TAN JIN SING, Orang Wonosobo, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

Tan Djing Sin_gusblero_3

 

SEBUAH POSTINGAN tweeter menggelitik saya: “Sebenarnya Tan Jing Sin (1760-18310, BUKAN Raffles, sebagai penemu Candi Borobudur. Gubernur Jendral Raffles, takkan tercatat dlm sejarah sebagai penemu Borobudur, jika Pimpinan Tionghoa sekaligus Bupati Jogja bernama Tan Jing Sin tak menunjukkan jalan menuju Candi Borobudur.” (@Azmiabubakar12 , tweet 7 Sep 2019).

 

Berbekal postingan itu saya kemudian melacak history terkait itu. Dan ini hasilnya:

 

Pada 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

 

Saat itu, Raffles mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd.

 

Tan Jin Sing kemudian menyampaikan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil. Demikian ditulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.

 

Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan.

 

Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. Kata Paimin namanya candi Borobudur, tulis Werdoyo.

 

Kondisi candi saat itu menyedihkan. Ditumbuhi tanaman dan bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali.

 

Borobudur tempo dulu

 

Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha.

 

“Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo.

 

Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia.

 

Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro.

 

Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813.

 

Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan.

 

Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro.

 

Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.”

 

Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius.

 

Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan.

 

Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat.

 

Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

 

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing yang kemudian terkenal sebagai Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu?

 

Tan Djing Sin_gusblero_1

 

Menyebut nama Kapitan Tan Jin Sing bisa jadi sebagian kita banyak yang tidak mengenalnya. Namun  bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya Tan Jin Sing adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Menilik dari sejarahnya, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.

 

Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.

 

Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Ternyata salah, Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.

 

Dalam riwayatnya Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau lebih dikenal dengan panggilan Bah Teng Long.  Namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.

 

Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.

 

Pendapat ini merujuk dari silsilah Bupati Banyumas Raden Tumenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.

 

Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Raden Ayu Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.

 

Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada Raden Ayu Patrawijaya agar diperkenankan mengasuh dan membesarkan Raden Luwar.

 

Tan Djing Sin_gusblero_6

 

Singkat cerita permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari Raden Ayu Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.

 

Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan Raden Ayu Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya Raden Ayu Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.

 

Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.

 

Tan Djing Sin_gusblero_5

Para Pemimpin Kabupaten Wonosobo

Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Mahkota Raja jaman dulu

Kabupaten Wonosobo sesungguhnya merupakan penerus kejayaan kraton Majapahit. Rajanya bernama Prabu Brawijaya V 1448 – 1478. Prabu Brawijaya V menikah dengan Ratu Wandan Kuning, putri Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Dari pernikahan ini lahir Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.

Setelah dewasa Raden Bondan Kejawan dijodohkan dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan Raden Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih ini lahir tiga putra, yaitu Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendawa dan Nyi Ageng Ngerang.

Sebetulnya Ki Ageng Tarub merupakan anak dari Syekh Magribi. Ibunya adalah Dewi Rasawulan, putri Bupati Wilwatikta Tuban. Dengan demikian Ki Ageng Wonosobo itu cucu langsung Ki Ageng Tarub. Jadi Ki Ageng Wonosobo masih trahing kusuma rembese madu.

Keturunan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng menjadi orang penting dalam sejarah Jawa. Tiga bersaudara selalu berperan dalam perjuangan kraton Demak Bintara, Pajang, dan Mataram. Keturunan Ki Ageng Wonosobo yang menonjol ditunjukkan oleh Ki Ageng Juru Martani. Keturunan Ki Ageng Getas Pendawa diperankan oleh Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan Ki Ageng Ngerang diwakili oleh Ki Ageng Penjawi.

Nama kecil Ki Ageng Wonosobo adalah Syekh Ngabdullah Al Akbar. Ki Ageng Wonosobo menikah dengan Dyah Plobowangi, putri Demang Selomerto. Kediaman Dyah Plobowangi ini terkenal dengan sebutan Plobangan Selomerto. Atas usul Ki Demang Selomerto, daerah yang selama ini dipimpin dinamakan Wonosobo.

Kademangan Wonosobo makin maju. Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Dengan resmi Kademangan Wonosobo pada tanggal 25 Mei 1489 ditetapkan menjadi Kabupaten Wonosobo.

Status Kabupaten Wonosobo waktu itu masih dalam pembinaan kerajaan Demak Bintara. Wajar sekali pendirian daerah pemekaran harus diampu oleh kekuasaan induk. Posisi itu tetap berlangsung setelah bergesernya kekuasaan dari Demak, Pajang, Mataram dan Kraton Surakarta Hadiningrat.

Dan urutan Pemimpin Kabupaten Wonosobo versi Dr. Purwadi SS, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), sebagi berikut:

1. Tumenggung Adipati Wonosobo I, 1489-1529. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Raden Patah.

2. Tumenggung Adipati Wonosobo II, 1529-1540. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Adipati Unus.

3. Tumenggung Adipati Wonosobo III, 1540-1582. Dilantik pada jaman kerajaan Demak Bintara. Rajanya Sultan Trenggono.

4. Tumenggung Adipati Wonosobo IV, 1582-1607. Dilantik pada jaman kerajaan Pajang. Rajanya Sultan Hadiwijaya.

5. Tumenggung Adipati Monconagoro I, 1607-1647. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Prabu Hadi Hanyakwati.

6. Tumenggung Adipati Monconagoro II, 1647-1670. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

7. Tumenggung Adipati Monconagoro III, 1670-1699. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Tegal Arum.

8. Tumenggung Adipati Monconagoro IV, 1699-1712. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Amangkurat Amral.

9. Tumenggung Adipati Monconagoro V, 1712-1728. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana I.

10. Tumenggung Adipati Wonokusumo I, 1728-1750. Dilantik pada jaman kerajaan Mataram. Rajanya Paku Buwana II.

11. Tumenggung Adipati Wonokusumo II, 1750-1790. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana III.

12. Tumenggung Adipati Wonokusumo III, 1790-1821. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IV.

13. Tumenggung Adipati Wonokusumo IV, 1821-1825. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana V.

14. Tumenggung Adipati Setjonagoro 1825-1832. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VI.

15. Tumenggung Adipati R Mangunkusumo 1832-1857. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

16. Tumenggung Adipati R Kertonegoro 1857-1863. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana VII.

17. Tumenggung Adipati Tjokroadisoerjo 1863-1869. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

18. Tumenggung Adipati Suryohadikusuma, 1889-1898. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana IX.

19. Tumenggung Adipati R Suryohadinagoro, 1898-1919. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

20. Tumenggung Adipati RA Sosrohadiprojo, 1919–1944. Dilan-tik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana X.

21. Tumenggung Adipati Singgih Hadipuro, 1944-1946. Dilantik pada jaman kerajaan Surakarta. Rajanya Paku Buwana XI. Patihnya RMAA Sosrodiningrat yang menjadi anggota BPUPKI.

22. R Soemindro, 1946-1950. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

23. R Kadri, 1950-1954. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

24. R Omar Soerjokoesoemo, 1954-1955. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

25. R Sangidi Hadisoetirto, 1955-1957. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

26. Rapingoen Wimbohadi Sedjono, 1957-1959. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

27. R Wibowo Helly, 1960-1967. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

28. Drs. Darodjat AWS, 1967-1974. Dilantik pada jaman Presiden Soekarno.

29. R Mardjaban 1974-1975. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

30. Drs. Soekamto 1975-1985. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

31. Drs. Poedjihardjo 1985-1990. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

32. Drs. H Soemadi 1990-1995. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

33. Drs. H Margono 1995-2000. Dilantik pada jaman Presiden Soeharto.

34. Drs. Trimawan Nugrohadi, 2000-2005. Dilantik pada jaman Presiden Abudurrahman Wahid.

35. Drs. H. Abdul Khaliq Arif, 2005-2015. Dilantik jaman Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

36. Eko Purnomo SE. MM., 2016-2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

37. H. Afif Nurhidayat S.Ag, menjabat sejak 2021. Dilantik jaman Presiden Joko Widodo.

Source: https://arbaswedan.id/sejarah-kabupaten-wonosobo/

TORNUWON : Burung Hantu Dalam Festival Shalawat

 

Sesosok burung hantu berukuran 4 x 7 meter nampak terpajang sebagai instalasi panggung. Anyaman daun kakao kering, daun pakis, klobot kulit jagung, disusun sebagai bulu badan, sayap dan telapuk mata. Sedangkan matanya sendiri terbuat dari batok kelapa dan bunga kelopak yang dibiarkan utuh sebagai lensanya dengan alis tebal yang terbuat dari kembang tanaman glagah. Paruhnya dari akar bambu kering. Seluruhnya natural tanpa ada polesan warna sedikitpun.

 

Sekali lagi seniman-seniman dari desa Pandansari dan Sruni menunjukkan kebolehannya. Setelah merakit instalasi singa bersayap dari sabut kelapa, jatayu dari gedebog pisang, Hanoman dari limbah jerami, kali ini mereka menyusun instalasi burung hantu dari limbah daunan kering.

 

Ibarat magnet, burung hantu yang hadir dalam gelaran Festival Seni Shalawat Tornuwon yang digelar di gedung Sasana Adipura Kencana Wonosobo pada hari Selasa (22/10/19) itu begitu menyedot perhatian pengunjung.

 

Burung hantu itu simbol pengetahuan,”ungkap Gusblero budayawan Wonosobo yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan produksi acara.

 

“Hari ini banyak sekali orang memuji pada hal-hal yang sifatnya artifisial. Banyak orang meng-emohi sesuatu yang murni, pengetahuan itu sendiri.

 

Festival ini digagas untuk menciptakan karakter khusus Wonosobo yang dikenal sebagai basis hijau menjadi Kota Shalawat. Ini mimpi kecil seorang manusia dalam mewujudkan kota yang dicintainya untuk kemudian memiliki brand kultur dalam hal pengembangan religiusitas dan budaya.”

 

Acara yang di-support sepenuhnya oleh Bagian Kesra setda Wonosobo dan dihadiri Gus Yusuf dari Ponpes API Tegalrejo serta kelompok gambus Balasyik Jalsah dari Jember itu pun tak pelak sehari kemudian sudah jadi perbincangan hangat secara umum untuk bisa diagendakan sebagai kalender tahunan.

 

Festival Seni Shalawat TORNUWON

Sasana Adipura Kencana Wonosobo

22 Oktober 2019

 

Juara 1 Rp, 5.000.000,-           Miftakhul Jannah Larangan Kaliwiro

Juara 2 Rp. 4.000.000,-           LARASATI Sigedang Kejajar

Juara 3 Rp. 3.000.000,-           AL BARQI Masaran Bawang Banjarnegara

Harapan 1 Rp. 2.000.000,-      ANASHEED DUROR’Mlandi Sumberdalem

Harapan 2 Rp, 2.000.000,-      ASY SYUJAIYYAH Munggang Kalibeber

Harapan 3 Rp. 2.000.000,-      EL JAMBE KARANG Karangjinem Kalikajar

 

Masing-masing Pemenang juga mendapatkan Trophy dari Bagian Kesra Setda Wonosobo dan Sertifikat Penghargaan dari Bupati Wonosobo

FESTIVAL GIRISEBA #2

 

FRAMEWORK

 

Watumalang adalah wilayah kecamatan di ujung barat Kabupaten Wonosobo. Letaknya yang berada di daerah pegunungan membuat Watumalang memiliki potensi ekonomi dari sektor wisata dan pertanian yang begitu besar dengan tanahnya yang subur dan terjaga.

 

Wilayah ini memiliki 15 Desa dan 1 Kelurahan (Banyukembar, Binangun, Bumiroso, Gondang, Gumawang Kidul, Kalidesel, Krinjing, Kuripan, Limbangan, Lumajang, Mutisari, Pasuruhan, Watumalang, Wonokampir, Wonoroto, Wonosroyo) dengan beragam aliran (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah) yang bisa hidup berdampingan rukun dan damai.

 

Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah Festival Giriseba yang selama ini digagas sebagai sebuah penyelenggaraan kebudayaan yang mengunggulkan heritage spiritual (nilai-nilai kearifan lokal) diselenggarakan di wilayah Watumalang.

 

Target ke depan desa-desa yang penuh dengan kreasi seni budaya ini akan makin kompak dan mantap mengolah kebudayaan yang mereka miliki, sekaligus sebagai benteng terakhir bentuk kearifan lokal untuk menghadapi tantangan peradaban yang sangat dimungkinkan menimbulkan gegar budaya.

 

Rundown Kegiatan:

 

Rabu, 9 Oktober 2019

Pukul 09.00 – 21.00 WIB Festival Seni Tradisional (Terbuka)

 

Kamis, 10 Oktober 2019,

Pukul 08.00 – 09.00 WIB Pertunjukan Seni

Pukul 09.00 – 14.00 WIB Cak Nun & Kiai Kanjeng

Pukul 14.01 – 15.00 WIB Pengumuman 6 (Enam) Terbaik Festival

Pukul 15.01 – 17.00 WIB Pertunjukan Seni

SELESAI

 

PRODUKSI:

Lembaga Kebudayaan Masyarakat (LEKAT) Wonosobo & Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo.

Video tema: https://youtu.be/I8ng930MYaA

 

JUARA Lomba Seni Tradisi Festival Giriseba #2
Lapangan Krida Bhakti Kuripan Watumalang Wonosobo
9 Oktober 2019

 

Juara 1 Pangesti Sekar Jagat dari Sawangan Leksono
Juara 2 Ngesti Mudo Utomo dari Sruni Desa Wonosobo
Juara 3 BSWG dari Lengkong Garung
Harapan 1 Laras Ayu Kinanthi dari Kaliputih Selomerto
Harapan 2 Rukun Ardi Budoyo dari Gondang Mojotengah
Harapan 3 SMP 2 Selomerto dari Selomerto

 

Masing-masing mendapatkan Trophy dan Piagam Penghargaan dari Bupati Wonosobo dan Uang Pembinaan.

 

PENTAS TANPA ATAP

Dokumentasi Event Solidaritas Masyarakat Peduli Pasar

 

wonosobo ekspres1
Liputan Harian Wonosobo Ekspres

NAMA, WAKTU & TEMPAT KEGIATAN:

 

Nama Kegiatan           : Solidaritas Masyarakat Peduli Pasar.

Jenis Kegiatan             : Atraksi Seni Budaya & Doa Bersama.

Tanggal                       : Selasa, 23 Juli 2019.

Waktu                         : Pukul 09.00 – 13.00 WIB.

Tempat                        : Lahan kosong bakal dibangun pasar.

Sifat                            : Non Komersil, Terbuka untuk umum.

 

 

 

 

RUNDOWN KEGIATAN:

 

07.00 WIB                  – Persiapan Kegiatan

08.00 – 11.00 WIB     – Pentas Kesenian (on location)

09.00 – 11.00 WIB     – Ramah Tamah dengan Pedagang Pasar

11.31 – 12.45 WIB     – Fun Games (Doorprize)

12.46 – 12.50 WIB     – Doa Bersama

13.00 WIB                  – Penutupan Kegiatan

Link Video: https://youtu.be/ujo3kd50-N4

 

Solidaritas Masyarakat Peduli Pasar

SOLIDARITAS BUDAYA UNTUK PEMBANGUNAN PASAR INDUK

 

poster pasar

PENDAHULUAN

 

 

Tahun 2019 ini Kabupaten Wonosobo merayakan Hari Jadinya yang ke 194. Kita bersyukur bahwa sejauh ini Allah Tuhan Yang Maha Kuasa telah melimpahi kita dengan banyak keberkahan hasil bumi yang baik, pariwisata yang terus berkembang, situasi aman dan lintas sosial penuh harmoni.

 

Akan tetapi berada di jantung kota hari ini masih terdapat kondisi yang memprihatinkan yaitu belum juga dibangunnya kembali Pasar Induk Wonosobo. Padahal ini adalah juga sebuah ruang dimana ekonomi masyarakat tumbuh untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

 

Menyadari bahwa sebuah perayaan Hari Jadi harusnya adalah wujud kegembiraan bersama, rasanya tak layak jika kita membiarkan kondisi ini begitu saja. Satu sisi kita menyalakan kembang api dengan begitu hingarnya, disisi yang lain ada keprihatinan berlarut tanpa ada ujungnya.

 

Atas dasar solidaritas kepedulian inilah gagasan kegiatan ini lahir. 194 tahun sesudah berdirinya Kabupaten Wonosobo masih ada pekerjaan rumah di depan mata yang hingga sejauh ini belum juga terselesaikan: pembangunan kembali Pasar Induk Wonosobo.

 

 

 

 

MAKSUD & TUJUAN:

 

  • Merayakan Hari Jadi Wonosobo ke-194.
  • Memberikan hiburan pada masyarakat pasar.
  • Mendorong segera dimulainya pembangunan kembali Pasar Induk Wonosobo.

 

 

 

 

NAMA, WAKTU & TEMPAT KEGIATAN:

 

Nama Kegiatan           : Solidaritas Masyarakat Peduli Pasar.

Jenis Kegiatan             : Pawai, Atraksi Seni Budaya & Doa Bersama.

Tanggal                         : Selasa, 23 Juli 2019.

Waktu                           : Pukul 09.00 WIB – Selesai.

Tempat                          : Lahan kosong bakal dibangun pasar.

Sifat                               : Non Komersil.

Estimasi Peserta          : 200 orang.

Undangan                   : Forkopimda, Tokoh Masyarakat, PPIW.

 

 

 

 

RUNDOWN KEGIATAN:

 

07.00 WIB                  – Persiapan Kegiatan

08.00 – 11.00 WIB     – Pentas Kesenian (on location)

09.00 – 11.00 WIB     – Pawai Budaya (dari Alun-alun menuju pasar)

11.01 – 11.30 WIB     – Pembukaan

                                    – Pengantar dari Ketua Panitia

– Sambutan perwakilan pedagang pasar (PPIW)

– Sambutan Bupati Wonosobo

11.31 – 12.45 WIB     – Dialog Warga dipandu Tokoh Masyarakat/ Ulama

12.46 – 12.50 WIB     – Doa Bersama

13.00 WIB                  – Penutupan Kegiatan

 

 

 

SUMBER ANGGARAN:

 

  • Sumbangan Serkiler (Partisipasi)

 

 

PENUTUP

 

Demikian proposal solidaritas ini disusun dalam rangka ikut memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Wonosobo ke-194 yang peka sosial. Atas segala bentuk perhatian dan kerjasamanya diucapkan banyak terima kasih.

 

Wonosobo, 18 Juli 2019

 

 

 

LEMBAGA KEBUDAYAAN MASYARAKAT

UNTUK SOLIDARITAS PEDULI PASAR

 

Ketua,                                                                                                             Sekretaris,

 

 

 

 

 

Gusblero                                                                                            Haqqi El Ansharry

 

PASAR INDUK WONOSOBO

Kajian Spiritual Budaya dan Bina lingkungan Rencana Pembangunan Pasar Induk Wonosobo

 

ABSTRAKSI

 

Pasar induk Wonosobo letaknya tak jauh dari alun-alun dan pendopo Bupati. Letaknya yang di depan mata itu filosofinya adalah Bupati sebagai kepala pemerintahan di daerah akan selalu bisa memantau kegiatan masyarakatnya.

 

Dengan begitu, pasar bukan hanya aset berharga daerah dari sisi ekonomi. Tetapi dari sisi jagat kosmos ia menjadi gambaran dinamis ruang tumbuh masyarakat secara umum di daerah.

 

Kebakaran Pasar Induk Wonosobo terjadi pada tahun 1994, 2004, dan 2014 (terjadi momen berulang tiap 10 tahun). Secara kebetulan tiga kali kebakaran pasar itu terjadi pada tahun-tahun menjelang berlangsungnya peristiwa politik (Pilkada). Bagaimana dengan tahun 2024 akan datang?

 

Melihat kurva 10 tahunan itu, tentunya wajar jika ada beberapa pendapat mengambil kesimpulan itu bukan persoalan kebetulan semata. Dan oleh karena hal yang demikianlah, penataan pembangunan Pasar Induk Wonosobo harus disusun melalui konsep pembangunan komprehensif.

 

Makna pembangunan komprehensif adalah pembangunan pasar tidak semata mengusung wujud pembangunan secara fisik (aspek material), namun juga mempertimbangkan dimensi psikologi (aspek spiritual), dan juga kultur rancang bangun (aspek budaya).

 

pasar wonosobo
Lokasi Pembangunan Pasar

 

PENDAHULUAN

 

Setelah kegagalan dalam mengawali pembangunan kembali tahun 2017, tahun ini Pemkab Wonosobo fokus dalam melakukan percepatan pembangunan Pasar Induk Wonosobo dengan menggandeng Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

 

Rapat Koordinasi dengan LKPP di Ruang Kertonegoro Setda telah dilakukan dengan membentuk Tim Percepatan Pembangunan Pasar Induk, pada hari  Selasa (7/5/2019). Harapannya pembangunan sudah akan bisa dimulai pada bulan Juli atau Agustus 2019.

 

Sebagai bentuk keseriusan lain Pemkab juga telah menyiapkan anggaran sejumlah 125 Miliar dengan mekanisme Penunjukan Langsung. Ini dimaksudkan agar proses pembangunan kembali Pasar Induk Wonosobo tidak lagi memakan waktu begitu lama.

 

 

KAJIAN KOSMOS PEMBANGUNAN PASAR

 

Rentetan peristiwa sudah berkali-kali menimpa Pasar Induk Wonosobo.

Lepas dari segala kerugian yang kemudian muncul, secara teori ragam kejadian itu merupakan konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia.

Tidak sedikit pakar yang mencari solusi dan strategi mengatasi kerusakan pasar, tapi sayangnya tidak banyak yang mengungkap hakikat dan subtansi transendental kosmos di balik tragedi yang kemungkinan menimpa.

 

Kosmologi merupakan pendekatan struktur dan sejarah alam atau ruang tumbuh. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan karakter dan evolusi dari suatu subyek.

 

Dalam Islam, makna spiritual dari kosmologi adalah pengetahuan tentang kosmos yang dapat memahami keburaman realitas menjadi transparan. Tujuannya agar manusia memahami kaidah-kaidah substansial sebuah subyek.

 

Perilaku kosmologi tersebut sangat erat dalam kehidupan masyarakat masa lampau atau biasa disebut dengan masyarakat tradisional. Bahkan hampir semua struktur kehidupan menjadikan alam sebagai perwujudan refleksitas antara manusia dan alam.

 

Sebagai contoh, sebelum memanjat pohon kelapa seorang pemanjat harus meminum air kelapa, sebelum melaut seorang nelayan harus meminum seteguk air laut. Perilaku tersebut didasari dengan suatu prinsip bahwa keselamatan manusia tergantung dari refleksitasnya terhadap alam.

 

Dalam tindakan ini tidak berarti kita kembali pada perilaku dan kepercyaan primitif, namun mengarah pada pengetahuan yang bersifat ontologis. Agar manusia mampu mengungkap rahasia dan mistifikasi peristiwa yang seolah-olah terjadi secara kontinyu pada sebuah tempat dari waktu ke waktu.

 

pasar wonosobo1
Pasar Penampungan hari ini

 

ASPEK SPIRITUAL PEMBANGUNAN PASAR

 

Dalam kultur masyarakat Jawa aspek spiritual menempati posisi penting sebagaimana etika saat hendak mengerjakan sesuatu. Konsepsi bina lingkungan harus dilebarkan menjadi semangat bersama untuk mengawal pembangunan itu sendiri.

 

Dalam konsep pembangunan bersama yang mana Pemkab dan masyarakat merasa saling memiliki bisa diawali dengan prosesi “Selamatan” untuk memohon agar pembangunan bisa berjalan lancar dan sukses sesuai yang diharapkan.

 

Proses di atas untuk selanjutnya bisa digunakan sebagai ruang mediasi, agar seluruh keinginan dan harapan bisa disatukan hingga dikemudian hari tidak timbul persoalan lagi.

 

Pemkab misalnya, bisa menghadirkan tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk memediasi dialog ini. Masyarakat juga berhak mengutarakan apa saja terkait keinginan mereka sebagai warga pasar.

 

Semangat dari dialog ini adalah untuk menemukan titik temu agar selanjutnya baik Pemkab maupun masyarakat bisa tumbuh ‘sense of belonging, rasa handarbeni’ akan pembangunan itu sendiri.

 

Semua boleh ngomong, tetapi harus selesai saat itu juga. Setelah itu apapun hasil kemufakatan harus ditaati sebagai satu bentuk komitmen yang memiliki nilai dan konsekuensi.

 

pasar wonosobo4
Pasar Wonosobo jaman dulu

 

PEMBERIAN NAMA PASAR

 

Sudah disinggung di atas, konsep sebuah pembangunan hendaknya jangan hanya mengusung aspek material semata, namun juga aspek spiritual. Wilayah tanpa nama, pasar tak bernama, akan rentan menjadi tempat transit mahluk tak tentu rimba.

 

Tidak berbeda dengan kehidupan secara umum. Antropologi budaya tentang pasar juga mengenal bentuk bagaimana menangani kondisi yang berulang tak beraturan. Ibarat anak yang banyak rewel, prosesi ruwatan pun kemudian dilakukan.

 

Dalam konteks ini, selain arsitektur yang menggambarkan budaya, barangkali Pemkab bisa juga menyiapkan pemberian nama bagi Pasar Induk Wonosobo. Sebuah nama yang akan memberi semangat baru bagi masyarakat Wonosobo secara umum.

 

Nama yang memberi sugesti keyakinan masyarakat dalam usaha. Nama yang memberi kenyamanan dalam lintas transaksi dan segala upaya. Nama wingit, yang mengusir elemen buruk, hingga masyarakat pasar dan konsumen akan terjaga dari hal-hal jahat, baik yang nampak maupun tak kasat mata.

 

Pembahasan tentang nama ini tidak harus merujuk pada keberadaan legenda, yang utama adalah harapan akan kesejahteraan. Nama-nama seperti Kaladethe misalnya, akan terkesan mistis dan menakutkan. Berbeda hal misal dengan nama Sami Rejo. Ada gambaran kesejahteraan bersama bisa diraih di sana.

 

Apapun nama nantinya Pemkab hematnya pasti bisa menemukan. Sebab bukankah itu juga tugas utama Pemkab dalam menjalankan roda kehidupan pasar? Menyelaraskan seluruh harmoni dan menjaga kelangsungan dalam segala aspek usaha.

 

Sebab lagi, dunia pasar memang tak seharusnya berjalan sendiri dan terbengkelaikan begitu saja. Mengingat resource potensi ekonomi yang berputar juga tak sedikit, terobosan dalam mengelola bersama potensi itu tentu akan indah jika bisa dilakukan.

 

Bayangkan jika 2000 saja misalnya pedagang aktif di pasar hari ini bisa dikoordinir menyisihkan masing-masing Rp. 2000/hari lalu dikumpulkan, maka bisa kita dapatkan 2000x Rp. 2000 = Rp. 4.000.000/hari.

 

Untuk apa? Sebagai bentuk arisan. Tiap hari diundi untuk 4 pemenang yang masing-masing bisa mendapatkan @Rp.1.000.000 untuk subsidi silang. Baik yang bakul kembang, bakul dandang, bakul sandang, semua bisa berharap rejeki tiban yang dihimpun dari solidaritas kebersamaan. Dan ini semua bisa disebut Bina Lingkungan.

 

Jadi, ra usah kesusu dalam melakukan sesuatu. Petung itu penting. Keselamatan lebih utama. Bukankah keinginan kita membangun sesuatu yang bisa bertahan lama, jangka panjang. Pikirkan yang penting, yang bukan semata kepentingan. Dengan begitu kita lepas dari segala tekanan entah politik, kapitalis orientalism, dan lain sebagainya.

 

 

Wonosobo, 28 Juni 2019

 

Gusblero Free

Album Foto Festival Giriseba 2018 (2)

 

 

Album Foto Festival Giriseba 2018

Foto-foto di bawah ini hasil mengambil dari postingan Facebook dan media sosial lainnya. Mohon dimaafkan jika ada kekurangan atau pun kekeliruan dalam mencantumkan nama pemilik foto asli.