Maiyah, Tarjumangah Rasa

Saya mrabang (kata ini belum ada terjemahan resminya). Beberapakali ke wilayah dusun hampir selalu ada terdengar orang berbisik pada orang di sampingnya, “orang Maiyah,” bisiknya. Kadang lirih, kadang disengajakan keras untuk memberitahukan pada lainnya.

Kalau sudah begitu, saya harus mengatur ulang sikap bertamu saya. Karena bisa jadi niatan awal silaturahmi yang tadinya cuma ingin menanyakan berapa harga cabe sekarang di pasaran, lambat laun curcolnya bisa sharing bagaimana caranya agar Allah bisa terasa lebih berkenan hadir dalam ruang ‘Shohibu Baiti’ rumah kami singgah tersebut.

Cak Nun tidak ada. Sedulur-sedulur Kiai Kanjeng, Sabrang, Kiai Muzammil, mbah Tanto Mendut apalagi. Kadang saya mrabang disela pembicaraan membayangkan mereka tak ada. Saya tertawa, mereka sudah berhasil mengantarkan tema yang secara spektrum teofani menghadirkan Allah dan para Rasul-Nya, tanpa harus diribeti membahas nasab Maiyah yang ada.

Teologi Maiyah memang begitu, menurut saya. Dasar hukumnya Rahmatan lil ‘alamin. Derajat ruhaniahnya berkoloni sendiri-sendiri, padanan nurnya tidak sama, tetapi tidak ada yang lantas mendominasi. Ketika orang berbicara Maiyah, masing-masing sudah memahami potensi inti dalam hidup manusia adalah kesadaran dharurat untuk terus selalu berharap hadirnya hidayah dan pertolongan Allah.

Maiyah lebih cocok sebagai tarjumangah rasa, dimana orang mentaddaburi khasanah kosmologi jagat semesta dan seluruh penghuninya selaras pengenalan-pengenalan dalam dirinya. Maiyah adalah bidayah (pembuka, budi pekerti, akar budaya) dari risalah (agama langit yang dibawa Rasul) yang tarikatnya didirikan atas pertimbangan rasa.

Maiyah saya tarikate wong utun, majlisnya orang dusun, yang lebih mengutamakan wejangan orang tua dan guru. Santri ngesot, yang berjalan sambil menggeser pantat, ndepe-ndepe, mendekat pada Allah mengharap kemurahan rahmah kasih-Nya.

Tidak ada dan tidak berlaku jabatan atau gelar apapun dalam Maiyah. Tetapi ada nilai ketahuan diri, ada etos menghormati. Beragama tidaklah boleh menjadi sesuatu yang memberatkan, orang beragama harus nyaman. Bermula dari yang demikian beragam tindakan bersama akan bisa disusun menuju kerahmatan.

Selamat Tahun Baru 2021

Semoga kita diberikan kemudahan kelancaran kesuksesan keberkahan keselamatan dalam segala hal

Wonosobo, 27 Desember 2020

(Sambil mancing di pinggir kali)

Gusblero

Tinggalkan komentar