Ini tentang Imam Syafi’i muda. Sepulang dari pondok, santri muda itu harus membayar mahal untuk sepotong apel yang telah ditelannya di sebuah sungai: ia harus menikahi anak pemilik kebun. Perempuan lajang yang konon buta, tuli, bisu dan lumpuh.
Pikirannya gentar, tapi hatinya menyala cahaya: akad itu dilakoninya. Dan benar tentang perempuan itu: yang buta dari melihat hal-hal yang tak pantas, tuli dari riang gosip, bisu dari gunjing sesama, dan lumpuh melangkah ke yang tak semestinya!
Lapar. Melewati padang sabana yang jauh tubuh Syafi’i mulai diguncang keletihan. Siang yang teruknya tak terbahyangkan (begitu istilah Datuk Sri Bengali kalau pas bercerita), jelas membuat santri muda yang kalau di pondok menunya cuma makan sayur kangkung dan ikan asin itu menjadi sempoyongan. Maka sejurus kemudian ketika dilihatnya ada sebuah sungai terbentang di hadapannya, dia aghitsna nyemplung, kungkum dengan suksesnya. Fresh again, sekujur tubuh merasa nyam-nyam lagi seketika.
Santri yang berbahagia. Begitu sederhananya tempat kita untuk menemukan rumus kenikmatan yang ada. Wayah ngantuk iso turu, wayah sumuk nemu banyu (saat ngantuk bisa tidur nyenyak, saat gerah tiba-tiba dapat sesuatu yang menyegarkan).
Tapi cerita tidak berhenti disitu. Pelajaran berikutnya adalah tentang betapa tipisnya batas antara kesenangan dan ujian, dan juga harga yang harus dibayar untuk apapun kehendak kita dalam meraih kenikmatan, pun juga dengan Syafi’i.
Terbebas dari letih yang mendera, giliran kini perut yang minta dipenuhi bagiannya. Aaarrrggkh…..! Berkali-kali ia menuangkan air sungai ke dalam perut untuk menenangkan rasa laparnya, tak berhasil. Justru seperti hal lain dalam hidup ini, sekali ia diberi celah lalu keterusan minta dipenuhi, sama dengan rasa lapar itu. Ia meniupkan nafas panjang dari mulutnya, lapar itu masih meronta hingga membuat perutnya berbunyi.
Udara masih panas disiang itu, angin berhembus perlahan menyisiri tepian sungai. Menajamkan pandangan ke sekeliling, tiba-tiba Syafi’i melihat sepotong apel mengapung menuju ke arahnya. Alhamdulillah!
Sepotong buah berwarna merah itu serenta disongsongnya. Lalu dengan gigi yang gemerutuk buah itu dikunyahnya, lembut dan manis rasanya. Apel itu digigit lagi dan dikunyah-kunyahnya, lalu……astaghfirullah!
Astaghfirullah…..astaghfirullah!
“Kalau ada buah apel terjatuh, berarti disekitar sini ada sebuah kebun. Dan bila ada sebuah kebun, mungkin kebun itu ada yang memiliki. Ya Allah Ampunilah hambamu yang telah memakan buah ini tanpa meminta izin terlebih dulu kepada pemiliknya,”
Gigitan apel di mulutnya terhenti. “Sebaiknya aku mencari dimana pemilik kebun dari buah ini, dan memohon kepadanya untuk menghalalkan buah yang telah terlanjur mengisi perutku ini.”
Syafi’i tersentak. Kali ini ia melihat seribu pedang langit seakan siap menghujamnya dari angkasa. Dia gemetar. Tak sekadar gentar karena ancaman pedang-pedang itu, namun karena dia yakin apabila pemilik kebun tidak memaafkannya, maka Allahpun tidak akan memaafkan kesalahannya yang telah memakan apel yang bukan miliknya.
Sepenuh tenaga ia berlari menepi, matanya nyalang menatap kiri dan kanan, mencari-cari rimbunan kebun disepanjang rimba perkiraan yang belum jelas di mana arahnya.
Terbayang pelajaran di pondok saat gurunya mengajarkan hadits Arba’in Nawawi. Nabi bersabda, sesungguhnya Allah telah berfirman:
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kedzaliman kepada diri-Ku dan Aku menjadikan kedzaliman itu haram diantara kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu saling mendzalimi.
Wahai hamba-Ku, kamu semua tersesat, kecuali yang Ku-beri petunjuk. Oleh karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.
Wahai hamba-Ku, kamu semua lapar, kecuali Ku-beri makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.
Wahai hamba-Ku, kamu semua telanjang, kecuali yang Ku-beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberikannya kepadamu.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu semua berbuat salah di malam dan siang hari. Sedangkan Aku mengampuni semua dosa. Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu.
Wahai hamba-Ku, kamu tidak akan mampu memberi mudharat (sedikit pun kerugian) kepada-Ku. Dan kamu tidak akan mampu memberi (sedikit pun) keuntungan untuk-Ku sehingga bisa memberi manfaat kepada-Ku.
Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia diantara kamu berada pada hati orang yang paling bertakwa di antara kamu, maka hal itu tidak akan menambah apa pun terhadap kekuasaan-Ku.
Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia berada pada hati orang yang paling jahat di antara kamu, maka hal itu tidak akan mengurangi apapun dari kekuasaan-Ku.
Wahai hamba-Ku, meskipun yang pertama dan terakhir, baik jin maupun manusia, berkumpul di sebuah bukit dan mohon kepada-Ku. Lalu Aku mengabulkan permohonan mereka masing-masing, maka hal itu tidak mengurangi sedikitpun apa-apa yang ada pada-Ku, kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke laut dan diangkat lagi.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mencatat amalmu dan membalasnya. Oleh karena itu, barang siapa mendaptkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela, selain dirinya sendiri. (HR. Muslim)
Setengah hari menyisir ke hulu sungai, akhirnya Syafi’i melihat satu perkebunan luas yang isinya di sini apel di sana apel. Di pintu perkebunan itu dia meneriakkan salam, lalu disalam ketiga seseorang muncul. Syafi’i bergegas mendekatinya.
“Apakah tuan pemilik kebun ini?” tanya Syafi’i.
“Bukan, anak muda, saya hanya khadamnya, pembantunya yang ditugasi jadi penjaga kebun. Kebun ini milik pak Abdullah.” Jawab orang itu.
“Di manakah kiranya saya bisa menjumpai beliau?” tanya Syafi’i lagi.
“Satu setengah hari perjalanan melewati bukit di sebelah utara itu jika engkau berjalan kaki. Ada apa gerangan engkau hendak menemuinya, anak muda. Mau kulakan (membeli dalam jumlah banyak) atau gimana?” ucap penjaga kebun.
“Bukan begitu, pak. Di suatu tempat di hilir sana, saya telah menemukan apel, dan karena lapar saya langsung memakannya. Saya takut itu akan menjadi racun di tubuh saya jika tak diikhlaskan pemiliknya. Saya hendak memohon dihalalkan atas apa yang telah terlanjur saya makan tersebut.” papar Syafi’i.
“Oalah anak muda, kirain apa. Segitu aja nggak usah repot-repot begitu. Kalau kamu masih merasa kurang kamu boleh kok mengambil barang sebiji dua biji lagi untuk mengenyangkan perutmu.” Jawab penjaga kebun.
Hening……..astaghfirullah….
“Tidak bisa seperti itu, pak. Saya merasa bersalah. Saya tidak bisa begitu saja menggampangkan persoalan, apalagi Kanjeng Nabi telah mengingatkan, jika hatimu was-was, tanyakan lagi pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tentram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu.” Syafi’i melanjutkan. “Saya merasa bersalah, pak.”
Hening…..
Kali ini penjaga kebun hanya diam terpaku. Ia melihat dua bayangan Malaikat Raqib dan ‘Atid seakan bersedekap di samping kiri kanan lelaki muda yang kini berdiri di hadapannya. Ia tak lagi berani bercanda.
“Kalau begitu, petang nanti kebetulan aku juga hendak menghadap tuan Abdullah untuk suatu keperluan. Kalau engkau mau, engkau boleh menghadap bersamaku untuk menyampaikan apa yang menjadi keluh kesahmu.”
Alhamdulillah….
Senja-senja di kebun apel yang berwarna jingga. Siluet sinar sunset meliuk di langit seperti cetar membahana. Satu setengah hari menempuh perjalanan, akhirnya sampailah keduanya di rumah pemilik kebun sejatinya. Salam Syafi’i dijawab baik, lalu tuan rumah itu bertanya: “Apa yang hendak engkau sampaikan, anak muda?”
“Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?”ucap Syafi’i.
Lelaki tua yang ada di hadapan Syafi’i mengamatinya dengan cermat. Bukan anak muda biasa, pikirnya. Orang yang menempuh perjalanan jauh hanya untuk dihalalkan karena telah terlanjur memakan sepotong apel sudah pasti seseorang dengan kualitas pribadi luar biasa. Setelah berfikir cukup lama dia berkata: ”Anak muda, siapa namamu tadi? Syafi’i? Baiklah, Syafi’i. Aku bersedia memaafkan……” kata Abdullah sang pemilik kebun.
“Alhamdulillah. Kalau begitu saya sangat berterimakasih. Dan semoga Allah SWT berkenan memberi pahala yang berlipat atas kedermawanan hati Bapak.” balas Syafi’i dengan senangnya.
“Eh, tapi tunggu dulu anak muda. Aku belum selesai bicara…” cegat Abdullah sang pemilik kebun. “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”
Syafi’i merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Abdullah menjawab, “Engkau harus bekerja di perkebunanku selama satu musim panen. Apakah kamu sanggup?”
Terdorong untuk mendapatkan penghalalan atas apa yang telah masuk di dalam perutnya, Syafi’i muda menjawab: “Saya bersedia, Tuan.”
Melewati musim apel itu Syafi’i lalu bekerja di perkebunan milik Abdullah. Ketekunannya dalam merawat tanaman membuat pohon-pohon di tempat itu jadi subur dan menghasilkan buah yang banyak. Kejadian itu tak lepas dari pengamatan Abdullah. Ia melihat pribadi yang istimewa pada diri Syafi’i. Punya iman, punya tanggung jawab, kurang apalagi. Syafi’i benar-benar layak jadi pemuda idaman bagi siapapun orang tua.
Terdorong ketertarikannya pada pemuda itu, Abdullah lalu melakukan siasat baru, sekaligus untuk menguji keteguhan iman Syafi’i. Beberapa tanaman yang ada di perkebunannya dipetiknya sendiri. Buah-buahan apel yang besar-besar sengaja dipilihnya lalu dibuangnya ke sungai. Lalu diakhir musim saat tiba masa petik, ia berkata kepada Syafi’i.
“Syafi’i, sesuai apa yang pernah aku sampaikan sudah seharusnya saat ini aku membebaskanmu dari sekalian perjanjian selama ini.” Abdullah menghela nafas. Ia diam cukup lama.
Jantung Syafi’i berdetak. Masih dengan menunduk ia bertanya: “Adakah kekurangan sikap saya selama ini?”
“Tidak.” jawab Abdullah. “Tapi kamu juga tahu sendiri, Syafi’i. Beberapa buah apel yang besar-besar banyak yang hilang, dan itu tentu saja sangat merugikan.”
Syafi’i terdiam. Udara di ruangan itu seperti membeku. “Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk menebus kerugian-kerugian itu, Tuan?” tanya Syafi’i.
“Tidak bisa tidak, kamu harus mengerjakan perkebunan itu lagi.”ucap Abdullah. “Dan sebagai pengikat agar kamu tidak lari dari tanggung jawab, akan aku nikahkan kamu dengan putriku.”
Syafi’i tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah maksud Tuan. Saya hanyalah seorang muda yang belum memiliki bekal apa-apa. Bagaimana saya harus menikahi putri Tuan?”
Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Syafi’i. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh.”
Syafi’i amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri hanya gara-gara awalnya ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!”
Hening………….
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Syafi’i kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangan dan pernikahan itu. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada Tuan, karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku, dan mudah-mudahan yang demikian dapat meningkatkan ketawakalanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahanpun dilaksanakan. Dan sesudah hajatan usai, Syafi’i dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Syafi’i hendak masuk kamar pengantin, Syafi’i sedikit bingung. Dia berpikir apakah akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, atau cukup membuka pintu? Pada akhirnya ia mengucapkan salam, karena bukankah kamar mempelai adalah juga ruang asing yang perlu baginya untuk memberikan salam terlebih dulu, dan juga bukankah sesungguhnya salam juga perlu diucapkan sebagai kesaksian terhadap Malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya yang tentu tidak tuli dan bisu? Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu ’alaikum….”
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Syafi’i masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Syafi’i terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Syafi’i sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Syafi’i dalam hatinya. Maka secepat itu juga Syafi’i memutar haluan, karena ia mengira bahwa ia telah salah masuk kamar.
“Hei, kenapa engkau hendak lari, Suamiku. Bukankah aku ini sudah ,menjadi istrimu yang sah?” Wanita di atas pelaminan itu berkata. Mau tidak mau langkah Syafi’i jadi terhenti. Perlahan Syafi’i berjalan mendekati wanita itu.
Setelah Syafi’i duduk di sampingnya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?”
Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.
Syafi’i bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?”
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Syafi’i yang kini telah sah menjadi suaminya.
Syafi’i mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.
Subhanallah…..
Syafi’i amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat salihah dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya? Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
Syafi’i dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Sebagaimana tumbu menemu tutup, istilah orang Jawa. Orang shalih yang bertanggung jawab ketemu wanita baik yang dipenuhi berkah. Alhamdulillah!
Kanjeng Nabi telah mengingatkan, jika hatimu was-was, tanyakan lagi pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tentram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu.
Gusblero Free