TORNUWON : Burung Hantu Dalam Festival Shalawat

 

Sesosok burung hantu berukuran 4 x 7 meter nampak terpajang sebagai instalasi panggung. Anyaman daun kakao kering, daun pakis, klobot kulit jagung, disusun sebagai bulu badan, sayap dan telapuk mata. Sedangkan matanya sendiri terbuat dari batok kelapa dan bunga kelopak yang dibiarkan utuh sebagai lensanya dengan alis tebal yang terbuat dari kembang tanaman glagah. Paruhnya dari akar bambu kering. Seluruhnya natural tanpa ada polesan warna sedikitpun.

 

Sekali lagi seniman-seniman dari desa Pandansari dan Sruni menunjukkan kebolehannya. Setelah merakit instalasi singa bersayap dari sabut kelapa, jatayu dari gedebog pisang, Hanoman dari limbah jerami, kali ini mereka menyusun instalasi burung hantu dari limbah daunan kering.

 

Ibarat magnet, burung hantu yang hadir dalam gelaran Festival Seni Shalawat Tornuwon yang digelar di gedung Sasana Adipura Kencana Wonosobo pada hari Selasa (22/10/19) itu begitu menyedot perhatian pengunjung.

 

Burung hantu itu simbol pengetahuan,”ungkap Gusblero budayawan Wonosobo yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan produksi acara.

 

“Hari ini banyak sekali orang memuji pada hal-hal yang sifatnya artifisial. Banyak orang meng-emohi sesuatu yang murni, pengetahuan itu sendiri.

 

Festival ini digagas untuk menciptakan karakter khusus Wonosobo yang dikenal sebagai basis hijau menjadi Kota Shalawat. Ini mimpi kecil seorang manusia dalam mewujudkan kota yang dicintainya untuk kemudian memiliki brand kultur dalam hal pengembangan religiusitas dan budaya.”

 

Acara yang di-support sepenuhnya oleh Bagian Kesra setda Wonosobo dan dihadiri Gus Yusuf dari Ponpes API Tegalrejo serta kelompok gambus Balasyik Jalsah dari Jember itu pun tak pelak sehari kemudian sudah jadi perbincangan hangat secara umum untuk bisa diagendakan sebagai kalender tahunan.

 

Festival Seni Shalawat TORNUWON

Sasana Adipura Kencana Wonosobo

22 Oktober 2019

 

Juara 1 Rp, 5.000.000,-           Miftakhul Jannah Larangan Kaliwiro

Juara 2 Rp. 4.000.000,-           LARASATI Sigedang Kejajar

Juara 3 Rp. 3.000.000,-           AL BARQI Masaran Bawang Banjarnegara

Harapan 1 Rp. 2.000.000,-      ANASHEED DUROR’Mlandi Sumberdalem

Harapan 2 Rp, 2.000.000,-      ASY SYUJAIYYAH Munggang Kalibeber

Harapan 3 Rp. 2.000.000,-      EL JAMBE KARANG Karangjinem Kalikajar

 

Masing-masing Pemenang juga mendapatkan Trophy dari Bagian Kesra Setda Wonosobo dan Sertifikat Penghargaan dari Bupati Wonosobo

Tentang Cak Nun dan Kewajiban Seorang Salik

gusblero_cak nun1

Sudah beberapa lama orang bertanya kepada saya tentang Cak Nun. Tidak hanya beberapa Ashabus Saba sahabat-sahabat di negeri Saba, lebih banyak lagi yang dari dunia maya, dan lebih banyak lagi bahkan teman-teman yang ada di seputaran Yogya. Ini cukup aneh.

 

Ada banyak orang menggambar Cak Nun terlalu rumit dengan imajinasi visual yang dimisterius-misteriuskan. Bukan hanya dari kalangan progresif yang sepemikiran dengannya, namun juga dari kelompok oposan yang berseberangan dengannya.

 

Padahal, menurut saya, Cak Nun adalah bagian dari diri kita semua yang simpelnya ingin melakukan pembaitan diri dalam hal peribadatan dengan semampu cara yang kita lakukan. Teologi yang membebaskan. Tidak menempatkan yang sunnah menjadi sebuah kewajiban, dan tidak pula menaruh karakteristik dogma menjadi sesuatu yang memberatkan.

 

Bagi saya Cak Nun adalah seorang Hujjatul Bidayah. Seseorang yang membukakan pemahaman utuh manifesto tertinggi dalam wilayah agama, yaitu adab. Kewajiban bagi orang yang berakal. Tentang membendung sakit dan bagaimana mengalirkannya dengan benar. Dan mengajarkan bagaimana mengolah cinta yang terlalu agar kemudian tidak menjadi benalu.

 

Untuk saya, bertemu dan berbicara dengannya itu paling enak satu jam. Saya mengukur diri, lebih dari itu bisa gawat. Itu sama dengan dua orang yang bertemu dalam sebuah kolam untuk ngadem, menenangkan diri.

 

Satu jam bertemu dengannya sudah cukuplah. Karena dua jam berikutnya pasti ia akan mengajak kita berenang. Tiga jam berikutnya mengajak kita menyelam. Empat jam berikutnya mengajak kita slulup, menyelam lebih dalam. Lima jam Enam jam berikutnya mengajak kita menyelam lebih dalam dan menyelam lebih dalam lagi. Hingga kalau tidak kuat-kuat bakal ngalamat, bisa-bisa kita tenggelam.

 

Ini mengingatkan saya pada kisah pertemuan antara Kanjeng Nabi Musa dan Kanjeng Nabi Khidr. Andai saja waktu itu Kanjeng Nabi Musa bisa membatasi ketemu cukup satu jam saja. Ngobrol dan ngopi bareng tidak usah eyel-eyelan mungkin akan lain kejadian akhirnya.

 

Tetapi itulah jiwa korsanya seorang salik. Apalagi seorang Nabi yang diasuh sendiri oleh Allah. Pantang dihambat kelelahan, pantang dijinak lenakan godaan, yang pada akhirnya bisa mendudukkannya pada maqam bisa dipercaya.

 

Itulah yang utama. Bukan soal kepintaran yang utama bagi seorang dalam menyampaikan kebenaran, tetapi hadirnya watak bisa dipercaya. Karena sesungguhnya kewajiban seorang salik adalah layak dipercaya. Yang dengan itu ia bisa bersaksi untuk kemuliaan mursyid (gurunya), di dunia hingga di akhirat kelak.

 

Wonosobo, 24 Oktober 2019

 

gusblero_cak nun2