Saya Sedang Flu, dan Belum Ganti Celana

gusblero - endi kathoke

Sedianya saya hanya sedang ingin makan pagi dengan soto yang panas mbulak-mbulak untuk mengatasi gejala flu karena pengaruh perubahan cuaca (politik? 😀 ) nasional. Kata orang Jepang, yen awake anata san soyo ciret amarga infuruenza mangano sik panas akeh-akeho haik.

 

Harusnya soto sapi yang pasti tidak pakai borax dan formalin itu enak dan menghangatkan, tetapi sugesti itu mendadak buyar karena kedatangan dua teman yang tiba-tiba nyerocos soal pilpres 2019.

 

Sejatinya fren, bro, dab, dul, ndes, saya itu malas ngobrolin kepentingan kekuasaan. Mau ganti presiden mau ganti menteri hampir pasti kalau toh kemudian ikut ngguyubi olih-olihe yo mung ganti kaos salin klambi. Seakan-akan politik di negeri ini urusannya hanya perkara apa warna kaos dan baju untuk mengantar seseorang ditampuk kekuasaan.

 

Ngertio to ndes, dul, dab, bro, fren, aku wis suwe ura ganti celana.

 

Warna baju dan kaos, menurut kaidah Kejawen, secara rumus hakikatnya lebih untuk menambah angker penampilan. Sarengate nggo mbedakke antaraning manungsa karo tekek (mbuh larange sepiroho) tetep ura klambenan opo kaosan.

 

Akan tetapi kalau harus ngomong makrifate pakaian ya kudune ngomongke bab celana. Itu yang lebih inti berurusan dengan kemaluan. Reporter bagus nganggo dasinan, reporter ayu nganggo klambi yutonan yen ura nganggo celana yo beritane dadi mambu.

 

Mambu. Weruh ura artine mambu? Ura sedep, ura ilok, ura mung mbubarke isi berita malah nambah butheking pikiran.

 

Wis to rasah kedawan ngomongke pulitik. Fatsun jargon tagline mbelgedes. Amanahe pemimpin pokoke kudu ngerti bab makrifat hakikat antarane pemimpin lan sik dipimpin. Kang sak banjure pemahaman iku iso gawe rujukan dasar piye to sarengate seorang pemimpin kudu lakoni.

 

Aku isih flu, lan wis suwe ura ganti celana. Kudu njelaske opo maneh? Haikk!!

 

Gusblero, 13/8/2018

Belajar Dari Arjuna

gusblero - kematian putra pandawa

 

Perang Baratayudha usai, Pandawa menang. Namun diantara panji-panji Astina yang tetap berkibar hari itu tak terdengar sedikit pun sorak-sorai. Astina menangis, seluruh anak-anak Pandawa tumpas, tak satu pun anak-anak Pandawa tersisa.

 

Diriwayatkan setelah perang usai, mereka mengadakan sebuah pertemuan yang membahas tentang masa depan negara Astina. Kresna yang dipercaya sebagai pemimpin dari pertemuan tersebut menyatakan bahwa kematian dari anak-anak pandawa adalah sebuah kodrat yang memang harus terjadi.

 

Kresna mengungkit sebuah kisah yang menceritakan peristiwa yang dialami Arjuna setelah berhasil membunuh Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari Manimantaka yang menjadi musuh para dewa. Ketika itu, sebagai imbalan Arjuna didatangi oleh Dewa Bethara Guru dan Narada, dan ditawari oleh kedua dewa tersebut untuk mengajukan 3 permintaan apa saja yang akan dikabulkan semuanya. Dan saat itu Arjuna meminta 3 hal :

 

  1. Pandawa menang dalam Perang Baratayudha.
  2. Pandawa utuh lima, tidak ada yang gugur dalam perang itu.
  3. Kerajaan Astina pura kembali ke tangan Pendawa.

 

Saat ketiga permintaan tersebut diutarakan Arjuna, sebenarnya kedua dewa tersebut masih menawarkan apakah masih ada keinginan lain dari Arjuna, bahkan mengulanginya hingga 3 kali.

 

“Cukup itu saja permintaanmu, Arjuna?” tanya kedua Dewa.

“Cukup,” kata Arjuna mantap.

“Coba dipikir sekali lagi, cukup itu saja permintaanmu, Arjuna?” tanya Sang Dewa lagi.

“Cukup,” jawab Arjuna tak goyah.

“Untuk yang terakhir kali, cukup itu saja permintaanmu, Arjuna?” tanya Dewa menegas.

Dan Arjuna menjawab tegas, “Tidak, cukup itu saja.” Maka kemudian kembalilah kedua dewa tersebut ke kahyangan.

 

Pada saat itulah, Semar yang setia menemani Arjuna bertapa menjerit menangis dan bertanya kenapa Arjuna tidak meminta agar anak-anak Pandawa selamat dan utuh setelah perang Baratayudha, padahal kesempatan meminta selalu ditawarkan oleh kedua dewa tadi.

 

Akan halnya Arjuna justru ganti bertanya kepada semar, “APAKAH SEMUA ANAK-ANAK PANDAWA KELAK AKAN GUGUR DI MEDAN PERANG BARATAYUDHA?” Sontak Semarpun semakin menangis menjerit karena Semar tahu bahwa Arjuna baru saja bertapa dan segala ucapannya pasti akan terwujud.

 

Setelah Kresna bercerita tentang peristiwa tersebut, maka Pandawa Lima pun sadar tentang kodrat kehidupan yang pasti terjadi sebagaimana yang dimaksud oleh Kresna.

 

Untunglah, cucu Arjuna, yaitu Parikesit yang lahir menjelang Baratayudha usai, selamat. Maka setelah itu, tahta dari kerajaan Astina pun diserahkan kepada bayi kecil cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dan tamatlah kisah keluhuran dan kedigdayaan Pandawa Lima hanya karena mengentengkan hal sepele tentang kelangsungan dan masa depan generasi Pandawa.

 

Dan inilah pelajaran sesungguhnya dari kisah Pandawa untuk momen hingar demokrasi yang akan terjadi sepanjang 2019 nanti. Entah Prabowo entah Jokowi, entah para Caleg, siapapun dari mereka yang merasa paling patas menjadi Arjuna, menjadi lelananging jagad, adalah juga menjadi sebuah keharusan untuk memperhatikan bagaimana kemudian nasib anak-anak mereka.

 

Bukan semata anak biologis, namun juga anak-anak yang lahir dari rahim kesamaan ideolgi, visi dan misi: PARA KOSTITUEN, RELAWAN, MEREKALAH ANAK-ANAK YANG LAHIR DALAM MEDAN PERTEMPURAN. MEREKA YANG SAAT SITUASI SEGENTING APAPUN SELALU ADA, BUKAN HANYA SEKADAR MENEMANI, NAMUN SIAP BERPERANG UNTUK MEMENANGKAN PERTEMPURAN. Mereka tak boleh dilupakan.

 

Ini penting, sebelum alam memutuskan sendiri hukum kodratnya. Karena kekuatan kekuasaan yang kemudian mereka peroleh itu sesungguhnya murni amanah dari Rakyat.

 

Gusblero, 28 Juli 2018

MENEGASKAN JATI DIRI BANGSA

belum-seberapa

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, merdeka!

Kenapa hari ini kita perlu ingatkan lagi kalimat sebangsa dan setanah air, tidak cukupkah kalimat salam sejahtera untuk kita semuanya? Tidak cukupkah salam selamat pagi selamat siang Tuan-tuan mulia yang berbahagia?

Hari ini sebetulnya bukan waktu yang pas untuk melakukan upacara. Hari ini sebenarnya akan lebih tepat kalau kita semua menjalankan aktivitas seperti biasa. Yang orang birokrasi bekerja di kantoran, yang petani bekerja mengolah ladang, yang para politisi dan para tehnokrat bekerja merampungkan aspirasinya. Yang pendidik dan para siswa berada di ruang belajarnya, dan lain sebagainya, dan seterusnya.

Tetapi hari ini, hari ini kita jelas-jelas berada di tempat ini, di alun-alun yang luas untuk berkumpul bersama. Apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya kita inginkan, tidak lain tidak bukan untuk MENEGASKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA.

Bung Karno, mewakili para Founding Father kita, para pejuang yang telah membaktikan hidupnya untuk kemerdekaan yang kita nikmati di hari ini, telah menyampaikan: Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.

Ini adalah fakta sejarah. Negara ini didirikan bukan hanya oleh mereka yang orang Jawa, bukan hanya oleh mereka yang Sunda, yang Batak yang Ambon yang Borneo yang Selebes dan sebagainya. Bukan hanya oleh orang Islam, bukan hanya oleh orang Kristen, bukan hanya oleh orang Hindu, Budha, kepercayaan dan lain sebagainya. Tetapi oleh seluruh rakyat dan bangsa yang menjadi bagian dari nusantara, atau yang hari ini kita sebut sebagai bangsa Indonesia.

Maka begitulah perjalanan bangsa ini. Begitu banyak penderitaan tidak membuat kita rebah. Tahun-tahun penuh perjuangan, pengorbanan dan ancaman marabahaya tidak membuat kita binasa. Hidup penuh dengan luka-luka, tetapi kita tetap berdiri. Lalu diantara kesadaran tentang kenyataan, kita sembuhkan luka-luka itu, kita benahi lagi yang tercecer, kita renda lagi yang terkoyak

Dan kita berkata: kita berjuang, kita berkorban, bukan melulu untuk memenangkan kehidupan. Kita bergerak, demikian yang selalu kita ikrarkan: demi harga diri dan jati diri sebuah bangsa!

Akan tetapi hari ini, akan halnya hari ini, kita disuguhkan kenyataan tentang surutnya nasionalisme, hilangnya nalar sebagai bangsa besar yang memiliki karakter dasar kerukunan, hilangnya logika kemuliaan kita sebagai mahluk yang dimuliakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ono rembug yo dirembug, ono persoalan ayo diselesaikan bersama.

Saya ingin bertanya kepada saudara-saudara semuanya. Apakah benar kalau kita ingin sejahtera dengan tidak perlu mempertimbangkan kepentingannya orang lain?

Sekali lagi saya ingin bertanya kepada saudara-saudara semuanya. Apakah boleh dan dibenarkan kalau kita sebagai bagian dari satu nusa satu bangsa hanya ingin sejahtera dengan tidak perlu mempertimbangkan kepentingannya orang lain?

Di bawah kibaran Merah Putih kita menolak segala intervensi dari pihak-pihak asing. Di bawah panji-panji sang dwi warna kita berjanji akan menampar warga kita sendiri yang rewel dan hendak merusak sendi-sendi kerukunan, persatuan dan keutuhan kita sebagai sesama warga bangsa.

Di timur fajar akan menyala. Di selatan para petani akan membawa cangkul. Di barat para pedagang akan memikul kayu. Di utara anak-anak muda akan menyalakan bara. Lalu di pusat semua itu, kita akan bekerja dan berkarya. Kita akan tegakkan hidup setegak-tegaknya!

Menegaskan kembali jati diri, ini adalah inspirasi kebangsaan. Keadilan sosial harus dimaknai kesetaraan dalam keberagaman, dan kesejahteraan harus tumbuh di atas bumi kerukunan sebagai taman sarinya. Utuh, sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka pertanyaan selanjutnya: jika negerimu memanggil, Indonesia memanggil, apakah kalian semua siap menjaga kerukunan sebagai modal dasar pembangunan bangsa? Apakah kalian semua siap cancut taliwanda berperan serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Siap?

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa terus membersamai kita semua sebagai sesama warga bangsa. Merdeka!

Gusblero, 30 Nopember 2016

(Orasi Kebangsaan Nusantara Bersatu di Alun-alun Wonosobo, 30 Nopember 2016)

BABI KONTRA TEROR

anti-war-font-b-movie-b-font-war-pigs-necklace-font-b-black-b-font-enamel

Perang Babi. Walau terdengar aneh, namun ungkapan ini merujuk keadaan sesungguhnya dimana babi pernah dilibatkan dalam pertempuran.

Para masa perang kuno, babi-babi dipakai untuk melawan tentara yang menggunakan gajah dan kuda. Mungkin anda pernah melihat dalam film ketika gajah yang tidak ubahnya tank dipakai sebagai kendaraan perang. Coba pikir, bagaimana lawan bisa menghentikan gajah, bagaimana cara membunuh binatang yang bobotnya berton-ton. Waktu itu tentara Roma mendapat akal untuk menggunakan babi yang dibakar. Perang ini disebut perang babi.

Seseorang menulis tentang metode Perang Babi ini. Caranya pada babi dipakaikan suatu bahan yang mudah terbakar, kemudian dilepaskan pada musuh. Babi yang kepanasan dengan suaranya yang menguik-nguik akan berlari lintang pukang kearah lawan yang mengendarai gajah dan kuda. Sudah tentu, gajah dan kuda akan lari tunggang langgang mengindari babi-babi ini. Maka kacaulah pihak lawan karena mereka sudah pasti tidak bisa mengendalikan gajah dan kuda yang tengah panik.

Sayangnya selain catatan Pliny ini tidak ada lagi catatan lebih rinci tentang penggunaan babi dalam mengatasi kekisruhan, termasuk penjelasan dipakai dalam gegeran apa atau pun perang apa melawan apa. Tetapi hari ini kita sudah tidak ada lagi perang. Nggak tahu juga, apa semacam babi dan mungkin anjing akan efektif bila digunakan menghadapi situasi krusial semacam demo misalnya? Hahaha.

https://id.wikipedia.org/wiki/Babi_perang

Orang Merdeka Wonosobo

dieng2
Dieng Culture Festival 2016


Ada yang masih tak paham, ada yang masih terus mengulang-ulang Wonosobo sebagai kabupaten termiskin se-Jawa Tengah. Apakah kalimat itu menyudutkan saya, menjatuhkan moral saya, menakutkan saya? Tegas saya katakan, tidak! Tetapi, walaupun secara personal penobatan gelar memalukan itu tidak ada hubungannya dengan nasib kita hari ini, ada baiknya juga kita gunakan penilaian itu sebagai cambuk untuk membuat Kabupaten Wonosobo ke depan bisa menjadi lebih memiliki martabat lagi.

 

Martabat adalah derajat kemanusiaan, harga diri, nilai kemuliaan manusia di hadapan Tuhannya, dan nilai kedudukan manusia di hadapan sesamanya. Martabat, tentu saja tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang itu miskin atau kaya. Bisa saja seseorang memiliki rumah bertumpuk-tumpuk, mobil berjejer-jejer, duitnya segunung, giginya ditambal emas pisan. Tetapi kalau kerjaan seharinya hanya jadi rentenir, tukang caplok orang-orang yang sedang terhimpit kesulitan, maka ia tidak ubahnya seorang fakir dholim yang sefakir-fakirnya.

 

Itu sebabnya saya tidak terlalu resah, tidak terlalu merasa penting benar memikirkan bagaimana agar Kabupaten Wonosobo tidak dianggap sebagai kabupaten termiskin lagi. Dianggap miskin ora popo, dianggap tidak mutu ora popo, sepanjang kita bisa ayem tentrem iso ngatasi kebutuhan sehari-harinya. Dan menurut saya, adalah juga salah kalau kita menggunakan parameter kemiskinan sebagai step stone, pijakan awal dalam kita mengarahkan pembangunan.

 

Kita membangun itu bukan agar kita tidak dianggap miskin, tetapi untuk mencapai apa yang disebut taraf kesejahteraan. Pemahaman inilah yang akan membedakan kelas sebuah masyarakat, apakah ia miskin struktural yang secara umum diakibatkan ketidakmampuan atau kurang berperannya mesin pemerintah untuk mengorganisasi antara kepentingan pemerintah dan potensi sumber daya yang ada. Atau miskin kultural, gawan kere. Sudah hidupnya pas-pasan, dikasih tahu bawaannya ngeyel, dikasih komando mbalelo. Yang begini ini baru kere yang menyedihkan.

 

Tetapi, saya yakin kelas masyarakat Wonosobo bukanlah kelas masyarakat yang barbar. Kelas masyarakat Wonosobo adalah kelas masyarakat orang-orang yang sangat merdeka, sehingga paham betul apa yang seharusnya dikerjakan. Hari ini dianggap miskin ya tidak apa-apa. Mung dianggep wae opo rugine. Dianggap hanya sebagai kuku ireng, dianggap hanya sekelas pantat burung, ora popo, sepanjang kita masih menjadi bagian dari burung garuda. Garudanya Pancasila, garudanya Indonesia, lak yo begitu.

 

Kalau program pemerintah Kabupaten Wonosobo saat ini yang mengusung jargon ‘Entaskan Kemiskinan’ nanti masih juga timbul persoalan, saya yakin ini bukan karena masyarakat tidak memahami persoalan. Masyarakat tahu belaka apa yang disebut hak dan kewajiban dalam kaitannya hidup bermasyarakat, hak dan kewajiban dalam kaitannya berbangsa dan bernegara, hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat Wonosobo yang menginginkan bersama untuk kabupatennya bisa lebih maju, aman, sejahtera, dan bermartabat.

 

Yang demikian bisa menjadi modal sosial yang sangat mumpuni bagi pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk menjalankan program pembangunan sesuai jargon yang ada. Rakyatnya senang berdagang, ya dibuatkan pasar semacam expo untuk bisa memamerkan hasil home industry, olahan kuliner khas pribumi, dan lain sebagainya. Anak-anak mudanya senang bermain seni, yang sudah dibikinkan panggung kreasi, dan seterusnya. Jelasnya, sebagai warga dari sebuah kabupaten yang sangat menjunjung tinggi amanat dari pemimpinnya, masyarakat sangat patuh mengikuti peraturan daerah yang ada.

 

Maka, kalau akhir-akhir ini terdengar riuh suara sumbang program ‘Entaskan Kemiskinan’ kok kenyataan yang terjadi justru tidak memberikan ruang lebih kepada para pelaku bisnis lokal untuk bisa mengembangkan usahanya melalui pasar-pasar baru yang dibuat pemerintah semacam expo, misalnya. Adalah wajar jika kemudian memunculkan serangkaian perbincangan, tanya kenapa?

 

Wonosobo, 6 Agustus 2016

 

Gusblero Free

 

Note: Tulisan ini diterbitkan Harian Wonosobo Ekspres, Senin (8/8/2016)
OMW

 

100 HARI KERJA BUPATI

422404f6d27c05e9a1d2a77a8460f3c3

Pekan ini pemerintahan kabupaten Wonosobo memasuki bulan ketiga masa pemerintahan Eko Purnomo dan Agus Soebagyo sebagai Bupati dan Wakil Bupati Wonosobo yang baru, terhitung sejak waktu pelantikan tanggal 17 Pebruari 2016. Tentu saja tidak ada yang aneh, juga tidak ada yang fantastis bisa dicatat dalam kurun yang masih seumur jagung ini.

 

Yang begini justru menjadi hal yang melegakan bagi sebagian besar orang yang relatif sudah cukup jenuh dengan berbagai pembicaraan politik. Sudah cukup dan cukuplah sudah. Biarlah televisi yang terus jungkir balik memainkan akrobat pemberitaannya untuk menaikkan rating, sementara disisi lain tugas dari media jurnalisme yang waras tidaklah boleh lepas dari tugas warga bangsa untuk ikut berperan serta dalam menjaga situasi keamanan dan ketentraman nasional. Mengutip landasan berpikir Majalah Tempo, “Asas Jurnalisme kami oleh karena itu bukanlah asas jurnalisme politik, yang memihak satu golongan. Karni percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukanlah menyebarkan prasangka, namun justru melenyapkannya, dan bukan membenihkan kebencian melainkan mengkomunikasikan saling-pengertian.”

 

Kembali kepada soal aneh tidak aneh, atau fantastis dan tidak fantastis di atas. Akan menjadi aneh kalau Bupati baru dilantik kemudian tanpa ba bi bu langsung main sikat dan mengatur irama birokrasi hanya untuk meraih target 100 hari kerja, misalnya. Bahkan pemerintahan Jokowi – Jeka sekalipun tidak menggunakan parameter 100 hari sebagai patokan, namun mendasarkan pada kerangka program jangka panjang dan jangka pendek.

 

Acuan program jangka pendek meliputi target-target produksi yang bisa meningkatkan kesejahteraan secara umum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan sarana dan prasarana untuk mewujudkan semua itu. Sementara pembangunan yang berhubungan dengan infrastruktur harus mengacu program jangka panjang dikarenakan juga harus melibatkan asumsi tata ruang kota kabupaten ke depannya.

 

Tugas menjadi bupati atau wakil bupati memang tergolong berat, pertanggung jawabannya personal. Bahkan menurut teman saya yang kebetulan anak seorang bupati, menjadi anak bupati saja juga tidak kalah berat, yang mana segala ­unggah-ungguh kudu lebih dijaga, ora kena ngono kudu ngene, dan sebagainya. Sama juga halnya menjadi rakyat atau warga biasa juga bisa menjadi berat dan ngenes sembarang-barang mikir dhewe.

 

Berawal dari titik pandang ini, maka tidak ada salahnya rekonsiliasi kedaerahan dilakukan, agar spirit bebrayan bisa diusung guna menangkis isu kesenjangan yang akhir-akhir ini bergerak menuju SARA. Apa iya terus kenyang kalau setiap hari kita membicarakan politik. Apalagi kalau kita cermati, politik kita hari ini isinya tak lebih propaganda memobilisasi pendapat massa untuk mendukung kepentingan tertentu dan atau golongan.

 

Hitung-hitungan 100 hari itu tidak penting, disebabkan hidup terus berproses. Lain hal kalau kita mau menandai itu sebagai tengara pada orang yang sudah meninggal. Mitung ndino, nyelapan, nyatus, nyewu, dan seterusnya. Menurut saya sepanjang tidak memberatkan itu tidak mengada-ada untuk dilakukan. Minimal bisa untuk merekonstruksi kumpul para sedulur, dan agar keluarga besar kita tidak kehilangan nasab asal.

 

Wonosobo, 17 Mei 2016

 

Tahun Pertama Yang Menentukan

Tidak sampai dua bulan lagi kalau tidak ada aral Wonosobo akan memiliki kepemimpinan baru di bawah pasangan Eko Purnomo, SE. MM dan Ir. H. Agus Sobeagyo, M.Si. Ini akan menjadi tahun pertama yang menentukan, bukan hanya pada arah dan target pembangunan Wonosobo secara umum, namun juga terhadap tumbuhnya kepercayaan masyarakat akan sosok pimpinan yang baru.

 

Dalam etika kepemimpinan, langkah awal seorang kepala daerah diantaranya tentu menyusun rencana dan kajian baik teknis maupun non teknis keberadaan perusahaan-perusahaan daerah yang ada, mulai tata kelola sampai kepada prediksi pendapatan yang akan diperoleh. Gambaran ini yang kemudian akan bisa menjelaskan mampu tidaknya seorang pimpinan di sebuah wilayah mewujudkan visi menjadi realitas.

 

Tapi itu nanti dulu. Sebelum masuk kepada tugas pokok dan fungsi dalam kurun 100 hari pertama tindakan tidak kalah penting seorang bupati adalah adaptasi. Adaptasi bukan hanya dalam lingkup SKPD yang nantinya akan membantunya dalam mengurai segenap persoalan yang mungkin ada di birokrasi, dan juga adaptasi sosial dengan seluruh masyarakat yang ada. Masyarakat perlu mengenal sosok bupatinya secara langsung, yang tentunya tidak bisa dijembatani hanya melalui seremonial open house belaka, namun justru ketika bupatinya mau melakukan incognito turun ke bawah maka sangat dimungkinkan akan melahirkan dialog-dialog yang bisa menjadi rumusan bagi kemajuan sosial secara menyeluruh.

 

Tidak perlu langsung tancap gas dan berlari. Profesionalitas kerja birokrasi selama ini sudah membentuk ring alur yang sustainable, berkesinambungan, hingga seorang pimpinan yang baru tidaklah perlu panik harus mengejar target ini itu dan sebagainya. Pada saatnya sebuah daerah akan menemukan formulasi kebudayaannya sendiri dalam memajukan dan memakmurkan rakyatnya tanpa harus dibatasi waktu, sepanjang memiliki kewibawaan yang utuh.

Lanjutkan membaca “Tahun Pertama Yang Menentukan”