mikail.

 

Jadi, pertanyaan saya sebenarnya sederhana saja, kenapa kok ya justru harus mengaku –ngaku ditemui oleh Malaikat Jibril, kok ya bukannya Malaikat Mikail. Kalau itu yang terjadi, tentu akan lain lagi kisahnya.

 

Coba bayangkan. Di tengah pengangguran yang kian melambung tinggi dan orang-orang kecil yang nampak kian tak berdaya saja ini, kalau saja ada orang yang mengaku mendapat bisikan dari Malaikat Mikail terus mau membagi-bagikan rejeki yang melimpah ruah kepada masyarakat kecil kebanyakan saat ini tentu itu tak bakalan benar jadi masalah. Bahkan, kalau memang mau begitu, tidak usah tanggung-tanggung cuma mengaku-ngaku mendapat bisikan dari salah satu malaikat Allah tersebut, kalau perlu menyebut diri sebagai Malaikat Mikail, atau ‘keponakan Tuhan’ sekalipun juga boleh-boleh saja.

 

Di luar urusan yang mungkin bisa berpretensi memecah belah sebuah umat sudah pasti urusan Lia Aminuddin bukan urusan saya. Mohon maaf, saya tidak pada level untuk gampang terharu biru dan percaya kepada sembarang ‘pengakuan’ orang.

8-1

Dunia itu ibarat ladang tempat bercocok tanam guna kita raih hasilnya di akhirat. Kalau persoalannya cuma sekedar ‘peran memperankan’ dan bukannya ‘memerankan peran’ itu saya kira kita lebih baik menghemat energi, walau pun toh untuk sekedar memberikan komentar.

 

Deddy Miswar dulu pernah jadi Naga Bonar, Si Midun atau siapa itu, dia bahkan pernah jadi Sunan Kalijaga. Itu jelas peran, segalanya bisa kita terima. Persoalan akan menjadi lain jikalau kata-kata ‘jadi’ di sini tidak bermakna ‘jadi-jadian’, dan bahkan merasa perlu digaris bawahi dengan pengangkatan sumpah-sumpah segala, karena sebuah sumpah, bagaimana pun, itu telah berarti ‘mengikat’ sebuah hidup dan kehidupan.

 

Ada banyak orang dalam kehidupan kita ini bisa menjalani peran sebagai apa saja dan menjadi apa saja. Ada orang mempunyai kehidupan yang sangat dinamis seperti urat nadi kehidupan seorang presiden, toh tetap saja ia bukan seorang presiden. Gus Dur itu mau jumpalitan seperti apa ya tetap saja lebih baik tampil sebagai Gus Dur, bukan sebagai mantan presiden, logikanya karena mantan presiden itu banyak, maknanya kalau dia lebih mencondongkan diri kepada pilihan yang lebih banyak itu berarti ia akan kehilangan identitas diri. Presiden ya presiden, Gus Dur ya Gus Dur, Lia Aminuddin ya Lia Aminuddin, logika ini lebih condong kepada ke-ridho-an dan pertanggung-jawaban kita sebagai manusia terhadap Allah.

 

Susah-susahe manungsa iku ora iso dianggep iso, ora duwe diarani duwe. Kesedihan seorang manusia itu adalah tatkala ia dianggap bisa melakukan sesuatu yang sesungguhnya ia tak mampu. Kedukaan lainnya adalah tatkala ia dianggap memiliki sesuatu yang sesungguhnya tidak dipunyainya. Maka alangkah berkecukupannya seseorang yang mampu meletakkan dirinya antara jalan khauf (takut) dan roja’ (harapan). Sebab sebenarnya lah harapan yang sejati itu tidak terpisah dari rasa takut yang sejati, juga takut yang sejati tidak terpisah dari harapan yang sejati. Harapan itu seutuhnya bagi orang yang takut, dan perasaan takut itu muncul seluruhnya dari dari orang yang berpengharapan sejati, bukan dari mereka-mereka yang putus asa.

 

Antara harapan dan kecemasan harus menjadi sesuatu yang seimbang, karena barangsiapa terlalu roja’ (besar harapannya) dikhawatirkan ia akan menjadi golongan Murji-an yang berpendapat dosa itu tidak ada bahayanya, atau dia akan menjadi golongan Harami yang menyatakan semua yang diharamkan itu boleh dilakukan saja, karena besar harapan semua dosanya akan diampuni Allah.

 

Saya ingat benar dulu sewaktu kita masih kecil suka sekali bermain sandiwara, dokter-dokteran, bakul-bakulan, main petak umpet, monopoli, dan sebagainya, dengan menggunakan daun yang kita anggap sebagai mata uang, atau duit kertas bergambar presiden Amerika pada saat kita bermain monopoli. Itu dulu. Goblok betul kalau sekarang ini kita masih percaya orang belanja boleh menggunakan duit dari daun-daunan, atau orang membeli pombensin dengan menggunakan duit-duitan gambar presiden Amerika. Kalau itu yang terjadi, jelas pembela hukum dari kalangan manapun akan dipaksa pusing tujuh keliling mencari pasal paling argumentatif dari sebuah kasus yang bisa dianggap sebagai sebuah ‘ketololan yang tidak termaafkan’.

 

Imam Ghozali dalam kitabnya Minhajul ‘Abidin menerangkan : diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melihat Malaikat Jibril As menggelantungi kelambu Ka’bah sambil menangis tersedu-sedu dan berdoa :  Yaa Allah Yaa Tuhanku, janganlah hendaknya namaku dirubah dan jangan pula jasadku ditukar. Masya Allah. Haqq al-Adam. Lalu kedengkian dan ke-dzalim-an seperti apakah yang tumbuh dalam dada manusia bila kemudian akhirnya ada yang melahirkan perbuatan itu dengan cara menyaru, men-salin rupa antara pribadi yang satu dengan pribadi lainnya?

 

Lain Lia Aminuddin, lain pula ‘Lia Amanuddin’. Barangkali beda tulisannya sih cuma Amin dan Aman, antara i dan a. Namun dari sisi maknanya jelas jadi berbeda. Kata-kata ‘amin’ lebih kental nuansa roja’ –nya, sementara kata ‘aman’ lebih condong kepada sifat qana’ah. Aman bisa berarti tenang mengikuti irama, aman bisa berarti nyaman selaras keinginan manusia, aman bisa berarti juga ‘tidak terbuka kedoknya’. Yang pasti, kata-kata aman itu jelas lahir dari sebuah situasi yang bisa dimaknai tanpa kecemasan.

 

Allah yang sama-sama kita sebut dalam setiap munajat kita, pun bisa melahirkan tafsir yang berbeda manakala masing-masing dari kita merepresentasikannya sesuai ‘keinginan’ kita semata. Apa yang dimaksud dengan ‘Tuhanku’ ‘Tuhanmu’, ‘Allahku’ ‘Allahmu’, ‘harapanku’ ‘harapanmu’ bisa saja tidak akan menemukan titik temu, pun walau kita saling duduk berhadap-hadapan, pun misalnya kita telah berikrar seia sekata, senasib seirama,  atau pun walau telah sepuluh tahun kita telah tidur bersama, dalam keadaan sadar dan sangat leluasa.

 

Dalam sebuah sabdanya Nabi Muhammad SAW mengatakan : setiap dilahirkan anak Adam, Allah menyertakan lahirnya Malaikat dan lahirnya setan. Lalu setan nongkrong/bercokol pada telinga hati sebelah kiri, dan malaikat pada telinga hati sebelah kanan, kedua-duanya membisikkan ajakannya masing-masing.

 

Selanjutnya Nabi SAW juga bersabda bahwa pada hati manusia ada tempat singgah untuk setan dan Malaikat, disamping kedua-duanya ada pada diri manusia tabiat yang cenderung kepada keinginan untuk mendapatkan kesenangan tanpa menghiraukan baik buruknya melalui pintu hawa nafsu. Lalu yang pertama-tama terlintas dalam hati manusia disebut khotir.

 

Khotir dari Allah yang pertama-tama itu adakalanya berupa kebaikan untuk memuliakan dan menetapkan hujjah, disaat lain bisa berupa ujian untuk meneguhkan iman. Adapun khotir lainnya datang dari Malaikat Mulhim (Malaikat Allah yang memunculkan ilham) yang selalunya muncul berujud kebaikan, karena memang tugasnya selaku penasihat yang mursyid. Sementara khotir-khotir lainnya datang dari setan dan tuntutan hawa nafsu.

 

Jaman dulu orang menganggap Tuhan ada di pohon-pohon besar, batu keramat, di puncak gunung, atau di tengah samudera. Yang demikian bisa jadi tanjakan khotir dalam mencari eksistensi spiritual. Kalau jaman sekarang masih ada yang berbuat begitu, semisal menganggap Tuhan itu adanya di awang-awang, atau di Mangga Besar, atau di Pasar Senen, itu jelas perilaku menyimpang, yang kalau kita memang masih cukup waras akan menyikapinya dengan no way, bukan sekedar no comment seperti adatnya Desy Ratnasari bilang.

8-2

Bagi saya, cukuplah bagiku Allah, yang tak terumpamakan lainnya, tak samar dalam segala firman-Nya, tak fana dalam segala keabadian-Nya. Subhanallaahi wal hamdulillaahi wa laa ilaha ilallaahu akbar.

 

Yaa Allah, tempatkan cahaya di dalam hatiku dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di hadapanku dan cahaya di belakangku, cahaya di tangan kananku dan cahaya di tangan kiriku, cahaya di atasku dan cahaya di bawahku, cahaya dalam penglihatanku dan cahaya dalam persepsiku, cahaya dalam air mukaku dan cahaya dalam dagingku, cahaya di dalam darahku dan cahaya di dalam tulangku.

Tambahkan padaku cahaya dan berikan padaku cahaya, dan tunjukkan untukku cahaya dan berikan padaku lebih banyak cahaya. Berikan padaku lebih banyak cahaya.

 

Bekasi, 12 Januari 2006

 

Gusblero Free

7. OBROLAN PINGGIR KALI

Opera Kecoa_Teater Koma

Saling ‘mengobral’ omongan seraya ikut-ikutan menganalisa situasi negeri sak uni-unine di pinggir kali masih sering saya lakukan, dan walau pun pemerintah sudah membangun center building yang cukup leluasa untuk mengadakan meeting, serta ruang publik anti polusi rokok yang cukup bisa bikin kapok the smokers, namun bagi saya masih merasa lebih baik untuk debat secara total di tempat-tempat terbuka seperti pinggir kali itu. Pertimbangannya sederhana saja. Di tempat terbuka dengan udara siap menampar-nampar lebih dari sekedar air conditioning itu segala perbincangan bisa mengalir lebih tulus, tanpa harus dibebani rasa ewuh-pakewuh seperti kebanyakan dialog yang sering muncul di televisi. Selain itu, minimal saya bisa ngelaba untuk sedikit beramal dengan menyumbangkan sedekah yang tak seberapa bagi kemakmuran hidup ikan-ikan yang gentayangan sepanjang aliran sungai yang kadang tak malu-malu menyentuh pantat saya, yang barangkali dianggapnya sebagai salah satu dari sekian pantat yang cukup dermawan ini.

 

“Untung sekali ya Ing, begini-begini kita masih mempunyai sungai.” Ujar Juki tiba-tiba terhadap Iing. Nama lengkapnya Boeing Tunov (Rabu Paing Pitu November), namun biasa disapa dengan panggilan Iing.

“Hahaha…memang sungai ini punya moyang kamu?” Jawab Iing sambil mencipratkan air ke muka Juki.

“Minimal kita bisa ikut nebeng untuk sedikit tidak dirusuhi dari jaman yang kian edan seperti sekarang-sekarang ini.”

Modhol tinggal modhol saja masih pake mikirin jaman. Hahaha….!”

“Coba di kota Ing, orang minum air aquanya segelas cuma lima ratus perak, mosok  giliran mau buang airnya musti bayar seribu. Apa ini bukan edan namanya ha?” papar Juki dengan tampang yang sangat serius. Memelas dan serius, membuat siapapun yang hadir di tempat itu jadi terbahak-bahak.

 

“Tahu enggak kenapa harga tanah di Jakarta menjadi begitu sangat mahalnya?” kali ini pertanyaan datang dari Baron yang segera ikut nimbrung dalam pembicaraan.

“Karena tanahnya tinggal sedikit, sampai-sampai orang mau nguburin jenazah saja pake ngontrak.” Jawab Juki.

“Bukan.”

“Lalu kenapa?”

“Karena orang Jakarta itu kalau ngitung tanah tidak cuma panjang kali lebarnya saja, tapi juga tingginya. Itung-itungannya gedung tertinggi yang ada di sekitar situ. Hahaha………..!”

 

Obrolan orang-orang kecil memang selalunya begitu. Kelihatannya tidak ‘mutu’, namun apa-apa yang mereka perbincangan itu sebenarnya merupakan realitas kondisi sosial yang paling riil kalau kita ingin mendengarkan sebuah berita. Omongan-omongan mereka yang tidak ‘intelek’, bahkan boleh dikata pure ‘out-telek’ itu bisa menyiratkan banyak hal yang seharusnya bisa menjadi semacam pertimbangan bagi siapapun penggenggam kekuasaan di Republik ini. Tidak perlu tersinggung, dialog-dialog yang terasa spontan dan lepas itu barangkali saja juga bisa menjadi rujukan bagi terciptanya rumusan para tehnokrat dan kaum birokrat di negeri ini menjawab sebuah tantangan zaman.

 

“Tahu enggak gambaran pemerintahan kita yang sekarang ini?” Tanya Boeing dengan tatapan yang cukup serius. Bukannya menjawab pertanyaan Boeing, orang-orang di sekitar itu justru malahan tertawa ngakak karena mereka pikir sudah pasti si Boeing kita ini pasti cuma sekedar mau ngocol.

“Serius nih. Kok malah ketawa-ketawa. Tau enggak?” cecar Boeing lagi mengulangi pertanyaannya.

“Enggak, enggak. Gimana?” jawab rekan-rekannya kompak.

“Ada nih sebuah cerita tentang seorang profesor yang harus lari-lari sampai ke hutan karena di kejar-kejar oleh orang-orang yang miskin dan lapar.”

“Dia itu lari dan terus lari sampai akhirnya dia sampai ke sebuah jalan yang buntu. Profesor ini pucat bukan kepalang, ketika ia menengok ke belakang masih banyak saja orang-orang yang terus mengejarnya, kali ini jumlahnya justru kian banyak, bahkan ada yang sambil membawa-bawa parang dan senjata tajam lainnya.” Boeing melanjutkan.

“Lalu?”

“Untunglah kemudian profesor itu melihat ada sebuah jembatan. Ia pun segera lari ke sana. Namun betapa makin pucatnya ia ketika baru saja akan meniti jembatan ia melihat seekor harimau yang terlihat sangat buas sudah siap menunggunya di ujung jembatan.”

“Terjun ke sungai dong?” kata Juki sok tahu.

“Betul. Maunya profesor tadinya juga begitu. Namun apa dinyana ternyata di bawah jembatan juga sudah menunggu sekumpulan buaya buas yang nampaknya siap menunggu mangsa.”

“Ya terbang.” Jawab Juki asal-asalan.

“Manusia mana bisa terbang?”

“Lantas?”

“Nah itu pertanyaanku sekarang. Menurut kalian apa yang harus dilakukan si profesor kemudian?”

“Minta ampun sama orang-orang yang mengejarnya?”

“Ya matilah dia, orang-orang itu butuhnya makan. Daging seorang profesor kali-kali enak pikirnya gitu.”

“Apa ya?” gerutu semua yang ada di tempat itu serempak.

“Huahaha….dia yang profesor saja bingung mau gimana, apalagi kalian?” jawab Boeing sambil terbahak-bahak.

“Sialan lu. Lalu soal pemerintahan kita sekarang ini?”

“Belum juga paham? Huahaha….! Inget-inget dulu kita pernah punya Habibie yang jadi presiden, dia itu juga profesor. Tahu artinya? Orang yang sudah profesor saja bingung mikirin nasib bangsa ini, apalagi yang bukan. Iya enggak? Huahaha…….!”

“Menurut saya sih tidak begitu.” Komentar Baron. Nampaknya dia juga tidak mau diremehkan soal pendapatnya.

“Lantas?”

“Soal bingung sih nampaknya semua orang juga mengalaminya. Tapi yang lebih parah adalah munculnya sebuah aturan, yang tentu saja nggak mungkin bisa sehat dan fair lah karena munculnya saja saat kita masih kebingungan.”

“Misalnya?”

“Pengawasan ketat terhadap pondok-pondok pesantren karena disinyalir sebagai sarang pendidikan teroris, itu lucu.”

“Lantas?”

“Penyakit yang menggerogoti bangsa kita ini kan tidak cuma teroris. Kalau mau fair mustinya tutup juga tuh perguruan-perguruan tinggi yang justru lebih menghasilkan banyak koruptor-koruptor berdasi. Iya nggak?”

Ups ! Huahaha……! Boleh, boleh juga.”

“Iya kan?”

“Iya, iya. Tapi media juga harus begitu. Meliput beritanya harus secara benar, juga aktual.” Juki nimbrung lagi.

“Kita lihat sudah cukupan baik.” Kata Boeing datar.

“Kalau bisa yang lebih baik lagi dong.” Juki tetap saja ngeyel.

“Lha gimana lagi?”

“Reporter yang baik itu harus sudah bisa meliput berita sebelum kejadiannya berlalu atau selesai, jadi liputannya aktual.”

“Misalnya?” desak Baron.

“Pas ada kejadian kebakaran harusnya mereka sudah pada datang sebelum rumah terakhir ludes. Kalau pas ada kecelakaan misalnya lagi, mustinya mereka juga bisa ikut bantu-bantu menolong.”

“Lho, itu kan tugas medis?”

“Mereka minimal bisa bantu kasih tahu.”

“Lhah, kalau pas ada perkosaan?”

“Nah, itu dia…..huahahaha…….!” kali ini Juki yang berjingkrak-jingkrak. Dia merasa sudah bisa memenangkan siaran langsung sak unine dhewe itu yang membuat rekan-rekannya menjadi kheki.

 

Saya hanya tersenyum. Di dalam ruang perdebatan yang ‘sporadis’ seperti itu saya merasa lebih aman hanya dengan menyimak dan mencatat seluruh dialog untuk menyegarkan kembali pikiran yang kusut dengan segala hal yang berbau formalitas, kaku, seperti formalin. Ngomong-ngomong sesama orang dalam kondisi ‘waras’ saja kadang-kadang belibet, apalagi krisis saat ini yang sungguh-sungguh menempatkan banyak orang dalam situasi tak menentu. Alih-alih ikut memberikan komentar, saat seluruh konsentrasi dalam keadaan blank tak jarang kita justru mendapatkan kesimpulan final yang sungguh-sungguh sangat mengerikan : “Berbuat nggak bener aja susah, apalagi pake jalan yang bener?” Nah lhoh.

 

Karena situasi dan kondisi tertentu kita memang kadang-kadang lebih suka mem-pamali-kan diri dari bersinggungan dengan moral. Level masyarakat dalam kondisi begini memang agak-agak susah kalau harus disuruh mendengarkan, kecuali kalau memang dibayar. Money politic yess, daripada politik no money.

 

Pada umumnya rakyat mempercayai begitu saja omongan para pemimpin, tanpa berusaha untuk mencari-cari pembuktian apakah pemimpin-pemimpin itu benar-benar setia memperjuangkan kerakyatan atau tidak. Kita menjunjung benar dengan apa yang dinamakan faham demokrasi. namun susahnya, kemampuan untuk melakukan tajassus, mengikuti jejak langkah seorang pemimpin untuk mengetahui apa-apa yang telah dilakukannya dianggap sebagai budaya ‘makar’, budaya tidak sendhiko dawuh kepada Yang Dipertuan Mulia. Rakyat hanya boleh datang dengan satu sikap yang sama : mempercayai pemimpin!

 

Bekasi, 8 Januari 2006

 

Gusblero Free

6. NOT ENOUGH MISSCAL, I MISS U

coast-631925__340

Aku kangen banget Yaa Allaahu

Bisakah kita ketemu malam ini?

Allah merindukan mahluknya untuk menyapanya, namun kedangkalan rasa syukur dalam diri kita hanya membuat kita menunduk-nunduk kepada sesuatu yang tampak terlihat oleh mata. Keanggunan sesosok tubuh, keindahan sepotong benda, kecemasan akan kemelaratan, kewibawaan seorang penguasa, juga ancaman teror dari sang pembuat angkara murka menciptakannya kekuasaannya sendiri dalam persepsi yang menghancurkan keyakinan dalam lubuk sanubari untuk tetap menunduk dan merendah hanya kepada Allah semata.

Harinya lama banget Yaa Allaahu

Rasanya pengin segera ketemu malam ini

 

Allah selalu terbuka untuk menjalin komunikasi dengan hambanya, namun kita sendiri yang cenderung untuk selalu membatasi. Di dalam saku baju dan celana kita, di dalam tas koper dan tas yang melilit di pinggang kita, di dalam mobil yang mewah dan harum baunya, di dalam ruang yang sangat terang dan sejuk suasananya, beribu-ribu memori nama, berjuta-juta digit angka kita simpan dengan amat rapinya di dalam handphone, dan ternyata, sering benar kita selalu melewatkannya untuk menghubungi Allah melalui nomor spesialnya 42443.

Demi Asma-Mu Yang Maha Pengampun

Maafkan aku ya kemarin ketiduran

 

Allah rindu serindu-rindunya, menunggu tak jemu-jemunya agar kita memanggil asma-Nya dengan sapaan-sapaan I love U yang sangat mesra, namun kebebalan cara berpikir kita menciptakan pagar-pagar dan gap hubungan dalam berkomunikasi dengan-Nya. Kita terkadang meng-emoh-i satu nomor itu, kita takut seperti halnya kita takut kepada matematika, pada sesuatu yang eksak, wajib, zakelijk, dan tidak boleh berubah bahwa 1+1=2, bahwa minum minuman keras+pacaran di luar batas itu neraka, bahwa bangun terlalu pagi itu tidak enak, bahwa kerja tanpa korupsi itu sok mulia.

Sekarang aku lagi rapat Yaa Allaahu

Dukung aku ya biar sukses

 

Allah sangat senang mendapat perhatian dari kita yang seutuhnya, pun walau sebagian besar waktu kita habiskan untuk bersenang-senang saja. Kita terlalu banyak memuji hanya untuk mendapatkan gengsi, kita terlampau sering berbuat latah hanya agar segera bisa mendapatkan jabatan secara mudah, hingga ketika kita pulang larut malam mulut kita sudah menjadi kering karena ludah kita telah tersedot habis hanya untuk sekedar berbasa-basi. Kita terlalu lelah untuk melihat sajadah, karena kedua mata kita telah terkunci untuk menyimpan banyangan yang indah-indah.

Aku berhasil Yaa Allaahu

Rasanya tak sabar ingin kuceritakan semua ini

 

Allah sangat Maha Pemurah memberikan kado karunia dikala kita sedang payah. Lalu jantung kita terpesona oleh iklan-iklan dan layanan kenikmatan yang ditawarkan oleh peradaban, hingga kita silap kepada sesuatu yang lebih fitrah. Di sepanjang jalan kita menzalimi diri dengan cara meng-eksploitasi secara vulgar seluruh angan-angan yang tumbuh secara liar di dalam hati. Di sepanjang waktu tak bosan-bosannya kita menendang-nendang larangan agama hanya agar kita bisa menikmati hidup sepuas-puasnya.

Akhirnya akan segera sampai saat-saat itu Yaa Allaahu

Kita akan segera bertemu lagi

 

Allah sangat kekal kasih sayang-Nya, dan Dia tiada pernah lelah menjaga kekekalan-Nya. Bulan melingkari jagat raya, bintang-bintang beredar dalam manzilah-manzilah, seluruh rahasia alam semesta terbuka dalam genggaman-Nya. Allah yang Maha Hadir ketika kita menyeru asma-Nya, Allah yang Maha Ada ketika kita sujud bersimpuh pasrah dalam rengkuhan-Nya.

Laisa kamitslihi syai’un! Laisa kamitslihi syai’un! Maha Suci Allah yang selalu Maha Berbeda dengan mahluk-Nya, Allah yang Maha Supel dan Maha Bijaksana dalam segala personifikasi-Nya.

Allaahu Yaa Allaah! Allaahu Yaa Allah!

Terimalah sujudku yang kini ***

 

Bekasi, 7 Januari 2006

Gusblero Free