Pagi hari di depan gardu pos penjagaan istana kepresidenan seorang lelaki tua nampak berjalan tertatih sambil menjinjing sebuah kurungan yang ditutupi dengan kain kelambu berwarna hitam. Ia adalah seorang lelaki renta yang telah berjalan sangat jauh dari sebuah desa di lereng pegunungan Tangkuban Prahu hanya untuk menghadiahkan seekor burung perkutut untuk Presiden, begitulah yang dikatakannya. Dan nampaknya memang begitu, tak kurang tak lebih ‘hanya sekedar memberikan burung perkutut sebagai hadiah’. Ini terbukti dengan keengganannya untuk mengisi buku tamu, walau seluruh pertanyaan dari para penjaga dijawabnya dengan sejujur-jujurnya. Lalu setelah menyerahkan kurungan itu, ia segera undur diri mohon pamit serta mendoakan semoga sang pemimpin selalu dianugerahi Tuhan jalan keselamatan.
Lelaki itu kembali pulang, jalan kaki, ya sekali lagi jalan kaki. Bedanya kalau jalan kaki kali pertama saat menuju istana semata-mata labih kepada kehati-hatiannya agar burung perkutut yang dibawanya tidak mengalami shock sepanjang perjalanan yang dilewatinya, maka kepulangannya dengan berjalan kaki adalah untuk mensyukuri setiap jejak langkah yang telah mengantarkannya hingga sampai di pintu gerbang istana kepresidenan. Sungguh seorang lelaki tua yang sangat sederhana. Tulus dan sederhana.
Burung perkutut itu bernama Slamet, seperti lazimnya burung perkutut piaraan ia memang harus mempunyai nama. Setiapkali dipanggil namanya perkutut itu selalu menyahut dengan suaranya yang ‘kung’, merdu dan melengkung, membuat gembira siapapun yang mendengarnya. Tanpa terkecuali para penjaga pos istana kepresidenan itu, berapa kalipun mereka menggoda dan menyapanya, perkutut itu selalu menjawabnya dengan suaranya yang kung-kang-kung-kang-kung.
Semua orang tertawa. Tak sabar ingin menyampaikan hadiah yang diperkirakan akan bisa menyenangkan junjungannya, seorang penjaga bersegera membawa kurungan itu menemui sekretaris dalam istana agar segera dihaturkan kepada Presiden.
Slamet Slamet Slamet……..Kung !
Slamet Slamet Slamet……..Aghh !
Langit terang udara tenang. Di pagi hari Presiden membaca koran di aula belakang. Melihat salah seorang sekretarisnya masuk menghadap seraya membawa kurungan nampaknya cukup membuat hatinya bertanda tanya. Kelopak matanya terangkat, dahinya merenung. Ia menatap tajam ke arah sekretaris yang secara tergopoh-gopoh segera menjelaskan apa yang sesungguhnya tengah dibawanya.
“Seorang lelaki tua menghaturkan hadiah ini untuk Bapak.” Ucapnya dengan badan setengah membungkuk. Sebelah tangan kanannya menunjuk dengan sopan ke arah kurungan.
“Hadiah? Siapa?” Pertanyaan yang diajukan nyaris tanpa ekspresi ini rupanya cukup membuat gugup sekretaris. Khawatir akan semakin bingung dalam menjawab pertanyaan dari Presiden, sekretaris itu segera membuka kain kelambu yang menutupi kurungan.
“Seekor burung perkutut, Pak.” Jelasnya seraya tersenyum.
“Burung perkutut?!”
“Iya Pak.”
“Dari siapa?”
“Seorang lelaki tua Pak.”
“Siapa?”
“Dia bilang katanya dari lereng Tangkuban Prahu.”
“Siapa?”
“Lelaki tua itu.”
“Siapa?”
“Lelaki itu cuma bilang begitu.”
“………………………….?”
“Katanya mau ngasih hadiah sama Bapak.”
“………………………….?”
“Coba nanti saya tanyakan pada penjaga, Pak.”
Hening dalam ruangan. Presiden nampak kembali akan melanjutkan membaca koran. Sekretaris itu rupanya menjadi salah tingkah. Dia sudah akan mencapai pintu keluar ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Emm…nama perkutut itu Slamet, Pak.” Ucapnya sedikit pelan.
“Ya?!”
“Perkutut itu Pak, namanya Slamet…….”
“Slamet?!”
“Iya Pak, Slamet. Tadi penjaga pos bilangnya begitu, namanya Slamet. Iya, Slamet.”
Sekretaris itu terus berusaha menjelaskan walau dari wajahnya jelas kelihatan ia agak takut-takut bakal mendapatkan teguran dari Presiden. Beruntung belum lagi hilang gema suara dari Sekretaris mengucapkan slamet slamet slamet, perkutut dalam kurungan itu nampak sudah mulai menari-nari sambil memamerkan suaranya yang kung-kang-kung-kang-kung membuat Presiden sedikit terhenyak. Kejadian itu tak pelak sedikit melegakan hati Sekretaris, apalagi kemudian dilihatnya Presiden segera bangkit dari kursinya.
“Hahaha………! Slamet ya? Slamet ya?”
“Kung!”
“Slamet….!”
“Kung!”
“Slamet Slamet Slamet………..!”
“Kung kang kung kang kung……..!”
“Ok!”
“Kung!”
“Hahaha………! Slamet Slamet Slamet……!”
“Kung kang kung kang kung……..!”
“Yess…!”
“Kung!”
Presiden itu begitu gembiranya hingga tak memperhatikan beberapa orang di sekitarnya juga ikut-ikutan tertawa. Pertanyaan tentang siapa sebenarnya lelaki tua yang telah mengirimkan perkutut itu ke istana nampaknya untuk sementara waktu terlupakan begitu saja.
Slamet Slamet Slamet……..Kung !
Slamet Slamet Slamet……..Aghh !
Hari-hari berlalu, perkutut itu kian hari kian terlihat jinak dan akrab dengan Presiden. Di sela-sela waktu senggangnya Presiden terlihat kerap mengajaknya bercanda. Satu hiburan baru nampaknya telah ikut melengkapi kegembiaraan suasana setiap pagi di aula belakang istana.
“Slamet Slamet Slamet…..!”
“Kung kang kung kang kung..!”
“Ok, Slamet?!”
“Kung kung!”
“Yess..!”
“Kung!”
Masya Allah wa Subhanallaah…..
Berapa banyak orang yang kuat, kuat sekali dalam tindakan-tindakannya lagi pintar, akan tetapi dia tidak kaya
Dan ada orang yang lemah, lemah sekali dalam tindakan-tindakannya, tetapi seakan-akan rizkinya tinggal menciduknya dari lautan
Ini adalah suatu tanda dan bukti bahwa Allah terhadap mahluknya mempunyai rahasia yang samar dan tidak terbuka
Kewajiban bagi seorang yang kuat pendiriannya haruslah memandang amal sesuai hakekatnya, amal secara sebenar-benarnya. Hendaklah kita jangan memandang selain kepada Allah, sebab apabila amal itu berkenan diterima dan dimuliakan oleh Allah, maka anugerah yang besar akan didapat semata-mata karena karunia-Nya. Dan hendaklah kita senantiasa berhati-hati dalam mengerjakan amalan amal itu, karena sekiranya amal-amal tersebut tidak pantas untuk dihadapkan untuk mendapatkan ridho-Nya, maka hilanglah nilainya yang tinggi itu dan kembali kepada nilai asalnya, atau bahkan lebih hina lagi tanpa ada harganya sama sekali.
Seikat mawar yang harganya di pasar cuma seribu rupiah, namun kalau seseorang mempersembahkannya kepada seorang raja yang mana raja tersebut kemudian berkenan menerimanya, barangkali akan membuat mawar yang tadinya cuma seharga seribu rupiah menjadi berharga seratus ribu rupiah. Sebaliknya jika raja kurang berkenan maka mawar tersebut harganyapun akan kembali seperti semula, murah dan hanya sekadar harga. Demikian juga dengan amalan amal kita. Rendahkan suaramu, memujilah hanya kepada yang Maha Berhak untuk menerimanya. Insya Allah hati kita akan tenteram dan merasa damai senantiasa.
Masya Allah wa Subhanallaah………….
Dua bulan semenjak tinggal di istana burung perkutut itu semakin membuat banyak orang terpikat kepadanya. Sampai suatu hari tiba-tiba perkutut itu terlihat lesu dan tak berdaya. Ia hanya diam membisu sepanjang hari dalam kurungan serta tidak mau makan dan tidak mau bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Hal ini tak urung membuat Presiden menjadi murung hingga menyebabkan para pegawai istana jadi ikut-ikutan terkena getahnya. Segera dipanggilnyalah seorang dokter hewan yang ada untuk mengetahui apa sebenarnya yang tengah dialami burung perkutut itu.
Namun walau sudah ditangani dokter hewan ahli sekalipun perkutut itu tetap saja terlihat murung, bahkan saat malam tiba perkutut itu terlihat kian gelisah bergerak ke sana kemari tanpa jelas penyebabnya. Maka ketika sampai keesokan pagi harinya saat Presiden memanggilnya ‘Slamet Slamet Slamet’ namun perkutut itu tetap diam seribu bahasa, jelas hal ini membuat Presiden menjadi kecewa. Dipanggilnyalah kembali dokter hewan lain yang sekiranya lebih ahli, namun perkutut dalam kurungan itu justru terlihat lebih blingsatan lagi. Burung perkutut itu kian bergerak liar. Tepat ketika Presiden gundah dan orang-orang di sekelilingnya bertambah panik seorang sekretaris istana tiba-tiba memasuki ruangan untuk mengabarkan sebuah bencana banjir telah menelan kota di ujung wilayah negara. Presiden tertegun, semua orang terhenyak, perkutut meronta, banjir bandang tiba.
Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?
Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam
Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu
Sebagaimana Imam Hasan Basri berkata : Andaikan dunia berada dalam kekuasaanmu, namun engkau tidaklah tetap sebab engkau akan mati. Semuanya akan engkau tinggalkan dan nantinya akan dibagi-bagikan kepada ahli warismu sehingga mereka akan saling cakar-cakaran. Maka cukupkan bagimu berserah diri dan bertawakkal hanya kepada Yang Maha Berhak untuk di-tawakkal-i. Insya Allah hidup kita akan mendapat hikmah selama-lamanya.
Hari-hari selewat bencana itu dipenuhi kembali dengan suara perkutut yang menari dan bernyanyi-nyanyi riang seperti saat pertama kali kedatangannya. Bencana lewat, orang berbenah diri menatap segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kehidupan normal berjalan kembali seperti biasanya dengan agenda sidang-sidang khusus, kunjungan ke luar negeri, peninjauan wilayah dan pemetaan program kendali.
Masya Allah wa Subhanallaah……..
Dua bulan kemudian burung perkutut itu kembali berulah. Mogok makan, tak mempan dirayu, bahkan membentur-benturkan sayapnya dalam kurungan hingga menyebabkan beberapa helai bulu sayapnya yang berwarna semen dan tembaga nampak berhamburan. Orang-orang tegang. Kejadian berikutnya sebuah bom meledak tepat di depan halaman sebuah kedutaan yang melukai banyak orang. Presiden tercenung, namun ia belum juga memahami akan isyarat yang sebenarnya sudah datang memberitahunya lebih dini.
Masya Allah wa Subhanallaah……..
Waktu demi waktu terus bergulir, tanggal demi tanggal dalam lembar almanak berlalu seiring perjalanan sang waktu. Ketika di penghujung tahun perkutut itu kembali memperlihatkan kekalutannya, Presiden mulai was-was. Ia adalah seorang yang tak bebal dengan segala pernak-pernik hal yang bersifat metafisik. Ia nampak mulai belajar membaca gelagat, namun tetap saja ia terlambat. Ketika isyarat itu berhasil ditangkapnya, sebuah bencana tanah longsor di wilayah barat telah kembali menelan korban.
Masya Allah wa Subhanallaah……..!
Masya Allah wa Subhanallaah……..!
Takdir Allah sudah putus dan putusan Allah sudah terjadi, istirahatkan hatimu dari kata-kata ‘barangkali’ atau ‘kalau-kalau’.
Apa-apa yang sudah ditakdirkan pasti akan terjadi, pasti akan datang waktunya. Hanya orang-orang bodoh yang akan lelah dan tertinggal sedih
Bisa saja yang engkau cemaskan akan terbukti, sementara harapan yang engkau tunggu-tunggu tak kunjung datang
Presiden terhenyak. Bencana demi bencana terus bergerak silih berganti mengurung negeri. Pelupuk matanya terasa panas, ia hendak menangis namun tak jadi. Pikirannya terguncang. Ia melihat seratus dua puluh juta tangan rakyatnya melambai-lambai. Presiden itu menderita bahaya, ia mengadu nasib dengan sejarah. Namun walau sedikit goyah ia masih terlihat perkasa. Ia bergerak perlahan menuju malam yang menyembunyikan bayang-bayang tubuhnya meluncur dalam zikir hening yang subur dan sunyi. Ia ingin mengadu, namun tak berani. Ia mengenang riwayat seorang Nabi yang mengadu kepada Allah tentang suatu hal yang ingin diinginkannya dan yang ingin tidak diinginkannya. Lalu Allah menjawab:
“Engkau mengadukan Aku? Aku tidak layak dicela dan Aku tidak layak menjadi tempat pengaduan, demikianlah urusanmu dinilai dalam ilmu gaibKu.
Kenapa engkau tidak rela menerima takdirKu? Apakah engkau ingin Aku merubah dunia seluruhnya untukmu? mengganti semua catatan di Lauhilmahfudz?
Jadi Aku harus mentakdirkan apa yang engkau inginkan dan tidak yang Aku inginkan?
Jadi harus terjadi apa yang engkau sukai, dan bukan yang telah Aku takdirkan?”
Masya Allaah wa Subhanallaahu……….!
Siang hari selepas kunjungan di daerah, empat kendaraan mewah merayap di ketinggian jalan menuju puncak gunung Tangkuban Prahu. Setelah berulangkali mencari informasi akhirnya bisa diketahui kemana Presiden harus pergi untuk bisa menemui lelaki tua yang telah menghadiahkan burung perkutut kepadanya.
Jalanan di wilayah pedesaan begitu becek, namun tak sulit bagi rombongan kendaraan itu untuk melompatinya. Dua kilometer dari arah yang dituju telah mulai terlihat sebuah rumah yang berdiri di lereng perbukitan. Mendadak semua terlihat tegang, dan lalu, drama itupun mulai terjadi.
Seorang perempuan tua yang menggendong seikat kayu tiba-tiba muncul dari arah sebuah tikungan hingga menyebabkan sopir pengawal terdepan terperanjat. Kendaraan sedikit oleng dan tak ayal menyerempet kayu yang dibawa perempuan tua itu. Mobil berhenti namun sejenak kemudian terlihat akan kembali meneruskan perjalanan. Perempuan tua itu terjatuh.
Inna lillaahi………..
Mobil kedua ikut bergerak menyusul, namun kendaraan ketiga yang membawa Presiden berhenti. Presiden itu membuka kaca jendela, namun pandangannya terhalang tumpukan kayu. Ia bergerak turun dari mobilnya, para pengawal segera berlari di sampingnya dan beberapa diantaranya bergegas mendahului menuju tempat dimana perempuan tua itu terjatuh. Wajah-wajah mereka nampak sedikit pucat tak berani menduga-duga apa yang akan terjadi.
Tubuh perempuan itu nampak tergolek tak berdaya. Dengan nafas yang tersengal-sengal ia mencoba menatap sekelilingnya. Ia merasa nanar. Ia hanya bisa merintih lirih saat kedua tangan Presiden memapah kedua lengannya.
“Nenek tidak apa-apa?” Tanya Presiden pelan-pelan.
“Tidak Tuan, nenek tidak apa-apa.” Jawab perempuan tua itu dengan terbata-bata. Nampaknya ia justru terlihat lebih takut dikerumuni orang-orang yang badanya kekar-kekar itu daripada merasakan sakit mungkin dideritanya.
“Betul Nenek tidak apa-apa?” Tanya Presiden lagi.
“Tidak Tuan, nenek tidak apa-apa.” Perempuan tua itu kembali mengulang jawabannya. Para pengawal menebar senyum, namun wajah perempuan itu masih memperlihatkan ketakutannya terhadap orang-orang yang saat itu ada di sekelilingnya.
“Nenek mau kemana?” kali ini suara Presiden yang terdengar begitu halus terasa mampu membuyarkan rasa takut yang tadinya masih menyelimuti wajah perempuan tua itu. Ia melihat wajah-wajah di sekelilingnya bergonta-ganti, lalu ia melihat laki-laki yang berdiri memapah tubuhnya itu tersenyum kepadanya.
“Nenek mau menjual kayu.” Jawabnya perlahan.
“Menjual kayu?”
“Iya Tuan.”
Presiden sedikit mengendurkan tangannya. Ia melihat perempuan tua itu telah mampu berdiri kembali seperti sediakala. Wajah Presiden bersinar. Ia mengambil lima lembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya yang lalu diberikannya kepada perempuan tua itu dengan sopan.
“Ini untuk membantu Nenek berobat……” ucap Presiden merendah. Namun belum lagi Presiden selesai dengan ucapannya, perempuan itu telah menyergahnya.
“Berobat?!”
“Barangkali tadi Nenek kaget lalu………”
“Nenek tidak apa-apa Tuan.”
“Nek……” Presiden sedikit melangkah lebih maju.
“Nenek mau menjual kayu.”
“Ini untuk Nenek.”
“Apa Tuan mau membeli kayu?”
Inna lillaahi………..
“Kalau saya mau membeli kayu, apakah Nenek mau menerima uang ini?”
“Kalau Tuan mau membeli kayu.”
“Baiklah Nek, saya beli kayunya. Sekarang terimalah ini.”
“Uang sebanyak ini?”
“Ini untuk Nenek.”
“Tapi harga kayu nenek tidak sebanyak ini?”
“Tidak apa-apa Nek, terimalah uang ini.”
“Subhanallaah. Siapakah anda ini Tuan?”
“Saya hanya seseorang yang mohon untuk dimaafkan Nek.”
“Subhanallaah. Amin Amin.”
“Sudah ya Nek, saya pergi dulu.”
“Ini kayunya?”
“Biarlah untuk Nenek saja.”
“Nenek sudah menjualnya?”
“Saya kembal..eh saya berikan la…oh maaf, saya berikan saja untuk Nenek.”
“Lalu?”
“Nanti bisa Nenek jual lagi.”
“Tapi…….?”
“Kenapa Nek?”
“Siapa yang akan mau membeli nanti?”
“Terserah Nenek mau menjualnya kemana.”
“Tapi……?”
“Kenapa lagi Nek?”
“Harganya saja tadi sudah lima ratus ribu?”
Inna lillaahi………..
Presiden tersenyum. Kedua kelopak matanya nampak berkaca-kaca. Setelah beberapa pengawal ikut membantu memberikan penjelasan kepada perempuan tua itu barulah rombongan bisa kembali berangkat. Langit di pucuk bebukitan nampak mulai mengendapkan halimun. Dada Presiden berdebar-debar.
Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?
Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam
Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu
Rumah itu dikelilingi banyak kembang mawar yang tumbuh di sepanjang lahan-lahan yang terletak di sekitar bangunan. Seorang perempuan berusia tiga puluhan menggendong seorang anak kecil yang kondisinya terlihat sedang kurang sehat. Perempuan itu menatap satu persatu kendaraan yang mendekati rumahnya. Ia mengernyitkan dahinya mencoba menerka.
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa alaikum salam….”
“Mohon maaf………”
“Tuan mau membeli bunga?”
“Saya mencari rumahnya hamba Allah.”
“Tuan ini siapa?”
“Saya…e hanyalah seseorang yang mau meminta maaf.”
Rumah itu tidak permanen, seluruhnya bahan bangunannya terbuat dari kayu yang beberapa sudah lapuk diantaranya. Pondasi bangunan rumah itu dari batu-batu gunung yang disusun dengan rapi. Dua tiga kurungan burung nampak terbengkelai di samping rumah, seekor ayam jago bertengger di atasnya.
“Kurungan-kurungan itu?!”
“Itu kepunyaan Abah. Dulu beliau mempunyai banyak sekali koleksi perkutut. Beliau juga pernah memberikan seekor perkutut yang sangat disayanginya kepada Pak Presiden, begitu dulu Abah pernah bercerita.”
“Ehm……”
“Abah memang begitu kalau punya mau. Dari sini ke Jakarta Abah itu jalan kaki, tapi semuanya tetap ia lakukan juga dan ia merasa senang sekali, apalagi setelah bisa mengantar burung perkutut kesayangannya itu sampai istana.”
“Ehm……”
“Oh maaf, Tuan-tuan kenal Abah saya? Atau Tuan-tuan ini……?”
“Sayalah yang dikirimi perkutut itu, Dik.”
“Jadi….?!”
“Sayalah Presiden.”
“Masya Allah…….!”
Inna lillaahi…………..!
Perempuan berusia tiga puluhan itu segera menjatuhkan dirinya bersujud di depan kedua kaki Presiden. Ia terlihat begitu paniknya hingga membuat anak kecil yang telah tertidur dalam gendongannya terbangun ; Mak…!
“Maafkan saya Tuan Presiden, maafkan saya….” Suaranya terbata-bata bercampur isak. Melihat itu Presiden yang berdiri hanya satu depa di depannya segera merengkuh tubuh perempuan itu dengan kedua tangannya agar segera berdiri.
“Maafkan saya Tuan……..”
“Tidak apa-apa.”
“Saya tidak tahu……”
“Sudahlah.”
“E….e…….”
“Abah ada?”
“Abah?!”
“Iya, Abah yang telah memberi saya perkutut.”
“Tuan…..?”
“Ya…?!”
“Tuan ingin menemuinya?”
“Iya, tentu saja. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih kepadanya.”
“Tuan……..”
“Antarkan saja saya kepadanya.”
“Baiklah, Tuan. Tuan petiklah mawar di halaman rumah itu, nanti saya akan mengantar Tuan menemuinya.”
“Maksud Adik?!”
“Petiklah mawar itu, Tuan, kita akan mengantarkannya bersama-sama.”
Inna lillaahi………..!
Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un
Di lereng Tangkuban Prahu udara di siang hari itu bertiup begitu sejuknya, namun entah kenapa siapapun yang saat itu ikut hadir di tempat itu merasa tercekat seisi tenggorokannya. Wajah Presiden tertunduk kuyu, mulutnya membisu. Ia menghela nafas panjang, lalu lamat-lamat ia mencium harum aroma kayu cendana yang dibawa kesiur angin yang mengalir dari arah sebelah bukit.
Andaikan dunia ini digiring kepadamu dengan mudahnya tidakkah nanti juga akan ditinggalkan mati olehmu?
Apa harapanmu dengan kehidupan yang tidak kekal, sementara sebentar kemudian akan ditelan oleh siang dan malam
Duniamu hanyalah serupa bayangan yang menaungi, untuk sekejap kemudian segera berlalu.
Bintara, Januari 2006
Gusblero Free