Sang Penjaga Mata Air

 

sd10a

Mbah Kiai Sholeh Darat adalah sang penjaga mata air, atau mata air itu sendiri, yang menjadi hulu dari serangkaian faham yang kemudian menjadi aliran di tanah air.

 

Minimal ada tiga aliran kuat dan besar yang kemudian dikenal hingga saat ini. Aliran Nahdlatul Ulama (NU) dengan Mbah Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pendirinya, aliran Muhammadiyyah dengan Mbah Kiai Ahmad Dahlan, juga sebagai pedirinya, dan aliran emansipasi dengan RA Kartini sebagai pelopornya.

 

Berpatokan pada sejarah bagaimana ketiganya pernah sama-sama menjadi santri Mbah Kiai Sholeh Darat, agak mengherankan kalau hari ini kita melihat ketiga aliran itu hampir tidak pernah ada akurnya. Bahkan, di beberapa peristiwa ketiganya bisa ‘sampyuh’ dalam kekerasan yang hingar.

 

Yang orang NU meng-emoh-i orang Muhammadiyyah, begitu pun sebaliknya. Kecuali wong ayu, nanti gampang di-NU-kan atau di-Muhammadiyyah-kan, begitu pikirnya. Ndilalahnya, dan ini juga kacaunya, wong ayu yang dipikirnya bisa disetir kesana-kemari itu ternyata punya prinsip sendiri, atau yang lazimya hari ini kita sebut sebagai tuntutan emansipasi.

 

Lak yo dadi modar to yo.

 

Saya membayangkan ketiganya saat nyantri dulu, barangkali benar mereka pernah ‘adu pamor ala santri’, siapa yang menang hayo, kira-kira begitu. Namun saya yakin, ‘adu pamor’ antara beliau bertiga, kalau memang ini yang terjadi, bukanlah sebentuk dan tidaklah ada miripnya dengan ‘adu pamer’ seperti yang selama ini kita peragakan.

 

Lomba-lombaan yo siapa yang bisa mengajak orang dalam kemaslahatan paling banyak, mungkin bahasa adu santrinya begitu. Lalu masing-masing gerbong bertambah panjang. Saking panjangnya dan saking banyaknya orang-orang ingin sama mendapatkan kendaraan yang menyelamatkan, hingga kita yang jadi penumpang kemudian kadang saling bersitegang.

 

Ini cuma fantasi saya. Tidak usah dimasukkan hati.

 

Pastinya saya sangat mentakdzimi beliau bertiga. Ibarat menghirup aliran sungai, bahkan bisa menciduk dari salah satu kali kecil yang mana pun cabangnya bagi saya sudah cukuplah. Terlalu bermimpi kalau saya berharap bisa ikut masuh (membasuh) diri dalam aliran NU atau Muhammadiyyah yang begitu besar. Sementara, ikut-ikutan nyemplung di aliran emansipasi yo mana mungkinlah. Hehe.

 

Hanya saja, hari ini saya bermimpi tentang mata air. Dan ijinkan saya untuk tidak sekadar bermimpi tentang mata air. Tiba-tiba saya berhalusinasi untuk bisa mendatangi mata air Mbah Kiai Sholeh Darat. Mungkin tidak untuk apapun, karena saya juga tidak yakin bisa berbuat sedikit apapun di hadapan kebaikan yang banyak.

Sedikit pengetahuan tentang imajinasi spiritual yang mudah-mudahan bisa dipahami anak-anak saya kelak barangkali sudah cukuplah.

 

Ting…….

 

Hampir semua kitab karya Mbah Kiai Sholeh Darat berisi ajaran tasawuf. Meski membahas fiqih, isinya pun banyak ajaran tasawuf. Kitab kecil bab shalat dan wudhu, Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalat, juga berisi ajaran tentang tasawuf. Juga kitab Majmu’ Syariat  maupun Pasolatan. Terlebih dalam kitab yang memang membahas tentang tasawuf, seperti Munjiyat, Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’, Tarjamah Al-Hikam, dan Syarah al-Burdah, penuh ajaran tentang pembersihan hati dan penghambaan sejati kepada Allah Ta’ala.
Karena unggul dalam tasawuf, beliau dijuluki Imam Al-Ghazali-nya Jawa. Diluar, hampir semua kitab karyanya memang selalu mengutip ajaran tasawufnya Imam Al-Ghazali.
Kebiasaan  beliau usai mulang (mengajar) ngaji adalah menulis, mengarang kitab. Duduk di lantai kamar menghadap meja, dan dengan penerangan lampu teplok, lembar demi lembar kertas beliau goresi pena tutul tinta buatan China. Begitulah beliau senantiasa menuliskan gagasan atau ulasannya di atas kertas-kertas itu.

 

Tinta yang diwadahi sebuah cupu kecil berbahan tembaga itu terbuat dari larutan batang Bak dengan air yang dicampuri minyak wangi. Menurut banyak narasumber, minyak yang dipakai adalah Misik. Terbukti di kitab tulisan tangan asli Mbah Sholeh Darat yang sampai kini masih terjaga dan disimpan oleh cicitnya, bau wangi Misik masih terasa jika dibuka lembaran-lembarannya.
Dikisahkan, saat sedang tekun menulis kitab, suatu malam ada seorang tamu berbusana model Arab, berjubah dan bersurban. Oleh para santri, tamu itu disalami lantas disuguhi minum wedang. Kemudian diantarkan bertemu Mbah Sholeh di ruang pribadi beliau. Kata periwayat, saat itu beliau sedang menulis kitab Munjiyat, kembangan cuplikan dari kitab Ihya Ulumuddin.
Di teras langgar (surau) para santri mendengar sayup-sayup pembicaraan kiainya dengan sang tamu yang berbincang dalam bahasa Arab. Suara keduanya terdengar, tapi isi pembicaraan kurang jelas karena jarak dan dipisahkan dinding kayu di dalam ruangan.

Tengah malam sang tamu pamit pulang. Mbah Sholeh sendiri yang mengantarkan hingga serambi rumah. Usai melambai di ujung halaman, sang tamu itu melangkah ke arah jalan besar. Sekejap, lantas menghilang di kegelapan malam.
Para santri yang penasaran lantas bertanya kepada gurunya. “Itu tadi siapa, Kiai? Rasanya belum pernah datang ke sini,” tanya seorang santri senior yang tadi menyuguhi wedang.

“Itu tadi Imam Al-Ghazali. Beliau merestui kitab yang kutulis,” jawab Mbah Sholeh kalem.
“Lhoh. Subhanallah. Masya Allah. Bukankah Imam Al-Ghazali sudah wafat ratusan tahun lalu?” ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.

“Ya itulah karomah beliau. Mari kita berdoa tawassul kepada Imam Al-Ghazali agar ilmu kita diberkahi,” pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh santrinya kembali ke surau.
Ting……

 

Pondok Pesantren Darat yang terletak di kampung Melayu Darat, Semarang, jaman dulu memang terkenal sebagai pondok ‘pamungkas’. Ibarat universitas, pondok ini banyak dihuni santri yang telah lulus sarjana. Ibaratnya seperti pondok pascasarjana.

 

Para santri biasanya sudah menempuh studi di mana-mana, sudah berguru pada kiai-kiai Nusantara, lalu sebagai puncak pengembaraan ilmunya, datang ke ‘nDarat’ untuk tabarrukan (ngalap berkah)  Syekh Muhammad Sholih bin Umar as-Samarany atau biasa dipanggil Mbah Sholeh Darat. Istilahnya ngaji untuk mbilasi. Mirip tindakan mengguyur air untuk pembilasan terakhir dalam aktivitas mencuci pakaian.

 

Dalam riwayat, KH Hasyim Asy’ari dan Darwis (nama kecil KH Ahmad Dahlan) juga diperintah oleh Syaichona Kholil Bangkalan agar berguru ke Mbah Sholeh Darat setelah tuntas mengaji pada beliau. Meski menurut sejarah, Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Ahmad Dahlan juga sudah berguru kepada Mbah Sholeh Darat semasa sama-sama di Mekah.

 

Diceritakan, pada suatu hari seorang santri asal Madura diusir oleh pengurus pondok karena dinilai sangat nakal. Kiai Sholeh Darat, sedang tidak ada di ndalem (rumah) saat pengusiran itu. Tindakan lurah pondok mengusir tidak salah karena memang dipasrahi oleh pengasuh untuk mengurus disiplin santri dan jadwal mengaji. Namun perisitiwa itu tanpa sepengetahuan Mbah Sholeh.

 

Si santri Madura seperti orang kalah perang kala boyong dari pondok ‘nDarat’. Berjalan kaki sambil menundukkan kepala dengan tangan memegang buntalan pakaian yang dipanggul di pundaknya. Masygul dia, menyesal telah berbuat kenakalan yang tak termaafkan.

 

Hatinya masih ingin belajar, menginginkan tetap di pesantren. Tapi apa lacur sudah diusir.  Sepanjang  jalan di malam hari itu ia menangis  sesenggukan.  Untuk melupakan kesedihan, dia pun berdzikir sambil membayangkan meminta maaf kepada Mbah Sholeh, kiainya.

 

Ia baca “Subhanallah”. Matanya terpejam karena merasa malu, saat berdzikir itu. Ditambah rasa kantuk yang melanda, tanpa disadarinya, setiap kali mulutnya membaca kalimat tasbih “Subhanallah” itu, tubuhnya sudah berpindah tempat yang jauh. Pada bacaan tasbih pertama, dia sampai Demak. Di bacaan tasbih kedua, tiba di Kudus. Ketiga, keempat, dan seterusnya, sampailah di Surabaya.

 

Hingga tahu-tahu dirinya sudah sampai pinggir pantai. Tetap dalam kantuknya, si santri terus berdzikir “Subhanallah”. Lalu tiba-tiba datang seekor ikan lumba-lumba. Entah dorongan dari mana, dia pun mencebur ke laut, lalu si lumba-lumba menggendong santri itu. Diseberangkan sampai Pulau Madura.

 

Si santri tidak sepenuhnya sadar ketika digendong berenang dari Surabaya menuju Madura. Dia tertidur pulas, sampai tergeletak di pingir pantai Madura. Merasa dingin, barulah dia bangun. Begitu  tersadar, ia lalu membaca tasbih lagi.

 

Saat matanya terbuka lebar dan bersiap berjalan, lamat-lamat dia melihat sesosok orang berdiri di depannya. Masih di kegelapan malam itu, namun langit sudah menjelang fajar. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Dia dekati sosok yang berdiri di hadapannya.

 

Semakin dekat semakin kelihatan bahwa sosok itu ternyata seorang lelaki, sudah tua, dan bersorban. Bajunya khas model kiai zaman dulu. Setelah semakin jelas, terperanjatlah si santri Madura. Betapa kagetnya dia, ternyata yang tengah berdiri di depannya adalah gurunya sendiri, Kiai Sholeh Darat.
Dengan senyum lembut, dua tangan mulia sang kiai meraih muridnya itu. Dia sambut sendiri sang murid yang menangis dalam penyesalannya itu. Lalu sang murid diajak kembali ke Semarang untuk meneruskan ngajinya. Dia telah dimaafkan dan diperkenankan mondok kembali malam itu juga.

 

Ting……nyala!

RA Kartini dan Mbah Kyai Sholeh Darat

mbah-kyai-sholeh-darat

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.” begitu RA Kartini berkata pada suatu saat.

Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Bahkan berawal dari ucapan RA Kartinilah, barangkali bisa dikatakan begitu, kemudian Mbah Sholeh Darat berinisiatif menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Menurut catatan RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis: “Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Al-Qur’an terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

RA Kartini melanjutkan curahan hatinya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon.

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya?”

Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.

Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat-surat Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat Semarang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.

Takdirlah yang kemudian,mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al- Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar: menterjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa Jawa.

Hanya persoalannya pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi juga melarang orang menterjemahkan Al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat kemudian mensiasati penterjemahan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, Bupati Rembang.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.” (inilah dasar dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”)

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.” (QS. al-Baqarah: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

Di puncak ketundukan, seorang manusia menunjukkan kerendahan dirinya. Harapan tertinggi agar diterima sebagai hamba-Nya. Hilang segala status, sirna segala kebendaan, pasrah seutuhnya. Seutuh-utuhnya.

Begitulah ketika agama memberikan cahayanya. Dia yang mencari akan menemukan, dia yang merasa sudah mendapatkan akan kejedot pintu hingga benjolan.

Ting….nyala!