Catastrophe
Hun vijver werd moeras,
Rust werd gevaar,
En nymphen zonken
Zwaar toen zij niet
Meer zwemmen konden.
Het bleekgroen riet
Week, door zwart poelgewas
Verstikt en overwoekerd,
Van de verwaasde oev’ren.
Toen enklen boven dreven,
Gezwollen als verworgden,
De heren los,
Doken die overleefden
Dieper in het bos.
Maar steeds naar de ramp getrokken
Zagen zij and’re doden
Die niet verdronken:
Zij die niet vloden
Liggend in ‘t slib, de voeten
Domplend in drabbig water,
Een prooi voor iedren sater,
Wiens bronst hen komt bezoeken.
Jakarta, 23 September 1945
* Satu-satunya sajak Chairil Anwar yang ditulis dalam bahasa Belanda
* Dari Seruan Nusa. Memperingati berdirinya I Tahun K.R.I.S. Oktober 1945-1946, Yogyakarta
Huesca
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku.
Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba.
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.
Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah, sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada.
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal.
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.
(diterjemahkan dari puisi John Cornford, Huesca)
Jenak Berbenar
Yang kini entah di mana di dunia nangis,
tidak berpijakan di dunia nangis,
nangiskan aku
Yang kini entah di mana tertawa dalam malam,
tidak berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan aku
Yang kini entah di mana di dunia berjalan,
tidak berpijakan di dunia berjalan,
datang padaku
Yang kini entah di mana di dunia mati
tidak berpijakan di dunia mati
pandang aku.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Ernste Stunde)
Mirliton
Kawan, jika usia kelak
meloncer kita sampai habis-habisan,
jika seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal menentu kemudi,
menyerah : “Sampai sini sajalah”,
akan menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari jalan belakang
kawan?
Ini tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras batu laun ‘kan terkikis,
dan ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan kita, tidak lagi memaling –
Cukup! Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan
(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, Mirliton)
Musim Gugur
Tuhan : sampai waktu. Musim panas begitu megah
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang
beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka ke kemurnian dan buru jadi
gula penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
Yang kini sendiri, ‘kan lama tinggal sendiri,
‘kan berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan akan pulang balik melalu gang
berjalan gelisah, jika daunan mengalun pergi.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Herbsttag)
Datang Dara, Hilang Dara
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
(diterjemahkan dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)
Fragmen
Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman kita.
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
– Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan dan mengenang –
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi?
Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan
Pernah percaya pada kemutlakan soal …
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah –
Mari cintaku
Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti kemenangan. Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi
gersang.
Kau cintaku
Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan –
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerita begini –
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.
(diterjemahkan dari puisi Conrad Aiken, Preludes to Attitude)
Lagu Orang Usiran
Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta
Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat buat kita
Pernah kita punya negri, dan terkenang rayu
Lihat dalam peta,akan kau ketemu di situ
Sekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa ke situ
Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh segar saban kali musim semi
Pasjalan lama tidak bisa tiru, sayangku, pasjalan lama tidak bisa tiru
Tuan Konsol hantam meja dan berkata:
“Kalau tidak punya pasjalan, kau resmi tidak ada.”
Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja.
Datang pada satu panitia, aku ditawarkan korsi
Dengan hormat aku diminta supaya datang setahun lagi
Tapi ke mana kita pergi ini hari, sayangku, ke mana kita pergi ini hari.
Tiba di satu rapat umum; pembicara berdiri dan kata:
“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita.”
Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku.
Kukira kudengar halilintar di langit membelah
Adalah Hitler di Eropah yang bilang: “Mereka mesti punah.”
Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, ah kitalah yang dimaksudnya.
Kulihat anjing kecil dalam baju panas terjaga
Kulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman.
Turun ke pelabuhan dan aku pergi berdiri ke tepi
Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, cuma sepuluh kaki dari aku.
Jalan lalu hutan, terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-politik bernyanyi ria mereka konon
Mereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para manusia.
Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribu
Berjendela seribu dan berpintu seribu
Tidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya.
Berdiri di alun-alun besar ditimpa salju
Sepuluh ribu serdadu berbaris datang dan lalu
Mereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku.
(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song XXVIII)
Biar Malam
Biar malam kini lalu,
cinta, tapi mimpi masih ganggu
yang bawa kita bersama sekamar
tinggi seperti gua dan sebisu
stasion akhir yang dingin
di malam itu banyak berjejer siur katil-katil
Kita terbaring dalam sebuah
yang paling jauh terpencil.
Bisikan kita tidak pacu waktu
kita berciuman, aku gembira
atas segala tingkahmu,
sungguhpun yang lain di sisiku
dengan mata berisi dendam
dan tangan lesu jatuh
melihat dari ranjang.
Apakah dosa, apakah salah
kecemasan berlimpah sesal
yang jadikan aku korban
kau lantas lakukan dengan tidak sangsi
apa yang tidak bakal aku setuju?
dengan lembut kau ceritakan
kau sudah terima orang lain
dan penuh sedih merasa
aku orang ketiga dan lantas jalan
(diterjemahkan dari puisi W.H. Auden, Song IV. Terjemahan puisi ini tidak dijuduli oleh Chairil Anwar)
Hari Akhir Olanda di Jawa
oleh Sentot
Mau terus kau menginjaki kami
Hatimu menulang karna uang
Kau, tuli ‘kan tuntutan hak dan rasa
Menghasut kelembutan jadi kekerasan?
Maka kami bercontoh ke kerbo
Yang jemu diejek, lalu meruncing tanduk
Melambung penunggangnya bengis ke atas
Lantas kakinya kasar menghantam penyet.
Maka api perang membakar ladangmu
Gunung serta lembah menghawa dendam
Asap mengepul dari tiap kediamanmu
Angkasa bergetar pekikan bunuh.
Maka telinga kami ‘kan merasa nikmat
Mendengarkan raung-tukikan bini-binimu
Kami ‘kan bertepuk bergembira
Berjejer melihati mampusnya kekuasaanmu.
Maka anak-anakmu ‘kan kami sembelih
Anak-anak kami bergelimang di darah mereka
Supaya utang yang berabad lama
Begitu berlipat terbayar kembali.
Dan jika metari turun di barat
Samar agak di belakang uapan darah
Dia menerima erangan mati
Sebagai tanda pisah penghabisan dari Olanda.
Dan jika pelikat malam
Menyelimuti alam yang sedang berasap
Anjing utan mengais antara ungguk mayat
Merobek, menghisap, menggerutu …..
Maka putri-putrimu ‘kan kami larikan
Dan segala dara kami miliki
Kami beristirahat di dada putih mereka
Letih membunuh, letih berperang.
Dan jika segala penodaan ‘lah kami lakukan
Kami capek memeluk-cium
Kami sudah kenyang enek
Hati oleh dendam, tubuh oleh napsu,
Maka kami ‘kan ria berpesta
Seruan pertama : “Kita beruntung!”
Seruan kedua : “Pada Isa Kristus!”
Teguk penghabisan : “Pada Tuhan Olanda!”
Dan jika metari naik di timur
Berlutut tiap ‘rang Jawa depan Mohammad
Karna dibebaskan bangsa yang terlembut
Dari kongkongan anjing-anjing Kristen.
(Disalin-terjemahkan dari Multatuli, Max Havelaar)
P. P. C.
Tinggal, Clary. Tidak ‘ku mengucap selamat.
Nanti kelihatan tolol, juga biar datang dari hati
Sudah kau jual dirimu. Jangan lagi beruwet
Tentang apapun : manusia memang penghiba hati.
Rumahmu kecil dulu. Tuanmu datang membesarkan,
Hartanya tidak bakal putusnya, menurut cerita.
Kau terpandang sampai nafasnya penghabisan.
Kau berjiwa kecil. Nah! Inilah yang sebenarnya.
Badanmu menapsukan. Kau betina jelita.
Kau lahirkan anak manis buat tuanmu.
Kau tak bisa berlepas, tapi toh bersetia saja.
Kau disegani, tetap terjaga namamu.
Tinggal, Clary. Dengan aku kau tidak ‘kan bertemu
Kau ‘ku jauhi, sampai dalam mimpi.
Ah! Impian sebelum kita bertemu.
Kau tetap kau. Aku padamu menista saja.
(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, P. P. C.)
Somewhere
Mungkin sekarang kita berkawan dan
besok boleh jadi semua terlupa
baik kau padaku, persenan lebih dari semusti
bayu mengusap, selempap setawar sedingin
Aku toh ‘kan kembali seperti sebelum
mengenal kau, tapi jenak ini
‘ku mau percaya teras kecil ini
adalah Dunia, malahan batas Dunia.
Tumpukkanlah segalanya atas
bahwa aku kawanmu dan kau kawanku –
langit berwarna kelabu, bayangkanlah dia merah
seperti dulu lagi di Italia.
Kita bersatu tapi sama tahu dan sadar:
Suatu kata lebih ringan dari bulu merpati;
kataku “cinta”, tapi ‘ku kan lupa
pernah kau bilang : “Ah, cuma sekali mencinta?”
Jangan jadi pusing kerna nyaris-bercintaan ini
semua ‘kan lupa kalau apa yang terbedah,
sehabis perjuangan, sembuh atau terkatup lagi.
Aku toh menyebut “cinta”. Tidak kayak dulu-dulu
juga bukan yang sekali! Ini bukan terpaan.
Jaman masih bergedoncak segila bisa,
udara pucat dan bersedih terhampar:
‘ku mainkan kata yang dulu mengharu
dalam persahabatan padamu pengisi hampa.
(diterjemahkan dari puisi berbahasa Belanda E. Du Perron, Somewhere)
Hari Tua
Tetaplah padaku juita, sebab api makin mati
Anjingku dan aku sudah tua, ketuaan bakal mengelana
Lelaki bernapsu teruna bikin mengkilang pencaran air terbang
sangat kaku akan bakal mencinta
untuk maju, terlalu beku bercinta
Kuambil buku dan dekatkan diri pada dian
Bolak balik lembaran kuning lama; dari menit ke menit
Jam berdetik kena kalbuku; sebuah kawat kering
Bergerak
Aku tidak kuasa layari lautanmu, aku tidak kuasa edari
Ladangmu, juga pegununganmu, juga lembahmu
Tidak bakal lagi, juga tidak pertarungan nun di sana
Di mana perwira muda kumpulkan lagi barisan yang pecah
Hanya tinggal tenang sedangkan pikiranku mengenangkan
Keindahan nyala/api dari keindahan
(diterjemahkan Chairil, yang menurut H. B. Jassin, tidak jelas oleh penyair mana, tapi salinan sajak dari bahasa aslinya ada)
Gerontion
Inilah aku, pak tua dalam bulan gersang
sedang dibaca oleh anak muda, ketika menanti hujan.
Aku tidak berada pada pagar hangat
Juga tidak terbenam hingga lutut dalam rawa garam,
mengayunkan pedang pandak.
Digigit lalar, berkelahi.
Rumahku adalah
(terjemahan sajak ini tidak selesai, baru 7 baris, dari sajak T.S. Eliot, Gerontion)
Sonnet
Tidak apa yang diberi gampang saja. Undang-undang mesti kita cari
Gedong-gedong besar berdesak-desakan dalam metari
Dan di belakangnya terjalani jeriji
Jauh tersembunyi gubuk dan teratak keji
Tidak apapun bisa menentukan nasib kita;
hanya tubuh berpasti; si besar dan si kecil rata-rata
mencoba bertambah naik; deretan rumah sakit saja
memperingatkan bahwa kita semua berderajat sama.
Siapapun, juga polisi, tetap menyayangi anak-anak:
mereka ceritakan tentang masa sebelum para perwira
mengenal sepi serta kehabisan langkah
(tiga baris lagi belum diterjemahkan, dari sajak W.H. Auden, Sonnet, terjemahan ke bahasa belanda oleh Van der Plas, dalam buku I Hear America Singing, dari bahasa Belanda lah Chairil menerjemahkan)
Song XI
Letakkan, cintaku, kepalamu yang terkantuk
Pada lenganku yang tidak setia
Bukankah jaman dan demam membakar
Keindahan yang dipercaya
dari masa kanak, di negeri mimpi –
kuburan saban kali tunjukkan
bahwa sang anak hidupnya pendek,
tapi biarlah sampai pagi
dalam pelukanku kau baring
sebagai insan hidup: usiamu terbatas
dan juga punya salah, tapi ah, bagiku
jelita yang sempurna.
Tubuh jiwa lepas kewajiban
jika mereka yang berkasihan
terhampar di lembah ajaib Venus
dalam deru, sudah mulai biasa saja;
maka dikirimkannyalah wajah impian
(6 baris dari kuplet ini dan 2 kuplet lagi belum diterjemahkan, Song XI, W.H. Auden)
Tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949),Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir(bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 april 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Dan hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia.