TAN JIN SING, Orang Wonosobo, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

Tan Djing Sin_gusblero_3

 

SEBUAH POSTINGAN tweeter menggelitik saya: “Sebenarnya Tan Jing Sin (1760-18310, BUKAN Raffles, sebagai penemu Candi Borobudur. Gubernur Jendral Raffles, takkan tercatat dlm sejarah sebagai penemu Borobudur, jika Pimpinan Tionghoa sekaligus Bupati Jogja bernama Tan Jing Sin tak menunjukkan jalan menuju Candi Borobudur.” (@Azmiabubakar12 , tweet 7 Sep 2019).

 

Berbekal postingan itu saya kemudian melacak history terkait itu. Dan ini hasilnya:

 

Pada 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

 

Saat itu, Raffles mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd.

 

Tan Jin Sing kemudian menyampaikan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil. Demikian ditulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta.

 

Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan.

 

Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. Kata Paimin namanya candi Borobudur, tulis Werdoyo.

 

Kondisi candi saat itu menyedihkan. Ditumbuhi tanaman dan bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali.

 

Borobudur tempo dulu

 

Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha.

 

“Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo.

 

Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia.

 

Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro.

 

Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813.

 

Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan.

 

Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro.

 

Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.”

 

Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius.

 

Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan.

 

Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat.

 

Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

 

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing yang kemudian terkenal sebagai Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu?

 

Tan Djing Sin_gusblero_1

 

Menyebut nama Kapitan Tan Jin Sing bisa jadi sebagian kita banyak yang tidak mengenalnya. Namun  bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya Tan Jin Sing adalah seorang tokoh yang sangat dibanggakan. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Menilik dari sejarahnya, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.

 

Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.

 

Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Ternyata salah, Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.

 

Dalam riwayatnya Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau lebih dikenal dengan panggilan Bah Teng Long.  Namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.

 

Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.

 

Pendapat ini merujuk dari silsilah Bupati Banyumas Raden Tumenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.

 

Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Raden Ayu Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.

 

Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada Raden Ayu Patrawijaya agar diperkenankan mengasuh dan membesarkan Raden Luwar.

 

Tan Djing Sin_gusblero_6

 

Singkat cerita permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari Raden Ayu Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.

 

Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan Raden Ayu Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya Raden Ayu Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.

 

Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.

 

Tan Djing Sin_gusblero_5

Alkisah Anglingdarma

gusblero - anglingdarma

 

Pernikahan Jayabaya dengan Dewi Sarah diantaranya menurunkan Dewi Pramesti yang kemudian menikah dengan Astradarma dan melahirkan Anglingdarma, dan seterusnya.

 

Secara pribadi saya tidak tahu percis kisahnya, bahkan sama sekali tidak menyangka pernah berada di wilayah yang dianggap ‘werid’ ato keramat itu. Dalam bayangan imajiner saya (dan ini juga bisa sangat salah) saya hanya melihat ‘angkin’ dengan rentetan kutukan tak berujung. Selembar angkin, saya tidak tahu apakah jika itu berada di tangan yang tepat akan bisa memupus serangkaian fenomena penuh tumbal itu…

 

Sejarah Anglingdarma tidaklah sesyahdu laiknya kisah raja-raja atau pangeran jaman now.  Hidupnya penuh melodrama dan babak belur dengan rentetan simbolik yang tak gampang kita cerna. Petualangan Anglingdarma mirip-mirip kisah Hercules, putera dewa Zeus, lengkap dengan bintang tamu yang aneh-aneh dalam bagian-bagian episodenya. Ada kisah manusia berubah jadi burung untuk bisa menelusup dan melakukan balas dendam, ada burung yang bisa mengabarkan di mana letak harta karun lalu merubah tuannya jadi agan-agan, dan ada pula tukang patung yang meminta kekuatan dari patung yang diukirnya sendiri.

 

Balas dendam yang tak terampunkan, yang tidak cukup nyawa dibayar dengan nyawa. Babad Anglingdarma mungkin saja serupa kegusaran sejarah saat Harut Marut diturunkan di bumi. Orang bisa bersalin wadag, dan membuahi perempuan yang melihatnya sebagai suaminya yang sebenarnya. Maka wajar, balas dendam yang tak lazim kemudian melahirkan kutukan karena duel satu lawan satu tak bisa dihadirkan.

 

Ketika sihir menjadi wujud kesaktian personal yang secara hukum disahkan, tak pelak drama tentang kegaiban itu bisa diamini lewat jalan apa saja, yang mau tidak mau kita dipaksa untuk mempercayainya. Jelasnya, kisah Anglingdarma pasti terjadi pada abad-abad gelap ketika manusia justru lebih bisa berbicara dengan bahasa perlambang ketimbang dengan mulutnya.

 

Entahlah…..saya bukan highlander kok…

 

Once upon a time, there was Anglingdarma mendapati sepasang burung jalak memadu kasih pada dahan pohon yang kebetulan berada persis di atas kepalanya. Tak tahu dua jalak tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Batara Guru dan istrinya Dewi Uma, Anglingdarma lantas memanah sepasang burung jalak tersebut. Jebreett…

 

Panah itu tentu saja meleset. Entah karena para Batara memang dibekali sonar aji lembu sekilan, atau karena Anglingdarma kurang minum aqua. Tetapi Batara Guru yang sudah kadung marah, lantas mengutuk Anglingdarma akan berpisah dengan istrinya karena mengganggu keharmonisan dalam bercinta.

 

Terngiang-ngiang bagai kena hipnotis oleh kutukan tersebut, Anglingdarma lalu jadi loyo dalam melayani istrinya. Tentu saja Dewi Setyowati yang tak memahami alasannya, merasa terhina sekaligus kecewa, dan menganggap Anglingdarma sudah tak sudi pada dirinya. Biasa bro lagu lama, no woman no cry.

 

Menyadari sang bini sedang sensi-sensinya begitu, Anglingdarma lantas berusaha menenangkan dirinya dengan pergi berburu. Di hutan, dia melihat Nagagini yang merupakan istri dari Nagaraja atau Nagapertala sahabatnya, sedang berselingkuh dengan seekor Ular Tampar. Anglingdarma sontak murka dan memanah si Ular Tampar hingga mati. Sialnya, ekor Nagagini terserempet anak panah hingga terluka.

 

Nagagini memfitnah Anglingdarma dan mengadu pada Nagapertala bahwa Anglingdarma hendak membunuhnya. Beruntung, Anglingdarma bisa meyakinkan Nagapertala tentang kejadian yang sebenarnya sembari menunjukkan bangkai Ular Tampar yang dipanahnya. Walhasil, Nagapertala merasa ditolong kehormatannya, dan sebagai ucapan terima kasih ia mengajarkan Aji Gineng, ilmu untuk menguasai bahasa binatang kepada Angling Darma, disertai pesan agar ilmu tersebut tak boleh diajarkan kepada siapapun.

 

Berikutnya, Anglingdarma sudah lupa dengan kutukan Batara Guru, kembali ke kerajaan. Dia sudah rindu dengan istrinya. Sialnya saat keduanya sedang bercumbu, Anglingdarma yang sudah menguasai Aji Gineng sehingga bisa mengetahui bahasa binatang, mendengar suara cicak jantan yang sedang merayu cicak betina, karena tergiur dengan apa yang sedang dilakukan Anglingdarma dan istrinya. Seketika Anglingdarma marah dan hilang lagi selera.

 

Kejadian tak terduga itu benar-benar membuat Dewi Setyowati kecewa besar. Dua kali masygul dalam kondisi foreplay kali ini tak termaafkan. Malu diujung tak berujung (istilah apalagi nih? 😀 ) Dewi Setyowati lalu memilih harakiri dengan cara membakar dirinya.

 

Anglingdarma menyesal bukan kepalang. Ilmu yang tanpa kendali ternyata sungguh musuh terselubung yang paling nyata bagi pemiliknya. Maka, demi menunjukkan cintanya serta untuk menghormati pengorbanannya, ia bersumpah tak akan menikah lagi.

 

Kesamsaraan ternyata tidak berakhir disitu. Cinta, deritanya tiada akhir, begitu kata Ki Pat Kay dalam lakon Sun Go Kong. Sumpah Anglingdarma terdengar oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Masih dendam dengan Anglingdarma, Dewi Uma mengajak Dewi Ratih untuk menguji sumpah Anglingdarma.

 

Keduanya merubah diri menjadi dua wanita cantik dan menggoda sang Prabu Malawapati, hingga runtuhlah keteguhan sumpah Anglingdarma, dia menanggapi godaan dua gadis cantik tersebut. Lalu begitu Anglingdarma bertekuk lutut dalam buaian amor, saat itulah kedua gadis merubah dirinya kembali menjadi dua Dewi Kahyangan.

 

Dewi Uma kemudian menghukum Anglingdarma dengan menyuruhnya mengembara meninggalkan istana, dimana akan banyak godaan yang harus dihadapi Anglingdarma untuk mempertebal imannya. Kerajaan Malawapati untuk sementara diperintah oleh Batik Madrim.

 

Dalam pengembaraannya kemudian, Angling Darma sampai di kediaman tiga gadis cantik yang bernama Widata, Widati dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Anglingdarma hingga menahannya untuk pergi. Anglingdarma mengiyakan. Namun bukan sebab-sebab asmara semata, ia terusik untuk menyelidiki tingkah aneh ketiga gadis tersebut yang sering keluar malam.

 

Hingga suatu malam, saat ketiga gadis tersebut keluar rumah, Anglingdarma segera merubah dirinya menjadi seekor Burung Gagak untuk mengikuti kemana ketiga gadis itu pergi. Rupanya, Widata, Widati dan Widaningsih adalah tiga putri siluman yang suka makan daging manusia. Tentu saja Anglingdarma tak bisa lantas tinggal diam.

 

Ia mengecam perbuatan ketiga putri siluman itu, namun lantaran masih terkejut dengan apa yang baru dilihatnya, Anglingdarma justru kalah melawan ketiga putri siluman itu, yang lalu mengutuknya menjadi seekor burung belibis putih. Saat menjadi burung belibis itulah, kepercayaan diri Anglingdarma hampir terkikis habis….

 

Ya udah teruskan sendiri ceritanya….saya tahunya baru segitu kok…

 

Swear, bukan niat saya hendak main-main. Sesusah-susahnya mempelajari ilmu agama, ternyata lebih susah mempelajari antropologi budaya yang berisi etnolinguistik, prehistori, etnologi yang bias antara mana perlambang mana kenyataan. Padahal kasat mata daya linuwih kekuatan manusia itu di mana-mana juga sama. Sejarahnya juga hampir sama. Kalau di Baghdad ada kisah seribu satu malam, di negeri kita juga ada kisah Tantri Kamandaka, yang narasinya juga serupa.

 

Berbicara soal petualangan sih kelihatannya asyik, namun dalam konteks agama keseluruhan cerita itu dikategorikan dalam kisah-kisah Israiliyat, merujuk pada sesuatu yang tidak penting.

 

Seribu keasyikan membaca kisah-kisah seperti itu, bagi saya lebih menentramkan memperdalam ilmu tentang rasa syukur seperti apa yang telah diajarkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq:

 

”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah mengilhamkan kepadanya ketaatan, membiasakan dirinya dengan qana’ah (menerima apa yang ada), mengkaruniakan baginya pemahaman agama, menguatkannya dengan keyakinan, mencukupkannya dengan sifat al-kafaf (rezeki yang memadai), memeliharanya dengan sifat al-‘afaf (dijauhkan dari yang tidak halal), serta memakaikannya Ghina (kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain).

Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan menjadikannya mencintai harta dan memudahkan baginya untuk memperolehnya, mengilhamkan kepadanya dunianya, menyerahkannya pada hawa nafsunya, serta membiarkannya mengendarai al-‘inaad (keras kepala), mudah berbuat fasad (kerusakan), dan mendholimi hamba-hamba-Nya.” Wallahu A’lam Bishawab.

 

Gusblero Free

Raden Sahid dan Empat Jalan Keutamaan

gusblero - sunan kalijaga

 

1537 Tahun Saka. Selepas geger di Tuban, Raden Sahid mengembara jauh menuju kulon. Tujuan sebenarnya Gunung Jati. Di alas Babakan ia bertemu seorang lelaki tua yang meminta tasbeh yang dikalungkan di lehernya untuk ditukar dengan sebuah cerita tentang jalan kemuliaan. Raden Sahid tertegun sejenak. Tasbeh adalah benda terakhir yang ia miliki selain pakaian lusuh yang sudah berminggu-minggu menempel di tubuhnya.

 

Sekali menegaskan pandangannya, tahulah ia siapa lelaki tua yang kini bersila di hadapannya. Dengan membungkuk ia menyembah, mengambil tasbeh yang melingkari lehernya, lalu menghaturkannya dengan penuh penghormatan. Dua berdua mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan di bawah pohon rindang dengan sebuah mata air memancar di sisinya.

 

Cerita tentang jalan keutamaan menuju kemuliaanpun mengalir. Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Lelaki tua itu juga mengajarkan jangan sampai Agama sebagai ageming aji menghambat Raden Sahid dalam pergaulan dengan sesamanya, kecuali Pangeran Jati memang telah memberikan dawuh-Nya.

 

Mengikuti saran lelaki tua yang ditemuinya tersebut, Raden Sahid kemudian ngawula (bekerja laiknya orang kecil) kepada Adipati Agung Urawan. Dalam pengelanaan ini Raden Sahid menggunakan nama Durahman.

 

Adipati Agung Urawan sangat sayang kepada Durahman. Suatu hari, ia diajak berburu ke hutan, tetapi senjata Sang Adipati tertinggal di istana. Durahman disuruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden Taruna, anak Patih Yodipati. Cerita tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan yang pertama terjadi, jangan suka membuka rahasia orang lain.

 

Durahman segera kembali ke hutan dengan membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera mendahului menyusul suaminya ke hutan dengan kereta, serta mengadukan bahwa Durahman telah hendak berlaku tidak senonoh kepada dirinya. Mendengar cerita itu Adipati Agung Urawan meradang. Tanpa pikir panjang, Adipati Agung Urawan kemudian menulis sepucuk surat kepada Patih Yodipati yang isinya menitahkan orang yang membawa surat harus dibunuh. Jika tidak, Patih Yodipati sendiri yang akan dipenggal kepalanya.

 

Adipati Agung Urawan kemudian mengutus Durahman mengantarkan surat itu. Setelah itu Adipati Agung Urawan meredakan kegelisahan istrinya dengan menjelaskan bahwa yang telah mencoba merusak pagar ayu taman kautaman akan segera dibunuh oleh Patih Yodipati.

 

Dalam perjalanan, Durahman bertemu dengan Raden Taruna. Keduanya lalu berjalan bersama ke kepatihan. Ditengah perjalanan, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta keduanya untuk singgah. Cerita tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan yang kedua pun terjadi, jangan menolak rezeki. Teringat wejangan lelaki tua di alas Babakan, Durahman pun lalu singgah dan ikut berkenduri.

 

Raden Taruna yang tidak sabar menunggu hingga kenduri, secara diam-diam mengambil surat dari Adipati Agung Urawan yang dibawa oleh Durahman. Ia menyelinap pergi meninggalkan Durahman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada ayahnya. Dan sekejap setelah membaca isi surat itu, tanpa bertanya lagi Patih Yodipati menuruti isi perintah: ia penggal kepala anaknya hingga meninggal seketika. Tidak lama kemudian, Durahman tiba di rumah Patih Yodipati yang segera menyuruhnya mengambil mayat Raden Taruna untuk dihadapkan pada Adipati Agung Urawan.

 

Adipati Agung Urawan terkejut melihat kedatangan Durahman yang membawa mayat Raden Taruna. Ia lalu bertanya menyelidik, termasuk juga kepada istrinya, hingga kemudian sadar dan memahami kebohongan apa yang sebenarnya telah terjadi.

 

Paska kejadian itu Adipati Agung Urawan bertambah sayang kepada Durahman. Selanjutnya ia mengangkat Durahman menjadi duta khusus menemui Ratu Leuweungan di kerajaan Halimun yang terletak di pesisir kidul.

 

Kunjungan Durahman di kerajaan Halimun tidaklah semulus yang dibayangkan. Selain terjebak dalam oyot nimang, berputar-putar arah tetapi kembali ke tempat yang sama, ia juga harus terlibat dalam banyak ujian dan pertempuran hingga kemudian berhasil menundukkan sang Ratu.

 

Dan itu ternyata bukan babak akhir. Sang Ratu mau menjadi sekutunya asalkan Durahman bersedia menikahinya. Syarat itu tak bisa ditolaknya, hingga cerita lelaki tua tentang empat jalan keutamaan menuju kemuliaan pun terjadi lagi.

 

Malam hari saat hendak tidur Duraman teringat kembali wejangan bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan dengan berpura-pura tertidur. Beranjak larut Ratu Leuweungan yang merasa kesal dan diserang lelah akhirnya pun tertidur  juga.

 

Tengah malam Durahman bangkit dari ranjangnya. Saat duduk termangu sambil memandang tubuh sang mempelai, tiba-tiba seekor kelabang putih keluar dari aurat Ratu Leuwungan dan menyerangnya. Sigap kelabang putih itu ditangkapnya dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang kelak dikenal sebagai keris Kalamunyeng.

 

Keesokan paginya, rakyat negeri Halimun sudah terlihat berkumpul di depan istana sambil membawa keranda. Kisah yang selama ini sudah sering terjadi, setiap orang yang menikah dengan Ratu Leuweungan keesokan harinya pasti meninggal. Kemunculan Durahman sebagai lelaki pertama yang keluar dari ranjang sang Ratu tak pelak membuat semua jadi terkejut. Dan sang Ratu yang tak ingin kehilangan wajah di hadapan rakyatnya segera menceburkan diri ke dalam pusaran laut kidul, tempat mana ia bersumpah diri menyerahkan janji setia kepada Durahman alias Raden Sahid hingga kapan pun waktunya!

 

Gusblero Free, 8 Januari 2018

Alap-alap Gunung Bisma

gusblero - surawana2a

 

Ini kisah tentang Surawana, alap-alap gunung Bisma yang namanya hingga kini masih dikenal oleh masyarakat Wonosobo dan sekitarnya. Tatkala mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, ”Sura, siapakah gurumu?” Dia menjawab, “Aku memiliki banyak guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

 

GURUKU YANG PERTAMA ADALAH SEORANG PENCURI

Suatu saat aku aku tiba di sebuah kota. Malam larut, hingga semua tempat telah tertutup. Sebagai orang perdikan desa yang terbiasa bekerja sendiri, kondisi ini tentu saja membingungkanku. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang nggangsir (melubangi tanah dekat dinding) pada sebuah rumah. Hmm…amatir, dalam hati aku berkata.

 

Tidak susah untuk mendekatinya. Dan agak terkejut pemuda itu ketika mendadak aku sudah berada sedepa di hadapannya. Maka sebelum ia panik, aku bertanya kepadanya di mana aku bisa menginap. Masih dengan nada gugup ia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”

 

Pencuri? Hmm…amatir begitu tidak pernah menyangka yang di hadapannya adalah seorang alap-alap, begal yang bisa merasa tersinggung bocah ingusan begitu mengaku sebagai pencuri. Sungguh sebuah dagelan yang memalukan.

 

Tetapi menghadapi keluguannya tiba-tiba terbersit keinginanku untuk tinggal bersamanya dan mengujinya. Dan diluar dugaan, sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan, dimana setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.”

 

Selalu begitu dan saat dia telah kembali aku bertanya, “Apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.

 

Itu adalah sebuah kisah dimasa lalu. Tahun-tahun jauh sebelum kemudian aku ber-khalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan diakhir waktu tidak terjadi apapun. Begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

 

GURUKU YANG KEDUA ADALAH SEEKOR ANJING

Pada sebuah pelarian aku didera begitu kehausan. Tatkala aku pergi ke sungai, seekor anjing tiba-tiba mendekatiku dan nampaknya ia juga kehausan. Anjing itu menyorongkan kepalanya ke sungai, hingga saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada anjing lainnya “bayangannya sendiri”di sana, ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh.

 

Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.

 

GURUKU YANG KETIGA ADALAH SEORANG ANAK KECIL

Pada sebuah perkampungan di lereng gunung Sindoro petang hari, aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang obor kecil yang menyala. Dia sedang menuju sebuah surau untuk belajar mengaji seperti layaknya anak-anak dusun pada masa itu.

 

Sekedar mencandai aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang membuat obor itu, Nak?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana obornya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana obornya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada obor itu?”

 

Anak kecil itu tertawa, lalu meniup obornya. Tepat di depan surau anak kecil itu berkata, “Sekarang Bapak telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”

 

Kesombonganku remuk redam, seluruh martabat dan pengetahuanku sebagai dedengkot alap-alap gunung Bisma berantakan. Pada saat itu tiba-tiba aku menyadari kepandiranku sendiri dan sejak saat itu aku letakkan, aku tanggalkan seluruh ilmu pengetahuanku.

 

Wahai pencari ilmu, adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru Spiritual. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Bahkan dalam kehidupanku sebagai seorang begal aku mempelajari banyak hal untuk tidak coba-coba melawan alam. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon, kehidupan binatang. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan.

 

Aku tidak memiliki seorang guru Spiritual karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber sepanjang pengembaraan dan petualanganku!

 

Gusblero Free

 

Note: dari berbagai sumber

Maharani Shima

sima11

 

Shima, Sihma, atau sering dituliskan sebagai Sima, adalah putri seorang pendeta di wilayah Sriwijaya. Ia dilahirkan tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut Musi Banyuasin. Tahun 628 ia dipersunting oleh pangeran Kartikeyasingha yang merupakan keponakan dari kerajaan Melayu Sribuja. Menyeberangi laut Jawa, melewati pantai utara Jepara, ia kemudian diboyong ke daerah yang dikenal sebagai wilayah Adi Hyang (Leluhur Agung), atau Dieng sekarang. Di sinilah kemudian Shima, sebagai pemeluk Hindu Syiwa yang taat, kemudian tinggal.

 

Ayah Kartikeyasingha adalah Raja Kalingga yang memerintah antara tahun 632-648 M. Tahun 648 M ketika ayahandanya wafat, Kartikeyasingha naik tahta dan memerintah sampai tahun 674 M. Mulai saat itulah peran permaisuri Shima dalam politik mulai kelihatan.

 

Perkawinan Kartikeyasingha dengan Shima melahirkan dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara). Lalu untuk mempererat persahabatan dengan kerajaan Galuh Purba, yang wilayahnya sampai di sekitar perbatasan sungai Ci Serayu, mereka kemudian menjodohkan anaknya yang bernama Parwati dengan Amara (Mandiminyak), anak Raja Galuh Wretikandayun .

 

Saat Kartikeyasingha wafat tahun 674, Shima mengambil alih posisi suaminya sebagai raja sampai dengan tahun 695 M dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Menurut sejarah, Ratu Shima, yang telah menjadi janda itu, kemudian sempat dipinang oleh Sri Jayanasa raja Sriwijaya, namun Ratu Sima menolaknya. Ia tidak bisa mentolerir sikap kerajaan Sriwijaya yang telah melakukan ekspansi besar-besaran menyerbu Melayu Sribuja, kerajaan kakak mertua sang ratu.

 

Karena alasan itu pada tahun 686 Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Mengetahui rencana ini, Tarusbawa, raja Sunda, turun tangan dan mengirim surat kepada Sri Jayanasa bahwa ia tidak setuju dengan rencana itu. Alasannya adalah agar jangan timbul kesan bahwa gara-gara pinangannya ditolak oleh Ratu Sima, maka Sri Jayanasa hendak menyerbu Kalingga. Mau tak mau Sri Jayanasa terpaksa menyetujui usul Tarusbawa, yang juga adalah saudaranya sendiri. Kapal-kapal Kalingga, yang waktu itu sempat ditahan, dilepaskan setelah hartanya dirampas. Tindakan Sriwijaya hanya sekedar mengganggu keamanan laut Kalingga.

 

Sri Jayanasa Raja Sriwijaya mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704). Sedangkan Ratu Shima mangkat 3 tahun kemudian, yaitu tahun 695 M. Sebelum mangkat, Kerajaan Kalingga dibagi dua. Di bagian utara disebut Bumi Mataram (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M). Di bagian selatan disebut Bumi Sambara (dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala, 695 M-742 M).

 

Sanjaya (cucu Parwati) dan Sudiwara (cucu Narayana) kelak menjadi suami isteri. Perkawinan mereka adalah perkawinan antara sesama cicit Ratu Sima. Anak hasil perkawinan mereka bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.

 

Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Kalingga sehingga membuat Raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran. Masa-masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama Budha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Budha).

 

Dalam hal bercocok tanam Ratu Shima juga mengaudopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang sistem pengairan yang diberi nama Subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian melahirkan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan cara bertani atau bercocok tanam.

 

Kerajaan Kalingga beratus tahun yang lalu bersinar terang emas penuh kejayaan. Memiliki Maharani Sang Ratu Shima nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di banyak negeri. Pamor Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadap muka dengannya, apalagi menantang. Situasi ini justru membuat Ratu Shima amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.

 

Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan menukarkan posisi pejabat penting di lingkungan istana. namun puluhan pejabat yang digantikan ditempat yang tak diharap, maupun yang dipensiunkan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sanghyang Maha Wenang.

 

Berita tentang Ratu Shima yang adil beserta negerinya yang makmur dan rakyatnya yang jujur telah terdengar sampai China dan sampai di telinga Raja Ta-che. Raja Ta-che penasaran kenapa kerajaan Holing (Kalingga) bisa begitu terkenal akan kejujurannya hingga sampai terdengar di China yang terbilang sangat jauh dari Jawa. Akhirnya Raja Ta-che ingin membuktikan kebenaran dari kejujuran rakyat Kalingga.Ia pun mengirim utusann untuk membuktikan hal itu. Utusan Raja Ta-che diperintah untuk menaruh pundi-pundi emas secara diam-diam di tengah jalan dekat keramaian pasar. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga sampai tiga tahun pundi-pundi itu ternyata tetap di tempat semula tak ada yang menyentuh apalagi memindahkannya.

 

Hingga suatu hari anak tertua dari Ratu Shima saat berjalan melewati pasar, tak sengaja kakinya menyenggol pundi-pundi tersebut. Salah seorang (pengawas utusan) melihat kejadian tersebut, lalu melaporkan kepada pemerintah kerajaan akan kejadian tersebut. Segera setelah mendapatkan laporan tersebut Ratu Shima langsung memerintahkan hukuman mati kepada pelakunya, yang tak lain adalah anaknya sendiri.

 

Beberapa Patih kerajaan tidak setuju dengan keputusan Ratu Shima. Mereka mengajukan pembelaan untuk Sang Putra Mahkota. Pembelaan mereka yaitu, Sang Putra Mahkota menyenggol pundi-pundi tersebut karena tidak sengaja dengan kakinya, maka lebih baik cukup kakinya saja yang dipotong, tidak perlu dihukum mati karena tidak ada unsur kesengajaan.

 

Setelah melalui perdebatan yang panjang, Ratu Shima menyetujui pembelaan dari Patih kerajaan. Sang Putra Mahkota pun akhirnya hanya dihukum potong jari dari kaki yang telah menyenggol pundi-pundi tersebut. Akhirnya uusan Raja Ta-che kembali ke china setelah melihat kebenaran tentang adilnya Ratu Shima yang mau menghukum anaknya yang telah melakukan kesalahan dan kejujuran rakyat Holing (Kalingga) yang benar-benar luar biasa.

 

Catatan tentang kerajaan Kalingga bisa dirunut dalam Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti ini bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Dalam Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Serayu (Sarayu, dalam bahasa Devanagari atau Kota Dewa) adalah sungai kuno yang mengalir di daerah yang kini disebut Uttar Pradesh di India. Sungai ini merupakan satu dari tujuh mata air yang disucikan (sungai Gangga, sungai Sindhu, sungai Saraswati, sungai Wipasa, sungai Kausika, sungai Yamuna, dan sungai Serayu).

 

Sungai Sarayu di India juga memainkan peran penting untuk kota dan kehidupan Ayodhya, dan menurut wiracarita Hindu Ramayana, sungai ini adalah tempat Rama, Awatara ketujuh Wishnu memasukkan dirinya untuk kembali ke bentuk abadinya, bentuk Mahawisnu ketika ia mengundurkan diri dari tahta Kosala. Sarayu juga merupakan sungai, dimana tepinya adalah tempat Raja Rama lahir.

 

Menurut para sejarahwan candi dieng dibangun pada abad ke-7 Masehi. Perintah membangun candi diberikan oleh Ratu Shima dari Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga. Tujuannya sebagai tempat pemujaan. Ratu Shima juga mendirikan beberapa candi lain di kawasan Dieng, seperti Candi Gatotkaca di bukit Pangonan, Candi Dwarawati di kaki Gunung Prahu, dan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di Dieng. Candi-candi yang berada di luar kompleks tersebut pada umumnya terletak menyendiri dan dikelilingi pepohonan.

 

Apabila melihat dari namanya, Kerajaan Kalingga kemungkinan didirikan oleh sekelompok orang India yang mengungsi dari sebelah timur India ke Nusantara. Dugaan ini didasarkan pada laporan tentang penghancuran daerah Kalingga di India Raja Harsja. Orang Kalingga yang tersisa melarikan keluar negeri. Mereka berasal Orrisa yang kerajaannya dihancurkan oleh maharaja Asoka.

 

Kalingga di India adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaannya. Negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang secara dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma. Kesejarahan semacam inilah yang nampaknya atau mungkin saja mengilhami Maharani Ratu Shima dalam mengatur pemerintahannya saat itu.