Orbit dan Galaksi

gusblero lunar

Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu. “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS. Al Anbiya: 33)

 

Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu: “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin: 38)

 

Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur’an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu kilometer/jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

 

Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut: “Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (QS. Adz Dzariyat: 7)

 

Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah “berenang” sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.

 

Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.

 

Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur’an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa “dipenuhi lintasan dan garis edar” sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Satu lagi bukti bahwa Al Qur’an adalah firman Allah. Allahu Akbar!

Mbah Kiai Maimoen Zubair Paring Pangandiko…

gusblero - mbah kiai maimoen zubair

 

Syaikhina Wa Murobbi Ruhina Syaikh Maimoen Zubair pulang dari haji malam Itu…

 

“Apabila kamu akan melihat orang lain, hendaklah oleskan terlebih dahulu minyak wangi di hidungmu, sehingga siapa pun orang yang di hadapanmu, ia akan tetap tercium wangi.

 

Sebaliknya, bila di hidungmu terdapat bau kotoran, maka secantik dan sewangi apa pun perkara yang ada di hadapanmu, ia akan tercium busuk. Bila kita selalu menganggap buruk orang lain, lihatlah! Mungkin di dalam hidungmu ada kotorannya.

 

Ini adalah ajaran dari sesepuh-sesepuh kita. Air sungai dengan segala macam isinya akan mengalir ke lautan. Akan tetapi hal itu tidak mampu mengotori lautan. Sampah-sampah yang ikut terbawa gelombang akan berada di pinggiran pantai, sehingga sangat jarang ada pantai yang bersih. Hal itu karena laut tidak mau menerima kotor, sehingga apa yang ada di dalam laut mesti sehat.

 

Air sungai maupun air bah saat musim penghujan yang masuk ke dalam laut, tidak mampu merubah air laut menjadi air tawar. Itulah laut, ia memiliki jati diri sehingga tidak mudah digoyahkan dan tidak mudah dibenturkan. Saya menjadi malu terhadap laut. Sebenarnya siapakah yang mempunyai jati diri yang kuat? Aku atau kamu? Entahlah….

 

Secara logika, ikan-ikan laut yang sebelumnya hidup di kedalaman laut yang asin, bila akan dijadikan ikan asin mestinya cukup dijemur tanpa diberi garam lagi. Akan tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Sebenarnya akal sehatku menolak dan berkata: “Berasal dari air asin kok digarami lagi. Ternyata rasanya tawar”. Ikan di lautan ternyata tetap tawar walaupun berada di lautan yang tentu asin. Inilah jati diri.”

 

from  @santringaji @kanthongumur1985 @ikisantri @tetepsantri

 

resource: http://www.imgrum.org/media/1603608303586095673_3054840823

Alkisah Anglingdarma

gusblero - anglingdarma

 

Pernikahan Jayabaya dengan Dewi Sarah diantaranya menurunkan Dewi Pramesti yang kemudian menikah dengan Astradarma dan melahirkan Anglingdarma, dan seterusnya.

 

Secara pribadi saya tidak tahu percis kisahnya, bahkan sama sekali tidak menyangka pernah berada di wilayah yang dianggap ‘werid’ ato keramat itu. Dalam bayangan imajiner saya (dan ini juga bisa sangat salah) saya hanya melihat ‘angkin’ dengan rentetan kutukan tak berujung. Selembar angkin, saya tidak tahu apakah jika itu berada di tangan yang tepat akan bisa memupus serangkaian fenomena penuh tumbal itu…

 

Sejarah Anglingdarma tidaklah sesyahdu laiknya kisah raja-raja atau pangeran jaman now.  Hidupnya penuh melodrama dan babak belur dengan rentetan simbolik yang tak gampang kita cerna. Petualangan Anglingdarma mirip-mirip kisah Hercules, putera dewa Zeus, lengkap dengan bintang tamu yang aneh-aneh dalam bagian-bagian episodenya. Ada kisah manusia berubah jadi burung untuk bisa menelusup dan melakukan balas dendam, ada burung yang bisa mengabarkan di mana letak harta karun lalu merubah tuannya jadi agan-agan, dan ada pula tukang patung yang meminta kekuatan dari patung yang diukirnya sendiri.

 

Balas dendam yang tak terampunkan, yang tidak cukup nyawa dibayar dengan nyawa. Babad Anglingdarma mungkin saja serupa kegusaran sejarah saat Harut Marut diturunkan di bumi. Orang bisa bersalin wadag, dan membuahi perempuan yang melihatnya sebagai suaminya yang sebenarnya. Maka wajar, balas dendam yang tak lazim kemudian melahirkan kutukan karena duel satu lawan satu tak bisa dihadirkan.

 

Ketika sihir menjadi wujud kesaktian personal yang secara hukum disahkan, tak pelak drama tentang kegaiban itu bisa diamini lewat jalan apa saja, yang mau tidak mau kita dipaksa untuk mempercayainya. Jelasnya, kisah Anglingdarma pasti terjadi pada abad-abad gelap ketika manusia justru lebih bisa berbicara dengan bahasa perlambang ketimbang dengan mulutnya.

 

Entahlah…..saya bukan highlander kok…

 

Once upon a time, there was Anglingdarma mendapati sepasang burung jalak memadu kasih pada dahan pohon yang kebetulan berada persis di atas kepalanya. Tak tahu dua jalak tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Batara Guru dan istrinya Dewi Uma, Anglingdarma lantas memanah sepasang burung jalak tersebut. Jebreett…

 

Panah itu tentu saja meleset. Entah karena para Batara memang dibekali sonar aji lembu sekilan, atau karena Anglingdarma kurang minum aqua. Tetapi Batara Guru yang sudah kadung marah, lantas mengutuk Anglingdarma akan berpisah dengan istrinya karena mengganggu keharmonisan dalam bercinta.

 

Terngiang-ngiang bagai kena hipnotis oleh kutukan tersebut, Anglingdarma lalu jadi loyo dalam melayani istrinya. Tentu saja Dewi Setyowati yang tak memahami alasannya, merasa terhina sekaligus kecewa, dan menganggap Anglingdarma sudah tak sudi pada dirinya. Biasa bro lagu lama, no woman no cry.

 

Menyadari sang bini sedang sensi-sensinya begitu, Anglingdarma lantas berusaha menenangkan dirinya dengan pergi berburu. Di hutan, dia melihat Nagagini yang merupakan istri dari Nagaraja atau Nagapertala sahabatnya, sedang berselingkuh dengan seekor Ular Tampar. Anglingdarma sontak murka dan memanah si Ular Tampar hingga mati. Sialnya, ekor Nagagini terserempet anak panah hingga terluka.

 

Nagagini memfitnah Anglingdarma dan mengadu pada Nagapertala bahwa Anglingdarma hendak membunuhnya. Beruntung, Anglingdarma bisa meyakinkan Nagapertala tentang kejadian yang sebenarnya sembari menunjukkan bangkai Ular Tampar yang dipanahnya. Walhasil, Nagapertala merasa ditolong kehormatannya, dan sebagai ucapan terima kasih ia mengajarkan Aji Gineng, ilmu untuk menguasai bahasa binatang kepada Angling Darma, disertai pesan agar ilmu tersebut tak boleh diajarkan kepada siapapun.

 

Berikutnya, Anglingdarma sudah lupa dengan kutukan Batara Guru, kembali ke kerajaan. Dia sudah rindu dengan istrinya. Sialnya saat keduanya sedang bercumbu, Anglingdarma yang sudah menguasai Aji Gineng sehingga bisa mengetahui bahasa binatang, mendengar suara cicak jantan yang sedang merayu cicak betina, karena tergiur dengan apa yang sedang dilakukan Anglingdarma dan istrinya. Seketika Anglingdarma marah dan hilang lagi selera.

 

Kejadian tak terduga itu benar-benar membuat Dewi Setyowati kecewa besar. Dua kali masygul dalam kondisi foreplay kali ini tak termaafkan. Malu diujung tak berujung (istilah apalagi nih? 😀 ) Dewi Setyowati lalu memilih harakiri dengan cara membakar dirinya.

 

Anglingdarma menyesal bukan kepalang. Ilmu yang tanpa kendali ternyata sungguh musuh terselubung yang paling nyata bagi pemiliknya. Maka, demi menunjukkan cintanya serta untuk menghormati pengorbanannya, ia bersumpah tak akan menikah lagi.

 

Kesamsaraan ternyata tidak berakhir disitu. Cinta, deritanya tiada akhir, begitu kata Ki Pat Kay dalam lakon Sun Go Kong. Sumpah Anglingdarma terdengar oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Masih dendam dengan Anglingdarma, Dewi Uma mengajak Dewi Ratih untuk menguji sumpah Anglingdarma.

 

Keduanya merubah diri menjadi dua wanita cantik dan menggoda sang Prabu Malawapati, hingga runtuhlah keteguhan sumpah Anglingdarma, dia menanggapi godaan dua gadis cantik tersebut. Lalu begitu Anglingdarma bertekuk lutut dalam buaian amor, saat itulah kedua gadis merubah dirinya kembali menjadi dua Dewi Kahyangan.

 

Dewi Uma kemudian menghukum Anglingdarma dengan menyuruhnya mengembara meninggalkan istana, dimana akan banyak godaan yang harus dihadapi Anglingdarma untuk mempertebal imannya. Kerajaan Malawapati untuk sementara diperintah oleh Batik Madrim.

 

Dalam pengembaraannya kemudian, Angling Darma sampai di kediaman tiga gadis cantik yang bernama Widata, Widati dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Anglingdarma hingga menahannya untuk pergi. Anglingdarma mengiyakan. Namun bukan sebab-sebab asmara semata, ia terusik untuk menyelidiki tingkah aneh ketiga gadis tersebut yang sering keluar malam.

 

Hingga suatu malam, saat ketiga gadis tersebut keluar rumah, Anglingdarma segera merubah dirinya menjadi seekor Burung Gagak untuk mengikuti kemana ketiga gadis itu pergi. Rupanya, Widata, Widati dan Widaningsih adalah tiga putri siluman yang suka makan daging manusia. Tentu saja Anglingdarma tak bisa lantas tinggal diam.

 

Ia mengecam perbuatan ketiga putri siluman itu, namun lantaran masih terkejut dengan apa yang baru dilihatnya, Anglingdarma justru kalah melawan ketiga putri siluman itu, yang lalu mengutuknya menjadi seekor burung belibis putih. Saat menjadi burung belibis itulah, kepercayaan diri Anglingdarma hampir terkikis habis….

 

Ya udah teruskan sendiri ceritanya….saya tahunya baru segitu kok…

 

Swear, bukan niat saya hendak main-main. Sesusah-susahnya mempelajari ilmu agama, ternyata lebih susah mempelajari antropologi budaya yang berisi etnolinguistik, prehistori, etnologi yang bias antara mana perlambang mana kenyataan. Padahal kasat mata daya linuwih kekuatan manusia itu di mana-mana juga sama. Sejarahnya juga hampir sama. Kalau di Baghdad ada kisah seribu satu malam, di negeri kita juga ada kisah Tantri Kamandaka, yang narasinya juga serupa.

 

Berbicara soal petualangan sih kelihatannya asyik, namun dalam konteks agama keseluruhan cerita itu dikategorikan dalam kisah-kisah Israiliyat, merujuk pada sesuatu yang tidak penting.

 

Seribu keasyikan membaca kisah-kisah seperti itu, bagi saya lebih menentramkan memperdalam ilmu tentang rasa syukur seperti apa yang telah diajarkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq:

 

”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah mengilhamkan kepadanya ketaatan, membiasakan dirinya dengan qana’ah (menerima apa yang ada), mengkaruniakan baginya pemahaman agama, menguatkannya dengan keyakinan, mencukupkannya dengan sifat al-kafaf (rezeki yang memadai), memeliharanya dengan sifat al-‘afaf (dijauhkan dari yang tidak halal), serta memakaikannya Ghina (kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain).

Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan menjadikannya mencintai harta dan memudahkan baginya untuk memperolehnya, mengilhamkan kepadanya dunianya, menyerahkannya pada hawa nafsunya, serta membiarkannya mengendarai al-‘inaad (keras kepala), mudah berbuat fasad (kerusakan), dan mendholimi hamba-hamba-Nya.” Wallahu A’lam Bishawab.

 

Gusblero Free

Tanto Mendut: Kelimpungan di Tengah Rahmah

gusblero - tanto mendut

 

Saya terkekeh begitu melihat foto ini terpampang di caknun.com. No no no big no no no. Sama sekali ini bukan soal yang lucu, walau pun foto itu bisa mendeskripsikan sesuatu yang menggelitik.

 

Perhatikan, bahkan seorang polisi Arab pun terlihat seperti terus menguntit. Bukan stalking, lebih tepatnya mengawasi. Jowo tulen yang sedang umroh ini barangkali gelagatnya cukup membingungkan bagi para khadamul ka’bah. Sementara orang lain saling berebutan minta keberkahan doa para syeikh, lelaki ini malah mondar-mandir tanpa juntrungan.

 

Masih beruntung polisi itu tidak tahu kalau lelaki ini dalam jagad kebudayaan Jawa dikenal setingkat begawan, rumahnya pun dekat candi. Salah-salah bisa menimbulkan paradoks axioma yang berujung bid’ah. Belum lagi jabatannya sebagai seorang Hamengku Adat, The President of Five Mountains. Kalau data ini masuk keimigrasian kerajaan Saudi bisa jadi juga akan memunculkan kehebohan lain yang tak serenta rampung diselesaikan bahkan dengan membaca tujuh kali istighfar.

 

Ya. Tanto Mendut memang seorang begawan, atau lebih tepatnya ada seorang begawan yang terjebak dalam tubuh (raga) Tanto Mendut. Dalam hal spiritual (baca: roso, rasa), ia adalah panembahan jati yang men-transkrip nilai-nilai agama dalam laku murni. Ia adalah uncle Maiyah, dalam literasi nasab jam’iyyah Maiyah Nusantaranya Cak Nun.

 

Hidupnya penuh penderitaan, begitu ia sering mengaku. Dan saya pikir saya cukup bisa memahami alasannya. Hari ini ketika Agama harusnya hadir menjadi pembeda yang sempurna dari eksklusifitas keragaman hukum-hukum Adat, nyata-nyata justru menjadi risalah kelompok semata. Banyak orang menafsirkan Kitab Allah yang berisi Kalimat-Kalimat Allah dengan memposisikan diri sebagai personifikasi “wakilnya Allah” untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan manusia di bumi. Ini gila.

 

Maka menjadi tidak mengherankan jika tertangkap ekspresi yang campur aduk manakala Mbah Tanto kita ini masuk lingkaran Ka’bah, wilayah yang disucikan bahkan dari Nabi ke Nabi. Ia terlihat limbung, goyah dan menahan tangis di lautan Rahmah. Sepertinya ia melihat Allah begitu dekat men-tajalli. Dan kemungkinan yang paling diinginkannya adalah kehadiran istri, anak-anak dan cucu di sampingnya untuk bisa ikut merasakan bersama dan berbagi ke-asyik masyu’-an itu.

 

Entahlah. Tulisan ini bisa saja salah, namun satu hal pasti saya tak akan pernah ngawur dalam memberikan penghormatan. Dan saya tak akan pernah berhenti mencari jalan untuk memuliakan orang-orang yang sangat saya hormati.

 

Wonosobo, 17 Januari 2018

 

Gusblero Free

 

Sumber foto: https://www.caknun.com/2017/disambut-jamaah-maiyah-nikmatnya-umroh-tanto-mendut/

Tuku Omong (Beli Omong) di Pasar Kertek

suaramer2

Pasar pagi Kertek adalah pasar pagi paling ramai yang ada di wilayah kota pegunungan Wonosobo. Berjarak delapan kilometer dari pusat kota, tempat ini menjadi ramai karena merupakan titik kumpul paling strategis bagi pusat kegiatan perekonomian sebagian masyarakat Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo sendiri dalam menyediakan komoditas sayuran segar dan hasil-hasil pertanian lainnya.

 

Dipagi yang remang-remang dengan pencahayaan seadanya, pedagang dan pembeli terlihat sibuk. Pasar tradisional ini menjadi ladang rezeki bagi sebagian orang. Mereka saling bertransaksi. Selain barang yang dijual beragam dan dijamin murah, sebagian besar komoditas dipasok langsung oleh petani dari daerah sekitar.

 

Sisi lain pasar Kertek juga memiliki keunikan yang tidak dimiliki pasar tradisional lainnya. Jika Anda memiliki anak balita yang berusia tiga hingga lima tahun dan belum juga menunjukkan kecakapan dalam bicara, maka di pasar ini ada sebuah tradisi yang dikenal dengan sebutan “tuku omong” (bahasa Indonesia – beli omong).

 

“Tradisi itu sudah berlangsung turun-temurun tidak jelas kapan mulainya. Saya telah menjumpai lebih dari sepuluh orang yang pernah melakukan ritual “tuku omong”, kesaksian mereka memang ada perubahan sangat signifikan terhadap kecakapan bicara dari anak-anak yang pernah “dibelikan omong” di pasar tersebut.” kata Gusblero, budayawan Wonosobo yang banyak meneliti keragaman antropologi di wilayah kota pegunungan itu.

 

Proses “beli omong” di pasar tersebut sebenarnya bukanlah sebuah ritual yang sulit, rumit, dan banyak makan waktu serta biaya. Anda cukup datang ke pasar menemui petugas bea di pintu masuk pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon dengan membawa anak yang hendak “dibelikan omong”.

 

Petugas kemudian akan meminta Anda membeli sebotol aqua yang lalu didoakan tidak sampai satu menit di ruang dalam. Air itulah yang kemudian harus diminumkan pada anak   yang lambat omongnya. Proses yang sangat sederhana, dengan hasil rata-rata sekitar seminggu atau sepuluh hari kemudian anak-anak bisa mengucapkan kalimat-kalimat yang secara linguistik bisa dianggap benar dan jelas.

 

Percaya atau tidak percaya, silakan Anda buktikan sendiri. Faktanya sudah banyak anak-anak balita yang mengalami keterlambatan bicara kemudian bisa tersembuhkan dengan ritual tradisi unik ini.

 

Proses “beli omong” di pasar tersebut sebenarnya bukanlah sebuah ritual yang sulit, rumit, dan banyak makan waktu serta biaya. Anda cukup datang ke pasar menemui petugas bea di pintu masuk pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon dengan membawa anak yang hendak “dibelikan omong”.

Note: naskah ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka (Suara Kedu), Edisi Rabu 10 Januari 2018, atau Anda bisa juga membukanya di link ini : http://www.suaramerdeka.com/smcetak/detail/26564/Ritual-Mempercepat-Balita-Bicara-di-Pasar-Kertek

 

Menyimak Abdul Somad, Berguru Kepada Khidr

Hampir satu bulan penuh selama Nopember 2017 saya menyimak ceramah-ceramah Ustaz Abdul Somad melalui media Youtube.com. Bukan berarti tiap jam atau tiap hari saya mendengarkan ceramahnya, tetapi barangkali ada sekitar hampir dua puluh videonya saya telah menyimaknya.

 

Sudah pasti itu jumlah video yang cukup banyak. Kalau ada yang bertanya kenapa saya mau menyimaknya, jawabannya adalah karena saya mau belajar, titik. Lalu kenapa Desember 2017 saya sama sekali tidak menontonnya, jawabannya karena saya sedang banyak urusan, begitu saja, titik.

 

Saya memiliki banyak Guru, baik yang mengajari saya secara langsung berhadap-hadapan atau pun yang tidak secara langsung. Adalah sesuatu yang sungguh-sungguh menyalahi adab manakala kita hendak mencari Mursyid namun terus membanding-bandingkan antara Guru yang satu dengan Guru-Guru lainnya.

 

Saya tentu tidak bisa membanding-bandingkan antara Guru saya yang Kiai kampung dengan Simbah Kiai Maimun misalnya. Dengan Cak Nun, dengan Gus Mus, dengan Habib Lutfi, dengan Ustaz Abdul Somad, atau pun dengan para alim ahlal ‘ilm lain-lainnya. Pada setiap Guru ada ke-khas-an masing-masing, yang mana kita bisa belajar cara menghisap lembut, memukul keras, atau bertahan dan menjaga keseimbangan.

 

Gusblero - Ust Abdul Somad

 

Awal tahun 2018 ini dunia ceramah masih berisi hingar silang sengkarut pendapat terkait Ustaz Abdul Somad. Bagi saya ini sungguh menyedihkan. Kurun tiga tahun terakhir kita sudah nyaris berada diambang kejumudan dengan cerita-cerita picisan ustaz-ustaz fashion yang mengisi infotainment begitu rupa. Dan kini, ketika di atas panggung muncul Ustaz Abdul Somad bak katalisator dengan dalil-dalil shahih (maafkan kedangkalan ilmu saya), tetap saja kita tak geming dalam pendapat, tak goyah terus berdebat.

 

Saya, tentu tidak berhak untuk menjustifikasi apapun tentang Ustaz Abdul Somad. Orang Jawa bilang, ilmumu kuwi sepiro wani-wanine ngukur wong liyan (ilmumu itu seberapa hingga berani-beraninya menakar orang). Tetapi bagi saya jelas, tindakan membutakan diri, menulikan telinga, merasa benar sendiri dan tidak mau belajar untuk memahami itu lebih dari sekadar sifat munafik yang sudah seharusnya tidak kita pelihara.

 

Akan aneh kalau kita bisa bicara mari belajar pada padi yang tumbuh di sawah lalu kita tidak mengindahkan bagaimana cara menyiram tanaman. Akan terlihat dungunya kalau kita bicara mari berguru pada alam sambil menaruh kesabaran, lalu pada manusia lainnya kita tidak mau diingatkan.

 

Membuka kembali lembaran kisah Kanjeng Nabi Musa AS yang kemudian harus berguru meluaskan pemahaman hakikat pada Kanjeng Nabi Khidr AS kita bisa belajar tentang tasyri’ dimensi illahiyah dan dimensi insaniyah. Kita boleh beradu pintar soal tafsir agama, namun satu hal pasti Allah akan menjaga kemuliaan agama itu sendiri.

 

Allah tidak pernah ragu menempatkan Kanjeng Nabi Ibrahim AS kecil dalam lingkungan keluarga pembuat berhala yang jelas-jelas menyekutukan-Nya untuk kemudian dijadikannya Kanjeng Nabi Ibrahim AS “Bapak Paranabi” yang menegakkan agama-Nya. Seperti halnya Allah tidak pernah cemas menaruh bayi kecil Kanjeng Nabi Musa AS dalam timangan raja Fir’aun dan menunjukkan pada puncak tarikh pada akhirnya Kehendak Allah-lah yang pasti akan menang.

 

Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jangan begitu. Kita terlalu gemar menaruh keberadaan para alim dalam lingkar simpul politik kemudian mengulitinya ramai-ramai dalam sudut pandang kelompok kita semenjana. Jangan begitu. Tidakkah kita belajar bagaimana Allah menghadirkan sekalian para Nabi para ahlal ‘ilm para Guru para Pencerah justru di kalangan masyarakat yang tidak pernah menyadari sendiri kebobrokannya?

 

Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jangan begitu. Ittaqullah wayu’allimukumullah, bertaqwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajarimu. Subhanallah!

 

Wonosobo, 2 Januari 2018

 

Gusblero Free

NOTE: re-upload dari konten naskah yang sama di Kompasiana.com
https://www.kompasiana.com/gusblero/menyimak-abdul-somad-berguru-kepada-khidr_5a4c4d3bab12ae14361fc954

Raden Sahid dan Empat Jalan Keutamaan

gusblero - sunan kalijaga

 

1537 Tahun Saka. Selepas geger di Tuban, Raden Sahid mengembara jauh menuju kulon. Tujuan sebenarnya Gunung Jati. Di alas Babakan ia bertemu seorang lelaki tua yang meminta tasbeh yang dikalungkan di lehernya untuk ditukar dengan sebuah cerita tentang jalan kemuliaan. Raden Sahid tertegun sejenak. Tasbeh adalah benda terakhir yang ia miliki selain pakaian lusuh yang sudah berminggu-minggu menempel di tubuhnya.

 

Sekali menegaskan pandangannya, tahulah ia siapa lelaki tua yang kini bersila di hadapannya. Dengan membungkuk ia menyembah, mengambil tasbeh yang melingkari lehernya, lalu menghaturkannya dengan penuh penghormatan. Dua berdua mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan di bawah pohon rindang dengan sebuah mata air memancar di sisinya.

 

Cerita tentang jalan keutamaan menuju kemuliaanpun mengalir. Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Lelaki tua itu juga mengajarkan jangan sampai Agama sebagai ageming aji menghambat Raden Sahid dalam pergaulan dengan sesamanya, kecuali Pangeran Jati memang telah memberikan dawuh-Nya.

 

Mengikuti saran lelaki tua yang ditemuinya tersebut, Raden Sahid kemudian ngawula (bekerja laiknya orang kecil) kepada Adipati Agung Urawan. Dalam pengelanaan ini Raden Sahid menggunakan nama Durahman.

 

Adipati Agung Urawan sangat sayang kepada Durahman. Suatu hari, ia diajak berburu ke hutan, tetapi senjata Sang Adipati tertinggal di istana. Durahman disuruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden Taruna, anak Patih Yodipati. Cerita tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan yang pertama terjadi, jangan suka membuka rahasia orang lain.

 

Durahman segera kembali ke hutan dengan membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera mendahului menyusul suaminya ke hutan dengan kereta, serta mengadukan bahwa Durahman telah hendak berlaku tidak senonoh kepada dirinya. Mendengar cerita itu Adipati Agung Urawan meradang. Tanpa pikir panjang, Adipati Agung Urawan kemudian menulis sepucuk surat kepada Patih Yodipati yang isinya menitahkan orang yang membawa surat harus dibunuh. Jika tidak, Patih Yodipati sendiri yang akan dipenggal kepalanya.

 

Adipati Agung Urawan kemudian mengutus Durahman mengantarkan surat itu. Setelah itu Adipati Agung Urawan meredakan kegelisahan istrinya dengan menjelaskan bahwa yang telah mencoba merusak pagar ayu taman kautaman akan segera dibunuh oleh Patih Yodipati.

 

Dalam perjalanan, Durahman bertemu dengan Raden Taruna. Keduanya lalu berjalan bersama ke kepatihan. Ditengah perjalanan, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta keduanya untuk singgah. Cerita tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan yang kedua pun terjadi, jangan menolak rezeki. Teringat wejangan lelaki tua di alas Babakan, Durahman pun lalu singgah dan ikut berkenduri.

 

Raden Taruna yang tidak sabar menunggu hingga kenduri, secara diam-diam mengambil surat dari Adipati Agung Urawan yang dibawa oleh Durahman. Ia menyelinap pergi meninggalkan Durahman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada ayahnya. Dan sekejap setelah membaca isi surat itu, tanpa bertanya lagi Patih Yodipati menuruti isi perintah: ia penggal kepala anaknya hingga meninggal seketika. Tidak lama kemudian, Durahman tiba di rumah Patih Yodipati yang segera menyuruhnya mengambil mayat Raden Taruna untuk dihadapkan pada Adipati Agung Urawan.

 

Adipati Agung Urawan terkejut melihat kedatangan Durahman yang membawa mayat Raden Taruna. Ia lalu bertanya menyelidik, termasuk juga kepada istrinya, hingga kemudian sadar dan memahami kebohongan apa yang sebenarnya telah terjadi.

 

Paska kejadian itu Adipati Agung Urawan bertambah sayang kepada Durahman. Selanjutnya ia mengangkat Durahman menjadi duta khusus menemui Ratu Leuweungan di kerajaan Halimun yang terletak di pesisir kidul.

 

Kunjungan Durahman di kerajaan Halimun tidaklah semulus yang dibayangkan. Selain terjebak dalam oyot nimang, berputar-putar arah tetapi kembali ke tempat yang sama, ia juga harus terlibat dalam banyak ujian dan pertempuran hingga kemudian berhasil menundukkan sang Ratu.

 

Dan itu ternyata bukan babak akhir. Sang Ratu mau menjadi sekutunya asalkan Durahman bersedia menikahinya. Syarat itu tak bisa ditolaknya, hingga cerita lelaki tua tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan pun terjadi lagi.

 

Malam hari saat hendak tidur Duraman teringat kembali wejangan bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan dengan berpura-pura tertidur. Beranjak larut Ratu Leuweungan yang merasa kesal dan diserang lelah akhirnya pun tertidur  juga.

 

Tengah malam Durahman bangkit dari ranjangnya. Saat duduk termangu sambil memandang tubuh sang mempelai, tiba-tiba seekor kelabang putih keluar dari aurat Ratu Leuwungan dan menyerangnya. Sigap kelabang putih itu ditangkapnya dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang kelak dikenal sebagai keris Kalamunyeng.

 

Keesokan paginya, rakyat negeri Halimun sudah terlihat berkumpul di depan istana sambil membawa keranda. Kisah yang selama ini sudah sering terjadi, setiap orang yang menikah dengan Ratu Leuweungan keesokan harinya pasti meninggal. Kemunculan Durahman sebagai lelaki pertama yang keluar dari ranjang sang Ratu tak pelak membuat semua jadi terkejut. Dan sang Ratu yang tak ingin kehilangan wajah di hadapan rakyatnya segera menceburkan diri ke dalam pusaran laut kidul, tempat mana ia bersumpah diri menyerahkan janji setia kepada Durahman alias Raden Sahid hingga kapan pun waktunya!

 

Gusblero Free, 8 Januari 2018