26. Timeline of Khidr

GBF_timeline of khidr

 

Zona timeline Khidr adalah pemahaman tentang garis takdir. Satu garis inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un, garis tebal yg menunjukkan asal-usul manusia dan tempat kembali, serta garis virtual (berupa titik-titik yang buanyak sekali) yang akan mau kita jadikan bentuk gambar apa terserah kita sendiri (ingat pelajaran SD kita dulu, sambungkan titik-titik ini hingga membentuk benda/gambar). Akan tetapi sementara kita bermain dengan persepsi gambar bayangan, Khidr melihat karakter secara lebih nyata akan kemana dan seperti apa sesungguhnya konsep gambar kehidupan kita. Itu sebabnya Khidr (dalam kasus pembunuhan anak kecil dijaman nabi Musa AS) berani mengambil sikap yang sangat tegas dalam tindakannya.

 

Pemahaman tentang ini bukan berarti Khidr menyerobot hakikat kehidupan yang bertalian dengan takdir seseorang, namun harus menyelam lebih dalam dan berenang mengarungi samudera hikmah lebih jauh lagi untuk kemudian sampai di titik keyakinan ‘apa yang dibolehkan dan apa yang sudah dipastikan’. Khidr, apapun yang dilakukannya, juga merupakan bagian maklumat dari Allah yang sunah-nya ia boleh ikut ambil peran, dan atau diam saja. Terhadap yang terakhir ini tentu saja Khidr tidak bisa berpangku tangan untuk tidak melakukan disebabkan ‘memang begitulah seharusnya tindakan seseorang yang mendasarkan hidup pada ilmu keilahian’. Ia yang mengambil tindakan sesungguhnya hanyalah pemeran dari sebuah kisah yang Allah ingin gelarkan dalam sebagian kehidupan ini.

 

Takdir adalah zona dimana sebuah garis nasib tak mungkin bisa bergerak kemana-mana lagi disebabkan sudah di-nash oleh Allah SWT. Kita ambil satu contoh, manusia lahir manusia mati, itu pasti, dua-duanya sama-sama merupakan rumus kepastian. Akan tetapi soal panjang pendeknya masih ada elemen lain yang bisa merubah atau menentukan.

 

Di titik ini, memang rentan dengan satu pertanyaan. Orang takdir kok bisa dimaju-undurkan, kalau begitu ‘kepastian Allah’ itu adalah ‘sesuatu yang tak juga pasti’, atau kasarnya inkonsistensi keilahian? Jelas tidak, dan pasti bukan begitu. Inkonsistensi jelas sama sekali tidak sama dengan ke-Maha Luas-an, yang mana toleransi ini menunjukkan sifat ke-Maha Rahim-an Allah dan absolutisme ke-Maha Kuasa-an Allah. Apa artinya kamu memohon, apa artinya berdoa, apa artinya berbuat dan terus berupaya untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna lagi kalau perubahan ke arah itu sudah tidak mungkin lagi diutak-atik.

 
Apa artinya firman Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tak mau berupaya melakukan perubahan dimulai dari diri sendiri misalnya. Apa maknanya bahwa silaturahim itu bisa memperpanjang usia, jika kimia spiritualnya tak bisa dilacak. Apakah isi seluruh kitab kebajikan itu hanya isapan tahayul yang tidak ada benarnya sama sekali? Absolutly tidak.

 

Zona timeline Khidr adalah pemahaman tentang garis takdir. Satu garis inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un, garis tebal yg menunjukkan asal-usul manusia dan tempat kembali, serta garis virtual (berupa titik-titik yang buanyak sekali) yang akan mau kita jadikan bentuk gambar apa terserah kita sendiri (ingat pelajaran SD kita dulu, sambungkan titik-titik ini hingga membentuk benda/gambar).

 

“Setelah berada diwilayah perbatasan, Khidr AS dan Musa AS melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, mereka kemudian digambarkan menumpang perahu dan merupakan perlambang dari wahana syar’i yang lazimnya digunakan oleh orang awam untuk mencari ikan perlambang perbuatan baik (amal sholeh).

 

Perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah Perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itu kenapa perahu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk kedalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yang mengalir dari lubang tersebut sehingga akan timbul kesadaran bahwa lewat lubang inilah sesungguhnya akan dapat masuk dalam Lautan makna yang merupakan permukaan Lautan Wujud. Dan bila perahu tidak dilubangi maka akan terus berlayar dan tertangkap oleh Sang Maharaja (Malik al Mulky) dan akan mengalami nasib yang sama dengan penumpang lain yakni dijadikan hamba sahaya.

 

Dan bila Sang Maharaja menyukai hambanya itu maka akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yang merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al-Jamal). Kenapa wahana syar’i harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib menuju Dia? Syar’i adalah kendaraan bagi manusia yang hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi, sedang alam tidak kasatmata adalah alam yang tidak jelas batas-batasnya karena kekuatan akal manusia yang mengikat tidak dapat ber-ijtihad untuk menetapkan hukum yang berlaku di alam ghaib.

 

Itu sebabnya Khidr AS melarang nabi Musa AS bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut, karena apa yang dilakukan nabi Khidr AS benar-benar bertentangan dengan hukum suci (syariat) dan akal sehat yang berlaku di dunia yakni melubangi perahu, membunuh anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.

 

Jika wahana syar’i tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dengan akal melainkan dzauq yaitu Cita Rasa Rohani, inilah yang disebut Thariqah. Di sini sang salik harus berjuang keras dan pasrah kepada kehendak-Nya. Hanya menjalani, dan tidak usah bertanya. Maksudnya bila Allah tidak berkehendak kita mengenal-Nya, maka kitapun tidak akan bisa mengenal-Nya.
Semua ini hanya akan memberi petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti jembatan (shirat) gaib yang ajaib ke arah-Nya. Kenapa ajaib? Karena debatable, rentan dengan perdebatan, jembatan ini bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak mereka yang meniti dengan tujuan yang hendak dicapai. Yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang utuh akan semakin kuatlah keyakinan itu, sementara yang cenderung menganalogikan segala fenomena kejadian dengan nalar akan semakin bingung dan penasaran dibuatnya.

 

Kisah Musa AS mencari Khidr AS sebagai sebuah shirat ini memiliki empat bagian matra yang masing-masing memiliki pintu. Pertama matra istighfar yang berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda (al-Fatta) menjumpai Khidr AS diperbatasan dua lautan. Kedua matra shalawat yang berisi perlambang Khidr AS melubangi perahu. Ketiga matra tahlil yang berisi perlambang Khidr AS membunuh anak. Keempat matra nafs al-haqq yang berisi perlambang Khidr AS menegakkan dinding yang di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.
Pada kaum awam istighfar lazimnya dipahami sebagai upaya memohon ampunan, tetapi bagi para salik istigfar adalah upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ keakuan kepada Al-Ghaffar, sehingga beroleh maghrifah yang dibawahnya menyingkap tabir ghain (selosong) yang menyelubungi manusia. Sesungguhnya dalam Al-Ghaffar terdapat makna Maha Pengampun dan juga Maha Menutupi, Menyembunyikan dan Menyelubungi. Karena kadang manusia terperangkap dalam keinginan memperoleh karunia-Nya semata (karomah kewalian), maka ia hanya berputar-putar di matra istighfar yang penuh diliputi gambar-gambaran indah karunia-Nya.

 
Air kehidupan yang memancar dari lubang perahu itulah sesungguhnya sama dengan Air Kehidupan yang tergelar di hamparan Lautan Wujud, dan bila sang salik tidak melalui air kehidupan yang mengalir maka tidak akan mencapai air kehidupan yang tergelar di lautan wujud. Inilah matra shalawat.

 
Matra Tahlil adalah matra Ke-Esaan, Matra Tauhid. Inilah Matra Ke-Esaan Wujud, Lautan Wujud sama saja dengan Air kehidupan. Tidak ada air kecuali Air.

 

Kehidupan yang mengalir dari Sang Hidup, inilah matra yang ditegakkan oleh Khidr AS untuk menjaga haqq Pemilik Jati yang tersembunyi dalam tembok runtuh peradaban!

 

Gusblero Free

25. Al-Khidr

Al-Khidr adalah seorang nabi misterius yang dituturkan oleh Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82. Selain kisah tentang nabi Khidr yang mengajarkan tentang ilmu dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa, asal-usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khidr tidak banyak disebutkan. Kebanyakan pengenalan tentang Khidr adalah sebagai seorang tokoh yang memberikan pencerahan spiritual di antara samudera, di sanalah Khidr memelihara taman makrifat sepanjang hayatnya.

 

 

Dalam bukunya yang berjudul “Mystical Dimensions of Islam”, oleh penulis Annemarie Schimmel, Khidr dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi yang dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Idris (Enoch), Ilyas (Elias), dand Isa (Jesus). Khidr abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Khidr adalah masih sama dengan seseorang yang bernama Elijah. Ia juga diidentifikasikan sebagai St. George. Diantara pendapat awal para cendikiawan Barat, Rodwell menyatakan bahwa “Karakter Khidr dibentuk dari Jethro.”

 

 

Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang disandangnya. Dalam kasus ini, beberapa orang mengatakan Khidr adalah gelarnya, yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan. Khidr telah disamakan dengan St. George, dikenal sebagai “Elijah versi Muslim” dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi. Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain. Nama yang terkenal lainnya bagi Khidr adalah Balya bin Malkan.

 

 

Al-Khidr secara harfiah berarti ‘Seseorang yang Hijau’ melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.”. Al-Khidr, dalam kisah-kisah awalnya, selalu dihubung-hubungkan dengan Dzu al-Qarnayn (Dzulqarnain), atau sering juga disebut Alexander the Great.

 

GBF_Khidr2

 

Secuil kisah Khidr yang bisa digali dari Al-Qur’an adalah terkait pertemuannya dengan Musa AS. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa ia mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan, dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

 

 

Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.”

 

 

Musa kemudian menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah bersama pembantu yang juga merupakan muridnya, Yusya bin Nun. Sampai di sebuah batu yang menjorok ke laut, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Dan dikarenakan kelelahan, ditambah bertiupnya angin senja yang semilir membuat Musa tertidur. Yusya tinggal duduk sendiri memandang hamparan laut luas. Perutnya sebenarnya lapar, tetapi mana berani ia membuka ransum saat junjungannya tengah tidur. Ia hanya memandangi perbekalan yang ada, dan ketika ia sedikit membuka untuk sekadar mengeceknya, tiba-tiba ikan lauk yang mereka bawa di dalam wadah itu meronta-ronta dan selanjutnya melompat ke dalam air. Yusya` tertegun memperhatikan kejadian ikan lauk yang semula telah dimasak itu bisa hidup lagi dan melompat ke dalam air.

 

 

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ pun tertidur. Saat terjaga, ia lupa (atau mungkin disebabkan ketakutannya melihat kejadian tersebut) untuk menceritakannya kepada Musa. Mereka kemudian meneruskan lagi perjalanan hingga sehari semalam. Lalu pada pagi berselang berikutnya Nabi Musa berkata kepada Yusya:` “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi 62).

 

 

Yusya’ terkesiap. Lalu dengan sedikit gemetar ia berkata kepada Nabi Musa: “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (QS. Al-Kahfi 63).

 

 

Musa meradang. Dia marah, kenapa untuk kejadian luar biasa seperti itu Yusya’ sampai melupakannya. Terpaksa keduanya kemudian berbalik lagi arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan. Musa berkata: “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al-Kahfi 64).

 

 

Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khidr. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.

 

 

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah Khidr menjawab salamnya, Musa pun segera menceritakan maksud kedatangannya.

 

 

Khidr menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.”

 

 

Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi  69). Khidr selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi  70).

 

 

Demikianlah seterusnya Musa mengikuti Khidr dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji untuk tidak bertanya terhadap apapun yang dilakukan oleh Khidr, walaupun tindakan itu dianggap aneh sekali pun.

 

 

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khidr menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidr. Nabi Khidr memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidr.

 

 

Setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidr membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidr tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidr. Nabi Khidr kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidr, dan jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidr.

 

 

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu wilayah perkampungan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Sebaliknya, setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidr malah menyuruh Nabi Musa bersama-sama memperbaiki tembok sebuah rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidr, yang justru hendak membantu memperbaiki tembok sebuah rumah setelah seisi penduduk perkampungan itu mendzalimi mereka. Mendengar protes Musa itu, akhirnya Nabi Khidr menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya lagi, dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khidr.

 

 

Nabi Khidr menjelaskan ikhwal segala kejadian yang membuat Nabi Musa bertanya-tanya. Kejadian pertama saat mereka menghancurkan perahu. Ternyata perahu yang mereka tumpangi itu adalah satu-satunya perahu yang dimiliki oleh satu keluarga miskin, dan di daerah itu tinggallah seorang perompak yang suka merampas perahu yang tengah berlayar. Dengan melobangi perahu yang kemudian menampakkan kondisinya yang rusak, maka selamatlah perahu tersebut dari rompakan penjahat.

 

 

Kejadian yang kedua pada saat mereka membunuh seorang anak kecil. Nabi Khidr menjelaskan bahwa kedua orang tua anak itu adalah pasangan yang beriman, sementara jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini dikemudian hari akan digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.

 

 

Kejadian yang ketiga, kenapa mereka harus bersusah payah membangun rumah bobrok yang ada di pinggiran perkampungan. Nabi Khidr menjelaskan bahwa rumah yang diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan dan dijarah oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Adapun letak tempat tersebut dipercaya berada di sebuah wilayah Antakya, Turki.

 

 

Begitulah Nabi Musa AS kemudian sadar akan hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khidr. Akhirya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari, yaitu ilmu ladunni.

 

GBF_Khidr1

 

Sebelum berpisah, Khidr berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan kemudian berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan.”

 

 

Nabi Musa lalu berkata kepada Nabi Khidr: “Berilah aku wasiat”.

 

 

Jawab Nabi Khidir: “Wahai Musa, jadilah kamu orang yang berguna bagi orang lain, Janganlah sekali-kali kamu menjadi orang yang hanya menimbulkan kecemasan diantara mereka sehingga kamu dibenci mereka. Jadilah kamu orang yang senantiasa menampakkan wajah ceria dan janganlah sampai mengerutkan dahimu kepada mereka. Janganlah kamu keras kepala atau bekerja tanpa tujuan. Apabila kamu mencela seseorang hanya karena kekeliruannya saja, kemudian tangisi dosa-dosamu, wahai Ibn Imran (putera Imran).

 

 

Wahai Musa, pelajarilah ilmu-ilmu kebenaran agar kamu dapat mengerti apa yang belum kamu fahami, tetapi janganlah sampai jadikan ilmu-ilmu hanya sebagai bahan omongan. Faham sesuatu ilmu bukan untuk modal berdebat. Berseberangan faham yang sudah diyakini tidaklah perlu diusik satu sama lain karena masing-masing sudah kokoh dalam keyakinannya.

 

 

Wahai Musa, sesungguhnya orang yang selalu memberi nasehat itu tidak pernah merasa jemu seperti kejemuan orang-orang yang mendengarkan. Memberi nasehat kepada orang lain janganlah mengharapkan sesuatu imbalan apapun kecuali ridha Allah dan tugas menyampaikan. Tugas menyampaikan dan mensyiarkan agama Allah adalah tugas setiap umat muslim. “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. (QS. Al-Hajj 32).

 

 

Ketahuilah bahwa hatimu itu ibarat sebuah bejana yang harus kamu rawat dan pelihara dari hal-hal yang bisa memecahkannya. Iman didalam hati belum tentu sudah kokoh tanpa djaga dan dirawat dan dipelihara karena lapisan luar hati masih dipenuhi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak kearah perbuatan yang kurang baik. Maka dari itu waspadalah dalam menjaga hati jangan sampai hati terpengaruh hasutan setan yang menyusup lewat hawa nafsu.

 

 

Kurangilah usaha-usaha duniawimu dan buanglah jauh-jauh dibelakangmu, karena dunia ini bukanlah alam yang akan kamu tempati selamanya. Dunia yang kita tempati ini tidaklah selamanya kita tempati dan setelah selesai hidup kitapun pindah di alam lain, maka kumpulkan amal kebajikan untuk modal menuai di akhirat nanti. Jangan buang-buang waktu, tanamlah amalmu untuk menggapai kebahagiaan di alam akhirat, apabila tidak ditanami amal kebajikan apa yang diambil disana kita akan rugi di dunia dan di akhirat. Waktu kita di dunia hanya sebentar, tidaklah lama sebagaimana: “Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) diwaktu sore atau di pagi hari”. (QS. An-Naziyat 46).

 

 

Bersikap ikhlaslah dan bersabar hati menghadapi kemaksiatan yang dilakukan kaummu. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan di dalam lingkungan bukan berarti diam, tetapi sabar dalam bentuk berusaha mencegah dan menggantikan dengan perbuatan yang baik.

 

 

Hai Musa, tumpahkanlah seluruh ilmu pengetahuanmu, karena tempat yang kosong akan terisi oleh ilmu yang lain. Kewajiban manusia yang berilmu untuk membagi ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan, bukan ilmu yang diberikan kepada orang lain itu habis tetapi malah sebaliknya justru bertambah banyak. Dan janganlah kamu banyak memperbincangkan ilmumu itu, karena tindakan yang begitu akan mengakibatkan dipisahkan oleh ahli ‘ilm.

 

Bersikaplah sederhana saja, sebab sederhana itu akan menghalangi aibmu dan akan membukakan taufiq hidayah Allah untukmu. Menjalani kehidupan dengan kesederhanaan ini berarti sudah meninggalkan kehidupan keterikatan dengan keduniawian.

 

Berantaslah kejahilanmu dengan cara membuang sikap masa bodohmu (ketidak pedulian) yang selama ini menyelimutimu. Menahan dan menyingkirkan sifat-sifat yang kurang baik bukan main susahnya kalau tidak dilandasi dengan dzikir qalbu, sebab dzikir kalbu dapat mengikis sifat-sifat yang kurang baik yang sekian lama membelenggu diri. Dengan dzikrullah yang dikerjakan di kalbu, disamping menghilangkan sifat-sifat yang kurang baik, sifat-sifat yang baik pun menguasai diri dan menambah ketenangan dan ketentraman hati.

 

Apabila orang bodoh datang kepadamu dan mencacimu, redamlah ia dengan penuh kedewasaan serta keteguhan hatimu. Meredam kemarahan orang yang memarahi diawali melatih penahanan hawa nafsu dan meredam keinginan hawa nafsu yang ingin bergolak. Setelah mampu meredam hawa nafsu, meredam amarah orang lain dengan kelembutan sifat dan keteguhan hati.

 

Wahai Putra Imran, sadarilah bahwa ilmu Allah yang kamu miliki hanya sedikit. Ilmu yang dipunyai manusia itu hanya sedikit, sedangkan ilmu yang Allah miliki tak terhingga. “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman 27).

 

Janganlah kamu buka ilmu ini jika kamu tidak bisa menguncinya, jangan pula kamu kunci ilmu ini jika kamu tidak tahu bagaimana membukanya. Hai putra Imron, membuka ilmu adalah tugas seorang guru, mursyid, atau pembimbing, namun dia juga harus bisa menutupnya. Kalau tidak tahu cara menutup ilmu, jangan sekali-kali membukanya, sebab jika nanti ada kesalahan, bisa saja ilmu yang asalnya baik dikemudian hari diselewengkan.

 

Begitulah Nabi Khidr lalu mengakhiri pesan-pesannya, lalu pergi meninggalkan Nabi Musa yang duduk termenung dalam kesendirian.

 

Bahwa sesungguhnya Khidr AS, bukanlah sosok lain yang terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yang disaksikan sebagai tanah menjorok dengan lautan disebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yang berada diluar diri manusia. Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh), dua lautan itu yang disebut lautan makna (bahr al ma’na) perlambang alam tidak kasat mata (alam ghaib), dan lautan jisim (bahr al ajsam) perlambang alam kasat mata (alam asy-syahadat). Kemungkinannya peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dengan Khidr AS, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Al Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri.

 

Di suatu tempat Musa AS berhenti, ia mengambil air wudhu, dan pemuda yang menemani perjalanannya terkantuk-kantuk karena saking lelahnya. Keduanya tak menyadari, ikan dalam wadah perbekalan yang kecipratan air wudhu Musa AS tiba-tiba hidup kembali lalu melompat ke lautan. Ia yang mati lalu tersentuh air kehidupan, kemudian berlayar mengapung kembali dalam habitat kehidupan asal.

 

Tempat dimana Nabi Musa AS berdiri dihadapan Khidr AS adalah wilayah perbatasan antara alam kasat mata dan alam tidak kasat mata. Dan jika itu yang terjadi, sesungguhnya mereka (Musa dan Yusya’) telah memasuki perbatasan alam ghaib, dan pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasat mata, yang dibalik keberadaan pemuda itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Itu pulalah sebabnya saat Nabi Musa AS bertemu dengan Khidr AS, pemuda itu tidak disebut-sebut lagi karena sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.

 

Adapun bekal makanan berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik, yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun bagi pencari Kebenaran Sejati pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain), itu kenapa sebabnya sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.

 

Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk kelaut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk lautan jisim kembali dan setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.

 
Kedua orang itu kemudian melanjutkan lagi perjalanannya, dan hampir-hampir si pemuda ‘bablas’ menghilangkan ‘kunci’ dari moral kisah ‘tempat air kehidupan’ itu, hingga kemudian Musa AS menanyakan perbekalan yang mereka bawa. Beruntungnya kesadaran Musa AS adalah kesadaran terpilih dari seorang Nabi. Bekal yang hilang karena melompat ke laut tak dipedulikannya, Musa AS tidak peduli lagi dengan santapan itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yang dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS.

 
Saat itulah purnama rohani zawa’id (tambah berkilau) dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidr AS, hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah), yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim, dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yang memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).

 
Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidr AS karena dia merupakan hamba-Nya yang telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yang memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidr AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim).

 

Kemungkinannya peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dengan Khidr AS, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Al Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri.

 

Dan sesungguhnya Khidr AS itu tidak lain dan tidak bukan adalah ar-ruh al-idhafi, cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia, ‘Sang Penuntun’ anak keturunan Adam AS ke jalan kebenaran sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan kebenaran (al-Haqq).

 

Didalam Al Qur’an juga tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidr melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS..al-Kahfi 65). Ayat ini menjelaskan maqam penghambaan, ilmu dan pengetahuan khususnya. Disini Nabi Khidr disebut sebagai guru Nabi Musa bin Imran, yang dalam banyak riwayat, sosok alim atau guru ini disebut dengan nama Khidr.

 

GBF_Khidr

 

Nabi Khidr adalah seorang alim yang telah mendapatkan rahmat khusus Ilahi, dan mendapat tugas pada wilayah batin dan sistem penciptaan semesta. Ia mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia penciptaan. Mukjizatnya adalah kapan saja ia menghendaki, sesuai dengan izin Ilahi, semisal agar kayu kering atau tanah kering menjadi rimbun dan hijau, maka kehendak ini akan segera terlaksana.

 
Dari Imam Shadiq diriwayatkan: “Adapun kepada hamba saleh Khidr, Allah SWT telah memanjangkan usianya bukan untuk risalahnya dan juga bukan untuk kitab yang diturunkan kepadanya atau dengan perantaranya dan syariatnya, kemudian menganulir (nasakh) syariat para nabi sebelumnya, juga bukan karena imamah (keimaman) yang mengharuskan para hamba-Nya mengikutinya, juga bukan karena ketaatan yang diwajibkan Tuhan bagi para hamba kepadanya, melainkan Allah SWT menghendaki usia Imam Qaim (Imam Mahdi) menjadi sangat panjang pada masa ghaibat (persembunyian)nya dan mengetahui bahwa para hamba-Nya akan mempersoalkan dan mengkritisi usianya. Atas dasar itulah Allah SWT juga memanjangkan usia hamba saleh-Nya (Khidr) sehingga dengan usianya yang panjang itu dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi usia Imam Mahdi. Dengan demikian, kritikan dan objeksi para musuh dan orang-orang yang berpikir jahat dapat digugurkan.”

 
Dari Imam Ridha: “Nabi Khidr hidup dari air kehidupannya dan tetap akan hidup hingga ditiupnya sangkakala. Ia akan datang kepada kami dan menyampaikan salam kepada kami. Kami mendengarkan suaranya dan melihatnya. Nabi Khidr turut serta pada musim haji dan melaksanakan seluruh manasik haji. Berdiri di padang Arafah pada hari Arafah dan mengaminkan doa bagi orang-orang beriman pada masa ghaibat (ghaibat yang berarti bahwa ia tersembunyi dari kita dan kita tidak dapat melihatnya. Akan tetapi ia dapat melihat kita dan tahu tatkala kita memerlukan pertolongannya. Ketika kita memerlukan pertolongan darinya, ia akan datang menolong kita) menyingkirkan keterasingan dari qaim  kami (Imam Mahdi), dan menggantikan kepanikannya menjadi ketenangan. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Khidr termasuk bagian tiga puluh orang yang menyertai Imam Mahdi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

 
Penafsir terkenal Al Qur’an, Abu al-Futuh berkata dalam sebuah riwayat, ketika Musa ditanya tentang momen manakah yang paling sulit dalam hidupnya? Musa berkata, “Aku telah merasakan berbagai kesulitan dalam hidupku. (Menyinggung penderitaanya selama masa Fir’aun dan berbagai kesulitan yang dihadapinya dalam masa pemerintahan Bani Israel) Namun tidak satu pun dari kesulitan dan penderitaan ini menyamai ucapan Khidr yang mengabarkan perpisahan darinya. Perpisahan itu sangat berbekas dalam diriku.”

 
Logika spiritualistik Khidr jelas tidak bisa ditimbang dengan adab umum (momen pembunuhan anak kecil, contoh hal paling kerasnya). Namun kita tahu, untuk menghilangkan berbagai keraguan dan kesangsian Musa, dan agar Musa meyakini bahwa seluruh perbuatan ini dilakukan berdasarkan agenda dan tugas tertentu, Nabi Khidr berkata, “Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri” melainkan sesuai dengan firman dan perintah Allah SWT.“ Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi 82)

 

Kita tahu itu, dan karena sesungguhnyalah Allah memberikan firman-firman-Nya dalam Al Qur’an, agar kita juga bisa belajar dari kisah-kisah orang terdahulu. Termasuk kemudian jawaban dari peristiwa pembunuhan anak kecil oleh Khidr, dalam beberapa hadits yang disebutkan dalam berbagai literatur Islam kita membaca: “Allah SWT menggantikan anak laki-laki itu dengan seorang anak perempuan, yang dari keturunannya kemudian lahir tujuh puluh nabi!”

 

Gusblero Free

Gelaran Festival Yang Perlu Dicontoh

poster FLG

 

Festival Lima Gunung XVI Tahun 2017 digelar di Dusun Gejayan, Kelurahan Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang pada 28-30 Juli 2017 dengan tema “Mari Goblog Bareng”.

 

Goblog Bareng’ tentu saja tidak sama dengan ‘Goblog Kabeh’. Kalimat ‘Mari Goblog Bareng’ terlihat sebagai sesuatu yang dinamis, aktif, terus bergerak. Dan walau gerakan itu kemudian berhenti pada titik ‘slonjor kabeh, ndeprok bareng’, kondisinya jelas tidak sama makna dengan ‘kepekokan absolut’ yang disebut ‘goblog kabeh’.

 

“Mari Goblog Bareng” lebih masuk akal sebagai sebuah satire tentang dekonstruksi pemahaman sebuah nilai dari mereka yang termarginalkan oleh stabilitas rezim yang selalu mengunggulkan otoritarianisme sebagai panglima.

 

Dekonstruksi yang demikian sebenarnya bukanlah sebuah perspektif yang baru sama sekali. “Mari Goblog Bareng” justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian, yang memungkinkan kita untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu aturan yang dianggap telah berlaku secara universal.

 

Mengutip argumentasi panitia: “Manusia goblok masih berpeluang untuk belajar menjadi manusia pintar. Manusia goblok jauh lebih baik dibandingkan manusia serakah, manusia korup. Untuk berendah hati dalam memperbaiki diri, kita perlu merasa goblok terlebih dahulu. Menggoblokkan diri adalah metode pengosongan diri. Kesadaran mengaku lemah, mengaku rendah, mengaku belum baik, mengaku kotor adalah modal utama untuk menjadi orang baik. Orang harus lebih bisa rumangsa daripada rumangsa bisa. Bisa merasa daripada merasa bisa.”

 

Lebih jauh lagi para petani desa yang menjadi penggagas FLG XVI menyampaikan, yang menjadi penyebab ontran-ontran tak berkesudahan di negeri ini justru orang-orang berpendidikan tinggi, para pejabat teras atas, para pemuka masyarakat, para pemimpin ummat, dan sederetan orang-orang yang harusnya menyandang kualitas tinggi.

 

Jelas, orang-orang yang mengajak “Mari Goblog Bareng” itu bukanlah orang-orang bodoh. Dan walau bergerak tanpa selembar pun proposal, mereka sudah bisa membaca teks sebagai sebuah strategi. Di tangan mereka sudah tergenggam sebuah konstruksi kebudayaan yang utuh, dengan nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, tujuan, dan kekuatan-kekuatan lain yang dengan konsisten akan ditranformasikan secara efektif.

 

Rasah sok keminter timbang keblinger, becik urip bebrayan mungguh kamulyan. DI HADAPAN KOPI KITA SEMUA SAMA!

 

Wonosobo, 25 Juli 2017

 

Gusblero Free

24. Hatim Al-Asham

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Rahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar al Asham. Dia termasuk tokoh guru besar (syekh) khurasan, murid Syekh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki al Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang hingga ia dijuluki dengan al-Asham. Dia mengunjungi Baghdad dan menetap di kota ini sampai meninggal di Wasyjard, dekat kota Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M).

 

Hatim al Asham adalah orang yang sangat sopan dan juga dermawan. Pada suatu hari datanglah seorang wanita kepadanya untuk meminta sesuatu. Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan kentut dengan sedikit keras di hadapan Hatim, hingga wanita itupun menjadi salah tingkah. Tetapi Hatim adalah orang yang baik, ia mengerti bagaimana perasaan wanita, yang tentu wanita ini sangat malu dengan suara kentutnya yang lumayan keras, jadi Hatim pura-pura tidak mendengar kentut wanita itu.

 
Hatim berkata: “Hai ukhti, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yang kamu bicarakan”, Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu menyangka bahwa dia tidak mendengar kentutnya yang membuat dirinya malu itu. Kemudian wanita itu pun mengulangi ucapannya dengan agak keras dan Hatim pun menjawabnya dengan suara agak keras pula.

 
Setelah urusan mereka beres, wanita itu pulang dengan gembira dan ia tidak malu lagi dengan insiden suara kentutnya karena ia sudah merasa pasti bahwa Hatim tidak mendengarnya.

 
Semenjak peristiwa itu, dan sampai 15 tahun kemudian (selama wanita itu masih hidup) Hatim selalu berpura-pura tuli, dan selama itu pula tidak ada seorangpun yang menceritakan kepada wanita itu bahwa sebenarnya pendengaran Hatim masih normal seperti orang kebanyakan.

 
Setelah wanita itu meninggal dunia, Hatim Al Asham sudah tidak berpura-pura tuli lagi. Akan tetapi tindakan ‘berpura-pura tuli’ yang dilakukannya selama hampir 15 tahun itu tak urung berpengaruh pada situasi kesehariannya. Jika diajak ngomong ya nyambung, tetapi ia selalu mengatakan ‘berbicaralah yang keras’, padahal pembicaraan yang lirih pun sebenarnya bisa ia dengar. Semenjak peristiwa itu, maka Hatim diberi gelar al Asham yang artinya si tuli. Hatim al Asham berarti Hatim yang tuli.

 

Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan kentut dengan sedikit keras di hadapan Hatim, hingga wanita itupun menjadi salah tingkah. Tetapi Hatim adalah orang yang baik, ia mengerti bagaimana perasaan wanita, yang tentu wanita ini sangat malu dengan suara kentutnya yang lumayan keras, jadi Hatim pura-pura tidak mendengar kentut wanita itu.

 

Hatim al Asham adalah seorang ahli ibadah dan  sa­ngat bertakwa. Pada suatu hari, ia kedatangan seorang tamu bernama Isham bin Yusuf.

 

“Bagaimana anda melakukan shalat?” tanya tamunya.

 

“Apabila waktu shalat tiba, saya segera melakukan wudhu lahir dan batin,” jawab Hatim.

 

“Apakah  perbedaan antara kedua wudhu itu?”  tanya Isham bingung.

 

Sambil memperhatikan wajah tamunya, Hatim berkata, “Wudhu  lahir adalah mencuci badan dengan air.  Sedangkan wudhu batin adalah mencuci jiwa dengan tujuh sifat. Yaitu taubat, menyesali dosa-dosa masa lalu, melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia, menanggalkan pujian  dan penghormatan  pada  selain Allah, melepaskan  diri dari kendali  benda,  membuang rasa dendam kesumat,  dan me­nyingkirkan  kedengkian. Setelah itu aku menuju  masjid dan bersiap melaksanakan shalat sambil memusatkan panda­ngan  ke kiblat.

 

Aku tampil sebagai pengemis  yang papa seakan-akan Allah di hadapanku, sorga di sebelah  kanan­ku, neraka disebelah kiriku, Izrail si pencabut nyawa di belakangku, dan titian Shirat di bawah telapak  kakiku. Itulah shalatku yang terakhir. Setelah itu aku berni­at dan bertakbir lalu membaca surah  Al Fatihah  dengan seksama seraya merenungkan arti setiap kata  dan  ayat. Kemudian aku lakukan ruku’ dan sujud dengan penuh kekhusyukan dan kerendahan hati sambil menumpahkan air  mata. Tasyahud  kulakukan dengan penuh pengharapan, lalu ku­ucapkan  salam dengan ikhlas sepenuhnya. Sejak tiga  ta­hun, shalat yang demikianlah yang kulakukan.”

 

Isham tercengang mendengar jawaban Hatim. “Hanya Andalah yang melakukan salat seperti itu,” komentarnya. Dan tiba-tiba Isham menangis dan meraung sekuat-kuat­nya sambil berdoa agar dibantu dan diberi kemampuan  me­lakukan ibadah seperti Hatim.

 

hatim

 

Diantara mutiara hikmahnya yang lain:

 

Tiada waktu pagi datang melainkan setan mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda, “Apa yang akan kamu makan? Apa yang akan kamu pakai? di manakah kamu akan tinggal.” Aku tidak ingin hanyut dalam jebakan pertanyaan itu, maka cukup kujawab, “Aku akan makan kematian, mengenakan kain kafan, dan tinggal di liang lahat.

 

Pernah suatu hari aku ditanya, “Tidakkah kamu menginginkan sesuatu?” Maka kujawab, “Aku ingin selalu sehat dari pagi hingga malam hari”. Ditanyakan lagi, “Bukankah kamu sehat selama seharian?” Kujawab, “Sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam”.

 

Pernah dalam suatu pertempuran, aku ditangkap oleh seorang tentara Turki, kemudian badanku ditelentangkan untuk disembelih. Hatiku tidak merasa takut sedikitpun, bahkan aku menunggu keputusan Allah untukku. Ketika prajurit itu menghunus pedangnya untuk menyembelih diriku, tiba-tiba meluncur sebuah anak panah menembusnya sampai mati sehingga ia terlempar dariku. Aku pun segera berdiri.

 

Barangsiapa memasuki mazhab kami, hendaklah bersedia menerima empat hal kematian. Mati putih karena lapar, mati hitam karena menanggung penderitaan dari manusia, mati merah karena berbuat ketulusan untuk melawan hawa nafsu, dan mati hijau karena fitnah.

 

Suatu hari, Hatim al Asham ditanya oleh sahabatnya, Syaqiq al-Balkhi (semoga Allah merahmati keduanya).

 

“Kau telah bersahabat denganku selama 30 tahun, apa yang kau dapatkan selama ini?” tanya Syaqiq.

 

“Aku telah mendapatkan 8 pelajaran yang kuharapkan dapat menyelamatkanku,” jawab Hatim.

 
“Apa saja pelajaran itu?”

 

Pertama: Kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya, dan ada yang mengantarnya sampai ke pekuburan, setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri, tidak ada satu pun orang yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya. Kurenungkan hal ini lalu kukatakan: Sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh. Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.

 
Kedua: Kuperhatikan bahwa manusia selalu memperuntuhkan hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggal(nya).” (QS. an-Nazi’at :40-41). Aku yakin bahwa Al Qur’an adalah haq dan benar, maka aku bersegera menentang hawa nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.

 

Ketiga: Aku lihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Apa yang ada di sisimu akan lenyap,d an apa yang ada di sisi Allah kekal.” (QS. an-Nahl: 96). Karena itu kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak disisi-Nya.

 

Keempat: Kuperhatikan sebagaian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain, mendzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi menyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak dalam menghambur-hamburkan dan memboroskan harta. Aku lalu merenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian.” (QS. al-Hujurat:13). Lalu kupilih takwa karena aku yakin bahwa Al Qur’an itu haq dan benar, sedang pemikiran dan pendapat mereka keliru dan tidak langgeng.

 

 

Kelima: Kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing (ghibah). Perbuatan buruk itu ditimbulkan oleh perasaan dengki (hasad) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup diantara mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf:32). Maka tahulah aku, bahwa pembagian itu telah ditentukan oleh Allah sejak di alam azali. Oleh karena itu, aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus rela dengan pembagian yang telah diatur oleh Allah Ta’ala.

 

 

Keenam: Kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian). (QS. Fathir: 6). Maka sadarlah aku, bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.

 

 

Ketujuh: Kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan mengurangi kehormatannya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya.” (QS. Hud: 6). Maka sadarlah aku, bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah Ta’ala, dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.

 

 

Kedelapan: Kuperhatikan sebagian orang yang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta’ala: “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (QS. at-Thalaq: 3). Maka aku pun lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku.”

 

 

Setelah mendengar uraian Hatim, Syaqiq berkata, “Semoga Allah memberimu taufik. Aku telah membaca Taurat, Injil, Zabur dan Furqan (Qur’an). Ternyata semua kitab itu membahas kedelapan persoalan ini. Oleh karena itu, barangsiapa mengamalkannya, maka ia telah mengamalkan keempat kitab tersebut!”

 

Gusblero Free

 

Gesang Tanpo Nggosu

Dulu saya kepingin jadi wong pinter, nyatanya ilmu juga nggak cukup-cukup, tiap hari kita masih harus belajar untuk memahami kasunyatan hidup yang dinamis

 

Beranjak kemudian pilihan pengin jadi wong cukup, nyatanya bekal yang diandalkan tetap saja kurang karena setiap ganti waktu perabotan hidup juga salin baju dan berkembang

 

Sekarang saya menyadari yang paling esensi dalam hidup itu roso bebrayan, sepanjang kita tidak rumongso ndeweki secara kamanungsan, kita bisa menemukan cara paling sederhana mujudake katentreman (baca: tentrem, dudu tentram)

 

Ura gumunan, ura kampungan, ura mutungan

 

Dirgahayu Hari Jadi Wonosobo ke-192

 

GBF, 22 Juli 2017

 

Urip tanpo nggosu

 

gbf1

 

seandainya-mereka-tahu

stupid together1

23. Pemuda Yang Berjalan Di Atas Air

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh waliullah Dzunnun al-Misri untuk mentabiri dirinya….

 

Suatu ketika, saya berlayar ke seberang laut untuk suatu keperluan. Di atas kapal penuh sesak dengan penumpang, saya pun terus mengamati wajah-wajah penumpang itu. Diantaranya ada seorang pemuda yang sangat tampan rupanya, wajahnya bersinar dan dia duduk ditempatnya dalam keadaan tenang sekali, tidak seperti penumpang lain yang terus mondar-mandir di atas kapal.

 

Udara diatas kapal itu agak panas, dan juga bertambah panas disebabkan terlalu banyak penumpang yang berhimpit diantara satu sama lainnya. Pada mulanya kapal itu belayar dengan lancar sekali, karena  lautnya tenang tidak bergelombang, dan angin  pun tidak bertiup kencang.

 

Dalam keadaan yang begitu tenang di atas kapal itu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemberitahuan yang menyampaikan bahwa nahkoda kapal itu telah kehilanggan suatu barang sangat berharga, dan semua penumpang diharapkan untuk tetap duduk di tempatnya masing masing karena akan dilakukan pengeledahan.

 

Suasana yang tadinya tenang kini berubah riuh karena masing-masing penumpang berbicara satu sama lain mengenai barang yang hilang itu. Masing masing mencoba mengeluarkan pendapat seperti apa barang yang hilang itu. Saya sendiri merasa heran bagaimana barang nahkoda itu bisa hilang? Apakah dicuri orang? atau pun barangkali terjatuh karena manusia di atas kapal itu terlalu banyak hingga saling berdesak-desakan?

 

Penggeledahan pun lalu dilakukan oleh beberapa petugas kapal itu. Penumpang-penumpang itu semuanya ribut, baik lelaki mau pun wanitanya. Mereka digeledah satu-persatu. Begitu pula tempat tidur mereka digeledah, kalau kalau barang itu disembunyikan di celah-celah tempat tidurnya. Walau pun begitu barang itu masih belum ditemukan.

 

Akhirnya sampailah giliran tempat si pemuda  tampan untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu hanya duduk di tempatnya  dengan tenang sekali. Tetapi oleh karena dia orang yang terakhir  yang diperiksa, maka wajah orang ramai seolah-olah memperhatikannya. Mungkin banyak orang menduga dalam hatinya, karena yang lain jelas-jelas tidak terbukti, sekarang pastilah pemuda ini yang mencuri barang yang hilang itu.

 

Semua orang menyimak. Capek dan kecewa karena tidak menemukan apa yang dicari pada penumpang-penumpang lain, para petugas itu pun nampaknya memiliki kesimpulan tuduhan yang sama, hingga agak kasar mereka memperlakukan interograsi dan penggeledahan pada si pemuda.

 

Merasa dikasari  oleh para petugas itu, pemuda itu pun melompat sambil berteriak: “Saya bukan pencuri, kenapa saya diperlakukan begitu kasar?”

 

Namun bantahan ini justru menguatkan sangkaan para petugas. Beramai-ramai lalu mereka bergegas untuk menangkapnya. Orang-orang pun makin ramai mengerubuti tempat itu, hingga pemuda itu terpojok di tepi.

 

Bingung dan gusar karena akan ditangkap untuk hal yang tak dilakukannya, pemuda itu melihat laut. Ombak bergulung, angin saat itu cukup kencang, lalu tiba-tiba pemuda itu melompat ke laut.

 

Orang-orang berteriak. Mereka saling berlarian menyerbu pinggir kapal untuk melihat akan halnya pemuda itu. Dan satu pemandangan tak terduga terjadi.

 

Orang-orang kembali berteriak. Namun kali ini dengan sedikit ketakjuban. Mereka melihat pemuda yang dikiranya akan tenggelam disapu ombak itu ternyata duduk di atas air sebagaimana layaknya duduk di kursi. Pemuda itu lalu memandang sekalian penumpang di kapal dan berkata dengan suara yang keras: “Ya Tuhanku! Mereka semua menuduhku sebagai pencuri! Demi Dzat-Mu, wahai Tuhan Pembela orang yang teraniaya, perintahkanlah kiranya semua ikan-ikan di laut ini supaya timbul dan membawa di mulutnya permata-permata yang berharga!”

 

Kini para penumpang itu terus melebarkan pandangannya ke sekitar kapal,  ingin melihat apakah benar akan ada ikan-ikan muncul dengan membawa permata-permata di mulutnya. Semuanya tegang dan menunggu.

 

Dan ternyata memang benar, dengan Kuasa Allah, apa yang dikatakan pemuda itu terjadi. Beribu-ribu ikan muncul di sekitar kapal itu dengan membawa batu-batu permata putih dan merah yang berkilauan tertimpa cahaya. Tak sadar, semua orang yang melihat pemandangan itu bersorak-sorai menepukkan tangan kepada pemuda itu.

 

Saya terus tercengang, tidak dapat berkata apa-apa. Nahkoda kapal dan para petugas kapal itupun bingung, seolah-olah tidak percaya apa yang dilihatnya.

 

“Apakah kamu masih menuduhku mencuri, padahal perbendaharaan  Allah ada di tanganku, yang jika mau  boleh aku ambil?” Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan-ikan kembali ke tempatnya semula, maka tengelamlah semua ikan-ikan tadi. Sekali lagi orang-orang di atas kapal itu terus besorak lagi.

 

Pemuda itu lalu berdiri di atas air itu dan kemudian berjalan di atasnya. Diantara angin laut yang menderu-deru terdengar dari mulutnya bersuara: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin….hanya kepada-Mu lah  aku menyembah, dan hanya kepada-Mu pula aku mohon pertolongan.’’

 

Dia terus menjauhi kami, sehingga hilang dari pandangan. Saya sama sekali tidak menduga, bahwa pemuda ini kemungkinan sekali termasuk kedalam golongan ahli Allah, yang pernah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Akan tetap ada dalam umatku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati mereka sepadan dengan hati Nabiyullah Ibrahim AS. Setiap mati seorang diantara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”

 

 

Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Ilallaah Allahu Akbar….

 

Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Akan tetap ada dalam umatku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati mereka sepadan dengan hati Nabiyullah Ibrahim AS. Setiap mati seorang diantara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”

 

 

gusblero_pemuda gelombang

 

Tidaklah semua orang yang telah terang kekeramatannya (karomah) atau telah diberikan kelebihan yang berbeda dari adat (kebiasaan manusia) itu berarti telah sempurna kebersihannya dari penyakit-penyakit nafsu. Tujuan diberikannya kekeramatan atau kelebihan yang berbeda yang tidak seperti lazimnya tindakan manusia itu tujuannya untuk memperkenalkan dan memperlihatkan kekuasaan Allah dengan bukti-bukti yang tidak terikat dengan adat atau asbab, maka orang yang diberikan kekeramatan itu akan lebih mantap keyakinanan ma’rifatnya kepada Allah.

 
Apakah semua manusia yang diberikan karomah sudah pasti bersih hatinya, dalam artian terbebas dari segala persoalan nafsu? Belum tentu. Misalnya pada orang-orang yang diberikan kelebihan karomah toyyil ardhi (melipat bumi), apakah hatinya sudah dijamin bersih? Belum tentu. Jika hendak diibandingkan, orang-orang toyyil ardhi tersebut nampaknya bahkan belum sederajat dengan waliyullah Hasan Basri, beliau tinggal di Basrah (Iraq), tapi setiap shalat fardhu pasti jamaahnya di Mekkah.

 
Melipat bumi dan melipat waktu itu namanya karomah takhsis. Toyyil ardhi juga bisa berjalan diatas air, contoh kata al-Masri waliyullah yang diberikan karomah berjalan di atas air seperti yang diberikan pada pemuda dalam kisah di atas. Dan semua orang yang diberikan karomah tersebut belum tentu hatinya bersih, belum tentu dia bersih dari penyakit nafsu, kebersihan hati itu harus terus-menerus diperjuangkan dengan jihad annafsi, menundukkan hawa nafsu.

 
Jihad annafsi atau memerangi nafsu artinya, yang pertama membersihkan nafsu dari sifat-sifat tercela seperti merasa dirinya lebih baik dari yang lain, ria. Waliyullah Hatim al Asham menyampaikan : “Sumbernya ma’siat (aslu ma’siat) ada tiga. Yang pertama sombong yaitu batolul haq, menolak kebenaran. Sumber-sumber maksiat pertama asalnya dari kelakuan iblis ‘abba wastaqbaro’ mereka tidak mau bersujud kepada nabi Adam.”

 

Alkisah iblis berkata pada kanjeng nabi Musa, ketika kanjeng nabi Musa AS naik bukit Tursina: “Aku pesan ya Musa, tanyakan kepada Allah, kalau aku tobat apakah masih diterima oleh-Nya?”

 

Dijawab Allah: “Musa, tobatnya Iblis diterima karena yukhibbut tawwabina wayukhibbul mutatohhirin, Allah menyukai hamba yang mau bertaubat dan mensucikan diri, syaratnya agar iblis sujud ke kuburannya nabi Adam.” Akan tetapi iblis tidak mau.

 

Aslu ma’siat yang kedua alkhirshu (rakus dunia). Rakus terhadap dunia ini memiliki kecenderungan akan ketidak puasan pada tiga hal: harta, kedudukan, dan wanita.

 

Kalau takabbur (sombong) sumbernya dari iblis, dan alkhirsu sumbernya dari nabi Adam dan Hawa. Kullu wasrobu wala taqroba hadzihi sajarota, jangan sekali-kali kalian dekati pohon itu, tapi beliau tergoda iblis. Nama asli pohon itu Sajarotu Tughyan, kalau dimakan jadi racun, tapi oleh iblis diganti namanya jadi Sajarotul Khuldi, pohon langgeng, kalau kalian berdua makan buah ini maka kalian dan anak cucumu akan langgeng di sorga.

 

Aslu ma’siat yang ketiga alhassadu (dengki). Kalau dengki iri sumbernya dari Qabil dan Habil karena iri perjodohan Qobil dapatnya pasangan yang kalah cantik maka Habil dibunuh.

 
Ada seorang wali bernama Abu Nasr Assyaroj berkata: “Saya bertanya kepada al Hasan as Salim apakah arti kekeramatan (karomah), sedang mereka telah dimuliakan Allah, sehingga sanggup mengabaikan dunia dan meninggalkan dengan rela hati, dan bisa mengubah batu menjadi emas?”

 

Jawab al Hassan: “Allah memberikannnya bukan karena kotornya, tapi itu semuanya dijadikan hujjah menekan hawa nafsu, hawa nafsu yang selalu goncang karena takut tidak dapat makanan atau dunia.” Maka para wali kebanyakan uzlah pindah ke hutan-hutan, ke padang pasir untuk menjauhkan diri dari dunia.

 
Karomah yang hakiki adalah istiqomah, terus berjalan digarisnya agama. Barang siapa yang istiqomah maka beliau akan mendapatkan karomah yang hakiki. Istiqomah disukai Allah, sedangkan karomah disukai nafsu. Oleh karena itu al-istiqomah khairun min alfai karomah, satu istiqomah lebih baik dari pada seribu karomah. Maka dari itu janganlah ada keniatan mencari karomah tapi niatkan mencari keridhoan Allah!

 

Gusblero Free

22. Air Mata Yang Menjadi Saksi

Rasulullah SAW telah bersabda, “Bahwa tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah sehingga ada air susu kembali ke tempat asalnya.”

 

gusblero_airmatasaksi
Dalam sebuah kitab Daqa’iqul Akhbar (Kitab Kejadian) diterangkan bahwa akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat nanti, dan sangat beratlah timbangan kejahatannya, lalu diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka. Kemudian salah satu dari rambut-rambut matanya bersaksi, “Wahai Tuhanku, Rasul Engkau Nabi Muhammad SAW telah bersabda, barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah SWT, maka Allah mengharamkan matanya itu ke neraka dan sesungguhnya aku menangis karena amat takut kepada-Mu.”

 
Akhirnya Allah mengampuni hamba itu dan menyelamatkannya dari api neraka dengan berkat sehelai rambut yang pernah menangis kerana takut kepada-Nya, lalu Malaikat Jibril AS mengumumkan: “Telah selamat Fulan bin Fulan sebab sehelai rambut….”

 
Dalam sebuah kitab lain, Bidayatul-Hidayah (Jalan Meraih Hidayah), diceritakan bahwa pada hari kiamat nanti, akan didatangkan neraka jahanam dengan mengeluarkan suara kobaran api yang sangat bergemuruh, hingga semua umat menjadi berlutut karena ketakutan tak terkira. Itulah kejadian seperti yang telah Allah SWT maksud dan firmankan, “Kamu lihat (pada hari itu) setiap umat berlutut (merangkak pada lututnya). Tiap-tiap orang diseru kepada buku amalannya, dan dikatakan kepadanya pada hari ini kamu dibalasi menurut apa-apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Jatsiyah ayat 28)

 
Sebaik mereka menghampiri neraka, mereka mendengar kegeraman api neraka dengan gemuruh kobarannya (diterangkan dalam kitab tersebut bahwa gemuruh kobaran api neraka itu dapat didengar sejauh 500 tahun perjalanan). Pada waktu itu, akan berkata setiap orang hingga nabi-nabi dengan ucapan, “Diriku….diriku… (selamatkanlah diriku Ya Allah) kecuali hanya seorang Nabi saja yang akan berkata: “Umatku…umatku….!”

 
Beliaulah Nabi Muhammad SAW. Saat itu akan keluarlah api neraka jahim seperti gunung-gunung, lalu umat Nabi Muhammad berusaha menghalanginya dengan berkata, “Wahai api! Demi hak orang-orang yang shalat, demi hak orang-orang yang ahli sedekah, demi hak orang-orang yang khusyuk, demi hak orang-orang yang berpuasa, kembalilah dirimu.”

 
Walau demikian, api neraka itu tetap tidak mau kembali, hingga kemudian Malaikat Jibril berkata, “Sesungguhnya api neraka itu menuju kepada umat Muhammad SAW.” Lalu Jibril membawa semangkuk air dan Rasulullah meraihnya. Berkata Jibril AS: “Wahai Rasulullah, ambillah air ini dan siramkanlah kepadanya.” Lalu Baginda mengambil dan menyiramkannya pada api itu, maka padamlah api itu.

 
Setelah itu Rasulullah SAW pun bertanya kepada Jibril AS: “Wahai Jibril, apakah gerangan air itu?”

 

Maka Jibril berkata, “Itulah air mata orang durhaka di kalangan umatmu yang menangis karena takut kepada Allah SWT. Sekarang aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar engkau menyiramkan pada api itu.” Maka padamlah api itu dengan izin Allah SWT.

 
Maka begitulah, telah bersabda Rasulullah SAW: ”Yaa Allah, anugerahilah kepada kami dua buah mata yang menangis karena takut kepada-Mu, sebelum tidak ditemukannya lagi air mata!”

 

Gusblero Free

21. Ahli Sorga, Sang

Diceritakan oleh Anas bin Malik ra: “Saat kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba Beliau bersabda, sekarang akan muncul di hadapan kalian seorang ahli sorga.”

 
Tidak lama kemudian muncullah seorang dari kaum Anshar, dari janggutnya masih menetes air bekas wudhu, dan ia menggantungkan sandalnya di tangan kirinya.

 
Keesokan harinya lagi Nabi SAW mengatakan seperti perkataan yang kemarin. Dan kelanjutannya sama, lalu muncul lagi orang Anshar itu lagi, yang muncul sama dengan keadaan seperti hari pertama.

 
Pada hari ketiga Rasulullah SAW mengulangi perkataan yang lagi-lagi sama, dan orang Anshar itu lagi yang lagi-lagi muncul dan dengan keadaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

 
Dipenuhi rasa penasaran, Abdullah bin Amr ra kemudian mengikuti orang Anshar itu hingga ke rumahnya. Terhadap sahabat Anshar, Abdullah bin Amr berkata: “Aku telah bertengkar dengan ayahku dan aku bersumpah tidak akan kembali kepadanya selama 3 hari. Apakah engkau membolehkan aku tinggal di rumahmu hingga 3 hari?”

 
Ia menjawab,”Ya.silahkan saja.”

 
Abdullah bin Amr menceritakan bahwa ia menginap selama 3 malam di rumah orang Anshar tadi, tetapi ia tidak pernah melihat sesuatu yang istimewa pada ibadah orang tersebut. Dimalam hari ia juga beribadah biasa-biasa saja seperti rutinitas kaum muslim pada umumnya, kecuali apabila ia terbangun dan mengubah posisi tidurnya di atas tempat tidur, ia berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan takbir sehingga bangun untuk melaksanakan shalat subuh.

 
Abdullah meneruskan ceritanya: “Ada satu perkara lagi bahwa aku tidak pernah melihat dan mendengar sesuatu yang diucapkan kecuali yang baik-baik saja. Tiga hari tiga malam pun berlalu seperti tak ada istimewanya, dan hampir saja aku merendahkan amalnya. Hingga aku berkata padanya: “Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak ada cerita pertengkaran antara aku dan ayahku, juga tidak ada perselisihan, tetapi yang sebenarnya aku telah mendengar Rasulullah SAW telah berbicara tentang dirimu sebanyak tiga kali. Bahwa akan muncul di hadapan kalian seorang ahli sorga, lalu yang muncul adalah engkau. Sebanyak 3 kali beliau mengatakan demikian dan tetap yang muncul adalah engkau. Itulah alasan sesungguhnya kemudian aku ingin tinggal bersamamu agar aku dapat melihat dan mengetahui apa sebenarnya amalanmu hingga Rasulullah berkata demikian.”

 
Sambil tersenyum sahabat Anshar pun menjawab: “Benar saudarakau, tidak ada amal yang istimewa yang aku lakukan sebagaimana engkau lihat.”

 
Abdulah bin Amr ra melanjutkan ceritanya: ”Saat aku berkemas akan pergi, ia memanggilku lalu berkata: “Amalanku biasa-biasa saja seperti yang engkau lihat, kecuali sesungguhnya aku tidak mendapati dalam hatiku kebencian pada siapa pun diantara orang-orang Islam. Dan aku tidak pernah iri kepada siapa pun atas kebaikan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.”

 
Abdulah bin Amr ra tersentak. Dengan setengah menjerit ia berkata: “Inilah amal yang telah menyampaikan dirimu pada kedudukan itu, dan inilah amal yang tidak mampu dari banyak kami lakukan!”

 

Subhanallah…..

 

Amalanku biasa-biasa saja seperti yang engkau lihat, kecuali sesungguhnya aku tidak mendapati dalam hatiku kebencian pada siapa pun diantara orang-orang Islam. Dan aku tidak pernah iri kepada siapa pun atas kebaikan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya

 

gusblero_ahli sorga sang

 

Adalah sungguh kenikmatan-kenikmatan di dalam sorga tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang disampaikan Kanjeng Nabi Muhammad SAW: “Allah berfirman: ”Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim).

 

Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan keluasan rahmat Allah SWT yang tanpa batas tiada bertepi. Dan, yang Allah SWT sediakan bagi hamban-hamba-Nya yang shalih, namun itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai Imamul Anbiya’ (pemimpin para nabi), yang ia juga adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu sorga, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah SWT. “Sungguh bukanlah seseorang itu masuk sorga karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau berkata: “Demikian juga aku, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

 

Penghuni sorga memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW menyampaikan:  “Maka setiap orang yang masuk sorga wajahnya seperti Adam, dan tingginya 60 hasta. Setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang.” (Muttafaqun ‘alaihi). Dari shahabat Syahr bin Husyab ra, Rasulullah SAW bersabda: “Penghuni sorga akan masuk ke dalamnya dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga puluh tiga tahun.” (HR. At Tirmidzi).

 

Orang pertama kali yang mengetuk pintu sorga, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah SAW. Dari shahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda: “Aku adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu sorga.” (HR. Muslim). “Aku adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Aku adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Aku adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Aku adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Aku adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada di genggaman tanganku. Kunci-kunci sorga ada ditanganku. Aku adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Aku dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan.” (HR. At Tirmidzi).

 

Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai Imamul Anbiya’ (pemimpin para nabi), yang ia juga adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu sorga, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah SWT. “Sungguh bukanlah seseorang itu masuk sorga karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau berkata: “Demikian juga aku, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.

 

Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah SWT (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk sorga. Dari shahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah umat terakhir, namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk sorga, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita dan kita diberi kitab sesudah mereka.” (HR. Muslim).

 

Selain itu, Allah SWT pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Rasulullah SAW bersabda: “Rombongan pertama yang masuk sorga laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

 

Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah SAW tanyakan kepada para shahabatnya, hingga mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Barulah Rasulullah SAW menjelaskan: “Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya.

 

Para Malaikat berkata: ”Ya Rabb kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu.”

 

Allah SWT berfirman: “Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ke tempat mereka dari semua pintu seraya berkata,” Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal.” (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)

 

“Orang-orang fakir kaum Muhajirin masuk al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun.” (HR. Muslim). Allah SWT berfirman: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan sorga-sorga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam sorga-sorga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah 25).

 
Pada ayat di atas Allah SWT memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagiaan jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah SWT memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun. Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah SWT berfirman: “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah.” (QS. Ar Rahman 72). “Di dalam sorga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik.” (QS. Ar Rahman 70). “Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan.” (QS. Al Waqi’ah 36-38).

 

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni sorga yang paling akhir masuk sorga. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah (syurga) dan masuklah ke dalamnya!’

 

Kenikmatan tertinggi di dalam sorga adalah melihat wajah Rabbul ‘alamin. Allah SWT berfirman: “Allah menyeru (manusia) ke darussalam (sorga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik berupa sorga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni sorga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus 25-26).

 

Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah SWT berkata: Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (sorga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah SWT membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata’ala.” (HR. Muslim).

 

 

Subhanallah…..
 

 

Berbicara mengenai perilaku manusia di dunia, tentu tidak akan terlepas dari sesuatu yang disebut dosa. Dosa merupakan hitungan atas perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia. Setiap manusia yang melakukan perbuatan buruk atau maksiat, hatinya pasti akan merasa tidak tenang. Serasa ada yang mengusik hati dan menghilangkan ketentraman. Hati seringkali dibayang-bayangi oleh rasa takut dan rasa bersalah. Rasulullah SAW bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya”. (HR. Imam Muslim dari Nawas bin Sam’an).

 

Sudah menjadi fitrah manusia memiliki dosa dalam hidupnya. Karena manusia kerap kali terbawa oleh hawa nafsunya sehingga ia melakukan maksiat. Walaupun terkadang ia tahu bahwa perbuatan yang sedang ia lakukan itu adalah maksiat yang jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT. Hati manusia itu asalnya adalah putih bersih. Namun maksiat yang kita lakukan setiap hari membuatnya menjadi hitam dan gelap. Sehingga banyak sekali manusia yang sulit menerima hidayah dari Allah karena hatinya telah tertutupi noda dan hatinya keras. Akibatnya setiap hari manusia selalu menghiasi hidupnya dengan dosa.

 

Akan tetapi, Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia akan selalu mengampuni dosa-dosa setiap anak Adam selama nyawanya belum berada di kerongkongan (dicabut nyawanya). Allah mengampuni segala macam dosa yang dilakukan anak Adam, kecuali satu, yaitu dosa syirik. Allah tidak akan pernah mengampuni manusia yang telah menyekutukan-Nya dengan sesuatu selain diri-Nya.

 

Allah SWT Maha Adil. Dia menciptakan sorga dan neraka sebagai ganjaran atas setiap perilaku manusia selama ia hidup di dunia. Allah menciptakan sorga untuk Ia hadiahkan kepada hamba-hamba yang Ia cintai. Kemudian Allah juga menciptakan neraka untuk Ia berikan kepada hamba-hamba yang Ia murkai. Manusia yang selama hidupnya selalu mendedikasikan dirinya untuk agama Allah, segala aktivitasnya selalu diniatkan untuk meraih ridha Allah SWT, maka Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan manusia seperti ini. “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Hud 115).

 

Jelaslah bagi kita bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman terlantar begitu saja. Walaupun di dunia ia tidak memiliki kekayaan harta, namun jika ia beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, maka kelak Allah akan gantikan kesengsaraannya selama di dunia itu dengan sorga yang maha indah yang tidak akan pernah ia lihat sebelumnya. Begitu pula sebaliknya, bagi manusia yang senantiasa menghabiskan hidupnya dengan mendurhakai Allah, maka Allah pun tidak segan-segan untuk menghukumnya. Bahkan tidak sedikit siksaan yang Allah timpakan pada mereka pada saat mereka masih berada di dunia. Bayangkan saja, siksa Allah di dunia saja sudah amat menyakitkan, apalagi siksaan Allah yang diberikan di neraka.

 

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW berdoa:  “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (sorga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan”. (HR. Ahmad)

 

Akhir hidup manusia akan bermuara kepada dua hal saja, yaitu neraka atau sorga. Perjalanan untuk meraih sorga akan selalu dipenuhi dengan segala sesuatu yang tidak mengenakkan dan senantiasa menyusahkan. Sebaliknya, perjalanan menuju neraka justru dihiasi dengan segala kenikmatan semu yang melenakan manusia.

 

Sorga bukan hanya untuk dihadiahkan kepada manusia yang tidak pernah berdosa selama hidupnya. Sorga juga tidak dihadiahkan untuk orang yang tidak pernah khilaf selama hidupnya. Jika kita mengingat kembali fitrah manusia yang selalu salah, maka sudah barang tentu tidak ada manusia yang tidak memiliki dosa di dunia ini. Tetapi tidak seperti itu. Allah Maha Penyayang kepada setiap hamba-Nya. Semua manusia yang menghuni sorga, mereka adalah orang-orang yang memiliki dosa. Hanya saja, timbangan amal baik mereka lebih berat ketimbang amal buruk mereka. Sehingga amal baik itulah yang mengundang datangnya rahmat Allah kepadanya!

 

Gusblero Free

20. Hari Rabu Akhir adalah Hari Nahas Yang Berlanjut

Nama surat dalam Alqur-an yang ke-46 itu surat Al-Ahqaf. Ahqaf itu bahasa arab, yang berarti: bukit-bukit pasir, dan Ahqaf yang dimaksud dalam surat tersebut sekarang dinamakan Rab`ul Khali (tempat tersebut tidak dinamakan Ahqaf lagi).

 
Dimanakah letaknya Ahqaf itu? Letaknya di sebelah kiri Hadlramaut, yakni sebelah timurnya Amman. Adapun ibukotanya Ahqaf ialah Iraam. Nabiyullah Hud AS dan kaumnya, yakni kaum `Ad atau kaum Ahqaf adalah sama-sama dari keturunannya Nabiyullah Nuh AS. Lalu kaum `Ad yang bertempat tinggal di bukit-bukit Ahqaf itu diberi nama kaum Ahqaf.

 

Kaum `Ad/ Ahqaf adalah kaum yang orangnya sangat kuat-kuat, mampu membuat rumah yang bersusun-susun, rumah yang bertingkat-tingkat. Mereka juga mengalami kejayaan dan kemakmuran, akan tetapi karena kejayaan dan kemakmurannya itulah justru membuat kaum `Ad merasa sebagai kaum yang paling kuat sehingga timbul sifat takabbur, menjadi kaum yang sombong. “Fa-amma ‘Aadun fastakbaruu fil ardli bighoiril haqqi waqaaluu man asyaddu minnaa quwwatun. Adapun kaum `Ad, mereka takabbur di bumi tanpa alasan yang benar. Dan kaum `Ad berkata: “Siapakah kaum di dunia ini yang lebih kuat dari pada kami?” (QS. Haammim Assajadah 15).

 

Pada waktu itu jumlah penduduk kaum Ahqaf/ kaum `Ad sebanyak 4.000 orang. Dan kepada kaum `Ad yang begitu sombongnya itulah Nabiyullah Hud AS diutus oleh Allah Ta`ala untuk berda`wah memperingatkan mereka. Disebutkan mereka itu sudah diberi kejayaan, diberi kemakmuran dan diberi kekuatan, akan tetapi justru tidak bersyukur melainkan malah kufur. Tidak mau menyembah Allah Ta`ala, dan justru menyembah berhala yang dinamakan berhala Alhaktar. Berhala Alhaktar adalah berhala yang disembah oleh kaum kafirin pada zaman Nabiyullah Nuh AS, sama seperti berhala Waddan, berhala Suwaa`an, berhala Ya`uuqa, dan berhala Nashraa.

 

”Wadzkur akhaa ‘Aadin idz andzara qaumahuu bil Ahqaafi waqad khalatin nudzuru min baini yadaihi wamin khalfihi allaa ta’buduu illallaaha inniii akhaa-fu ‘alaikum ‘adzaaba yaumin ‘adhiim. Dan ingatlah, saudaranya kaum `Ad (Hud) tatkala memberi peringatan kepada kaumnya dengan semua penduduk Ahqaf. Dan sungguh telah berlalu orang-orang yang memberikan peringatan baik dari orang-orang sebelumnya maupun orang-orang sesudahnya, semuanya memberikan peringatan: “Janganlah kamu beribadah kepada selain Allah, sesungguhnya saya takut kalau kamu semuanya nanti akan ditimpa adzab yang besar.” (QS. Al Ahqaf 21).

 
Namun bagaimanakah tanggapan kaum `Ad mendengar peringatan dari Nabiyullah Hud AS tersebut?

 

“Qaaluu aji’tanaa lita’fikana ‘an aalihatinaa fa’tinaa bimaa ta’idu-naa in kunta minash-shaadiqiin. Berkata mereka (kaum `Ad): “Apakah kamu (Hud) datang kepada kami untuk memperpalingkan kami dari Tuhan-Tuhan kami?” Kalau kamu berkata bahwa kami akan ditimpa petaka, maka datangkanlah petaka itu sekarang juga jika kamu (Hud) termasuk orang-orang yang benar/ shiddiq.” (QS. Al Ahqaf 22)

 

Kaum `Ad/ Ahqaf adalah kaum yang orangnya sangat kuat-kuat, mampu membuat rumah yang bersusun-susun, rumah yang bertingkat-tingkat. Mereka juga mengalami kejayaan dan kemakmuran, akan tetapi karena kejayaan dan kemakmurannya itulah justru membuat kaum `Ad merasa sebagai kaum yang paling kuat sehingga timbul sifat takabbur, menjadi kaum yang sombong.

Menurut keterangan ayat diatas, kaum `Ad itu malah menantang agar petaka atau `adzab itu segera didatangkan. Lalu jawaban Nabiyullah Hud AS: “Masalah itu adalah urusan Allah, sedangkan urusanku hanyalah diutus untuk menyampaikan peringatan kepadamu semua.”

 
Dan cilakanya kaum `Ad malah justru masih terus saja menantang: “Fa’tinaa bimaa ta’idunaa. Hud Hud, ayo datangkan saja siksaan itu bila kamu itu memang orang yang benar!”

 
Maka begitulah kaum ‘Ad segera ditimpa adzab. Kekufurannya, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, memang sudah melewati batas, hati mereka sudah tertutup. Akhirnya adzab itu benar-benar ditimpakan oleh AllAh Ta`ala kepada kaum `Ad.

 

“Fa-arsalnaa ‘alaihim riihan shar-sharan fii ayyaamin nahisaatin linudziiqahum ‘adzaabal hizyi fil hayaatiddunyaa wala’adzaabul aakhirah. Maka Kami kirim atas mereka angin yang terus-menerus (shor-shoran) didalam hari-hari yang nahas. Supaya Kami timpakan kepada mereka agar merasakan balasan `adzab di dunia dan `adzab di akhirat.” (QS. Haammim Assajadah 16)

 
“Inna arsalnaa ‘alaihim riihan sharsharan fii yaumi nahsin mustamirr. Tanzi’unnaasa ka-annahum a’jaazu nakhlim munqa’ir. Sesungguhnya Kami utus angin yang terus menerus atas mereka (kaum `Ad) didalam hari nahas yang berlanjut. Yang dengan itu menggelimpangkan manusia laksana rontoknya kurma dengan bergelimpangan.” (QS. Al Qamar 19-20)

 

“Wa-ammaa ‘Aadun fa-uhlikuu biriihin sharsharin ‘aatiyatin. Sakhkharahaa ‘alaihim sab’a layaalin watsamaaniyata ayyaamin husuuman fataral qauma fiihaa shar’aa ka-annahum a’jaazu nakhlin khaawiyatin. Fahal taraa lahum min baaqiyatin. Dan adapun kaum `Ad, Aku hancurkan mereka dengan angin ribut yang sangat kencang, angin itu Aku kirim atas mereka selama tujuh malam dan delapan hari. Maka kamu mengetahui didalam hari-hari itu telah bergelimpangan manusia seakan-akan mereka itu seperti tunggak-tunggak pohon kurma yang dimakan ulat, maka apakah kamu melihat ada yang selamat diantara mereka? (sesungguhnya semuanya ikut binasa, tidak ada yang tertinggal).” (QS. Al Haaqqah 6)
Akhirnya, setelah diserang angin badai tiada kepalang selama tujuh malam delapan hari, maka hancurlah semua kaum `Ad yang kafirin, satupun tidak ada yang tertinggal, yang tertinggal hanya rumah kosong yang tidak ada penghuninya. Adapun `adzab yang ditimpakan itu dimulai pada hari Rabu akhir.

 

gusblero_bencana kaum ad

 

Qaala Rasuulullaahi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam: “Aakhara Arba’an fii syahrin yaumu nahsim mustamirr. Bersabda Rasululloh SAW: “Hari Rabu yang akhir (Rabu Wekasan – dalam literasi Jawa) dalam setiap bulan itu adalah hari nahas yang berlanjut”.

 
Dan adzab yang ditimpakan kepada kaum `Ad yang berupa riihan shorshoron atau angin sangat kencang yang suaranya bergemuruh itu dimulai pada hari Rabu akhir dan berlangsung selama tujuh malam delapan hari. Itulah sebabnya pada hari Rabu akhir itu Rasulullah menamakannya yaumu nahsin mustamirr, karena kehancurannya kaum `Ad itu dimulai pada hari rabu akhir. Dan dalam Al Qur’an itu disebut sebagai ayyaamin nahisaatin (hari-hari yang nahas) karena memang `adzab berupa angin kencang itu tidak ditimpakan dalam satu hari melainkan selama tujuh malam delapan hari terus-menerus!

 

 

CATATAN KAKI:

 

Ada beberapa surah Al-Qur’an yang memiliki lebih dari satu nama. Berikut ini beberapa nama surat yang mempunyai sinonim nama, diantaranya: Al – Fatihah (Ummul kitab, Ummul Qur’an, Fatihatul Kitab dan Sab’ul Masani), At – Taubah (Baro’ah), Hamim Sajadah (Fushshilat), Al – Mu’min (Ghaafir), Al – Insan (Ad – Dahr), Al – Lahab (Al – Masad).

 

Gusblero Free

19. Syeh Jangkung

Saya belum pernah kenal Saridin, juga belum pernah silaturahim ke makam beliau yang kemudian terkenal dengan sebutan Syeh Jangkung itu, tetapi kisah seorang santri yang bisa membuktikan bahwa dalam tempurung kelapa bisa ada ikannya sudah cukup lama saya mendengarnya. Baru ngeh sesudah perbuatannya yang nganeh-anehi itu diceritakan oleh Cak Nun dalam sebuah kesempatan. Begini konon ceritanya…

 

Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid. Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat.

 

Sebenarnya persoalan yang utama disekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksanakan anjuran Allah, Zayyinul Qur’an ana biashwatikum, hiasilah Qur’an dengan suaramu. Membaca syahadat pun mesti seindah mungkin. Di pesantren Sunan Kudus, hal ini termasuk diprioritaskan. Masalahnya ini manusia Jawa Tengah: lidah mereka Jawa medhok dan susah dibongkar. Kalau orang Jawa Timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan lafal Qur’an, lidah mereka lincah banget. Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog Jawa.

 

Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung diluar dugaan semua yang hadir. Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan. Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik (komat-kamit) entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.

 

Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan ia pilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa. Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak (daun kelapa kering) di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.

 

Semua yang hadir berteriak. Banyak di antara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan. Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagaimana seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu.

 

Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Takzim dan mengucapkan, sami’na wa atha’na, aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi. Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk di sekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apa pun.
Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukkan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar saja. “Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?” Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum.

 

“Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjadi pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya.” Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.

 

“Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.”

 

gusblero_syeh jangkung1
Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: “Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?”
“Takut sekali, Sunan.”

“Kenapa kamu melakukannya?”

“Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku.”

“Kamu tidak menggunakan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?”

“Aku tahu persis itu, Sunan.”

“Kenapa kau langgar akal sehatmu?”

“Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang ini pun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati.”

 

“Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorakan dan perutmu?”

“Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati.”

 

Sunan Kudus melanjutkan: “Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?”
“Maksud Sunan?”
“Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”

 

“Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri,” jawab Saridin, “Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda.”

 

“Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?”

“Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.”

Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Takzim dan mengucapkan, sami’na wa atha’na, aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi. Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk di sekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apa pun.

Subhanallah…

 

Mengungkap sosok Saridin atau Syeh Jangkung yang ketika kecil konon sangat bandel perlu banyak membuka literatur lama. Menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat Pati Jawa Tengah, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.
Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki- laki bernama Saridin konon juga harus mengalami peristiwa tragis semasa kecilnya, dilarung ke kali? Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, pastinya lagi (dan yang ini juga konon) dalam perjalanan hidup Saridin yang cukup ruwet dan panjang kemudian muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai anaknya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya atau Sunan Kalijaga yang dia akui sebagai guru sejati.
Di Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ‘Mbokne (ibunya) Momok’ dan dari hasil pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung yunior (anaknya Branjung sebelum menemukan Saridin) harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Pembagian waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.
Pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh. Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, tanpa dinyana tubuh macan yang tergolek terkena tombak itu berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Dalam persidangan di kadipaten, diputuskan hukuman gantung bagi Saridin karena terbukti bersalah membunuh kakak iparnya. Namun, Saridin membela diri dengan santun, “Ampun Kanjeng Adipati, niat hamba tidaklah membunuh saudara hamba sendiri, tetapi membunuh seekor harimau yang mengancam diri hamba. Oleh karena itu, hamba pun mohon dibebaskan dari hukuman itu.”
Mendengar alasan itu, sang Adipati merasa ragu hendak melaksanakan hukumannya. Namun, selaku seorang penguasa, sulitlah dia mencabut keputusan itu. Kemudian timbullah akalnya, sang Adipati berkata dengan lembut, “Baiklah Saridin, hukuman itu hanyalah sebuah tipuan yang berupa ayunan. Jadi, wajiblah kamu menerimanya.”
Saridin percaya sepenuhnya pada kata sang Adipati, padahal niat Adipati Pemantenan ialah melaksanakan hukuman gantung itu dengan sesungguhnya demi kewibawaan seorang penguasa. Akan tetapi, hukuman itu menjadikan banyak orang terheran-heran. Di mata mereka, Saridin justru tampak tersenyum-senyum di tiang gantungan seperti seorang bocah yang sedang berayun-ayun.
Atas perintah sang Adipati, Saridin dibatalkan dari hukuman gantung dan dimasukkan ke sebuah penjara yang kokoh besi-besinya. Saridin pun menurut perintah itu sambil memohon sekali-sekali diizinkan pulang menjenguk istrinya. Sekian hari kemudian, Saridin memohon kesempatan pulang ke rumahnya. Akan tetapi, jangankan dibukakan pintu oleh para sipir penjara, bahkan izin pun tidak diperolehnya. Sadarlah Saridin bahwa dirinya telah tertipu.
Pada suatu malam yang sepi, Saridin menggunakan ilmu kesaktiannya sehingga terbebaslah dari rumah penjara itu tanpa diketahui para penjaga yang selalu siaga setiap saat. Akan tetapi, lelaki itu tidak langsung pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, terpikir olehnya hendak berguru kepada Sunan Kudus yang saat itu sudah terkenal harum namanya sebagai seorang penyiar Islam.
Singkat kemudian di pesantren Sunan Kudus, terkenallah Saridin yang sakti dengan tindakannya yang aneh-aneh, seperti menimba air sumur dengan keranjang dan menyelinap ke dalam kakus. Hampir semua tindakan Saridin menjadikan sedih dan susahnya Sunan Kudus karena tindakannya yang nyeleneh menimbulkan banyak huru-hara yang meresahkan orang banyak.

 

Pada suatu hati, berkatalah Sunan Kudus, “Hai, Saridin, engkau adalah muridku yang gagah perkasa dan sakti. Tetapi, ketahuilah bahwa di sini bukan tempatnya orang memamerkan kesombongannya. Kalau tidak mau berubah sikap, pergilah dari pesantren ini.”
Mendengar nasihat itu, Saridin tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga diusirlah beramai-ramai oleh para santri dan penduduk sekitarnya. Setelah merasa terdesak, barulah Saridin terpaksa berlari sambil mengejek orang-orang yang mengejarnya.
Ketika sampai di sebuah pasar, Saridin terus saja berlari dan mengumpat-umpat sehingga mengejutkan orang-orang yang melihatnya. Banyak perempuan di pasar itu yang segera bubar karena ketakutan. Di antara mereka ada yang bertanya dan sampai kepada Sunan Kudus, “Siapakah gerangan orang gila yang mengganggu pasar itu, Kanjeng Sunan?”
Jebeng duren sawit (istilah untuk menyatakan anak bandel). Dia sebenarnya bukan orang gila. Dia itu seorang muridku yang pandai dan sakti. Sayang sekali, orangnya sombong dan nakal. Namanya Syeh Jangkung, sedangkan aslinya entahlah. Dulu orang-orang memanggilnya Saridin. Biarlah dia pergi, mudah-mudahan masih sempat menyadari kesalahannya.”
Orang pun kagum menyaksikan kebesaran hati Sunan Kudus dan segera melupakan kenakalan-kenakalan Saridin yang kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Jangkung.

 

Masya Allah wa Subhanallah……………….

 

Ontran-ontran atau kegemparan yang dibuat Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, Saridin itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan. Untuk menguji kawaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya,
“Apakah setiap air pasti ada ikannya Saridin?”

Lalu Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk harusnya dia juga, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Enak aja hendak memakai ember ini. Kalau kamu mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu. Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi. Lagi-lagi dia menjadi buronan.

 

Hingga akhirnya dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya. Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung di Laut Jawa. Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Pada kisah yang lain diceritakan, atas jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.
Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal. Untuk menghilangkan derita (kutukan) itu Saridin harus berhadapan dengan siluman ular alas roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli, dan ternyata dalam pertarungan tersebut Saridin berhasil memenangkannya. Begitulah, setelah wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin, ia diboyong ke Miyono berkumpul dengan Momok.
Saridin lalu membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin dan anak lelakinya, Momok, juga murid-muridnya, tetap bercocok tanam. Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan untuk menggarap sawah. Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.

 

Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasaan itu, membagi-bagikan daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kajen, dan sekitarnya hingga tahun 1970 memang masih terjadi. Hingga lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal.
Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai jimat. Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya. Jadilah kulit itu jimat, hingga kini. Wallahu A’lam!

 

Gusblero Free