Pernikahan Jayabaya dengan Dewi Sarah diantaranya menurunkan Dewi Pramesti yang kemudian menikah dengan Astradarma dan melahirkan Anglingdarma, dan seterusnya.
Secara pribadi saya tidak tahu percis kisahnya, bahkan sama sekali tidak menyangka pernah berada di wilayah yang dianggap ‘werid’ ato keramat itu. Dalam bayangan imajiner saya (dan ini juga bisa sangat salah) saya hanya melihat ‘angkin’ dengan rentetan kutukan tak berujung. Selembar angkin, saya tidak tahu apakah jika itu berada di tangan yang tepat akan bisa memupus serangkaian fenomena penuh tumbal itu…
Sejarah Anglingdarma tidaklah sesyahdu laiknya kisah raja-raja atau pangeran jaman now. Hidupnya penuh melodrama dan babak belur dengan rentetan simbolik yang tak gampang kita cerna. Petualangan Anglingdarma mirip-mirip kisah Hercules, putera dewa Zeus, lengkap dengan bintang tamu yang aneh-aneh dalam bagian-bagian episodenya. Ada kisah manusia berubah jadi burung untuk bisa menelusup dan melakukan balas dendam, ada burung yang bisa mengabarkan di mana letak harta karun lalu merubah tuannya jadi agan-agan, dan ada pula tukang patung yang meminta kekuatan dari patung yang diukirnya sendiri.
Balas dendam yang tak terampunkan, yang tidak cukup nyawa dibayar dengan nyawa. Babad Anglingdarma mungkin saja serupa kegusaran sejarah saat Harut Marut diturunkan di bumi. Orang bisa bersalin wadag, dan membuahi perempuan yang melihatnya sebagai suaminya yang sebenarnya. Maka wajar, balas dendam yang tak lazim kemudian melahirkan kutukan karena duel satu lawan satu tak bisa dihadirkan.
Ketika sihir menjadi wujud kesaktian personal yang secara hukum disahkan, tak pelak drama tentang kegaiban itu bisa diamini lewat jalan apa saja, yang mau tidak mau kita dipaksa untuk mempercayainya. Jelasnya, kisah Anglingdarma pasti terjadi pada abad-abad gelap ketika manusia justru lebih bisa berbicara dengan bahasa perlambang ketimbang dengan mulutnya.
Entahlah…..saya bukan highlander kok…
Once upon a time, there was Anglingdarma mendapati sepasang burung jalak memadu kasih pada dahan pohon yang kebetulan berada persis di atas kepalanya. Tak tahu dua jalak tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Batara Guru dan istrinya Dewi Uma, Anglingdarma lantas memanah sepasang burung jalak tersebut. Jebreett…
Panah itu tentu saja meleset. Entah karena para Batara memang dibekali sonar aji lembu sekilan, atau karena Anglingdarma kurang minum aqua. Tetapi Batara Guru yang sudah kadung marah, lantas mengutuk Anglingdarma akan berpisah dengan istrinya karena mengganggu keharmonisan dalam bercinta.
Terngiang-ngiang bagai kena hipnotis oleh kutukan tersebut, Anglingdarma lalu jadi loyo dalam melayani istrinya. Tentu saja Dewi Setyowati yang tak memahami alasannya, merasa terhina sekaligus kecewa, dan menganggap Anglingdarma sudah tak sudi pada dirinya. Biasa bro lagu lama, no woman no cry.
Menyadari sang bini sedang sensi-sensinya begitu, Anglingdarma lantas berusaha menenangkan dirinya dengan pergi berburu. Di hutan, dia melihat Nagagini yang merupakan istri dari Nagaraja atau Nagapertala sahabatnya, sedang berselingkuh dengan seekor Ular Tampar. Anglingdarma sontak murka dan memanah si Ular Tampar hingga mati. Sialnya, ekor Nagagini terserempet anak panah hingga terluka.
Nagagini memfitnah Anglingdarma dan mengadu pada Nagapertala bahwa Anglingdarma hendak membunuhnya. Beruntung, Anglingdarma bisa meyakinkan Nagapertala tentang kejadian yang sebenarnya sembari menunjukkan bangkai Ular Tampar yang dipanahnya. Walhasil, Nagapertala merasa ditolong kehormatannya, dan sebagai ucapan terima kasih ia mengajarkan Aji Gineng, ilmu untuk menguasai bahasa binatang kepada Angling Darma, disertai pesan agar ilmu tersebut tak boleh diajarkan kepada siapapun.
Berikutnya, Anglingdarma sudah lupa dengan kutukan Batara Guru, kembali ke kerajaan. Dia sudah rindu dengan istrinya. Sialnya saat keduanya sedang bercumbu, Anglingdarma yang sudah menguasai Aji Gineng sehingga bisa mengetahui bahasa binatang, mendengar suara cicak jantan yang sedang merayu cicak betina, karena tergiur dengan apa yang sedang dilakukan Anglingdarma dan istrinya. Seketika Anglingdarma marah dan hilang lagi selera.
Kejadian tak terduga itu benar-benar membuat Dewi Setyowati kecewa besar. Dua kali masygul dalam kondisi foreplay kali ini tak termaafkan. Malu diujung tak berujung (istilah apalagi nih? 😀 ) Dewi Setyowati lalu memilih harakiri dengan cara membakar dirinya.
Anglingdarma menyesal bukan kepalang. Ilmu yang tanpa kendali ternyata sungguh musuh terselubung yang paling nyata bagi pemiliknya. Maka, demi menunjukkan cintanya serta untuk menghormati pengorbanannya, ia bersumpah tak akan menikah lagi.
Kesamsaraan ternyata tidak berakhir disitu. Cinta, deritanya tiada akhir, begitu kata Ki Pat Kay dalam lakon Sun Go Kong. Sumpah Anglingdarma terdengar oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Masih dendam dengan Anglingdarma, Dewi Uma mengajak Dewi Ratih untuk menguji sumpah Anglingdarma.
Keduanya merubah diri menjadi dua wanita cantik dan menggoda sang Prabu Malawapati, hingga runtuhlah keteguhan sumpah Anglingdarma, dia menanggapi godaan dua gadis cantik tersebut. Lalu begitu Anglingdarma bertekuk lutut dalam buaian amor, saat itulah kedua gadis merubah dirinya kembali menjadi dua Dewi Kahyangan.
Dewi Uma kemudian menghukum Anglingdarma dengan menyuruhnya mengembara meninggalkan istana, dimana akan banyak godaan yang harus dihadapi Anglingdarma untuk mempertebal imannya. Kerajaan Malawapati untuk sementara diperintah oleh Batik Madrim.
Dalam pengembaraannya kemudian, Angling Darma sampai di kediaman tiga gadis cantik yang bernama Widata, Widati dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Anglingdarma hingga menahannya untuk pergi. Anglingdarma mengiyakan. Namun bukan sebab-sebab asmara semata, ia terusik untuk menyelidiki tingkah aneh ketiga gadis tersebut yang sering keluar malam.
Hingga suatu malam, saat ketiga gadis tersebut keluar rumah, Anglingdarma segera merubah dirinya menjadi seekor Burung Gagak untuk mengikuti kemana ketiga gadis itu pergi. Rupanya, Widata, Widati dan Widaningsih adalah tiga putri siluman yang suka makan daging manusia. Tentu saja Anglingdarma tak bisa lantas tinggal diam.
Ia mengecam perbuatan ketiga putri siluman itu, namun lantaran masih terkejut dengan apa yang baru dilihatnya, Anglingdarma justru kalah melawan ketiga putri siluman itu, yang lalu mengutuknya menjadi seekor burung belibis putih. Saat menjadi burung belibis itulah, kepercayaan diri Anglingdarma hampir terkikis habis….
Ya udah teruskan sendiri ceritanya….saya tahunya baru segitu kok…
Swear, bukan niat saya hendak main-main. Sesusah-susahnya mempelajari ilmu agama, ternyata lebih susah mempelajari antropologi budaya yang berisi etnolinguistik, prehistori, etnologi yang bias antara mana perlambang mana kenyataan. Padahal kasat mata daya linuwih kekuatan manusia itu di mana-mana juga sama. Sejarahnya juga hampir sama. Kalau di Baghdad ada kisah seribu satu malam, di negeri kita juga ada kisah Tantri Kamandaka, yang narasinya juga serupa.
Berbicara soal petualangan sih kelihatannya asyik, namun dalam konteks agama keseluruhan cerita itu dikategorikan dalam kisah-kisah Israiliyat, merujuk pada sesuatu yang tidak penting.
Seribu keasyikan membaca kisah-kisah seperti itu, bagi saya lebih menentramkan memperdalam ilmu tentang rasa syukur seperti apa yang telah diajarkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq:
”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah mengilhamkan kepadanya ketaatan, membiasakan dirinya dengan qana’ah (menerima apa yang ada), mengkaruniakan baginya pemahaman agama, menguatkannya dengan keyakinan, mencukupkannya dengan sifat al-kafaf (rezeki yang memadai), memeliharanya dengan sifat al-‘afaf (dijauhkan dari yang tidak halal), serta memakaikannya Ghina (kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain).
Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan menjadikannya mencintai harta dan memudahkan baginya untuk memperolehnya, mengilhamkan kepadanya dunianya, menyerahkannya pada hawa nafsunya, serta membiarkannya mengendarai al-‘inaad (keras kepala), mudah berbuat fasad (kerusakan), dan mendholimi hamba-hamba-Nya.” Wallahu A’lam Bishawab.
Gusblero Free