44. Teman Yang Baik

“Aku mencintai orang-orang shalih, meski aku bukan termasuk golongan mereka, semoga aku bisa mendapatkan keberkahan dari berkumpul dengan mereka.

 

Dan aku membenci kelakuan orang-orang yang dzalim, meski mungkin kelakuanku tidak lebih baik dari mereka, semoga Allah menyelamatkanku dari keburukan dan perbuatan yang bisa mencelakakanku.”

 

Itulah status yang ditulis oleh Imam Syafi’i pada kurang lebih tiga belas abad silam. Status, yang bahkan setelah melewati abad demi abad waktu, masih tetap relevan dan secara kontekstual bisa mengikuti perubahan zaman.

 

Peradaban berbenah, namun kecenderungan manusia tak berubah, karena pada asalnya karakter manusia itu sama, dipenuhi hawa nafsu. Secara umum manusia menggunakan nafsunya sendiri sebagai kendaraan dalam meraih keinginannya, dan sedikit dari mereka berhasil mengendalikan ini, lalu berhasil dalam mewujudkan cita-cita.

 

Seorang manusia shalih ibarat air jernih yang bisa diraup oleh kedua telapak tangan, diteguk ke dalam kerongkongan demi menghilangkan dahaga. Keshalihan seseorang tidaklah gelap tak tampak atau sebuah nama tanpa bentuk. Ia bak cermin bening yang memantulkan cahaya. Engkau akan merasakan keshalihan seseorang saat bertatap mata dengannya, mendekatkan lutut pada lututnya, berdialog dan berbicara dengannya. Keshalihan hampir selalu akan dan dapat terbaca, meski dalam kilas waktu yang sangat singkat. Karena ia adalah bahasa indah hati yang terpancar dalam gerak, perbuatan dan ucapan. Bila keshalihan tak terbaca maka bagaimana engkau bisa menemukan pemiliknya, apalagi menobatkan dirimu sebagai temannya.

 

Begitulah hendaknya kita dalam memilih teman. Teman yang baik adalah sahabat-sahabat kita disepanjang kehidupan kita di dunia ini, dan ia juga akan menjadi sahabat-sahabat kita dikehidupan akhirat nanti. Namun semua bentuk-bentuk kedekatan ini tidak bisa diciptakan disebabkan kesamaan kepentingan duniawi semata, persahabatan secara ruhaniah memunculkan nilai-nilai spiritualitas lebih tinggi. Seseorang memikirkan sahabatnya karena Allah, itu merupakan bentuk rasa syukur dari keinginan untuk berbagi.

 

Seorang yang alim menyampaikan, jika dikehidupan yang lalu kita tidak pernah saling mengenal apalagi bersinggungan, maka dikehidupan kini dia juga tidak akan dipertemukan, begitu pun dikehidupan yang akan datang, mustahil keduanya akan bisa saling membantu dan berjalan seiring sejalan.

 

Suatu saat beberapa sahabat bertanya, “Karib seperti apa yang baik untuk kami?” Rasulullah SAW menjawab, “Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah.” (HR. Abu Ya’la, dihasankan Al-Busrin). Sabda Rasulullah SAW yang lain, “Sesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah.” (HR. Ibnu Hibban, disahihkan oleh beliau).  

 

“Pemisalan seorang teman yang shalih adalah seperti penjual minyak wangi. Kalaupun ia tidak memberikan minyak wanginya, setidaknya kita mendapatkan aromanya yang semerbak. Sementara perumpamaan teman yang jahat, tak ubahnya pandai besi. Kalaupun kita tak terkena asap hitamnya, setidaknya kita akan mencium bau busuk dari tungkunya.” (HR. Abu Dawud)

 

Perkataan seorang yang shalih itu menyejukkan, tutur katanya indah untuk dicerna dan dirasa. Tindak tanduknya santun berusaha menepati petunjuk Al Qur’an dan tuntunan Nabi SAW. Sahabat Nabi SAW dengan gamblang menjelaskan pribadi beliau, “Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam adalah pribadi yang tidak suka berbicara keji atau membiasakan diri berkata keji, tidak suka mengutuk dan mencaci maki.”

 

Ali bin Abi Thalib menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang selalu ceria, supel, santun, tidak kasar dan bengis, tidak suka berteriak-teriak, tidak suka mencaci dan tidak kikir.”

 

Sebaliknya, seorang yang ahli maksiat tak akan mampu berlama menyembunyikan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Selalu saja perbendaharaan keburukan yang ada di dalam hati akan tersingkap dalam ucapan dan perbuatan. Benarlah sebuah ungkapan: “Setiap kali seseorang menyembunyikan sesuatu dalam hatinya, pasti akan ditampakkan oleh Allah Azza wa Jalla melalui mimik wajahnya dan gerakan lisannya.”

 

Memilih seorang teman yang shalih bukan saja sebuah keniscayaan, namun juga merupakan kebutuhan. Karena bagaimana mungkin engkau akan mampu tenang hati saat kepalamu dijejali dengan kata-kata kasar seorang yang tak shalih. Bagaimana mungkin pandanganmu akan tenteram menyaksikan tingkah polah seorang yang kasar perilaku. Teman yang shalih adalah kebutuhan dimasa ini dan mendatang. Ia masih ada dan bisa dicintai dalam suasana apapun, kapan pun, dan di mana pun saatnya kau berada!

 

 

gusblero - teman yang baik

 

Seorang yang alim menyampaikan, jika dikehidupan yang lalu kita tidak pernah saling mengenal apalagi bersinggungan, maka dikehidupan kini dia juga tidak akan dipertemukan, begitu pun dikehidupan yang akan datang, mustahil keduanya akan bisa saling membantu dan berjalan seiring sejalan.

 

Gusblero Free

Bulu

gusblero - bulu

 

Iman kita seperti bulu

Yang kita kagumi keindahannya laksana merak

dengan malu-malu

 

 

Hari ini aku ingin mengajakmu memperhatikan bulu-bulu itu

Bukankah itu yang kamu senangi

Bulu-bulu yang tumbuh di jari lentik kekasihmu

Bulu-bulu yang tumbuh di dagu, di dada, juga di alat kelaminmu

Bukankah itu yang selama ini menghabiskan banyak waktumu

 

 

Iman kita seringan bulu

Yang gampang tertiup angin

Namun dengannya kita berharap bisa terbang melambung

Iya memanglah begitu

Seringan bulu apapun kita berharap iman kita bisa menjadi sayap

Sayap yang mengepak kuat-kuat menuju langit

 

 

Hari ini aku ingin mengajakmu memperhatikan bulu-bulu itu lagi

Bulu-bulu yang tumbuh pada kamu

Bulu-bulu yang gosong

karena matahari terbit pagi dan kamu bangun di siang bolong

Bulu-bulu yang engkau sembunyikan di balik jaketmu

Saat engkau masuk diskotik dan takut kelihatan bulu-bulumu

Bulu-bulu imanmu, bulu-bulu yang membedakanmu dengan mahluk tak berbulu

Celengan babi, patung artis, dan segala yang klimis kronis tanpa pandang bulu

 

 

Iman kita memang seperti bulu

Kenapa harus dirisaukan

Apa yang engkau risaukan

 

 

Iman kita memang seperti bulu

Bulu-bulu yang menghangatkan hidup

Bulu-bulu yang memberi harapan hidup

Bulu-bulu yang akan menjadi sayap

Sayap yang akan mengepak kuat-kuat menuju langit

 

 

Gusblero Free, 31 Desember 2015

Dreamland

gusblero - dreamland

 

Tubuhmu mencair tandas dalam gelas

Senja melihatmu pertama kali menjadi hari paling kusesali

Perempuan misterius yang kerap hadir dalam khayalku itu ternyata ada

Dan kini harus kuhadapi berkali-kali

 

 

Pada banyak wanita mungkin aku sering terpesona

Tapi tidak untuk jatuh seperti ini

Aku melihat dreamland, aku melihat cahaya pagi

Dan lelaki gunung menambat elang di cakrawala

 

 

Hari berlalu dan kisah tubuh yang mencair mungkin akan segera berakhir

Tetapi astaga, kusadari engkau telah menjadi toksin dalam pikiranku

Menjadi mimpi yang tak berkesudahan

Hingga tiba suatu masa suatu hari

 

 

Gusblero Free, 21 Juli 2016

Pelan Kumasukkan Malam

 

gusblero - pelan kumasukkan malam

 

Pelan kumasukkan malam dalam tubuhku

Malam tenanglah pelan-pelan diam dalam heningku

Pelan kubiarkan malam meruang dalam diriku

Malam leburlah pelan-pelan lindap dalam keningku

 

 

Kubiarkan rinduku yang lapar menuruni lembah

Padang gurun belantara hingga palung benua

Kubiarkan hatiku yang gusar mencari bunga ratri

Aku tak akan menyerah

 

 

Pelan kumasukkan malam dalam rinduku

Aku bisa berbohong pada dirimu, berbohong pada semua orang

Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri

: aku mencintaimu

 

 

Gusblero Free

Dalam Ruangku

gusblero - dalam ruangku - puisi

 

Dalam ruangku bisakah kau jaga rahasiaku, kasihku

Agar kunci yang kuberikan tak kau khianati lagi

Pada lampu warna-warni yang sembunyikan rona di pipi

Bunga kertas berterbangan

Dan malaikat di langit bernyanyi

 

 

Melambung tinggi

Berikan padaku sayapmu aku akan melambung tinggi

Melambung tinggi

Dalam cahaya dua matamu aku akan melambung tinggi

 

 

Bisakah kau jaga bunga yang kutanam tetap tumbuh, kasihku

Di ruang tak berbentuk yang bernama fantasi

Aku mengenang senja saat kau datang tanpa wajah dosa

Engkau yang begitu bersinar

Saat hari kelam sunyi dan mati

 

 

Aku menimbang

Dalam hujan badai dan cahaya menyilang aku menimbang

Aku menimbang

Antara diam atau berlari menjemputmu aku menimbang

 

 

Engkaulah kecantikan yang hilangkan kebencianku, kasihku

Rumah kembali dari segala hal yang menyakitkan

Engkaulah kolam di belakang rumah tempat kita berbincang

Engkaulah cahaya waktu hari-hari akan kuungkapkan

Cintaku padamu

 

 

Gusblero Free, 30 September 2016

Maqdis

 

maqdis

 

menjelang pagi aku sering merasa sendiri

tapi tidak seperti di Bethlehem saat kutinggalkan engkau,

di sini adzan subuh sudah terdengar

dilantunkan dengan suara serak

panggilan itu lebih mirip orang merintih.

 

 

dan Maqdis,

bagaimana kerinduan bisa dilunaskan hanya dengan menuliskan tentangmu?

mendengar suaramu dalam telepon hanya membuatku panas,

satu yang tak terobati kecuali dengan hembusan nafasmu

dan bagaimana pula aku akan menghitung seberapa jauh kita bisa membuktikan ikrar

sementara waktu hanya berlalu menderu dalam debu

 

 

memandangi kejauhan kota

dan alamatmu yang tenggelam dalam kabut

aku tak melihat apa pun

kecuali keyakinan yang kutanam dan kujaga agar tetap subur

bahwa di mana pun engkau berada aku akan menemukanmu

suatu saat….suatu saat….

 

 

di sini aku melihat takdirku, dipisahkan dari Bethlehem yang jauh,

di negeri asing ku tenggelam dalam tangisan seperti

perantau yang kesepian dan kini ku menyadari sebaiknya

negeriku tak ku tinggalkan

 
Gusblero Free, 13 Mei 2011

Langit Biru, Biru Langit

gusblero - biru langit langit biru

Bahkan saat saling memunggungi terasa ada yang tidak bisa dipisahkan

antara kabut di pegunungan dan embun di daunan

Kita berpencar mencari arah, dan di ladang padi kulihat tanganmu melambai

“Ke sini sayang,” begitu ucapmu

Di atas gunung helikopter menderu dengan spanduk melambai-lambai

“Apakah engkau tidak ingin melihat kota?” bunyinya

 

Lelaki itu membanting bayangan matahari yang menyilaukannya

Ada yang diingini namun tak kunjung dijumpai

Ada yang tertinggal dan harus dimaknai sebagai miliknya

Sejati

 

Gusblero Free, 19 Desember 2014

43. Murid Khidr

Dijaman modern ini kegaiban masih menjadi tema yang menarik. Kian terhimpitnya manusia dari segudang persoalan-persoalan kehidupan membuat banyak orang menoleh pada sesuatu yang bersifat supranatural. Satu sisi ada nilai-nilai kebangkitan spiritual dari insomnia panjang yang membuat orang menoleh pada pelajaran-pelajaran lama yang berisi hikmah, namun celakanya proses penghidmatan pengetahuan itu tidak dibarengi kesadaran faktual bahwa mereka hidup dijaman terkini.

 

Perbincangan tentang kedatangan Imam Mahdi terus dibahas, segala gejala mengenai isyarat zaman akhir terus diperdengungkan. Dijaman ini kelakuan banyak orang seperti siswa pandir yang gagal mengambil intisari halaman demi halaman sunatullah, hukum kejadian Allah, lalu tergesa-gesa kepingin membaca isi buku di bagian-bagian terakhir.

 

Hipotesa-hipotesa tentang makrifat juga disusun, dan tak jarang orang melengkapinya dengan berbagai ilmu linuwih yang bisa menunjukkan keistimewaan-keistimewaan di hadapan manusia. Kenyataannya, semua itu tak menumbuhkan hikmah, kecuali hanya mengangkat derajatnya sendiri, membuat orang terpesona dengan gayanya, lalu mengikuti apa maunya.

 

Di titik inilah kita melihat bangunan-bangunan peribadatan tinggi menjulang, namun isinya sepi dari keselamatan. Masing-masing orang berfikir tentang dirinya sendiri, mencoba menggapai sorga untuk dirinya sendiri, namun ketika terjebak persoalan kehidupan, bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja ia tak mampu.

 

Banyak orang bingung, dan berita-berita tentang kerusakan menjadi menu paling sedap dan menguntungkan bagi para pewarta. Dengan sedikit ilmu, orang bermain sulap, ditambahi banyak bumbu orang menerobos batas-batas dunia lain, dan tak sadar semua itu masuk dalam perangkap jebakan permainan setan.

 

Kita terlalu jumawa untuk menyadari tingkatan ilmu yang baru kita miliki, sehingga kesadaran tentang keragaman permainan dunia membuat kita seakan sudah jago beneran. Kita lupa pelajaran-pelajaran bahkan dari orang tua kita, yang besar ngalah biar yang kecil bisa merasa senang, kita pura-pura salah biar yang kecil merasa dibenarkan. Pada akhirnya kita masuk dalam fragmen situasi yang membuat kita akan tetap bodoh karena sudah kadung puas dengan yang itu-itu saja.

 

Demikianlah tanpa sadar kita masuk dalam lingkaran halusinasi popularitas semu belaka. Orang berlomba-lomba menuntut ilmu, apapun, tujuan utamanya agar digampangkan untuk mendapatkan rejeki. Wilayah-wilayah keramat dijelajahi, peninggalan-peninggalan purba ditelusuri, mencari jejak-jejak spiritual lama agar dengan begitu namanya ikut dikenal.

 

Padahal Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak mengajarkan begitu. Dunia dan peradaban berputar dan terus melaju, dan sebagai orang beriman hendaknya juga terus meng-up date jurus-jurus ilmunya agar tetap dinamis dan ikutan melaju. Kehendak pelajaran Islam adalah kehendak yang dinamis, seperti gerakan semesta raya yang kaya dengan gaya dan perubahan, menuju garis finish, ketentuan Allah yang statis, yang tetap, namun merangkum dan melingkupi segala zaman yang ada.

 

Anehnya kita membaca segala gerak dunia itu hanya melalui primbon, anehnya kita selalu jatuh bangun terpontang-panting mengejar kegaiban yang mempunyai tarikh dan masanya sendiri-sendiri itu, tanpa kesadaran agung kenapa kita tidak menyediakan diri sebagai pilihan-pilihan terbaik bagi iradah Allah untuk melakonkan kehendak-kehendak-Nya terkini.

 

Karena bisa jadi kita akan mendapatkan hikmah yang berguna bagi keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat ini, justru dari guru yang tak disangka-sangka. Bukan dari sekadar ilmu titen berkat segenap pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dan dialami manusia, namun mungkin juga dari waliyullah tak terkenal yang tiba-tiba saja hadir dikehidupan kita.

 

Maka disinilah kita akan bertemu Khidr sebagai guru jati, guru bagi siapapun yang tak punya almamater perguruan hikmah, guru tak tergantung syarat jarak dan waktu, kecuali kesadaran diri menemukan hikmah disebalik kejadian, yang penuh kekinian, tanpa perlu meninggalkan kewajiban-kewajiban fitrah kita pada umumnya. Untuk mendapatkan ilmu, karena Allah, untuk membuka hijab semesta, karena kehendak Allah.

 

Kisah-kisah berikut ini barangkali akan bisa jadi sedikit gambaran, bahwa keutamaan ilmu itu tidak sekadar didapat dengan mencari, namun yang lebih utama adalah kesiapan diri dalam menerima sebagian dari petunjuk-Nya.

 

gusblero - murid khidr

 

Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh yang sangat luas kekuasaannya. Kemanapun dia pergi, empat puluh bilah pedang emas dan empat puluh batang tongkat emas kebesarannya diusung di depan dan di belakangnya oleh para hulubalang dan prajurit sang raja.

 

Pada suatu malam, ketika Ibrahim tidur di kamar istananya, mendadak langit-langit kamar berderak-derak seolah ada seseorang sedang berjalan di atasnya. Ibrahim pun terjaga dan berteriak, “Siapakah itu?“

 

“Seorang sahabat. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atap ini.“ terdengar sebuah jawaban dari atas sana.

 

“Goblok! Engkau hendak mencari unta di atas atap, mana mungkin ada di sana,“ sergah Ibrahim menahan kekesalan.

 

“Wahai manusia yang lalai, apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutra dan tidur di atas ranjang emas?“ jawab pemilik suara misterius yang tak lain adalah Kanjeng Nabi Khidr AS, penuh dengan sindiran.

 

Kata-kata itu ternyata mampu menggetarkan hati Ibrahim. Dia amat gelisah sehingga malam itu tak mampu meneruskan tidurnya lagi.

 

Saat hari telah siang, Ibrahim menuju keruang pertemuan dan duduk di singgasananya dengan pikiran yang galau memikirkan sensasi yang dialaminya semalam. Sementara itu, para menteri telah berdiri di tempatnya masing-masing, dan para hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Semuanya siap menunggu titah sang Raja.

 

Ketika acara pertemuan akan dimulai, tiba-tiba seorang lelaki berwajah amat menakutkan masuk kedalam ruangan. Wajah si lelaki yang teramat menakutkan telah membuat tak ada seorang pun yang berani menegurnya, apalagi menanyakan nama dan maksud kedatangannya. Lidah mereka mendadak kelu. Sementara, dengan langkah yang tenang, lelaki itu melangkah menuju ke singgasana Raja.

 

“Apakah yang engkau inginkan?“ tanya Ibrahim dengan memberanikan diri.

“Aku baru saja sampai di persinggahan ini,“ jawab lelaki itu.

“Ini bukan tempat persinggahan para kalifah. Ini adalah istanaku. Apakah engkau sudah gila!“ hardik ibrahim yang sudah habis kesabarannya.

“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?“ tanya lelaki itu.

“Ayahku!“ jawab ibrahim, memendam kekesalan.

“Dan sebelum Ayahmu?“

“Kakekku!“

“Dan sebelum kakekmu?“

“Ayah dari kakekku!“

“Dan sebelum dia?“

“Kakek dari kakekku!“

“Kemanakah mereka sekarang ini?“

“Mereka telah tiada, wafat.“

“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?“

 

Setelah berkata demikian, lelaki yang sesungguhnya adalah Kanjeng Nabi Khidr itu langsung menghilang. Demikianlah, dengan seizin Allah, Khidr adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim. Dan dikemudian hari, Ibrahim menjadi salah seorang tokoh sufi terkenal, dan perbuatannya banyak menghiasi kitab tasawuf.

 

Kisah lain seorang tua berwajah cerah berseri-seri dan mengenakan jubah yang anggun, pada suatu hari melewati gerbang Banu Syaibah dan menghampiri Abu Bakar Al-Kattani yang sedang berdiri dengan kepala menunduk. Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata, “Mengapakah engkau tidak pergi ke maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan dia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”

 

“Siapakah perawi dari hadits-hadits yang dikhutbahkannya itu?” tanya Kattani.

“Dari abdulah bin ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad,“ jawab orang tua itu.

“Sebuah rangkaian panjang. Segala sesuatu yang dia sampaikan melalui rangkaian panjang para perawi, dan kita dapat mendengar langsung khutbahnya di tempat tersebut dari tempat ini,“ kata Kattani.

“Melalui siapakah engkau mendengar?“ tanya lelaki tua itu.

“Hatiku menyampaikannya kepadaku, langsung dari Allah.“ jawab Kattani.

“Apakah kata-katamu dapat dibuktikan?“ tanya orang tua itu lagi.

“Inilah buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidr AS.”

Orang tua itu tersenyum. “Selama ini aku mengira tak ada sehabat Allah yang tidak kukenal. Namun ternyata engkau, Abu Bakar Kattani, tidak kukenal tetapi engkau mengenalku. Maka, sadarlah aku masih ada sahabat-sahabat Allah yang tidak kukenal namun mereka mengenalku.‘ kata Kanjeng Nabi Khidr AS.

 

Cerita lain lagi pada suatu waktu, ketika masih kanak-kanak, Muhammad bin Ali Tarmidzi (yang kemudian dikenal dengan nama Al Hakim) bersama dengan dua anak lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan guna menutut ilmu. Ketika akan berangkat, ibunya pun nampak sangat bersedih.

 

“Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda pergi, tak ada seorang pun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini ananda tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?” kata sang bunda dengan berurai air mata.

 

Kata-kata itu menggoyahkan Tarmidzi. Dia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara untuk mencari Ilmu.

 

Suatu hari, Tarmidzi duduk di sebuah pemakaman sambil meratapi nasibnya. ”Di sinilah aku. Tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, sedang kedua sahabatku itu, nanti akan kembali sebagai orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi,“ keluhnya lagi.

 

Tiba-tiba di hadapan Tarmidzi muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Dia menegur Tarmidzi, “Nak, mangapakah engkau menangis hingga sesedih itu?“

 

Tarmidzi lalu menceritakan segala persoalan yang tengah dihadapinya.

 

“Maukah engkau menerima pelajaran dariku setiap hari sehingga dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?” tanya orang tua itu kemudian.

“Aku bersedia.“ jawab Tarmidzi dengan kegirangan.

 

Sejak itu, orang tua itu memberikan pelajaran kepada Tarmidzi. Setelah tiga tahun berlalu, barulah dia menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Kanjeng Nabi Khidr AS. Tarmidzi memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena dia berbakti kepada Ibunya.

 

Menurut Abu Bakr Al Warraq (salah seorang murid Tarmidzi yang kemudian menjadi seorang sufi besar dan dijuluki guru para wali), setiap hari minggu, Nabi Khidr mengunjungi Tarmidzi dan kemudian memperbincangkan berbagai persoalan.

 

Dikisahkan pada suatu hari Tarmidzi menyerahkan buku-buku karyanya kepada Al Warraq untuk dibuang kesungai Oxus. Ketika diperiksa, ternyata buku-buku tersebut penuh dengan seluk beluk dan kebenaran kebenaran mistis (Tasawuf). Al Warraq tak tega untuk melaksanakan perintah Tarmidzi, buku-buku tersebut dia simpan di dalam kamarnya. Kemudian dia katakan kepada sang guru bahwa buku-buku itu telah dilemparkannya ke sungai.

 

“Apakah yang engkau saksikan setelah itu?“ tanya Tarmidzi.

“Tidak satupun,“ jawab Al Warraq.

“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu kedalam sungai. Pergilah dan buang segera buku-buku itu,“ perintah Tarmidzi.

 

Al Warraq tak bisa lagi membantah perintah gurunya. “Mengapa dia ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Apakah gerangan yang akan kesaksikan nanti?“ Tanya Al Warraq dalam hati sambil berjalan menuju ke sungai Oxus.

 

Setibanya di tepi sungai, Al Warraq melemparkan buku-buku yang sangat tinggi nilainya itu. Ajaib! Seketika itu juga air sungai terbelah. Lalu nampak sebuah peti yang terbuka tutupnya dan buku-buku itu pun jatuh kedalamnya. Setelah tutup peti itu mengatup. Air sungai pun bersatu kembali. Al Warraq terheran-heran menyaksikan kejadian itu.

 

“Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia dibalik semua ini?“ tanya Al Warraq setibanya kembali di hadapan sang guru dan menceritakan segala kejadian yang disaksikannya.

 

“Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu tasawuf dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk difahami oleh manusia-manusia biasa. Saudaraku Khidr meminta buku-buku itu. Dan peti yang engkau lihat tadi dibawa oleh seekor ikan atas pemintaan Khidr, sedang Allah Yang Maha Besar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya,“ jelas Tarmidzi.

 

Subhanallah!.

 

Di titik inilah kita melihat bangunan-bangunan peribadatan tinggi menjulang, namun isinya sepi dari keselamatan. Masing-masing orang berfikir tentang dirinya sendiri, mencoba menggapai sorga untuk dirinya sendiri, namun ketika terjebak persoalan kehidupan, bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja ia tak mampu.

 

Gusblero Free

42. Tentang Cinta

Ada teman bertanya, apakah makna cinta yang sebenarnya? Saya tercenung, menurut saya apa yang ditanyakan teman saya itu bukanlah pertanyaan sederhana. Melihat cinta, seperti apa yang dilakukan Rumi pada Syam, jelas bukan semata perasaan ingin memiliki. Kedua-duanya yang sama-sama alim adalah sama-sama lelaki, namun dua-berdua mereka juga menyatakan cinta. Lalu seperti apakah bentuk cinta yang sesungguhnya dalam gambaran mereka?

 

Kisah Layla Majnun sebenarnya juga bukan kisah cinta antar dua manusia. Kisah ini bermula dari ‘para pecinta malam’, mereka yang saking sukanya menggunakan keheningan malam untuk ber-taqarub, asyik masyuk memuja-muja pada Allah sendiri, dengan penuh ungkapan kata cinta tentu saja. Jika cinta harus menggambarkan pengorbanan seseorang yang secara hati berani melakukannya sampai mati, bukankah mereka juga bersedia melakukannya? Lalu apa sebenarnya hakikat cinta, diluar sekadar kenyataan bersatunya sepasang lelaki perempuan yang kemudian diwujudkan dalam pernikahan dan sebagainya dan seterusnya.

 

Orang-orang yang rela maju ke medan peperangan meninggalkan keluarganya yang dicintai, apakah mereka mencari cinta yang lebih tinggi lagi? Bukan sekadar cinta yang dikerangkeng dalam perangkap kecantikan dan keelok bagusan wajah nan rupawan, kepada siapa sebenarnya orang-orang seperti itu menautkan penghambaan diri? Seluruh pertanyaan-pertanyaan ini saya yakin tidak akan pernah terjawab, saat kita tidak memahami sampai dititik mana sesungguhnya kita ingin meletakkan kebahagiaan sejati bersama orang-orang yang kita cintai yang dengannya dan dengan mereka kita ingin berbagi.

 

Seorang pecinta itu selalu ingat akan apa yang dicinta. Melihat benda-benda yang disukai teringat pada yang dicintai, karena pada dasarnya kepada yang dicintai ia ingin selalu berbagi. Melihat lagi terbayang yang dicintai, karena pada setiap nafasnya teringat pada yang dicintai. Melihat apapun selalu terfikir pada yang dicintai, karena pada setiap yang dijumpai merindukan kebersamaan dengan yang dicintai.

 

Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana atau sampai kapan seseorang ingin bersama yang dicintai. Pada awalnya orang pasti akan menjawab sampai akhir hayat. Apakah itu cukup? Tidak. Setelah mengarungi banyak kebersamaan, seseorang akan merasa mendapatkan kebahagiaan dalam kurun kebersamaan itu, dan ini menumbuhkan sikap syukur atas anugerah Allah yang telah dikaruniakan kepadanya. Lalu ia mulai berfikir untuk membuka jalan agar kebahagiaan yang dirasakan bersama bisa sampai di alam kelanggengan. Inilah yang kemudian menjadi kunci, kenapa seseorang berani terus berjuang dalam kebaikan dan ketakwaan yang mumpuni, agar Allah Yang Maha Memiliki dan Menguasai Cinta memberikan keridhoan baginya untuk bisa terus bersama dengan orang yang dicintai.

 

Dan cinta yang begini, tentu saja tak terhijab hanya pada sebatas fisik lelaki dan perempuan. Ia melampaui batas-batas itu. Gambaran penyerahan Kanjeng Nabi Ibrahim AS yang mengikhlaskan Kanjeng Nabi Ismail AS dalam peristiwa diujinya iman dengan permintaan pengorbanan, jelas bukan semata sikap ketundukan ibarat seorang hamba terhadap Maharaja, namun merupakan manifestasi cinta yang kaffah, cinta yang total pada Ilahi, yang tak terbebani hal yang lain, cinta yang esensi, cinta yang nukleus, sumber inti dari dzatnya cinta.

 

Begitu juga apa yang dilakukan Kanjeng Nabi Ismail AS, ia sungguhlah mendapat jalan lapang yang sangat istimewa. Ia mencintai Allah, dan mendapat jalan pembuktian cinta itu melalui Kanjeng Nabi Ibrahim AS, bapaknya sendiri yang tentu saja juga sangat ia cintai. Inilah kemutlakan cinta dua insan yang tak ternodai lagi oleh logika. Cinta segitiga yang saling merelakan. Cinta antara Kanjeng Nabi Ibrahim AS, Kanjeng Nabi Ismail AS, dan Allahnya sendiri. Sama seperti cintanya Rumi, cintanya Syam, dan cintanya Allah sendiri pada mereka berdua.

 

Maka jika cinta bisa dinyatakan sebagai sumbernya kebahagiaan, terhadap siapapun ternyata itu bisa saja terjadi. Ketika dua insan saling merasa ‘klop’, ketika dua insan merasa ‘paling pas’ jika dalam hidup ini apapun bisa dilakukan mereka bersama, ketika dua insan merasa terbuka sesama hati untuk menerima dan mengakui bahwa semua itu adalah anugerah dan hidayah dari Allah, disinilah letak cinta mulai bermula dalam kehidupan ini.

 

Dari Anas r.a., Kanjeng Nabi SAW bersabda: “Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada di dalam diri seseorang, maka orang itu dapat merasakan manisnya keimanan. Yaitu: jikalau Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada yang selain keduanya. Jikalau seseorang itu mencintai orang lain dan tidak ada sebab kecintaannya itu melainkan karena Allah, dan jikalau seseorang itu membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke dalam api neraka.”

 

Begitulah nampaknya ‘gambaran senyatanya’ tentang cinta. Keikhlasan berbuat sesuatu bukan karena ‘ketundukan’, bukan karena perintah, bukan disebabkan tekanan, namun karena ‘perhatian agar terus bisa dalam kebersamaan’ kebahagiaan. Sama seperti keadaan orang tua yang mau bekerja keras untuk kebutuhan anaknya. Ia bekerja bukan lantaran disuruh-suruh, namun karena cinta yang ada dalam dirinya menuntut hak-haknya. Ia mencintai keluarganya karena menyayangi cinta yang ada dalam dirinya sendiri yang membutuhkan hidup. Untuk cinta terhadap dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban kepada Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi.

 

Dari Abu Hurairah ra, Kanjeng Nabi SAW bersabda: “Ada tujuh macam orang yang
akan dapat diberi naungan oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu: Imam (pemimpin atau kepala negara) yang adil, pemuda yang tumbuh (sejak kecil) dalam beribadat kepada Allah Azza wa jalla, seseorang yang hatinya tergantung (sangat memperhatikan) tempat-tempat peribadatan, dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah, keduanya berkumpul atas keadaan yang sedemikian serta berpisah pun demikian pula, seorang Ielaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan serta kecantikan wajah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya ini takut kepada Allah,” ataupun sebaliknya yakni yang diajak itu ialah wanita oleh seorang Ielaki, seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu menyembunyikan amalannya itu (tidak menampak-nampakkannya), sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang ingat kepada Allah di dalam keadaan sepi lalu melelehkan airmata dari kedua matanya.”

 

Begitulah kiranya cinta antara dua orang, cinta yang bukan Romeo dan Juliet, cinta yang bukan Julius Caesar dan Cleopatra, cinta yang bukan Roro Mendut dan Pranacitra, cinta yang bukan Marlon Brando dan Elizabeth Taylor, namun bisa jadi cinta antara dua lelaki atau dua perempuan yang saling bersahabat dan berbuat untuk terus saling mengingatkan, serta mengharap keduanya bisa terus bersama dalam kelanggengan keselamatan.

 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, engkau semua tidak dapat masuk sorga sehingga engkau semua beriman dan engkau semua belum disebut beriman sehingga engkau semua saling cinta-mencintai. Sukakah engkau aku beri petunjuk pada sesuatu yang apabila ini engkau semua lakukan, maka engkau semua dapat saling cinta-mencintai? Sebarkanlah ucapan salam antara engkau semua.” (HR. Muslim).

 

Dari Hurairah ra bahwa Kanjeng Nabi SAW pernah menyampaikan ada seorang Ielaki berziarah kepada seorang saudaranya di suatu desa lain, kemudian Allah memerintah Malaikat untuk melindunginya di sepanjang jalan. Lalu sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.” (Riwayat Muslim).

 

Dari Mu’az ra, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman, orang-orang yang saling cinta-mencintai karena keagungan-Ku, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid, mereka yang mati dalam peperangan untuk membela agama Allah.”

 

Dari Abu ldris al-Khawlani rahimahullah, katanya: “Saya memasuki masjid Damsyik, tiba-tiba di situ ada seorang pemuda yang bercahaya giginya (suka sekali tersenyum) dan sekalian manusia besertanya. Jikalau orang-orang itu berselisih mengenai sesuatu hal, mereka lalu menyerahkan persoalan itu kepadanya dan meminta pendapatnya. Lalu saya bertanya mengenai dirinya, dan menerima jawaban: “Ini adalah Mu’az bin Jabal.”

 

Setelah hari esoknya saya datang pagi-pagi sekali ke masjid, dan mendapati Mu’az sudah mendahului lebih pagi. Saya lihat ia sedang bersembahyang, hingga saya menantikannya menyelesaikan shalatnya. Seterusnya sayapun mendatanginya dari arah depannya dan mengucapkan salam. Dan saya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya saya ini mencintaimu karena Allah.”

Ia berkata: “Karena Allah?”

Saya menjawab: “Ya, karena Allah.”

Ia berkata lagi: “Karena Allah?”

Saya menegaskan lagi: “Ya, karena Allah.”

 

Tiba-tiba Mu’az mengambil belitan selendangku, dan menarik tubuhku kepadanya, lalu berkata: “Bergembiralah engkau, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, dalam Hadis Qudsi: Wajiblah kecintaanKu itu kepada orang-orang yang saling cinta-mencintai karena Aku, duduk-duduk bersama karena Aku, saling ziarah-
menziarahi (mengunjungi) karena Aku, dan saling hadiah-menghadiahi karena Aku.”

 

Kecintaan terhadap seseorang memang harus dinyatakan. Keutamaan mencintai karena Allah menganjurkan sikap yang demikian agar kita bisa saling mengingatkan, saling memberikan nasehat dan menguatkan semangat menuju jalan keselamatan yang diridhoi-Nya.

 

Dari Abu Karimah al-Miqdad, Rasulullah bersabda: “Jikalau seseorang itu mencintai saudaranya, maka hendaklah memberitahukan pada saudaranya itu bahwa ia mencintainya.” (HR. Imam Abu Dawud dan Tarmidzi).

 

Dari Anas ra, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Diceritakan bahwa ada seorang lelaki yang berada di sisi Kanjeng Nabi, kemudian ada seorang lelaki lain berjalan melaluinya. Maka ketika orang yang lewat itu melintas di dekatnya, orang pertama berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mencintai orang itu.”

 

Rasulullah bertanya: “Adakah engkau sudah memberitahukan padanya tentang itu?”

Ia menjawab: “Tidak, belum saya beritahukan.”

Rasulullah bersabda: “Beritahukanlah padanya.”

 

Orang itu lalu menyusul orang yang melaluinya tadi, dan berkata: “Sesungguhnya saya mencintaimu.”

Orang itu lalu menjawab: “Engkau juga dicintai oleh Allah, yang karena Allah itulah engkau mencintai aku!”

 

gusblero - tentang cinta

 

Seorang pecinta itu selalu ingat akan apa yang dicinta. Melihat benda-benda yang disukai teringat pada yang dicintai, karena pada dasarnya kepada yang dicintai ia ingin selalu berbagi. Melihat lagi terbayang yang dicintai, karena pada setiap nafasnya teringat pada yang dicintai. Melihat apapun selalu terfikir pada yang dicintai, karena pada setiap yang dijumpai merindukan kebersamaan dengan yang dicintai.

 

Gusblero Free

41. Apel Berbuah Sorga

Ini tentang Imam Syafi’i muda. Sepulang dari pondok, santri muda itu harus membayar mahal untuk sepotong apel yang telah ditelannya di sebuah sungai: ia harus menikahi anak pemilik kebun. Perempuan lajang yang konon buta, tuli, bisu dan lumpuh.

 

Pikirannya gentar, tapi hatinya menyala cahaya: akad itu dilakoninya. Dan benar tentang perempuan itu: yang buta dari melihat hal-hal yang tak pantas, tuli dari riang gosip, bisu dari gunjing sesama, dan lumpuh melangkah ke yang tak semestinya!

 

gusblero - apel surga1

 

Lapar. Melewati padang sabana yang jauh tubuh Syafi’i mulai diguncang keletihan. Siang yang teruknya tak terbahyangkan (begitu istilah Datuk Sri Bengali kalau pas bercerita), jelas membuat santri muda yang kalau di pondok menunya cuma makan sayur kangkung dan ikan asin itu menjadi sempoyongan. Maka sejurus kemudian ketika dilihatnya ada sebuah sungai terbentang di hadapannya, dia aghitsna nyemplung, kungkum dengan suksesnya. Fresh again, sekujur tubuh merasa nyam-nyam lagi seketika.

 

Santri yang berbahagia. Begitu sederhananya tempat kita untuk menemukan rumus kenikmatan yang ada. Wayah ngantuk iso turu, wayah sumuk nemu banyu (saat ngantuk bisa tidur nyenyak, saat gerah tiba-tiba dapat sesuatu yang menyegarkan).

 

Tapi cerita tidak berhenti disitu. Pelajaran berikutnya adalah tentang betapa tipisnya batas antara kesenangan dan ujian, dan juga harga yang harus dibayar untuk apapun kehendak kita dalam meraih kenikmatan, pun juga dengan Syafi’i.

 

Terbebas dari letih yang mendera, giliran kini perut yang minta dipenuhi bagiannya. Aaarrrggkh…..! Berkali-kali ia menuangkan air sungai ke dalam perut untuk menenangkan rasa laparnya, tak berhasil. Justru seperti hal lain dalam hidup ini, sekali ia diberi celah lalu keterusan minta dipenuhi, sama dengan rasa lapar itu. Ia meniupkan nafas panjang dari mulutnya, lapar itu masih meronta hingga membuat perutnya berbunyi.

 

Udara masih panas disiang itu, angin berhembus perlahan menyisiri tepian sungai. Menajamkan pandangan ke sekeliling, tiba-tiba Syafi’i melihat sepotong apel mengapung menuju ke arahnya. Alhamdulillah!

 

Sepotong buah berwarna merah itu serenta disongsongnya. Lalu dengan gigi yang gemerutuk buah itu dikunyahnya, lembut dan manis rasanya. Apel itu digigit lagi dan dikunyah-kunyahnya, lalu……astaghfirullah!
Astaghfirullah…..astaghfirullah!

 

“Kalau ada buah apel terjatuh, berarti disekitar sini ada sebuah kebun. Dan bila ada sebuah kebun, mungkin kebun itu ada yang memiliki. Ya Allah Ampunilah hambamu yang telah memakan buah ini tanpa meminta izin terlebih dulu kepada pemiliknya,”

 

Gigitan apel di mulutnya terhenti. “Sebaiknya aku mencari dimana pemilik kebun dari buah ini, dan memohon kepadanya untuk menghalalkan buah yang telah terlanjur mengisi perutku ini.”

 

Syafi’i tersentak. Kali ini ia melihat seribu pedang langit seakan siap menghujamnya dari angkasa. Dia gemetar. Tak sekadar gentar karena ancaman pedang-pedang itu, namun karena dia yakin apabila pemilik kebun tidak memaafkannya, maka Allahpun tidak akan memaafkan kesalahannya yang telah memakan apel yang bukan miliknya.

 

Sepenuh tenaga ia berlari menepi, matanya nyalang menatap kiri dan kanan, mencari-cari rimbunan kebun disepanjang rimba perkiraan yang belum jelas di mana arahnya.

 

Terbayang pelajaran di pondok saat gurunya mengajarkan hadits Arba’in Nawawi. Nabi bersabda, sesungguhnya Allah telah berfirman:

 

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kedzaliman kepada diri-Ku dan Aku menjadikan kedzaliman itu haram diantara kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu saling mendzalimi.

 
Wahai hamba-Ku, kamu semua tersesat, kecuali yang Ku-beri petunjuk. Oleh karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.

 

Wahai hamba-Ku, kamu semua lapar, kecuali Ku-beri makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.

 

Wahai hamba-Ku, kamu semua telanjang, kecuali yang Ku-beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.

 

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu semua berbuat salah di malam dan siang hari. Sedangkan Aku mengampuni semua dosa. Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu.

 

Wahai hamba-Ku, kamu tidak akan mampu memberi mudharat (sedikit pun kerugian) kepada-Ku. Dan kamu tidak akan mampu memberi (sedikit pun) keuntungan untuk-Ku sehingga bisa memberi manfaat kepada-Ku.

 

Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia diantara kamu berada pada hati orang yang paling bertakwa di antara kamu, maka hal itu tidak akan menambah apa pun terhadap kekuasaan-Ku.

 

Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia berada pada hati orang yang paling jahat di antara kamu, maka hal itu tidak akan mengurangi apapun dari kekuasaan-Ku.

 

Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia, berkumpul di sebuah bukit dan mohon kepada-Ku. Lalu Aku mengabulkan permohonan mereka masing-masing, maka hal itu tidak mengurangi sedikitpun apa-apa yang ada pada-Ku, kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke laut dan diangkat lagi.

 

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mencatat amalmu dan membalasnya. Oleh karena itu, barang siapa mendaptkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela, selain dirinya sendiri. (HR. Muslim)

 

Setengah hari menyisir ke hulu sungai, akhirnya Syafi’i melihat satu perkebunan luas yang isinya di sini apel di sana apel. Di pintu perkebunan itu dia meneriakkan salam, lalu disalam ketiga seseorang muncul. Syafi’i bergegas mendekatinya.

 

 

“Apakah tuan pemilik kebun ini?” tanya Syafi’i.

“Bukan, anak muda, saya hanya khadamnya, pembantunya yang ditugasi jadi penjaga kebun. Kebun ini milik pak Abdullah.” Jawab orang itu.

“Di manakah kiranya saya bisa menjumpai beliau?” tanya Syafi’i lagi.

“Satu setengah hari perjalanan melewati bukit di sebelah utara itu jika engkau berjalan kaki. Ada apa gerangan engkau hendak menemuinya, anak muda. Mau kulakan (membeli dalam jumlah banyak) atau gimana?” ucap penjaga kebun.

“Bukan begitu, pak. Di suatu tempat di hilir sana, saya telah menemukan apel, dan karena lapar saya langsung memakannya. Saya takut itu akan menjadi racun di tubuh saya jika tak diikhlaskan pemiliknya. Saya hendak memohon dihalalkan atas apa yang telah terlanjur saya makan tersebut.” papar Syafi’i.

“Oalah anak muda, kirain apa. Segitu aja nggak usah repot-repot begitu. Kalau kamu masih merasa kurang kamu boleh kok mengambil barang sebiji dua biji lagi untuk mengenyangkan perutmu.” Jawab penjaga kebun.

 

Hening……..astaghfirullah….

 

“Tidak bisa seperti itu, pak. Saya merasa bersalah. Saya tidak bisa begitu saja menggampangkan persoalan, apalagi Kanjeng Nabi telah mengingatkan, jika hatimu was-was, tanyakan lagi pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tentram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu.” Syafi’i melanjutkan. “Saya merasa bersalah, pak.”

 

Hening…..

 

gusblero - apel surga2

 

Kali ini penjaga kebun hanya diam terpaku. Ia melihat dua bayangan Malaikat Raqib dan ‘Atid seakan bersedekap di samping kiri kanan lelaki muda yang kini berdiri di hadapannya. Ia tak lagi berani bercanda.

 

“Kalau begitu, petang nanti kebetulan aku juga hendak menghadap tuan Abdullah untuk suatu keperluan. Kalau engkau mau, engkau boleh menghadap bersamaku untuk menyampaikan apa yang menjadi keluh kesahmu.”

 

Alhamdulillah….

 

Senja-senja di kebun apel yang berwarna jingga. Siluet sinar sunset meliuk di langit seperti cetar membahana. Satu setengah hari menempuh perjalanan, akhirnya sampailah keduanya di rumah pemilik kebun sejatinya. Salam Syafi’i dijawab baik, lalu tuan rumah itu bertanya: “Apa yang hendak engkau sampaikan, anak muda?”

 

“Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?”ucap Syafi’i.

 

Lelaki tua yang ada di hadapan Syafi’i mengamatinya dengan cermat. Bukan anak muda biasa, pikirnya. Orang yang menempuh perjalanan jauh hanya untuk dihalalkan karena telah terlanjur memakan sepotong apel sudah pasti seseorang dengan kualitas pribadi luar biasa. Setelah berfikir cukup lama dia berkata: ”Anak muda, siapa namamu tadi? Syafi’i? Baiklah, Syafi’i. Aku bersedia memaafkan……” kata Abdullah sang pemilik kebun.

 

Alhamdulillah. Kalau begitu saya sangat berterimakasih. Dan semoga Allah SWT berkenan memberi pahala yang berlipat atas kedermawanan hati Bapak.” balas Syafi’i dengan senangnya.

 

“Eh, tapi tunggu dulu anak muda. Aku belum selesai bicara…” cegat Abdullah sang pemilik kebun. “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”

 

Syafi’i merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Abdullah menjawab, “Engkau harus bekerja di perkebunanku selama satu musim panen. Apakah kamu sanggup?”

 

Terdorong untuk mendapatkan penghalalan atas apa yang telah masuk di dalam perutnya, Syafi’i muda menjawab: “Saya bersedia, Tuan.”

 

Melewati musim apel itu Syafi’i lalu bekerja di perkebunan milik Abdullah. Ketekunannya dalam merawat tanaman membuat pohon-pohon di tempat itu jadi subur dan menghasilkan buah yang banyak. Kejadian itu tak lepas dari pengamatan Abdullah. Ia melihat pribadi yang istimewa pada diri Syafi’i. Punya iman, punya tanggung jawab, kurang apalagi. Syafi’i benar-benar layak jadi pemuda idaman bagi siapapun orang tua.

 

Terdorong ketertarikannya pada pemuda itu, Abdullah lalu melakukan siasat baru, sekaligus untuk menguji keteguhan iman Syafi’i. Beberapa tanaman yang ada di perkebunannya dipetiknya sendiri. Buah-buahan apel yang besar-besar sengaja dipilihnya lalu dibuangnya ke sungai. Lalu diakhir musim saat tiba masa petik, ia berkata kepada Syafi’i.

 

“Syafi’i, sesuai apa yang pernah aku sampaikan sudah seharusnya saat ini aku membebaskanmu dari sekalian perjanjian selama ini.” Abdullah menghela nafas. Ia diam cukup lama.

 

Jantung Syafi’i berdetak. Masih dengan menunduk ia bertanya: “Adakah kekurangan sikap saya selama ini?”

 

“Tidak.” jawab Abdullah. “Tapi kamu juga tahu sendiri, Syafi’i. Beberapa buah apel yang besar-besar banyak yang hilang, dan itu tentu saja sangat merugikan.”

 

Syafi’i terdiam. Udara di ruangan itu seperti membeku. “Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk menebus kerugian-kerugian itu, Tuan?” tanya Syafi’i.

 

“Tidak bisa tidak, kamu harus mengerjakan perkebunan itu lagi.”ucap Abdullah. “Dan sebagai pengikat agar kamu tidak lari dari tanggung jawab, akan aku nikahkan kamu dengan putriku.”

 

Syafi’i tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah maksud Tuan. Saya hanyalah seorang muda yang belum memiliki bekal apa-apa. Bagaimana saya harus menikahi putri Tuan?”

 

Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Syafi’i. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh.”

 

Syafi’i amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri hanya gara-gara awalnya ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!”

 

Hening………….

 

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Syafi’i kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangan dan pernikahan itu. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada Tuan, karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku, dan mudah-mudahan yang demikian dapat meningkatkan ketawakalanku di sisi Allah Ta’ala”.

 

Maka pernikahanpun dilaksanakan. Dan sesudah hajatan usai, Syafi’i dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Syafi’i hendak masuk kamar pengantin, Syafi’i sedikit bingung. Dia berpikir apakah akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, atau cukup membuka pintu? Pada akhirnya ia mengucapkan salam, karena bukankah kamar mempelai adalah juga ruang asing yang perlu baginya untuk memberikan salam terlebih dulu, dan juga bukankah sesungguhnya salam juga perlu diucapkan sebagai kesaksian terhadap Malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya yang tentu tidak tuli dan bisu? Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu ’alaikum….”

 

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Syafi’i masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Syafi’i terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.

 

Syafi’i sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Syafi’i dalam hatinya. Maka secepat itu juga Syafi’i memutar haluan, karena ia mengira bahwa ia telah salah masuk kamar.

 

“Hei, kenapa engkau hendak lari, Suamiku. Bukankah aku ini sudah ,menjadi istrimu yang sah?” Wanita di atas pelaminan itu berkata. Mau tidak mau langkah Syafi’i jadi terhenti. Perlahan Syafi’i berjalan mendekati wanita itu.

 

Setelah Syafi’i duduk di sampingnya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?”

 

Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.

 

Syafi’i bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?”

 

Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Syafi’i yang kini telah sah menjadi suaminya.

 

Syafi’i mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.

 

Subhanallah…..

 

Syafi’i  amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat salihah dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya? Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.

 

Syafi’i dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Sebagaimana tumbu menemu tutup, istilah orang Jawa. Orang shalih yang bertanggung jawab ketemu wanita baik yang dipenuhi berkah. Alhamdulillah!

 

gusblero - apel surga3

 

Kanjeng Nabi telah mengingatkan, jika hatimu was-was, tanyakan lagi pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tentram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu.

 

Gusblero Free