Ada yang masih tak paham, ada yang masih terus mengulang-ulang Wonosobo sebagai kabupaten termiskin se-Jawa Tengah. Apakah kalimat itu menyudutkan saya, menjatuhkan moral saya, menakutkan saya? Tegas saya katakan, tidak! Tetapi, walaupun secara personal penobatan gelar memalukan itu tidak ada hubungannya dengan nasib kita hari ini, ada baiknya juga kita gunakan penilaian itu sebagai cambuk untuk membuat Kabupaten Wonosobo ke depan bisa menjadi lebih memiliki martabat lagi.
Martabat adalah derajat kemanusiaan, harga diri, nilai kemuliaan manusia di hadapan Tuhannya, dan nilai kedudukan manusia di hadapan sesamanya. Martabat, tentu saja tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang itu miskin atau kaya. Bisa saja seseorang memiliki rumah bertumpuk-tumpuk, mobil berjejer-jejer, duitnya segunung, giginya ditambal emas pisan. Tetapi kalau kerjaan seharinya hanya jadi rentenir, tukang caplok orang-orang yang sedang terhimpit kesulitan, maka ia tidak ubahnya seorang fakir dholim yang sefakir-fakirnya.
Itu sebabnya saya tidak terlalu resah, tidak terlalu merasa penting benar memikirkan bagaimana agar Kabupaten Wonosobo tidak dianggap sebagai kabupaten termiskin lagi. Dianggap miskin ora popo, dianggap tidak mutu ora popo, sepanjang kita bisa ayem tentrem iso ngatasi kebutuhan sehari-harinya. Dan menurut saya, adalah juga salah kalau kita menggunakan parameter kemiskinan sebagai step stone, pijakan awal dalam kita mengarahkan pembangunan.
Kita membangun itu bukan agar kita tidak dianggap miskin, tetapi untuk mencapai apa yang disebut taraf kesejahteraan. Pemahaman inilah yang akan membedakan kelas sebuah masyarakat, apakah ia miskin struktural yang secara umum diakibatkan ketidakmampuan atau kurang berperannya mesin pemerintah untuk mengorganisasi antara kepentingan pemerintah dan potensi sumber daya yang ada. Atau miskin kultural, gawan kere. Sudah hidupnya pas-pasan, dikasih tahu bawaannya ngeyel, dikasih komando mbalelo. Yang begini ini baru kere yang menyedihkan.
Tetapi, saya yakin kelas masyarakat Wonosobo bukanlah kelas masyarakat yang barbar. Kelas masyarakat Wonosobo adalah kelas masyarakat orang-orang yang sangat merdeka, sehingga paham betul apa yang seharusnya dikerjakan. Hari ini dianggap miskin ya tidak apa-apa. Mung dianggep wae opo rugine. Dianggap hanya sebagai kuku ireng, dianggap hanya sekelas pantat burung, ora popo, sepanjang kita masih menjadi bagian dari burung garuda. Garudanya Pancasila, garudanya Indonesia, lak yo begitu.
Kalau program pemerintah Kabupaten Wonosobo saat ini yang mengusung jargon ‘Entaskan Kemiskinan’ nanti masih juga timbul persoalan, saya yakin ini bukan karena masyarakat tidak memahami persoalan. Masyarakat tahu belaka apa yang disebut hak dan kewajiban dalam kaitannya hidup bermasyarakat, hak dan kewajiban dalam kaitannya berbangsa dan bernegara, hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat Wonosobo yang menginginkan bersama untuk kabupatennya bisa lebih maju, aman, sejahtera, dan bermartabat.
Yang demikian bisa menjadi modal sosial yang sangat mumpuni bagi pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk menjalankan program pembangunan sesuai jargon yang ada. Rakyatnya senang berdagang, ya dibuatkan pasar semacam expo untuk bisa memamerkan hasil home industry, olahan kuliner khas pribumi, dan lain sebagainya. Anak-anak mudanya senang bermain seni, yang sudah dibikinkan panggung kreasi, dan seterusnya. Jelasnya, sebagai warga dari sebuah kabupaten yang sangat menjunjung tinggi amanat dari pemimpinnya, masyarakat sangat patuh mengikuti peraturan daerah yang ada.
Maka, kalau akhir-akhir ini terdengar riuh suara sumbang program ‘Entaskan Kemiskinan’ kok kenyataan yang terjadi justru tidak memberikan ruang lebih kepada para pelaku bisnis lokal untuk bisa mengembangkan usahanya melalui pasar-pasar baru yang dibuat pemerintah semacam expo, misalnya. Adalah wajar jika kemudian memunculkan serangkaian perbincangan, tanya kenapa?
Wonosobo, 6 Agustus 2016
Gusblero Free
Note: Tulisan ini diterbitkan Harian Wonosobo Ekspres, Senin (8/8/2016)