Al-Khidr adalah seorang nabi misterius yang dituturkan oleh Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82. Selain kisah tentang nabi Khidr yang mengajarkan tentang ilmu dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa, asal-usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khidr tidak banyak disebutkan. Kebanyakan pengenalan tentang Khidr adalah sebagai seorang tokoh yang memberikan pencerahan spiritual di antara samudera, di sanalah Khidr memelihara taman makrifat sepanjang hayatnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Mystical Dimensions of Islam”, oleh penulis Annemarie Schimmel, Khidr dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi yang dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Idris (Enoch), Ilyas (Elias), dand Isa (Jesus). Khidr abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Khidr adalah masih sama dengan seseorang yang bernama Elijah. Ia juga diidentifikasikan sebagai St. George. Diantara pendapat awal para cendikiawan Barat, Rodwell menyatakan bahwa “Karakter Khidr dibentuk dari Jethro.”
Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang disandangnya. Dalam kasus ini, beberapa orang mengatakan Khidr adalah gelarnya, yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan. Khidr telah disamakan dengan St. George, dikenal sebagai “Elijah versi Muslim” dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi. Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain. Nama yang terkenal lainnya bagi Khidr adalah Balya bin Malkan.
Al-Khidr secara harfiah berarti ‘Seseorang yang Hijau’ melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.”. Al-Khidr, dalam kisah-kisah awalnya, selalu dihubung-hubungkan dengan Dzu al-Qarnayn (Dzulqarnain), atau sering juga disebut Alexander the Great.
Secuil kisah Khidr yang bisa digali dari Al-Qur’an adalah terkait pertemuannya dengan Musa AS. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa ia mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan, dan dia lebih berilmu daripada kamu.”
Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.”
Musa kemudian menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah bersama pembantu yang juga merupakan muridnya, Yusya bin Nun. Sampai di sebuah batu yang menjorok ke laut, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Dan dikarenakan kelelahan, ditambah bertiupnya angin senja yang semilir membuat Musa tertidur. Yusya tinggal duduk sendiri memandang hamparan laut luas. Perutnya sebenarnya lapar, tetapi mana berani ia membuka ransum saat junjungannya tengah tidur. Ia hanya memandangi perbekalan yang ada, dan ketika ia sedikit membuka untuk sekadar mengeceknya, tiba-tiba ikan lauk yang mereka bawa di dalam wadah itu meronta-ronta dan selanjutnya melompat ke dalam air. Yusya` tertegun memperhatikan kejadian ikan lauk yang semula telah dimasak itu bisa hidup lagi dan melompat ke dalam air.
Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ pun tertidur. Saat terjaga, ia lupa (atau mungkin disebabkan ketakutannya melihat kejadian tersebut) untuk menceritakannya kepada Musa. Mereka kemudian meneruskan lagi perjalanan hingga sehari semalam. Lalu pada pagi berselang berikutnya Nabi Musa berkata kepada Yusya:` “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi 62).
Yusya’ terkesiap. Lalu dengan sedikit gemetar ia berkata kepada Nabi Musa: “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (QS. Al-Kahfi 63).
Musa meradang. Dia marah, kenapa untuk kejadian luar biasa seperti itu Yusya’ sampai melupakannya. Terpaksa keduanya kemudian berbalik lagi arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan. Musa berkata: “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al-Kahfi 64).
Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khidr. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah Khidr menjawab salamnya, Musa pun segera menceritakan maksud kedatangannya.
Khidr menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.”
Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi 69). Khidr selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi 70).
Demikianlah seterusnya Musa mengikuti Khidr dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji untuk tidak bertanya terhadap apapun yang dilakukan oleh Khidr, walaupun tindakan itu dianggap aneh sekali pun.
Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khidr menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khidr. Nabi Khidr memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khidr.
Setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidr membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidr tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidr. Nabi Khidr kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidr, dan jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidr.
Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu wilayah perkampungan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Sebaliknya, setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidr malah menyuruh Nabi Musa bersama-sama memperbaiki tembok sebuah rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidr, yang justru hendak membantu memperbaiki tembok sebuah rumah setelah seisi penduduk perkampungan itu mendzalimi mereka. Mendengar protes Musa itu, akhirnya Nabi Khidr menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya lagi, dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khidr.
Nabi Khidr menjelaskan ikhwal segala kejadian yang membuat Nabi Musa bertanya-tanya. Kejadian pertama saat mereka menghancurkan perahu. Ternyata perahu yang mereka tumpangi itu adalah satu-satunya perahu yang dimiliki oleh satu keluarga miskin, dan di daerah itu tinggallah seorang perompak yang suka merampas perahu yang tengah berlayar. Dengan melobangi perahu yang kemudian menampakkan kondisinya yang rusak, maka selamatlah perahu tersebut dari rompakan penjahat.
Kejadian yang kedua pada saat mereka membunuh seorang anak kecil. Nabi Khidr menjelaskan bahwa kedua orang tua anak itu adalah pasangan yang beriman, sementara jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini dikemudian hari akan digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga, kenapa mereka harus bersusah payah membangun rumah bobrok yang ada di pinggiran perkampungan. Nabi Khidr menjelaskan bahwa rumah yang diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan dan dijarah oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Adapun letak tempat tersebut dipercaya berada di sebuah wilayah Antakya, Turki.
Begitulah Nabi Musa AS kemudian sadar akan hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khidr. Akhirya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari, yaitu ilmu ladunni.
Sebelum berpisah, Khidr berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan kemudian berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan.”
Nabi Musa lalu berkata kepada Nabi Khidr: “Berilah aku wasiat”.
Jawab Nabi Khidir: “Wahai Musa, jadilah kamu orang yang berguna bagi orang lain, Janganlah sekali-kali kamu menjadi orang yang hanya menimbulkan kecemasan diantara mereka sehingga kamu dibenci mereka. Jadilah kamu orang yang senantiasa menampakkan wajah ceria dan janganlah sampai mengerutkan dahimu kepada mereka. Janganlah kamu keras kepala atau bekerja tanpa tujuan. Apabila kamu mencela seseorang hanya karena kekeliruannya saja, kemudian tangisi dosa-dosamu, wahai Ibn Imran (putera Imran).
Wahai Musa, pelajarilah ilmu-ilmu kebenaran agar kamu dapat mengerti apa yang belum kamu fahami, tetapi janganlah sampai jadikan ilmu-ilmu hanya sebagai bahan omongan. Faham sesuatu ilmu bukan untuk modal berdebat. Berseberangan faham yang sudah diyakini tidaklah perlu diusik satu sama lain karena masing-masing sudah kokoh dalam keyakinannya.
Wahai Musa, sesungguhnya orang yang selalu memberi nasehat itu tidak pernah merasa jemu seperti kejemuan orang-orang yang mendengarkan. Memberi nasehat kepada orang lain janganlah mengharapkan sesuatu imbalan apapun kecuali ridha Allah dan tugas menyampaikan. Tugas menyampaikan dan mensyiarkan agama Allah adalah tugas setiap umat muslim. “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. (QS. Al-Hajj 32).
Ketahuilah bahwa hatimu itu ibarat sebuah bejana yang harus kamu rawat dan pelihara dari hal-hal yang bisa memecahkannya. Iman didalam hati belum tentu sudah kokoh tanpa djaga dan dirawat dan dipelihara karena lapisan luar hati masih dipenuhi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak kearah perbuatan yang kurang baik. Maka dari itu waspadalah dalam menjaga hati jangan sampai hati terpengaruh hasutan setan yang menyusup lewat hawa nafsu.
Kurangilah usaha-usaha duniawimu dan buanglah jauh-jauh dibelakangmu, karena dunia ini bukanlah alam yang akan kamu tempati selamanya. Dunia yang kita tempati ini tidaklah selamanya kita tempati dan setelah selesai hidup kitapun pindah di alam lain, maka kumpulkan amal kebajikan untuk modal menuai di akhirat nanti. Jangan buang-buang waktu, tanamlah amalmu untuk menggapai kebahagiaan di alam akhirat, apabila tidak ditanami amal kebajikan apa yang diambil disana kita akan rugi di dunia dan di akhirat. Waktu kita di dunia hanya sebentar, tidaklah lama sebagaimana: “Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) diwaktu sore atau di pagi hari”. (QS. An-Naziyat 46).
Bersikap ikhlaslah dan bersabar hati menghadapi kemaksiatan yang dilakukan kaummu. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan di dalam lingkungan bukan berarti diam, tetapi sabar dalam bentuk berusaha mencegah dan menggantikan dengan perbuatan yang baik.
Hai Musa, tumpahkanlah seluruh ilmu pengetahuanmu, karena tempat yang kosong akan terisi oleh ilmu yang lain. Kewajiban manusia yang berilmu untuk membagi ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan, bukan ilmu yang diberikan kepada orang lain itu habis tetapi malah sebaliknya justru bertambah banyak. Dan janganlah kamu banyak memperbincangkan ilmumu itu, karena tindakan yang begitu akan mengakibatkan dipisahkan oleh ahli ‘ilm.
Bersikaplah sederhana saja, sebab sederhana itu akan menghalangi aibmu dan akan membukakan taufiq hidayah Allah untukmu. Menjalani kehidupan dengan kesederhanaan ini berarti sudah meninggalkan kehidupan keterikatan dengan keduniawian.
Berantaslah kejahilanmu dengan cara membuang sikap masa bodohmu (ketidak pedulian) yang selama ini menyelimutimu. Menahan dan menyingkirkan sifat-sifat yang kurang baik bukan main susahnya kalau tidak dilandasi dengan dzikir qalbu, sebab dzikir kalbu dapat mengikis sifat-sifat yang kurang baik yang sekian lama membelenggu diri. Dengan dzikrullah yang dikerjakan di kalbu, disamping menghilangkan sifat-sifat yang kurang baik, sifat-sifat yang baik pun menguasai diri dan menambah ketenangan dan ketentraman hati.
Apabila orang bodoh datang kepadamu dan mencacimu, redamlah ia dengan penuh kedewasaan serta keteguhan hatimu. Meredam kemarahan orang yang memarahi diawali melatih penahanan hawa nafsu dan meredam keinginan hawa nafsu yang ingin bergolak. Setelah mampu meredam hawa nafsu, meredam amarah orang lain dengan kelembutan sifat dan keteguhan hati.
Wahai Putra Imran, sadarilah bahwa ilmu Allah yang kamu miliki hanya sedikit. Ilmu yang dipunyai manusia itu hanya sedikit, sedangkan ilmu yang Allah miliki tak terhingga. “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman 27).
Janganlah kamu buka ilmu ini jika kamu tidak bisa menguncinya, jangan pula kamu kunci ilmu ini jika kamu tidak tahu bagaimana membukanya. Hai putra Imron, membuka ilmu adalah tugas seorang guru, mursyid, atau pembimbing, namun dia juga harus bisa menutupnya. Kalau tidak tahu cara menutup ilmu, jangan sekali-kali membukanya, sebab jika nanti ada kesalahan, bisa saja ilmu yang asalnya baik dikemudian hari diselewengkan.
Begitulah Nabi Khidr lalu mengakhiri pesan-pesannya, lalu pergi meninggalkan Nabi Musa yang duduk termenung dalam kesendirian.
Bahwa sesungguhnya Khidr AS, bukanlah sosok lain yang terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yang disaksikan sebagai tanah menjorok dengan lautan disebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yang berada diluar diri manusia. Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh), dua lautan itu yang disebut lautan makna (bahr al ma’na) perlambang alam tidak kasat mata (alam ghaib), dan lautan jisim (bahr al ajsam) perlambang alam kasat mata (alam asy-syahadat). Kemungkinannya peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dengan Khidr AS, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Al Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri.
Di suatu tempat Musa AS berhenti, ia mengambil air wudhu, dan pemuda yang menemani perjalanannya terkantuk-kantuk karena saking lelahnya. Keduanya tak menyadari, ikan dalam wadah perbekalan yang kecipratan air wudhu Musa AS tiba-tiba hidup kembali lalu melompat ke lautan. Ia yang mati lalu tersentuh air kehidupan, kemudian berlayar mengapung kembali dalam habitat kehidupan asal.
Tempat dimana Nabi Musa AS berdiri dihadapan Khidr AS adalah wilayah perbatasan antara alam kasat mata dan alam tidak kasat mata. Dan jika itu yang terjadi, sesungguhnya mereka (Musa dan Yusya’) telah memasuki perbatasan alam ghaib, dan pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasat mata, yang dibalik keberadaan pemuda itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Itu pulalah sebabnya saat Nabi Musa AS bertemu dengan Khidr AS, pemuda itu tidak disebut-sebut lagi karena sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.
Adapun bekal makanan berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik, yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun bagi pencari Kebenaran Sejati pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain), itu kenapa sebabnya sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.
Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk kelaut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk lautan jisim kembali dan setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.
Kedua orang itu kemudian melanjutkan lagi perjalanannya, dan hampir-hampir si pemuda ‘bablas’ menghilangkan ‘kunci’ dari moral kisah ‘tempat air kehidupan’ itu, hingga kemudian Musa AS menanyakan perbekalan yang mereka bawa. Beruntungnya kesadaran Musa AS adalah kesadaran terpilih dari seorang Nabi. Bekal yang hilang karena melompat ke laut tak dipedulikannya, Musa AS tidak peduli lagi dengan santapan itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yang dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS.
Saat itulah purnama rohani zawa’id (tambah berkilau) dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidr AS, hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah), yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim, dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yang memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).
Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidr AS karena dia merupakan hamba-Nya yang telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yang memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidr AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim).
Kemungkinannya peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dengan Khidr AS, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Al Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri.
Dan sesungguhnya Khidr AS itu tidak lain dan tidak bukan adalah ar-ruh al-idhafi, cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia, ‘Sang Penuntun’ anak keturunan Adam AS ke jalan kebenaran sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan kebenaran (al-Haqq).
Didalam Al Qur’an juga tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidr melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS..al-Kahfi 65). Ayat ini menjelaskan maqam penghambaan, ilmu dan pengetahuan khususnya. Disini Nabi Khidr disebut sebagai guru Nabi Musa bin Imran, yang dalam banyak riwayat, sosok alim atau guru ini disebut dengan nama Khidr.
Nabi Khidr adalah seorang alim yang telah mendapatkan rahmat khusus Ilahi, dan mendapat tugas pada wilayah batin dan sistem penciptaan semesta. Ia mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia penciptaan. Mukjizatnya adalah kapan saja ia menghendaki, sesuai dengan izin Ilahi, semisal agar kayu kering atau tanah kering menjadi rimbun dan hijau, maka kehendak ini akan segera terlaksana.
Dari Imam Shadiq diriwayatkan: “Adapun kepada hamba saleh Khidr, Allah SWT telah memanjangkan usianya bukan untuk risalahnya dan juga bukan untuk kitab yang diturunkan kepadanya atau dengan perantaranya dan syariatnya, kemudian menganulir (nasakh) syariat para nabi sebelumnya, juga bukan karena imamah (keimaman) yang mengharuskan para hamba-Nya mengikutinya, juga bukan karena ketaatan yang diwajibkan Tuhan bagi para hamba kepadanya, melainkan Allah SWT menghendaki usia Imam Qaim (Imam Mahdi) menjadi sangat panjang pada masa ghaibat (persembunyian)nya dan mengetahui bahwa para hamba-Nya akan mempersoalkan dan mengkritisi usianya. Atas dasar itulah Allah SWT juga memanjangkan usia hamba saleh-Nya (Khidr) sehingga dengan usianya yang panjang itu dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi usia Imam Mahdi. Dengan demikian, kritikan dan objeksi para musuh dan orang-orang yang berpikir jahat dapat digugurkan.”
Dari Imam Ridha: “Nabi Khidr hidup dari air kehidupannya dan tetap akan hidup hingga ditiupnya sangkakala. Ia akan datang kepada kami dan menyampaikan salam kepada kami. Kami mendengarkan suaranya dan melihatnya. Nabi Khidr turut serta pada musim haji dan melaksanakan seluruh manasik haji. Berdiri di padang Arafah pada hari Arafah dan mengaminkan doa bagi orang-orang beriman pada masa ghaibat (ghaibat yang berarti bahwa ia tersembunyi dari kita dan kita tidak dapat melihatnya. Akan tetapi ia dapat melihat kita dan tahu tatkala kita memerlukan pertolongannya. Ketika kita memerlukan pertolongan darinya, ia akan datang menolong kita) menyingkirkan keterasingan dari qaim kami (Imam Mahdi), dan menggantikan kepanikannya menjadi ketenangan. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Khidr termasuk bagian tiga puluh orang yang menyertai Imam Mahdi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penafsir terkenal Al Qur’an, Abu al-Futuh berkata dalam sebuah riwayat, ketika Musa ditanya tentang momen manakah yang paling sulit dalam hidupnya? Musa berkata, “Aku telah merasakan berbagai kesulitan dalam hidupku. (Menyinggung penderitaanya selama masa Fir’aun dan berbagai kesulitan yang dihadapinya dalam masa pemerintahan Bani Israel) Namun tidak satu pun dari kesulitan dan penderitaan ini menyamai ucapan Khidr yang mengabarkan perpisahan darinya. Perpisahan itu sangat berbekas dalam diriku.”
Logika spiritualistik Khidr jelas tidak bisa ditimbang dengan adab umum (momen pembunuhan anak kecil, contoh hal paling kerasnya). Namun kita tahu, untuk menghilangkan berbagai keraguan dan kesangsian Musa, dan agar Musa meyakini bahwa seluruh perbuatan ini dilakukan berdasarkan agenda dan tugas tertentu, Nabi Khidr berkata, “Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri” melainkan sesuai dengan firman dan perintah Allah SWT.“ Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi 82)
Kita tahu itu, dan karena sesungguhnyalah Allah memberikan firman-firman-Nya dalam Al Qur’an, agar kita juga bisa belajar dari kisah-kisah orang terdahulu. Termasuk kemudian jawaban dari peristiwa pembunuhan anak kecil oleh Khidr, dalam beberapa hadits yang disebutkan dalam berbagai literatur Islam kita membaca: “Allah SWT menggantikan anak laki-laki itu dengan seorang anak perempuan, yang dari keturunannya kemudian lahir tujuh puluh nabi!”
Gusblero Free