Mbah Kiai Sholeh Darat adalah sang penjaga mata air, atau mata air itu sendiri, yang menjadi hulu dari serangkaian faham yang kemudian menjadi aliran di tanah air.
Minimal ada tiga aliran kuat dan besar yang kemudian dikenal hingga saat ini. Aliran Nahdlatul Ulama (NU) dengan Mbah Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pendirinya, aliran Muhammadiyyah dengan Mbah Kiai Ahmad Dahlan, juga sebagai pedirinya, dan aliran emansipasi dengan RA Kartini sebagai pelopornya.
Berpatokan pada sejarah bagaimana ketiganya pernah sama-sama menjadi santri Mbah Kiai Sholeh Darat, agak mengherankan kalau hari ini kita melihat ketiga aliran itu hampir tidak pernah ada akurnya. Bahkan, di beberapa peristiwa ketiganya bisa ‘sampyuh’ dalam kekerasan yang hingar.
Yang orang NU meng-emoh-i orang Muhammadiyyah, begitu pun sebaliknya. Kecuali wong ayu, nanti gampang di-NU-kan atau di-Muhammadiyyah-kan, begitu pikirnya. Ndilalahnya, dan ini juga kacaunya, wong ayu yang dipikirnya bisa disetir kesana-kemari itu ternyata punya prinsip sendiri, atau yang lazimya hari ini kita sebut sebagai tuntutan emansipasi.
Lak yo dadi modar to yo.
Saya membayangkan ketiganya saat nyantri dulu, barangkali benar mereka pernah ‘adu pamor ala santri’, siapa yang menang hayo, kira-kira begitu. Namun saya yakin, ‘adu pamor’ antara beliau bertiga, kalau memang ini yang terjadi, bukanlah sebentuk dan tidaklah ada miripnya dengan ‘adu pamer’ seperti yang selama ini kita peragakan.
Lomba-lombaan yo siapa yang bisa mengajak orang dalam kemaslahatan paling banyak, mungkin bahasa adu santrinya begitu. Lalu masing-masing gerbong bertambah panjang. Saking panjangnya dan saking banyaknya orang-orang ingin sama mendapatkan kendaraan yang menyelamatkan, hingga kita yang jadi penumpang kemudian kadang saling bersitegang.
Ini cuma fantasi saya. Tidak usah dimasukkan hati.
Pastinya saya sangat mentakdzimi beliau bertiga. Ibarat menghirup aliran sungai, bahkan bisa menciduk dari salah satu kali kecil yang mana pun cabangnya bagi saya sudah cukuplah. Terlalu bermimpi kalau saya berharap bisa ikut masuh (membasuh) diri dalam aliran NU atau Muhammadiyyah yang begitu besar. Sementara, ikut-ikutan nyemplung di aliran emansipasi yo mana mungkinlah. Hehe.
Hanya saja, hari ini saya bermimpi tentang mata air. Dan ijinkan saya untuk tidak sekadar bermimpi tentang mata air. Tiba-tiba saya berhalusinasi untuk bisa mendatangi mata air Mbah Kiai Sholeh Darat. Mungkin tidak untuk apapun, karena saya juga tidak yakin bisa berbuat sedikit apapun di hadapan kebaikan yang banyak.
Sedikit pengetahuan tentang imajinasi spiritual yang mudah-mudahan bisa dipahami anak-anak saya kelak barangkali sudah cukuplah.
Ting…….
Hampir semua kitab karya Mbah Kiai Sholeh Darat berisi ajaran tasawuf. Meski membahas fiqih, isinya pun banyak ajaran tasawuf. Kitab kecil bab shalat dan wudhu, Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalat, juga berisi ajaran tentang tasawuf. Juga kitab Majmu’ Syariat maupun Pasolatan. Terlebih dalam kitab yang memang membahas tentang tasawuf, seperti Munjiyat, Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’, Tarjamah Al-Hikam, dan Syarah al-Burdah, penuh ajaran tentang pembersihan hati dan penghambaan sejati kepada Allah Ta’ala.
Karena unggul dalam tasawuf, beliau dijuluki Imam Al-Ghazali-nya Jawa. Diluar, hampir semua kitab karyanya memang selalu mengutip ajaran tasawufnya Imam Al-Ghazali.
Kebiasaan beliau usai mulang (mengajar) ngaji adalah menulis, mengarang kitab. Duduk di lantai kamar menghadap meja, dan dengan penerangan lampu teplok, lembar demi lembar kertas beliau goresi pena tutul tinta buatan China. Begitulah beliau senantiasa menuliskan gagasan atau ulasannya di atas kertas-kertas itu.
Tinta yang diwadahi sebuah cupu kecil berbahan tembaga itu terbuat dari larutan batang Bak dengan air yang dicampuri minyak wangi. Menurut banyak narasumber, minyak yang dipakai adalah Misik. Terbukti di kitab tulisan tangan asli Mbah Sholeh Darat yang sampai kini masih terjaga dan disimpan oleh cicitnya, bau wangi Misik masih terasa jika dibuka lembaran-lembarannya.
Dikisahkan, saat sedang tekun menulis kitab, suatu malam ada seorang tamu berbusana model Arab, berjubah dan bersurban. Oleh para santri, tamu itu disalami lantas disuguhi minum wedang. Kemudian diantarkan bertemu Mbah Sholeh di ruang pribadi beliau. Kata periwayat, saat itu beliau sedang menulis kitab Munjiyat, kembangan cuplikan dari kitab Ihya Ulumuddin.
Di teras langgar (surau) para santri mendengar sayup-sayup pembicaraan kiainya dengan sang tamu yang berbincang dalam bahasa Arab. Suara keduanya terdengar, tapi isi pembicaraan kurang jelas karena jarak dan dipisahkan dinding kayu di dalam ruangan.
Tengah malam sang tamu pamit pulang. Mbah Sholeh sendiri yang mengantarkan hingga serambi rumah. Usai melambai di ujung halaman, sang tamu itu melangkah ke arah jalan besar. Sekejap, lantas menghilang di kegelapan malam.
Para santri yang penasaran lantas bertanya kepada gurunya. “Itu tadi siapa, Kiai? Rasanya belum pernah datang ke sini,” tanya seorang santri senior yang tadi menyuguhi wedang.
“Itu tadi Imam Al-Ghazali. Beliau merestui kitab yang kutulis,” jawab Mbah Sholeh kalem.
“Lhoh. Subhanallah. Masya Allah. Bukankah Imam Al-Ghazali sudah wafat ratusan tahun lalu?” ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.
“Ya itulah karomah beliau. Mari kita berdoa tawassul kepada Imam Al-Ghazali agar ilmu kita diberkahi,” pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh santrinya kembali ke surau.
Ting……
Pondok Pesantren Darat yang terletak di kampung Melayu Darat, Semarang, jaman dulu memang terkenal sebagai pondok ‘pamungkas’. Ibarat universitas, pondok ini banyak dihuni santri yang telah lulus sarjana. Ibaratnya seperti pondok pascasarjana.
Para santri biasanya sudah menempuh studi di mana-mana, sudah berguru pada kiai-kiai Nusantara, lalu sebagai puncak pengembaraan ilmunya, datang ke ‘nDarat’ untuk tabarrukan (ngalap berkah) Syekh Muhammad Sholih bin Umar as-Samarany atau biasa dipanggil Mbah Sholeh Darat. Istilahnya ngaji untuk mbilasi. Mirip tindakan mengguyur air untuk pembilasan terakhir dalam aktivitas mencuci pakaian.
Dalam riwayat, KH Hasyim Asy’ari dan Darwis (nama kecil KH Ahmad Dahlan) juga diperintah oleh Syaichona Kholil Bangkalan agar berguru ke Mbah Sholeh Darat setelah tuntas mengaji pada beliau. Meski menurut sejarah, Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Ahmad Dahlan juga sudah berguru kepada Mbah Sholeh Darat semasa sama-sama di Mekah.
Diceritakan, pada suatu hari seorang santri asal Madura diusir oleh pengurus pondok karena dinilai sangat nakal. Kiai Sholeh Darat, sedang tidak ada di ndalem (rumah) saat pengusiran itu. Tindakan lurah pondok mengusir tidak salah karena memang dipasrahi oleh pengasuh untuk mengurus disiplin santri dan jadwal mengaji. Namun perisitiwa itu tanpa sepengetahuan Mbah Sholeh.
Si santri Madura seperti orang kalah perang kala boyong dari pondok ‘nDarat’. Berjalan kaki sambil menundukkan kepala dengan tangan memegang buntalan pakaian yang dipanggul di pundaknya. Masygul dia, menyesal telah berbuat kenakalan yang tak termaafkan.
Hatinya masih ingin belajar, menginginkan tetap di pesantren. Tapi apa lacur sudah diusir. Sepanjang jalan di malam hari itu ia menangis sesenggukan. Untuk melupakan kesedihan, dia pun berdzikir sambil membayangkan meminta maaf kepada Mbah Sholeh, kiainya.
Ia baca “Subhanallah”. Matanya terpejam karena merasa malu, saat berdzikir itu. Ditambah rasa kantuk yang melanda, tanpa disadarinya, setiap kali mulutnya membaca kalimat tasbih “Subhanallah” itu, tubuhnya sudah berpindah tempat yang jauh. Pada bacaan tasbih pertama, dia sampai Demak. Di bacaan tasbih kedua, tiba di Kudus. Ketiga, keempat, dan seterusnya, sampailah di Surabaya.
Hingga tahu-tahu dirinya sudah sampai pinggir pantai. Tetap dalam kantuknya, si santri terus berdzikir “Subhanallah”. Lalu tiba-tiba datang seekor ikan lumba-lumba. Entah dorongan dari mana, dia pun mencebur ke laut, lalu si lumba-lumba menggendong santri itu. Diseberangkan sampai Pulau Madura.
Si santri tidak sepenuhnya sadar ketika digendong berenang dari Surabaya menuju Madura. Dia tertidur pulas, sampai tergeletak di pingir pantai Madura. Merasa dingin, barulah dia bangun. Begitu tersadar, ia lalu membaca tasbih lagi.
Saat matanya terbuka lebar dan bersiap berjalan, lamat-lamat dia melihat sesosok orang berdiri di depannya. Masih di kegelapan malam itu, namun langit sudah menjelang fajar. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Dia dekati sosok yang berdiri di hadapannya.
Semakin dekat semakin kelihatan bahwa sosok itu ternyata seorang lelaki, sudah tua, dan bersorban. Bajunya khas model kiai zaman dulu. Setelah semakin jelas, terperanjatlah si santri Madura. Betapa kagetnya dia, ternyata yang tengah berdiri di depannya adalah gurunya sendiri, Kiai Sholeh Darat.
Dengan senyum lembut, dua tangan mulia sang kiai meraih muridnya itu. Dia sambut sendiri sang murid yang menangis dalam penyesalannya itu. Lalu sang murid diajak kembali ke Semarang untuk meneruskan ngajinya. Dia telah dimaafkan dan diperkenankan mondok kembali malam itu juga.
Ting……nyala!