Abah Guru Sekumpul – Kisah Nabi Isa AS

gusblero_abah guru sekumpul_rahmati

 

RAHMATI MUSTAFARRUKA,

Rahmat-Ku lah tempat kamu tinggal.

 

Dari Abah Guru Sekumpul:

Al Masih itu adalah sebutan untuk Kanjeng Nabi Isa AS. Digelar Al Masih karena dua sebab. Pertama karena beliau ini tidak pernah istirahat, berjalan terus. Yang kedua karena telapak kaki beliau rata. Kalau kaki kita ada lengkungnya, sedangkan kaki beliau rata. Jadi kenapa mendapat gelar Al Masih karena telapak kaki beliau rata. Kenapa rata, karena terus menerus berjalan. Begitulah kalau dihubungkan kedua pendapat ini jadi ketemu.

 

Berjalan dan terus berjalan Kanjeng Nabi Isa AS. Kadangkala ketemu awan mendung, bunyi petir, hingga hujan begitu lebatnya. Suatu hari beliau tengah berjalan bersama seorang laki-laki muda. Ada rasa kasihan dengan pemuda ini sebenarnya, kedinginan dan ketakutan mendengar suara petir. Maka diajaklah pemuda itu untuk mencari tempat berteduh, hingga keduanya menemukan sebuah goa.

 

Akan tetapi ketika hendak memasuki goa itu, di dalam goa terdapat seorang perempuan ‘abid yang sudah meninggalkan kecintaan terhadap dunia. Jadi dia meninggalkan rumah dan memilih goa itu sebagai tempat ibadah (khalwat). Kata Nabi Isa kemudian,”Nah kita tidak boleh di sini. Kita terus saja.” Kata si pemuda,”Cobalah kita singgah walau sebentar.” “Jangan,” jawab Kanjeng Nabi Isa AS seraya melangkah.

 

Berjalan terus berjalan akhirnya ketemu lagi sebuah goa. Setelah diperiksa ada macan di dalamnya. Kata Kanjeng Nabi Isa AS,”Nah di sinilah kita singgah.” Mendengar itu berkata si pemuda,”Jangan…jangan….jangan, aku tak mau.” Hahaha…

 

Berjalan terus berjalan lagi keduanya. Ditengah perjalanan Kanjeng Nabi Isa AS berkasidah. Arti kasidahnya: “Ya Allah, aku melihat dalam perjalananku ini setiap mahluk-Mu memiliki tempat tinggal. Bahkan hingga tikus pun memiliki sarang. Sedangkan rumahku ada di mana?”

 

Dijawab oleh Allah SWT, “Rahmati Mustafarruka, rahmat-Ku lah tempat kamu tinggal.”

 

Benar juga bahkan tikus memiliki sarang, burung juga memiliki sarang untuk tinggal. Lhah ini Nabi tidak punya tempat bernaung di mana harus tinggal? Saking lelahnya, ditambah mata mulai mengantuk, Kanjeng Nabi Isa AS lalu berbaring di atas sebuah batu persegi empat yang digunakannya untuk bantalan.

 

Belum lama berbaring datanglah Iblis, “Hai Isa,” tegurnya. “Ada apa Iblis,” jawab Kanjeng Nabi Isa AS. “Katanya kamu ini tidak ingin bersenang-senang di dunia, tapi kenapa memakai bantal?” kata Iblis.

 

Masuk akal juga kata si Iblis, pikir Kanjeng Nabi Isa AS. Segeralah beliau mengangkat kepalanya dari batu yang digunakannya sebagai bantal, lalu dilemparkannya ke Iblis, dan kena. Jadi, ledekan Iblis diambil sebagai peringatan, dan batunya dilemparkan untuk mengusir godaan.

 

Note: untuk mendengan langsung wejangan Abah guru Sekumpul Romo Yai Haji Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al Banjari silakan klik https://youtu.be/pkMY8fraoQs

Ia Yang Terkenal di Langit, Namun Tak Dikenal di Bumi

“Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman.” begitulah kalimat mistis ini keluar dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 

gusblero - uwais al qarani

 

Yaman, negeri di sebelah kanan Ka’bah, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang disebut Nabi sebagai “Nafas dari Yang Maha Pengasih” itu adalah sebagaimana negeri yang mendatangkan keharuman kemeja Yusuf yang menyembuhkan kebutaan Ya’kub, ayahnya. Kini angin itu kembali berhembus membawa bau harum selendang kain ketaatan Uwais al-Qarani, tempat mana seberkas cahaya muncul menunjukkan rumah keruhanian yang sejati.

 

Uwais al-Qarani adalah seorang “Muhammadan” abis. Ia benar-benar menempatkan sosok Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai cermin dalam biografi mistiknya. Saat mendengar kabar Nabi mengalami cedera dalam perang Uhud yang menyebabkan giginya patah, iapun segera mengambil batu dan memukul giginya hingga patah.

 

Ke-Muhammad-an dalam dirinya tak mentolelir perbedaan kefanaan dengan yang dicintainya. Ia menuntun dirinya dalam tradisi tasawuf yang genuine otodidak. Maka begitulah kemudian istilah Uwaisi dikenal untuk mereka yang menempuh jalan sunyi tanpa dituntun oleh sang guru hidup. Ia yang tak bisa melihat apapun kecuali wujud kekasihnya.

 

Shalatullah salamullah

‘Ala Thaha Rasulillah

Wa kulli mujahidin lillah

Bi ahlil Badri Ya Allah…

 

Karena berapapun banyak kalimat akan kehilangan makna jika tak menyertakan menyebut-nyebut nama kekasihnya, karena bentuk apapun pujian akan sia-sia jika engkau melupakan mencantumkan nama kekasihnya.

 

Sejatinya Uwais wajahnya cukup tampan. Pundaknya berbidang lapang, matanya biru, rambut dan kulitnya kemerah-merahan seringnya terbakar matahari. Tetapi ia betul-betul ghuraba miskin yang dibuang dari lingkungan. Ditertawakan, diolok-olok, dianggap gelandangan yang pantas dicurigai sebagai pencuri, tukang tipu, dan beragam penghinaan lainnya.

 

Suatu hari seorang fuqaha’ negeri Kuffah bermurah hati padanya dengan memberinya hadiah dua helai pakaian. Uwais menerima pemberian itu sebagai satu bentuk penghormatan, namun kemudian dikembalikannya lagi. “Aku khawatir sebagian orang akan menuduh darimana kudapatkan pakaian ini, kalau tidak dari menipu pasti dari mencuri.”

 

‘Negeri di sebelah kanan’ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yang memeluk Islam tanpa pernah bertemu dengan Nabi, dan Nabi pun menggaris bawahi keberadaannya tanpa pernah melihatnya. “Ia adalah anak yang taat kepada ibunya. Dan walau ia sangat tidak dikenal di bumi, sesungguhnya ia sangat terkenal di langit. Suatu ketika apabila kalian berkesempatan berjumpa dengannya, mintalah doa dan istighfarnya. Dia adalah penghuni langit, bukan semata penduduk yang tinggal di bumi.

 

Jika ia bersumpah pasti karena Allah, jika ia berdoa Allah pasti mengabulkannya. Pada hari kiamat nanti, saat seluruh ahli ibadah dipanggil masuk surga, ia justru diminta berhenti dulu untuk membagikan syafa’at, hingga sejumlah kabilah Rabi’ah dan Mudhar dimasukkan ke surga tanpa ada yang ketinggalan karenanya.”

 

Keutamaan kemuliannya dikarenakan baktinya kepada ibunya, seorang wanita yang telah tua dan lumpuh. Hingga suatu hari ibunya menyampaikan sebuah permintaan yang sulit ia kabulkan, membawanya agar bisa mengerjakan haji.

 

Uwais tercenung, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan.

 

Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian dibelilah seeokar anak lembu yang ia kandangkan di atas bukit. Setiap pagi ia bolak balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. Orang-orang berkata: Uwais telah gila!

 

Suara-suara di sekelilingnya tak dihiraukannya. Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia terus menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.

 

Setelah delapan bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga dengan otot Uwais yang makin membesar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya.

 

Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekah! Subhanallah. Uwais tetap berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka’bah saat ibunya begitu terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah.

 

Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya ibunya heran. “Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.” Kata Uwais singkat.

 

Subhanallah…

 

Gusblero, 21 Juli 2018

Ayat di Atas Bukit

 gusblero - bukit thursina1

Kisah berikut ini memang benar-benar nyata dan terjadi, karena Allah SWT sendirilah yang mengabarkan kepada kita melalui Al-Qur’an.

 

Setelah menyempurnakan puasa selama 40 hari dan beribadah sendirian di atas bukit Sinai (Thursina), Kanjeng Nabi Musa AS mendapatkan petunjuk-petunjuk Allah yang kemudian menjadi kitab Taurat.

 

Kanjeng Nabi Musa merasa bersyukur. Akan tetapi masih ada sesuatu yang mengguncang hatinya. Ia merasa sangat rindu (hasrat yang tak bisa lagi dipendam) untuk melihat wajah Sang Kekasih yang telah berkata-kata kepadanya, wajah Rabbnya.

 

“Dan tatkala Musa datang menurut waktu yang telah kami tentukan. Dan telah berfirman Rabbnya kepadanya, berkatalah ia, ya Rabb perlihatkanlah (dirimu) keapadaku, agar aku dapat memandang Engkau.

 

Berfirman Allah: Engkau sekali-kali tidak akan mampu melihatku, tetapi arahkanlah pandangan engkau ke gunung itu. Maka jika ia tetap pada tempatnya, niscaya engkau dapat melihatKu.”

 

Ibnu Abbas ra, sahabat Rasulullah SAW meriwayatkan bahwa Allah berfirman kepada Kanjeng Nabi Musa: “Pergilah engkau, dan lihatlah batu di atas puncak gunung itu, duduklah engkau di atas batu itu, kemudian Aku akan menurunkan bala tentara-KU kepadamu.”

 

Dan ketika telah sampai di puncak batu tersebut, maka Allah pun menurunkan bala tentaranya, para Malaikat hingga langit ketujuh, untuk menampakkan diri kepada Kanjeng Nabi Musa AS. Diperintahkan para Malaikat penghuni langit untuk menampakkan diri di hadapan Kanjeng Nabi Musa AS sambil mengeraskan suara tasbih, tahlil mereka, bagaikan suara petir yang menyambar-nyambar.

 

Kemudian para Malaikat penghuni langit kedua diperintahkan menampakkan diri, dengan warna dan bentuk yang beraneka ragam, mereka bersayap dan memiliki raut muka, diantaranya ada yang berbentuk seperti singa. Beriringan di hadapan Kanjeng Nabi Musa AS sambil mengeraskan suara-suara tasbihnya.

 

Mendengar teriakan-teriakan tersebut, Kanjeng Nabi Musa AS menggigil. Ia merasa ngeri dan kemudian berkata: Ya Rabb, sungguh aku menyesal atas permohonanku. Apakah engkau berkehendak untuk menyelamatkanku dari tempat ini?

 

Pimpinan dari kelompok Malaikat tersebut berkata: Hai Musa, bersabarlah atas apa yang engkau minta, apa yang engkau lihat ini baru sebagian kecil saja.

 

Allah SWT memerintahkan para penghuni langit ketiga turun. Lalu keluarlah Malaikat-malaikat yang tak terhitung jumlahnya dengan aneka ragam bentuk dan warnanya. Ada yang seperti api yang menjilat-jilat, mereka memekikkan tasbih, tahlil dengan suara hiruk pikuk menggelegar.

 

Kanjeng Nabi Musa semakin berputus asa. Ia mendengar pimpinan kelompok Malaikat itu berkata: wahai Musa, bersabarlah hingga engkau tidak akan sanggup lagi untuk melihatnya.

 

Kemudian penghuni langit keempat turun. Ada yang berbentuk seperti kobaran api yang menjilat-jilat, ada pula yang seperti salju. Dengan suara melengking mereka memekikkan tasbih dan tahlil.

 

Maka demikianlah para penghuni dari setiap langit turun satu demi satu. Semua Malaikat tersebut bergerak maju sambil cahayanya menyambar semua mata yang ada. Mereka datang membawa tombak yang sangat panjang dan lebar. Tombak-tombak itu bagaikan api yang bersinar terang benderang melebihi sinar matahari.

 

Kanjeng Nabi Musa AS menangis dan meratap. Ya Rabb, ingatlah aku, jangan Engkau lupakan diriku. Aku adalah hamba-Mu. Aku tidak mempunyai keyakinan bahwa aku akan selamat dari tempat ini. Jika aku keluar maka aku akan terbakar, jika aku masih disini aku akan mati.

 

Pimpinan para Malaikat itu pun berkata: Nyaris dirimu dipenuhi ketakutan dan nyaris hatimu terlepas wahai Musa. Tempat yang engkau gunakan untuk duduk adalah tempat yang akan engkau pergunakan untuk melihat Rabbmu.

 

Kemudian turunlah Malaikat Jibril AS, Mikail AS dan Israfil AS, beserta seluruh Malaikat penghuni langit ketujuh, termasuk pemikul Al-Arsy dan Al-Kursy. Mereka secara bersama-sama menghadap kepada Nabi Musa sambil berkata: “Wahai orang yang terus menerus salah. Apa yang menyebabkanmu naik ke atas bukit ini. Mengapa engkau memberanikan diri meminta Rabbmu untuk dapat melihat Nya?” Nabi Musa as gemetar hingga kedua lututnya seakan-akan luruh dari persendian.

 

Ketika Allah SWT melihat itu, maka ditampakkanlah tiang-tiang penyangga Al-Arsy, lalu Kanjeng Nabi Musa AS bersandar pada salah satu tiang tersebut hingga hatinya tenang.

 

Malaikat Israfil berkata: Hai Musa, demi Allah, kami ini sekalipun pemimpin para Malaikat, sejak kami diciptakan kami tidak berani mengangkat pandangan mata kami ke arah Al-Arsy. Karena kami sangat khawatir dan sangat takut kepada Rabb. Mengapa engkau berani melakukan ini wahai hamba yang lemah?

 

Setelah hatinya tenang, Kanjeng Nabi Musa menjawab: Wahai Israfil, aku hanya ingin mengetahui akan Keagungan Wajah Rabbku yang selama ini aku belum pernah melihatnya.

 

Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada langit: Aku akan menampakkan Diri, bertajalli pada gunung itu.

 

Maka begetarlah seluruh langit dan bumi, gunung, matahari, bulan, mega, surga, neraka, para malaikat dan samudera. Semua bersungkur dalam sujud, sementara Kanjeng Nabi Musa masih memandang ke arah gunung itu.

 

Tatkala Rabbnya menampakkan diri di atas gunung, maka hancur luluhlah gunung itu dan Kanjeng Nabi Musa pun jatuh pingsan. Kanjeng Nabi Musa seakan-akan mati karena pancaran Cahaya Allah SWT yang Mulia dan ia terjatuh dari batu dan batu itu sendiri terjungkal terbalik menjadi semacam kubah yang menaungi Kanjeng Nabi Musa agar tidak terbakar Cahaya.

 

Kemudian Allah mengutus Malaikat Jibril AS untuk membalikkan batu itu dari tubuhnya. Wajah Kanjeng Nabi Musa AS memancarkan cahaya kemuliaan, dan rambutnya memutih karena cahaya.

 

“Maka setelah Musa tersadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku sungguh bertaubat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama kali beriman.” (QS. Al-A’raf).

 

Kanjeng Nabi Musa AS pun berkata,”Saya beriman, bahwa sesungguhnya tidak ada seorangpun yang mampu melihat-Mu ya Allah dengan mata lahir, kecuali ia akan mati.”

 

“Wahai orang yang terus menerus salah. Apa yang menyebabkanmu naik ke atas bukit ini. Mengapa engkau memberanikan diri meminta Rabbmu untuk dapat melihat Nya?”

 

 

Gusblero Free

Mbah Kiai Maimoen Zubair Paring Pangandiko…

gusblero - mbah kiai maimoen zubair

 

Syaikhina Wa Murobbi Ruhina Syaikh Maimoen Zubair pulang dari haji malam Itu…

 

“Apabila kamu akan melihat orang lain, hendaklah oleskan terlebih dahulu minyak wangi di hidungmu, sehingga siapa pun orang yang di hadapanmu, ia akan tetap tercium wangi.

 

Sebaliknya, bila di hidungmu terdapat bau kotoran, maka secantik dan sewangi apa pun perkara yang ada di hadapanmu, ia akan tercium busuk. Bila kita selalu menganggap buruk orang lain, lihatlah! Mungkin di dalam hidungmu ada kotorannya.

 

Ini adalah ajaran dari sesepuh-sesepuh kita. Air sungai dengan segala macam isinya akan mengalir ke lautan. Akan tetapi hal itu tidak mampu mengotori lautan. Sampah-sampah yang ikut terbawa gelombang akan berada di pinggiran pantai, sehingga sangat jarang ada pantai yang bersih. Hal itu karena laut tidak mau menerima kotor, sehingga apa yang ada di dalam laut mesti sehat.

 

Air sungai maupun air bah saat musim penghujan yang masuk ke dalam laut, tidak mampu merubah air laut menjadi air tawar. Itulah laut, ia memiliki jati diri sehingga tidak mudah digoyahkan dan tidak mudah dibenturkan. Saya menjadi malu terhadap laut. Sebenarnya siapakah yang mempunyai jati diri yang kuat? Aku atau kamu? Entahlah….

 

Secara logika, ikan-ikan laut yang sebelumnya hidup di kedalaman laut yang asin, bila akan dijadikan ikan asin mestinya cukup dijemur tanpa diberi garam lagi. Akan tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Sebenarnya akal sehatku menolak dan berkata: “Berasal dari air asin kok digarami lagi. Ternyata rasanya tawar”. Ikan di lautan ternyata tetap tawar walaupun berada di lautan yang tentu asin. Inilah jati diri.”

 

from  @santringaji @kanthongumur1985 @ikisantri @tetepsantri

 

resource: http://www.imgrum.org/media/1603608303586095673_3054840823

Saat-saat Terakhir Kanjeng Nabi Muhammad SAW

gusblero - saat Nabi wafat1

 

Pada tanggal 9 Dzulhijjah 11 H saat haji Wada’ dikala matahari tergelincir, Rasulullah SAW berangkat ke Arafah dan melakukan khutbah terakhirnya di hadapan seratus empat puluh empat ribu jamaahnya. Beliau berdiri di tengah-tengah mereka dan bersabda, “Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin setelah tahun ini aku tidak akan dapat menemui kalian di tempat ini selama-lamanya.

 

.
Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian seperti kesucian hari dan bulan ini di negeri ini sampai datang masanya kamu menghadap Tuhanmu, dan kamu pasti menghadap-Nya. Pada waktu itu kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu.

 

.
Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana berlaku di jaman jahiliyah juga tidak berlaku lagi. Dan sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Ikhwah fillah, barang siapa telah diserahi amanat, maka tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya. Jangan kamu mendzalimi orang lain dan jangan pula kamu terdzalimi.

.
Ketahuilah, sesungguhnya setan telah berputus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selama-lamanya. Namun dia (setan itu) akan ditaati dalam perbuatan-perbuatan yang menurut kalian remeh, maka dia pun merasa puas terhadap hal itu. Oleh karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.

 

.Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan wanita karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah. Dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberi mereka nafkah dan pakaian secara baik.

 

Wahai manusia, dengarkanlah! Sungguh aku telah meninggalkan sesuatu pada kalian yang jika kalian pegang teguh, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.

 

Wahai manusia, sesungguhnya tiada lagi nabi sesudahku, dan tiada lagi umat sepeninggal kalian. Sembahlah Allah, Rabb kalian, dan dirikanlah shalat lima waktu. Laksanakan shaum Ramadhan dan bayarlah zakat secara sukarela. Tunaikanlah haji di Baitullah, dan taati pemimpin kalian, niscaya kalian akan masuk surga Rabb kalian. Perhatikan kata-kataku. Sesungguhnya setiap muslim itu bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari yang lain kecuali atas dasar keridlaan.”

.
Rasul sejenak terdiam, lalu bersabda: “Kalian akan ditanya tentang aku, maka apakah yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan memberi nasehat.” Sambil menunjuk ke langit Rasul berkata: “Ya Allah, saksikanlah.”

.
Selesai menyampaikan khutbah, wahyu terakhir turun, dan putuslah wahyu untuk selama-lamanya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Kuridlai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah 3)

.
Tatkala dakwah Islam telah sempurna, tanda-tanda perpisahan dengan kehidupan dan orang-orang yang hidup di dunia mulai tampak pada diri Rasullah SAW.

 

 

gusblero - saat Nabi wafat2

 

Pada awal bulan Shafar 11 H Rasulullah pergi ke Uhud. Seusai menshalati syuhada Perang Uhud beliau bersabda: “Sesungguhnya aku mendahului kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sungguh aku melihat telagaku, sekarang ini. Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci perbendaharaan dunia. Demi Allah, aku tidak khawatir kalian menjadi musyrik sepeninggalku. Tetapi aku khawatir kalian memperebutkan dunia.”

.

 

Untuk pertama kalinya, hari Senin 29 Shafar 11 H, Rasulullah sakit. Suhu badan Nabi yang sangat tinggi menyebabkan para sahabat dapat melihat urat nadi di bagian kepala beliau. Hingga suatu ketika, Rasulullah pernah meminta tujuh gayung air diguyurkan ke kepala beliau yang mulia.

 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah berujar: “Sesungguhnya ada seorang hamba diberi pilihan oleh Allah. Yaitu diberi kemewahan dunia sesuai apa yang dikehendakinya, atau diberi apa yang ada di sisi-Nya. Lalu hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya.”

 

Terdengar suara isak tangis, dialah Abu Bakar. Para sahabat keheranan, sebagaimana ketika Haji Wada’ saat wahyu terakhir turun, ia juga menangis. Pada waktu itu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya setelah kesempurnaan itu yang ada hanyalah kekurangan.” Para sahabat di kala itu mendapatkan kesan bahwa setelah agama ini disempurnakan risalahnya, maka akan ada orang yang paling dicintai di tengah mereka yang akan pergi. “Kami tebus engkau dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami, wahai Rasul.” ujar Abu Bakar berlinang air mata.

.
Semakin hari sakit Rasulullah semakin bertambah, dan selama itu Abu Bakar ditunjuk menjadi imam shalat. Sesekali Rasulullah menyingkap tabir di kamar dan memperhatikan kaum Muslimin sedang shalat di masjid Nabawi sembari tersenyum. Tak jarang pula ketika Rasulullah hendak bangun, namun badan beliau tak kuat. Kemudian beliau jatuh pingsan berulang-ulang, hingga beliau harus dipapah oleh para sahabat, dengan kepala terbalut kain.

.

 

Pada hari Ahad 11 Rabi’ul Awal 11 H, Rasulullah memerdekakan budak laki-lakinya, menshadaqahkan tujuh dinar sisa hartanya, dan menghibahkan senjata-senjatanya kepada kaum Muslimin. Pada malam itu, Aisyah meminjam minyak lampu dari tetangganya untuk penerangan kamar Rasulullah, sementara baju besi Rasulullah digadaikan kepada orang Yahudi seharga tiga puluh sha’ gandum. Demikianlah kondisi Rasulullah di saat-saat kritis.

.
Hingga keesokan harinya, di akhir waktu dluha, Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H, Rasul memanggil Fathimah, putri tercintanya, lalu membisikkan sesuatu kepadanya, dan Fathimah pun menangis. Kemudian Rasul memanggil Fathimah lagi, dan membisikkan kembali sesuatu. Fathimah pun tersenyum.

.
Para sahabat bertanya hal itu kepada Fathimah, dan dijawabnya: “Nabi membisiki aku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian beliau membisiki aku lagi, dan mengabarkan bahwa aku adalah orang pertama diantara anggota keluarga beliau yang akan menyusul beliau. Lalu aku tersenyum.”

.
Fathimah melihat penderitaan berat yang dialami ayahandanya, sehingga ia berkata: “Alangkah beratnya penderitaanmu. Ayah…” ungkapnya lirih. Dengan suara parau sembari tetap tersenyum, Rasul menghibur buah hatinya: “Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

.
Para sahabat sudah merasa bahwa inilah saat-saat datangnya ajal bagi Nabi mereka. Mereka berkumpul di sekitar kediaman Nabi, begitu pula kaum Muslimin lainnya.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru mengucap salam dari luar pintu: “Bolehkah saya masuk?” ujar suara itu. Fathimah tidak mengijinkannya, “Ayahku sedang sakit,” ujarnya sembari membalik badan dan menutup pintu.

.
Rasul menanyai puterinya siapa yang tadi mengetuk pintu. “Tidak tahu Ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya,” jawab Fathimah dengan tutur lembut. Lalu Rasul menatap puterinya dengan pandangan menggetarkan, “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan fana, dialah yang memisahkan pertemuan dunia, dialah Malaikat Maut.”

 

.
Fathimah tak kuasa menahan ledakan tangisnya. Malaikat Maut datang menghampiri ruangan itu. Rasulullah bertanya mengapa Jibril tidak ikut bersamanya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di langit dunia menyambut ruh kekasih Allah, dan penghulu alam semesta ini.

.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah,” pinta Rasul dengan suara amat lemah. Jibril berkata, “Pintu-pintu langit terbuka, semua malaikat menanti ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” ujar Jibril. Rasul mencium bau wangi surga dari pembaringannya ini. Tapi ternyata itu tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril.
“Kabarkan padaku bagaimana nasib umatku kelak,” pinta Rasul. Jibril tersenyum, “Jangan khawatir wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.”

.
Detik-detik semakin dekat saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan, ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. Fathimah terpejam, dan Ali yang ada di sampingnya menunduk semakin dalam. Jibril seketika memalingkan mukanya ke arah lain.

.
“Jijikkah kau melihatku hingga kau palingkan wajahmu. Wahai Jibril?” tanya Rasulullah kepada malaikat pengantar wahyu itu. “Siapa sanggup menyaksikan kekasih Allah direnggut ajal,” jawab Jibril.

.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tak tertahankan lagi. Kulitnya serasa mengelupas dari ujung jari kaki ke bagian atas tubuhnya. Sekujur badannya mengalami kesemutan luar biasa, merambat naik ke atas, dan seribu mata pedang seperti dihujamkan seketika di batang lehernya. Rasulullah merasa telah diambang perpisahannya,” Ya Allah, dahsyat nian maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”

.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seperti hendak membisikkan sesuatu. Ali mendekatkan telinganya kepada Rasulullah, “Uushikum bish-shalati, peliharalah shalat, wa maa malakat aimanuku, dan peliharalah orang-orang lemah diantara kamu.”

.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, para sahabat saling berpelukan. Fathimah menutupkan tangan di wajahnya, air matanya kian menderas. Ali mendekatkan telinganya kembali ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan itu. Terdengar suara lirih Rasul ketika ruh mencapai kerongkongan,” Ummatii….ummatii…..umatku….umatku…..”

 

gusblero - saat Nabi wafat3
“Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami. Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu. Penyantun dan penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS At-Taubah 129)

.

Menyalalah hati….hatiku…..nyala!!

 

Gusblero Free

Kapal (Perahu) Terbang Nabi Sulaiman AS

gusblero - perahu nabi Sulaiman

 

Rabbiighfir lii wahab lii mulkan laa yanbaghii ahadin min ba’dii innaka antal wahhaab(u). Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS Shad 35) begitulah Kanjeng Nabi Sulaiman AS memohon kepada Allah. Pun begitu kekuasaan Kanjeng Nabi Sulaiman AS yang nyaris tanpa batas itu tidak lantas serta merta tanpa ujian.

 

Suatu ketika saat berada jauh di ujung samudera, Kanjeng Nabi Sulaiman mendengar kabar keadaan kota Yerusalem yang berubah menjadi kacau karena ulah Yazar tokoh dinasti Lavi dibantu penyihir Ara yang memprovokasi kaum bani Israel untuk menguasai Bait Suci. Dari tempat yang berpencar, Bait Abia, Bair Hares, Talle Rafidim, Hebron,Eyn Phares menuju Yerusalem.

 

Kanjeng Nabi Sulaiman menunduk, kelopak matanya basah. Dengan bibir yang gemetar ia berucap: “Tuhanku, musuh telah menyerang dari segala arah dan mengungguli kami. Jarak kami sungguh jauh, sementara tubuhku lemah dan dayaku terbatas. Tuhanku, apa yang harus kulakukan, tolonglah aku…”

 

Kekuasaan boleh saja tanpa ujung, akan tetapi persoalan dalam hidup ternyata juga tak mampu diketahui ibarat sumur tanpa dasar. Berikutnya dalam Al Qur’an surat Shad ayat 36 Allah berfirman, Fasakh-kharnaa lahurriiha tajrii bi-amrihii rukhaa-an haitsu ashaab(a). Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya.”

 

Sulaiman, hamba Kami yang saleh. Kami telah tundukkan angin bagimu. Gunakan ia untuk membawamu kemana pun yang kau inginkan.

 

Mendengar Janji Allah itu, Kanjeng Nabi Sulaiman segera menggabungkan tiga kapal yang saat itu menjadi armadanya. Tak lama kemudian dari ujung yang jauh angin serupa puting belitung bergerak mendekati buritan kapalnya. Udara berputar, layar mengembang, menghentakkan geladak, angin bergerak lalu berlayarlah di angkasa kapal (perahu) terbang pertama dalam jagat sejarah manusia. Wallahu A’lam.

 

Gusblero Free

Menjangkau Syeh Qutbuddin

Makam tokoh pembawa aliran Tarekat Naqsabandiyah pertama kali di tanah Jawa itu terlihat sangat tidak terurus. Tahun 1994 Gus Dur (semoga Allah merahmatinya) yang menemukan dan menengarai lokasi ini sebagai makam Syeh Qutbuddin setelah perjalanan spiritual yang panjang. Letak tepatnya di desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo. Lantas, apakah pertautan itu hanya komunikasi spiritual antara dua insan beda zaman yang tak bisa diteruskan, disebabkan kurang jembarnya ruang batiniah kita sebagai generasi kemudian? Nampaknya hanya runtuhan puing-puing batu purba di Candirejo serta waktu yang bisa menjawabnya.

 

Sebenarnya bukan saat yang pas kalau saya harus berbicara waktu. Sore itu langit Wonosobo terlihat sangat mendung, namun tiba-tiba berasa saya harus silaturahim ke Mbah Kiai Syeh Qutbuddin (tepatnya: sowan ke makam beliau). Beruntung saya punya teman yang dulunya menggarap pemugaran makam dimaksud, yang berkenan untuk mengantar sampai lokasi, dengan catatan saya harus sepakat balik arah kalau memang hujan turun ditengah jalan.

 

Sekitar pukul 17.30 WIB kami sampai di hutan bambu Candirejo, setelah itu sepeda motor harus kami parkirkan karena sebagian jalan terjal menuju makam tengah dibetonisasi secara swadaya oleh warga kampung. Jadilah kami meneruskan langkah dengan berjalan kaki menuju makam. Dan ini ada untungnya.

 

Teman saya bercerita. Dulu dia juga yang memasang kabel listrik sepanjang 1400 meter, itu pada tahun 2014. Hari ini kabelnya masih terlihat dan secara fungsi masih normal, hanya tiang-tiang penyangga kabel banyak yang sudah rusak. Jalanan yang kami lewati juga bisa dibilang jauh dari layak, usaha warga dalam bergotong royong hanya mampu mengatasi jalan turunan yang terjal dan rusak parah.

 

Hampir berbarengan adzan maghrib kami sampai di lokasi. Saya pikir kami bisa membersihkan diri dulu dari bekas melintasi jalanan becek di tampungan air dekat makam, seperti yang teman saya ceritakan dulu membangunnya. Namun kami kecele, tempat air itu kini sudah rusak.

 

Memasuki makam bau minyak wangi zakfaron atau sejenisnya memenuhi sekitar makam. Sungguh sebuah tempat yang nyaman untuk menggali hal-hal yang bersifat spiritual. Namun kepentingan saya hari itu hanya untuk datang dan ‘sowan’, tidak untuk yang lainnya. Kami mengucap Salam.

 

Dikisahkan sewaktu membangun makam itu dulu, setiap hari Selasa jelang matahari sepenggalah naik (antara Dhuha) hingga turun adzan Dzuhur, para pekerja berhenti bekerja dan hanya duduk melingkar di seputar makam. Di tempat itu mereka semua sama-sama mendengar suara orang mengaji yang tak kasat mata. Setiap hari Selasa jelang matahari sepenggalah naik (antara Dhuha) hingga turun adzan Dzuhur!

 

Anda boleh tidak percaya dan menganggap ini cerita mengada-ada. Tetapi, bagi Anda yang memiliki kepekaan supranatural dan merasa ini adalah sebuah ‘mesej’ yang kemudian perlu ditelaah lebih mendalam, boleh mengajak saya untuk bersama-sama membuktikannya.

 

NOTE: Seorang guru Mursyid, konon tidak akan pernah terputus hubungan dengan muridnya, bahkan setelah meninggal dunia. Sang Mursyid bisa muncul dalam mimpi-mimpi, muncul dalam penampakan spiritual, ataupun muncul sekilas saja. Dan jika kita mampu melihat Mursyid secara nyata (tanpa kehadiran tubuh fisiknya) berarti kita telah mencapai apa yang beliau inginkan.

 

Itulah caranya agar bisa duduk dengan guru Mursyid walaupun beliau telah meninggal dunia. Jangan mengira para Mursyid sedang duduk di makam di mana dulu kalian terakhir meninggalkannya. Mereka sudah tidak lagi berada di sana, mereka telah berpindah tempat. Namun bila kalian datang, memberi salam dan memanggil, mereka akan datang dan muncul di sana. Mereka berada di hadirat Kanjeng Nabi SAW dan malaikat-malaikat yang memindahkan tubuh-tubuhnya.

 

Hal ini menjelaskan bagaimana para Auliya mentransfer kekuatan mereka dan mendatangi para pengikutnya. Bagi mereka, kehidupan ini dan akhirat adalah sama saja. Mereka dapat duduk-duduk dan mengundang yang lain untuk ikut serta.

 

Seperti halnya Auliya asal mesir, Ahmad ar-Rufa’i al-Kabir QS yang datang ke makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan mengatakan, “Inilah sang pemerintah para hantu sedang bertemu dengan manusia yang paling nyata. Mohon ulurkan tanganmu agar aku dapat menciumnya.” Dari makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW, sebuah tangan putih mulai muncul dan Sayyidina Ahmad QS menciumnya tiga kali. Setiap beliau menciumnya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW mentransfer pengetahuan ke dalam hati Ahmad QS. Tiga samudra pengetahuan pun telah dialirkannya.

 

Gusblero Free, 12 Oktober 2017

 

Mawar Madinah

Hari ketiga Ramadhan adalah hari wafatnya putri ke-4 (bungsu) baginda Nabi Muhammad SAW dengan Sayidatina Khadijah ra: Fatimah Az-Zahra (yang selalu berseri). Fatimah yang merupakan istri Ali bin Abu Thalib, lahir di Ummul Qura (Mekah) pada hari Jum’at, 20 Jumadi al-Tsani dan wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632 Masehi, dengan meninggalkan 4 orang anak, Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah.

 
Kepergian ibu dari Hasan dan Husein sungguh menyayat hati dan mengharu biru. Fatimah sebenarnya sudah tahu kapan dirinya akan dipanggil Ilahi.

 
Alkisah saat Rasulullah terbaring sakit, Fatimah tak henti-hentinya bersedih. Rasulullah pun membisikkan sesuatu ke telinga anaknya. “Aku akan pergi tetapi engkau pertama yang akan menyusul,” ujar Rasulullah.

 

Sontak raut muka Fatimah menjadi senang karena keriduannya kepada ayahanda pasti segera tertambat. Banyak yang ingin tahu apa yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah, namun ditanya berapa kalipun Fatimah bergeming.

 

Fatimah menyadari ajalnya makin dekat, saat itu dia menemui ayahnya dalam mimpi. “Wahai Fatimah! aku datang untuk memberi kabar gembira kepadamu. Telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini, putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kamu menjadi tamuku?”

 
Sebelum meninggal, Fatimah berlaku tidak biasa di dalam rumah. Dia menyisir Hasan dan Husein dengan air mawar dan hati terus bergetar karena tahu dia akan meninggalkan dua buah hatinya. Dia dekap Hasan dan Husein dan diciuminya dalam-dalam.

 
Ali termenung dan terus memandangi belahan hatinya tersebut. lantas Fatimah berkata, “Wahai Ali. Bersabarlah untuk deritamu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu yang kedua! Jangan engkau melupakan diriku. Ingatlah diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidupku yang terbaik, teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku.”

 
Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan. Fatimah lalu meminta kedua anaknya berziarah ke pemakaman Baki. Anak-anaknya menurut. Untuk terakhir kali Fatimah memandang Ali “Halal semua atasku wahai cahaya kedua mataku,” ujar Fatimah memohon maaf.

 
Fatimah berbaring dan menyuruh Asma binti Umais menyiapkan keperluan dan makanan. Tak disangka beberapa waktu sebelum ditariknya nyawa Fatimah, dua anaknya kembali ke rumah. Fatimah pun menyuruh lagi keduanya pergi ke Raudah, dia tidak ingin anaknya sedih melihatnya menghadap Ilahi.

 
Dalam kesakitannya, Fatimah berbisik kepada Ali. Dia menitipkan wasiat kepada Ali, yaitu permohonan maaf kepada Ali, meminta Ali mencintai kedua anaknya, meminta dirinya dimakamkan pada malam hari agar saat dikebumikan tidak banyak dilihat manusia, dan meminta Ali untuk sering mengunjungi makamnya.

 

Saat menitipkan wasiat, tiba-tiba dua anaknya kembali dari Raudah. Sadar kondisi ibunya, mereka mendekap Fatimah erat-erat. Fatimah meminta keduanya agar jangan berpaling di jalan Al-Quran, jalan Rasulullah dan melawan ayahnya.

 
Fatimah meminta semua orang keluar dari kamarnya, dia hendak menyendiri dan ingin bersama tuhannya. Fatimah berpesan jika tidak ada lagi sahutan dari dalam kamar maka jiwanya telah hilang. Dalam sekejap Madinah telah kehilangan mawarnya saat Fatimah kembali keharibaan Ilahi.

 

burning rose

 

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad Hari itu Fatimah as tampak dalam keadaan terbaik yang seharusnya setiap wanita alami.

 

Fatimah as memegang Hasan as dan Husein as dan membasuh kepala mereka. Lalu ia bertemu Imam Ali as dan berkata: “Hai Abu Hasan, jiwaku telah membisikiku bahwa tak lama lagi aku akan berpisah denganmu. Aku mempunyai wasiat yang telah kupendam dalam dadaku yang ingin aku wasiatkan padamu.”

 

Ali as menjawab: “Wasiatkanlah apa saja yang kau sukai, niscaya kau dapati aku sebagai orang yang menepati dan melaksanakan semua yang kau perintahkan padaku, hingga aku dahulukan urusanmu atas urusanku.”

 

Fatimah as mulai berkata: “Abu Hasan, engkau tidak pernah mendapatiku berdusta dan berkhianat, dan aku tidak pernah menentangmu sejak engkau menikah denganku.”

 

Ali as menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, engkau orang yang paling baik disisi Allah, paling alim dan paling takwa. Tidak wahai Fatimah, engkau begitu mulia dan tidak pernah membantahku. Sungguh berat bagiku berpisah dan meninggalkanmu. Tetapi ini adalah hal yang harus terjadi. Demi Allah engkau mengulangi musibah Rasulullah SAW atasku. Sungguh besar musibah kematianmu dan kepergian atasku. Kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali, atas musibah yang sangat besar, sangat menyakitkan dan sangat menyedihkan.” Kemudian Ali as mengusap kepala Fatimah sambil menangis.

 

Lalu Fatimah melanjutkan wasiatnya: “Abu Hasan, jika aku telah meninggal, mandikanlah aku, hunuthlah tubuhku dengan sisa hunuth yang telah dipakai oleh ayahku Rasulullah SAW, lalu kafanilah aku. Shalatilah aku dan jangan biarkan orang-orang yang memperlakukan aku secara kejam menghadiri jenazahku, baik dari kalangan mereka maupun dari pengikut mereka”.

 

Kemudian Fatimah meneruskan: “Kuburlah aku diwaktu malam saat keheningan menyelimuti bumi dan mata terlelap dalam tidur. Dan sembunyikanlah letak kuburanku. Abu Hasan, aku berwasiat kepadamu agar menjaga Zainab, juga Hasan as dan Husien as. Jangan kau bentak mereka, karena mereka akan menjadi anak-anak yatim yang penuh derita. Baru saja kemarin mereka ditinggal oleh kakek mereka Rasulullah SAW, dan hari ini mereka akan kehilangan ibu mereka.”

 

Kemudian Imam as keluar menuju masjid. Fatimah as berdiri dan memandikan Hasan as dan Husein as, lalu mengganti pakaian Hasan as dan Husein as. Setelah itu Fatimah as berkata kepada mereka: “Keluarlah kalian dan pergilah ke masjid.” Sebagaimana biasa, Fatimah as menitipkan Zainab ke rumah ummu Salamah. Hingga tak seorangpun dari anaknya yang ada di rumah.

 

Asma’ binti Umais berkata bahwa ia melihat Fatimah as yang kemudian berkata kepadanya: “Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku, membaca wirid-wiridku dan Al-Quran. Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab. Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah SAW.”

 

Asma’ berkata: “Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an, tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. Aku memanggilnya ya Zahra, ia tak menjawab, hai ibunya Hasan, iapun tak menjawab. Aku masuk ke kamar dan kulihat Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat. Sambil meletakkan telapak tangannya di bawah pipi kanannya Fatimah as menemui ajalnya dalam keadaan dianiaya, syahid dan sabar.”

 

Asma’ melanjutkan: “Aku menciuminya dan berkata kepadanya wahai Tuanku/ Pemimpinku, sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah SAW.” Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu pulang dari masjid.

 

Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku: “Asma’, di mana ibu kami Fatimah as?” Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu kalian sedang tidur.”

 

Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur saat ini, saat waktu shalatnya? Tidak biasanya ia tertidur saat begini.”

 

Asma’ berkata: “Wahai dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian.” Lalu Asma’ meletakkan makanan di hadapan Hasan as dan Husein as.Sekarang, ini makanannya duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as.”

 

Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as? Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?”  Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari ke kamar, kemudian ia duduk di depan kepala Fatimah as dan menciuminya.

 

Husein as berkata: “Oh ibu, berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu Husein. Ibu, berbicaralah padaku sebelum ruhku keluar dari badanku.” Lalu terdengar Husein berteriak: “Hai Hasan as, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as.” Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya.

 

Asma’ berkata: “Aku masuk kamar. Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku. Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah as, dan dia berkata: Ibu, berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku.”

 

rosegalaxiesUGC1810-13

 
Rasulullah sangat menyayangi Fatimah. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat saat sedang di atas mimbar. Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putri bungsunya itu.

 
“Sesungguhnya Fatimah itu bagian dariku. Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah. Aku merasa terganggu bila dia diganggu dan aku merasa sakit hati bila dia disakiti.”

 
Kepergian Fatimah yang merupakan putri kesayangan Rasulullah membawa duka yang mendalam bagi umat Islam. Fatimah wafat tidak lama setelah wafatnya Rasulullah SAW. Saat Rasulullah diakhir hayatnya, Fatimah datang menghampiri sambil menangis.

 
Fatimah sedih kerena takut kehilangan ayah tercinta. Fatimah lalu dibisiki oleh Rasul, kemudian Fatimah yang tadi menangis tiba-tiba tersenyum. Ternyata Rasulullah mengatakan bahwa Fatimah adalah orang pertama dari keturunannya yang akan menyusul menghadap Ilahi.

 
6 bulan kemudian, Fatimah sakit dan meninggal. Umat Islam berbondong ke Masjid Nabawi untuk menyalatkan beliau. Salat jenazah dipimpin oleh Ali ra. Salat jenazah gelombang kedua dipimpin pamannya Abbas bin Abdul Muthalib ra. Jenazah Fatimah lalu dibawa ke Makam Baqi, dimakamkan bersebelahan dengan saudaranya, Zainab ra, Ruqayyah ra dan Ummu Kultsum ra.

 

1002hazrat_fatemeh1002-464x290

 

Pada suatu hari di Madinah, ketika Nabi Muhammad berada di masjid dan sedang dikelilingi para sahabat, tiba-tiba anaknya tercinta Fatimah, yang telah menikah dengan Ali, prajurit utama Islam yang terkenal, datang pada Nabi. Dia meminta dengan sangat kepada ayahnya untuk dapat meminjam seorang pelayan yang dapat membantunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan rumah. Dengan tubuhnya yang ceking dan kesehatannya yang buruk, dia tidak dapat melaksanakan tugas menggiling gandum dan mengambil air dari sumur yang jauh letaknya, disamping juga harus merawat anak-anaknya.

 

Nabi tampak terharu mendengar permohonan si anak, juga terlihat sedikit gugup. Tetapi dengan menekan perasaan, Beliau berkata kepada sang anak, “Anakku tersayang, aku tak dapat meluangkan seorang pun di antara mereka yang terlibat dalam pengabdian ‘Ashab-e Suffa. Sudah semestinya kau dapat menanggung segala hal yang berat di dunia ini, agar kau mendapat pahalanya di akhirat nanti.” Anak itu mengundurkan diri dengan rasa yang amat puas karena jawaban Nabi, dan selanjutnya tidak pernah lagi mencari pelayan selama hidupnya.

 

Fatimah Az-Zahra (putri Nabi ke-4 setelah Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum) dibesarkan dibawah asuhan ayahnya, guru dan dermawan yang terbesar bagi umat manusia. Tidak seperti anak-anak lainnya, Fatimah mempunyai pembawaan yang tenang dan perangai yang agak melankolis. Badannya yang lemah, dan kesehatannya yang buruk menyebabkan ia terpisah dari kumpulan dan permainan anak-anak. Ajaran, bimbingan, dan aspirasi ayahnya yang agung itu membawanya menjadi wanita berbudi tinggi, ramah-tamah, simpatik, dan tahu mana yang benar.

 

Fatimah Az-Zahra yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun dalam hal kebiasaan yang saleh, adalah seorang anak perempuan yang paling disayang ayahnya dan sangat berbakti terhadap Nabi setelah ibunya meninggal dunia. Dengan demikian, dialah yang sangat besar jasanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya.

 

Pada beberapa kesempatan Nabi Muhammad SAW menunjukkan rasa sayang yang amat besar kepada Fatimah. Suatu saat Beliau berkata, “O Fatimah, Allah tidak suka orang yang membuat kau tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi.”

 

Aisyah, istri Nabi tercinta pernah berkata, “Saya tidak pernah berjumpa dengan sosok pribadi yang lebih besar daripada Fatimah, kecuali kepribadian ayahnya.” Hingga atas suatu pertanyaan siapa yang paling disayang Nabi, Aisyah menjawab, “Fatimah lah yang paling disayang oleh Nabi.”

 

Abu Bakar dan Umar keduanya berusaha agar dapat menikah denga Fatimah, namun Nabi diam saja. Sementara Ali yang telah dibesarkan oleh Nabi sendiri, seorang laki-laki yang padanya tergabung berbagai kebajikan yang langka, bersifat kesatria dan penuh keberanian, kesalehan, dan kecerdasan, merasa ragu-ragu mencari jalan untuk dapat meminang Fatimah disebabkan dirinya begitu miskin. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri meminang Fatimah, dan langsung diterima oleh Nabi.

 

Ali menjual kwiras (pelindung dada dari kulit) miliknya yang bagus. Kwiras ini dimenangkannya pada waktu Perang Badar. Ia menerima 400 dirham sebagai hasil penjualan, dan dengan uang itu ia mempersiapkan upacara pernikahannya. Upacara yang amat sederhana. Agaknya, maksud utama yang mendasari perayaan itu dengan kesederhanaan ialah untuk mencontohkan kepada para muslimin dan muslimah perlunya merayakan pernikahan tanpa jor-joran dan serba pamer.

 

Fatimah hampir berumur delapan belas tahun ketika menikah dengan Ali. Sebagai mahar dari ayahnya yang terkenal itu, ia memperoleh sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan gandum.

 

Kepada putrinya Nabi berkata, “Anakku, aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan.”

 

Kehidupan perkawinan Fatimah berjalan lanjcar dalam bentuknya yang sangat sederhana, gigih, dan tidak mengenal lelah. Ali bekerja keras tiap hari untuk mendapatkan nafkah, sedangkan istrinya bersikap rajin, hemat, dan berbakti. Fatimah di rumah melaksanakan tugas-tugas rumah tangga; seperti menggiling gandum dan mengambil air dari sumur. Pasangan suami-istri ini terkenal saleh dan dermawan. Mereka tidak pernah membiarkan pengemis melangkah pintunya tanpa memberikan apa saja yang mereka punyai, meskipun mereka sendiri sedang lapar.

 

Sifat penuh perikemanusiaan dan murah hati yang terlekat pada keluarga Nabi tidak banyak tandingannya. Di dalam catatan sejarah manusia, Fatimah Az-Zahra terkenal karena kemurahan hatinya.

 

Pada suatu waktu, seorang dari suku bani Salim yang terkenal kampiun dalam praktek sihir datang kepada Nabi, melontarkan kata-kata makian. Tetapi Nabi menjawab dengan lemah-lembut. Ahli sihir itu begitu heran menghadapi sikap luar biasa ini, hingga ia memeluk agama Islam. Nabi lalu bertanya: “Apakah Anda berbekal makanan?” Jawab orang itu: “Tidak.” Maka, Nabi menanyai muslimin yang hadir di situ: “Adakah orang yang mau menghadiahkan seekor unta tamu kita ini?” lalu Mu’ad ibn Ibada menghadiahkan seekor unta.

 

Nabi sangat berkenan hati dan melanjutkan: “Barangkali ada orang yang bisa memberikan selembar kain untuk penutup kepala saudara seagama Islam?” Kepala orang itu tidak memakai tutup sama sekali. Sayyidina Ali langsung melepas serbannya dan menaruh di atas kepala orang itu. Kemudian Nabi minta kepada Salman untuk membawa orang itu ke tempat seseorang saudara seagama Islam yang dapat memberinya makan, karena dia lapar.

 

Salman membawa orang yang baru masuk Islam itu mengunjungi beberapa rumah, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberinya makan, karena waktu itu bukan waktu orang makan.

 

Akhirnya Salman pergi ke rumah Fatimah. Dan setelah mengetuk pintu, Salman memberi tahu maksud kunjungannya. Dengan air mata berlinang, putri Nabi ini mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada makanan sejak sudah tiga hari yang lalu. Namun putri Nabi itu enggan menolak seorang tamu, dan tuturnya: “Saya tidak dapat menolak seorang tamu yang lapar tanpa memberinya makan sampai kenyang.”

 

Fatimah lalu melepas kain kerudungnya, kemudian memberikannya kepada Salman, dengan permintaan agar Salman membawanya barang itu ke Shamoon, seorang Yahudi, untuk ditukar dengan gandum. Salman dan orang yang baru saja memeluk agama Islam itu sangat terharu. Dan orang Yahudi itu pun sangat terkesan atas kemurahan hati putri Nabi, dan ia juga memeluk agama Islam dengan menyatakan bahwa Taurat telah memberitahukan kepada golongannya tentang berita akan lahirnya sebuah keluarga yang amat berbudi luhur.

 

Salman balik ke rumah Fatima dengan membawa gandum. Dan dengan tangannya sendiri, Fatimah menggiling jagung itu, dan membakarnya menjadi roti. Salman menyarankan agar Fatimah menyisihkan beberapa buath roti intuk anak-anaknya yang kelaparan, tapi dijawab bahwa dirinya tidak berhak untuk berbuat demikian, karena ia telah memberikan kain kerudungnya itu untuk kepentingan Allah.

Fatimah dianugerahi lima orang anak, tiga putra: Hasan, Husein, dan Muhsin, dan dua putri: Zainab dan Umi Kalsum. Hasan lahir pada tahun ketiga dan Husein pada tahun keempat Hijrah. Muhsin meninggal dunia waktu masih kecil.

 

Fatimah merawat luka Nabi sepulangnya dari Perang Uhud. Fatimah juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan ibadah Haji Waqad, pada akhir tahun 11 Hijrah.

 

Dalam perjalanan haji terakhir ini Nabi jatuh sakit. Fatimah tetap mendampingi beliau di sisi tempat tidur. Ketika itu Nabi membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah yang membuat Fatimah menangis, dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat Fatimah tersenyum. Setelah nabi wafat, Fatimah menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang menyebabkan Fatimah menangis, namun kemudian Nabi mengatakan bahwa Fatimah adalah orang pertama yang akan berkumpul dengannya di alam baka, maka Fatimah menjadi bahagia.

 

Tidak lama setelah Nabi wafat, Fatimah meninggal dunia, dalam tahun itu juga, eman bulan setelah nabi wafat. Waktu itu Fatima berumur 28 tahun dan di makamkan oleh Ali di Jaat ul Baqih (Madinah), diantar dengan dukacita masyarakat luas. Fatimah telah menjadi simbol segala yang suci dalam diri wanita, dan pada konsepsi manusia yang paling mulia. Nabi sendiri menyatakan bahwa Fatimah akan menjadi “Ratu segenap wanita yang berada di Surga.”

 

dress of fatimah

 

Fatimah Az-Zahra adalah ‘ibu dari ayahnya’. Dia adalah puteri yang mulia dari Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab, hasab dan nasab.

 

Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :”Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.”

 

Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata: “Datang Fatimah kepada Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Ucapkanlah: “Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan. Yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkaulah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkaulah yang akhir dan tiada sesuatu di atas-Mu. Engkaulah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan.” (HR. Tirmidzi)

 

Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW, Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanya dengan air, sehingga darah semakin banyak yang keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar.” (HR. Syaikha dan Tirmidzi)

 

Ali r.a. berkata: “Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam, dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu.”

 

Ketika Rasulullah SAW menikahkan Fatimah, beliau mengirimkan unta itu beserta satu lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum, sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga.

 

Fatimah selalu berada di samping Rasulullah SAW, maka tidaklah mengherankan bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, ‘ibu ayahnya, Muhammad’, Al-Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra’ (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah, dia selalu berdzikir.

 

Suatu hari Nabi SAW datang kepada mereka ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala, tampak kaki-kaki mereka, dan apabila untuk menutupi kaki, tampak kepala-kepala mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda: “Tetaplah di tempat tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang kalian minta dariku?” Keduanya menjawab: “Iya.” Nabi SAW bersabda: “Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucapkan: Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu akbar 33 kali.”

 

Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud.  Ibnul Jauzi berkata :”Kami tidak mengetahui seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah.”

 

Fatimah pernah mengeluh kepada Asma’ binti Umais tentang tubuh yang kurus. Dia berkata: “Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu?” Asma’ menjawab: “Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan.” Maka Fatimah menyuruh membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda itu, lalu berkata: “Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi aurat kalian.” (Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam “Siyar A’laamin Nubala’”).

 

Ibnu Abdil Barr berkata: “Fatimah adalah orang pertama yang dimasukkan ke keranda pada masa Islam.” Dia dimandikan oleh Ali dan Asma’, sedang Asma’ tidak mengizinkan seorangpun masuk. Ali r.a. berdiri di kuburnya dan berkata :

 

“Setiap dua teman bertemu tentu akan berpisah/ dan semua yang di luar kematian/ adalah sedikit kehilangan satu demi satu/ adalah bukti bahwa teman itu/ tidak kekal.”

 

Ali r.a. berkata: “Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam, dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu.”

 

ALI FATHIMAH2

 

Rumah kecil yang diberkahi Allah dan Rasulullah diselimuti kelam. Hasan dan Husein cucu kesayangan Rasul pun seakan faham bahwa mereka akan ditinggal bunda tercinta. Siang itu menjadi salam perpisahan buat Ali ra, Hasan, dan Husein Sang Martir.

 

Saat itu anggota Ahlul Bait tenggelam dalam lautan kepedihan dan derita, helaan nafas dan tangis mereka mengakibatkan para malaikat di langit berduka. Seluruh Madinah menumpahkan air-mata kesedihan mendalam. Ia yang oleh para Raja Para Rasul dikatakan bagian diri Rasulullah SAW, meninggalkan dunia fana pada saat yang sama meninggalkan seluruh umat yang tak beribu lagi. Hanya Fatimah lah yang sangat berbahagia dengan kepergian itu untuk menemui ayah tercinta.

 

Imam Ali Karamallahu Wajhah (Wajah yang Diberkahi Allah) memandikan dan mengafaninya sendiri, dan pada saat yang sama menyertakan maklumat Ilahi di kafan Nabi Muhammad saw. Sang Imam melaksanakan prosesi pemakaman sesuai wasiat Al Batul dan dijunjung tinggi. Pemandian dan pengkafanan menjadi hak prerogatif Abul Hasan atau Abu Turab (gelar beliau) saja.

 

Shalat pun telah dilangsungkan, Imam Ali bin Abi Thalib pun pergi menuju makam Rasulullah SAW. Ia letakkan jenazah Fatimah r.a. di pintu gerbang makam dan berseru ke dalam makam, “Ya Rasulullah, saya membawakan Anda putri tercinta Fatimah.”

 

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Ali mengucapkan ini, makam Rasulullah SAW seakan merenggang dan terbuka, dua tangan yang diberkahi mencuat dari dalam dan suatu suara menjawab, “Bawalah ia kepadaku, Fatimahku, cahaya mataku, kebahagiaan hatiku.” Lalu tangan tersebut merangkul Fatimah dan menariknya kedalam. Ia berada ke tempat semula sesaat setelahnya, dan para pengantar memakamkannya di pemakaman yang dikenal sebagai Taman Keindahan (Jannah Al-Baqi).

 

Di sana ia berbaring hingga hari ini. Semoga Allah menganugrahkan kepada kita sarana yang halal untuk berkunjung dan berziarah menuju makam para Ahlul Bait.

 

Nabi SAW bersabda, “Wanita-wanita terbaik di surga yaitu; Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam bintu Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Firaun.” (HR. Ibnu Abdil Bar, al-Isti’ab 2/113).

 

red-rose-png-1

 

CATATAN KAKI:

 

Tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan, ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan makam Fatimah Azzahra as?’

 

Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih yang terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka.

 

Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya yang tercinta, Fatimah Az-Zahra as.

 

Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhaan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.

 

Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali as, sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan as di sana, ada Imam Husain as, ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi SAW, baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.

 

Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali as membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah Az-Zahra as. Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?

 

Sayyidah Fatimah Az-Zahra as memang merencanakan itu semua sebelum wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.

 

Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.

 

Sang pahlawan itu berkata dalam tangisannya:  “Ya, Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali.”

 

Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali. Semua yang pernah kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu, kepedihan dan kesedihan Imam Ali sang washinya Muhammad SAW itu, tetap bersemayam dalam dirinya, baik siang maupun malam.

 

Tak ada batasan yang jelas bagi Imam Ali kapan ia bersedih dan kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya, yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadap-Nya.

 

Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih: ”Ya, Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga Nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini, padahal kematianmu itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini! Salam untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”

 

Setelah menguburkan Fatimah Az-Zahra as, rombongan berisi keluaga dekat Nabi dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya masing- masing, sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu di mana Fatimah Azzahra as dikuburkan (dimakamkan).

 

Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Sang pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.

 

Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah yang hak dan yang sesungguhnya, pemimpin dalam agama dan masyarakat atau pemimpin ummat sebagai Imam sekaligus pemegang hak kekhalifahan yang dicuri saat beliau dan keluarganya sedang memakamkan Rasulullah, dan washi (sebagai pengemban wasiatnya) Muhammad SAW di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang, ketika sebagian sahabat tergiur kekuasaan untuk menjadi khalifah.

 

Tanah Fadak warisan Rasulullah pun sudah dirampas semasa Abu Bakar berkuasa. Rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama demi memaksakan bai’at bagi ke-Khalifahan Abu Bakar. Pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar itu pun menimpa Fatimah Az-Zahra as, pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu, terbaring sendirian dan terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!

 

Malam hari itu, setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan, sungguh memang hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi satu. Sementara itu Bunda Fatimah Az-Zahra as menyaksikan mereka dengan wajah sendu.

 

Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat, mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?

 

Gusblero Free

Antara Soekarno, Wanita Pendosa & Seekor Anjing

soekarno1.jpg
Soekarno

Mungkin ini adalah pertemuan sakral yang dialami oleh Prof. DR. H. Kadirun Yahya – seorang angkatan 1945, ahli sufi, ahli fisika dan metafisika dan pernah menjabat sebagai rektor Universitas Panca Budi, Medan – dengan Presiden RI pertama Ir. Soekarno.

Ia bersama rombongan saat itu diterima di beranda Istana Merdeka (sekitar bulan Juli 1965) bersama dengan Prof. Ir. Brojonegoro (alm), Prof. dr. Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda.
“Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh 3 Profesor-Profesor” kelakar Ir. Soekarno membuka dialog ketika menemui rombongan Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk.
“Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya”, pinta presiden Soekarno kepada Prof. Kadirun Yahya, terkesan khusus.
“Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen (saya dengar tentang engkau sudah sejak 4 tahun, tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.

“Ya, tentang apa itu Bapak Presiden?”

“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira 10 tahun saya cari-cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya.”

“Lantas soalnya apa bapak Presiden?”

“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya majukan pertanyaan yang sebenarnya” jawab Presiden Soekarno.

“Baik Presiden” kata Prof. Kadirun Yahya.

“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan sorga?” tanya Presiden.

“Sorga” jawab Prof.Kadirun Yahya.

Accoord (setuju)”, balas Presiden terlihat lega.
Menyusul Presiden bertanya untuk soal berikutnya. “Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat sorga?” tanyanya.

“Untuk Presiden, Jenderal, Profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan berabdi pada Negara, nusa dan bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan sorga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk Nirwana,” jawab Prof. Kadirun.

Accoord”, kata Bung Karno (panggilan akrab Presiden).

Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor)” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dengan senyumnya yang khas. Dan kelihatannya Bung Karno belum ingin cepat-cepat bertanya untuk yang pokok masalah. “Saya cerita sedikit dulu” kata Bung Karno.

“Silakan Bapak Presiden”.
“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Sayapun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Al-Quran dan Al-Hadits bagaimana caranya supaya dengan mudah hapus dosa saya dan dapat ampunan dan bisa mati tersenyum.”

“Lantas saya ketemu dengan satu Hadits yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rasulullah berkata; Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing dan kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata: Hai para sahabatku. Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, hapus dosa wanita itu dunia dan akhirat. Ia ahli sorga”.

“Nah Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan sorga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk sorga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli sorga. How do you explain it Professor?” Tanya Bung Karno lanjut. Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas.

“Presiden, U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam 2 menit saja saya coba memberikan jawabannya dan memuaskan”, katanya.
Keduanya adalah sama-sama eksakta. Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika. Di atas kertas Prof. Kadirun mulai menuliskan penjelasannya.
10/10 = 1

“Ya” kata Presiden.

10/100 = 1/10

“Ya” kata Presiden.

10/1000` = 1/100

“Ya” kata Presiden.

10/10.000 = 1/1000

“Ya” kata Presiden.

10 / ∞ (tak terhingga) = 0

“Ya” kata Presiden.

1000.000 … / ∞ = 0

“Ya” kata Presiden.

(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0

“Ya” kata Presiden.

Dosa / ∞ = 0

“Ya” kata Presiden.
Nah…” lanjut Prof.

1 x ∞ = ∞

“Ya” kata Presiden.

½ x ∞ = ∞

“Ya” kata Presiden.

1 zarah x ∞ = ∞

“Ya” kata Presiden.

“… ini artinya, sang wanita, walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, mengkaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar. Mengikutsertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh PAHALA yang Maha Besar itu. 1 zarah x ∞ = ∞ dan, DOSA / ∞ = 0. Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya Presiden).” jawab Profesor.

tagling

Bung Karno diam sejenak . “Geweldig (hebat)” katanya kemudian. Dan Bung Karno terlihat semakin penasaran. Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?” katanya.

Profesor Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan.”
“Lihat saja, walaupun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika frekuensi-Nya tidak kita dapati”, jelasnya.

“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan ?” tanya Presiden kemudian.

“Melalui isi dada Rasulullah” jawab Prof.

“Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya : Bahwasanya Al-Quran ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia” (Abi Syuraihil Khuza’ayya.r.a), lanjutnya.

.
Prof menyambung, “Begitu juga dalam QS. Al-Hijr :29 – Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepada-Nya. Nur Illahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah SWT,” kata Prof.

.
Prof melanjutkan, “Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!

.
Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat. Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens)”, jelas Prof.

Prof. menyimpulkan, “Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Illahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi.”

“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Presiden.

Prof menjawab, “Memperbanyak sholawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT.
Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang. (HR. Abu Daud dan An-Nasay). Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih: “Tidak engkau mendapat frekuensi-Ku tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasul-Ku”.

Sontak Presiden berdiri. “You are wonderful” teriaknya. Sejurus kemudian, dengan merangkul kedua tangan profesor, Presidenpun bermohon: “Profesor, doakan saya supaya dapat mati dengan tersenyum dibelakang hari nanti…***