6. Guru Suci ing Tanah Jawi

 

Sunan Kalijaga adalah guru suci Tanah Jawi. Tanjakan spiritualnya sudah dapat merasakan ‘mati sajroning urip’, mati dalam kenyataan hidup. Pun demikian ia masih mempunyai himatulaliyyah (cita-cita yang tinggi), ingin memperoleh petunjuk dari seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.

Khidr-green-man

 

Ling lang ling lung…..Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami telah diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun ia merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur hidup hanya puas makan dan tidur.

 
Ling lang ling lung…..ia memohon pada Tuhan, agar hatinya bisa istiqomah (mantap), ‘tutug, tatag, teteg’ selaras hati (mantiq), selaras jalan menuju sembah dan puji. Tiada putusnya berdoa, namun tetap terselip kekhawatiran akan dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah.

 
Ling lang ling lung…..sekian lama beliau berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliau mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?

 
Ling lang ling lung…..akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Ia menyendiri, menempuh jalan sunyi menjauhi urusan duniawi (uzlah). Akan tetapi masih tetap saja ada gejolak saling bertempur dalam jagad batinnya sendiri.

 

 

Tersiksa dan terlunta-lunta ia membiarkan hidupnya membelukar seperti belantara liar yang lillah, terserah Tuhan saja. Ia membiarkan dirinya dibakar matahari dan bila malam menjelang dibiarkannya dingin yang mencekam itu membesutnya sebagai gelandangan fakir yang hingga anjing saja tak bernafsu mendekatinya. Jika ada yang menawarinya makan, ia makan dengan rakusnya, namun jika tak ada makanan maka dia bersiap tidak makan dan berlapar seumur hidupnya. Seperti itulah laku hidup pengemis jaman dulu, tidak berjalan dari rumah ke rumah meminta-minta, tetapi duduk diam menunggu disatu tempat, terserah ada yang mau memberi derma atau tidak.

 
Ling lang ling lung…..lama menempuh jalan pengemis, jalan menistakan diri, ia menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya ia menyadari kebodohannya dan tersenyum sendiri. Mengapa sampai teganya dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang. Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Kaya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepadanya.

 
Ling lang ling lung…..Raden Mas Sahid akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu akan terbukalah kunci mendapat petunjuk iman hidayah.

 

 

Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya dan bersunyi diri di Desa Bonang hingga digelari Kanjeng Sunan Bonang. Ia memohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Langkah pertama, ia disuruh ‘mantiq mantaq mantuq’ taqlid patuh taat pada perintah guru tanpa bertanya. Ia disuruh bertapa dengan ditandur di dekat pohon gurda, dan selamanya tak boleh meninggalkan tempat jika belum datang perintah.

 
Ling lang ling lung…..maka memancarlah kemudian, cahaya fitrah kemuliaannya yang tak terganggu oleh nafsu yang selama ini terus mengikutinya sebagai putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II.

 

 

Setahun lewat. Di tempat pertapaannya sudahlah rimbun tertutup oleh pohonan yang tumbuh liar, bersamaan dengan itu ‘tumbuh dan hidup’ pula sukma dalam diri Raden Mas Sahid. Dalam cermin mayapada yang luas, tak dilihatnya lagi ujud dirinya, namun hakekat hayyun hayat hayyu hayya yaa hayyu hayya.

 
Ling lang ling lung…..laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun, mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Diteruskan laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.

 
Ling lang ling lung…..nyatanya walau sudah sekian tahun ditinggal bersunyi meruwat diri, ketika ditengok, ditemui ia masih tarak brata (bertapa) saja. Hingga Kanjeng Sunan bonang berkata:

 
“Wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, engkau mulai sekarang sudah menjadi Wali, gelarmu Sunan Kalijaga dan engkau diangkat sebagai wali Sembilan penutup. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Engkau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung. Yang demikian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan), karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri kepada-Nya.”

 

 

Sunan Kalijaga berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang: “Sungguh hamba sangat berterima kasih, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut Iman Hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang dikerjakan.”

 
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Kalijaga benar ucapanmu. Namun ketahuilah, semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah hanya keterangan yang yakin bisa dipercayai secara pribadi ketika keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.

 
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga: “Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ‘ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama’ Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja.”

 
Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut: “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia.”

 
Sudah habis segala penjelasan yang harus disampaikan. Kanjeng Sunan Bonang kemudian meninggalkan tempat itu, membiarkan Sunan Kalijaga berjalan sendiri masuk ke hutan belantara.

 

 

Ling lang ling lung…..

 

Sunan Kalijaga lalu menjalankan laku kidang. Berbaur dengan kidang menjangan, segala gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang, pontang-panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.

 
Nyata sudah cukup setahun, Sunan Kalijaga menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Sunan Kalijaga bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat banyak kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau siswanya itu pastilah juga akan berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana ditemukan Sunan Kalijaga.

 
Maka yang berikutnya terjadi adalah adegan yang sangat seru. Sunan Kalijaga yang saat itu sedang tapa ngidang, bertingkah laku meniru kidang, sebenarnya tahu akan didekati gurunya. Namun beliau juga ingat ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia. Sementara gurunya adalah juga manusia, maka ia harus menghidari jangan sampai didekati, biarpun itu gurunya. Ia segera berlari tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing. Ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.

 
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, dalam hatinya merutuk: “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kidang. Bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal. Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”

Maka yang berikutnya terjadi adalah adegan yang sangat seru. Sunan Kalijaga yang saat itu sedang tapa ngidang, bertingkah laku meniru kidang, sebenarnya tahu akan didekati gurunya. Namun beliau juga ingat ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia. Sementara gurunya adalah juga manusia, maka ia harus menghidari jangan sampai didekati, biarpun itu gurunya.

Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliau segera mengepalkan nasi dalam genggaman. Sekejap di tangannya telah siap nasi tiga kepalan, segera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Kalijaga untuk melemparnya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati untuk menemukan Kalijaga yang sedang laku kidang. Ketika dilihatnya kidang Kalijaga itu tengah berlari, segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.

 
Kidang Kalijaga agak melambat larinya terkena lemparan itu. Lemparan kedua yang mengenai lambungnya memaksa kidang Kalijaga tersungkur. Dan pada lemparan yang ketiga baru kesadaran Sunan Kalijaga pulih dan ingat untuk berbakti dan taat kepada gurunya, Kanjeng Sunan Bonang.

 

 

Sunan Kalijaga berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang: “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam, itu adalah air yang suci, dan memohonlah berkah syafaat Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia.”

 

Ling lang ling lung……

 
Maka begitulah dimulai perjalanan Sunan Kalijaga ke Mekah. Dalam kisah ini beliau kemudian dikenal dengan nama Syekh Malaya.

antal mautu qoblal maut1

Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, melintasi rimba raya dan terjalnya tanjakan, hingga kemudian tiba di pesisir. Di sini hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas. Ia hanya diam tercenung, tubuhnya mematung, otak berputar-putar mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.

 
Ia menemu jalan buntu, namun hasrat hatinya untuk mendapatkan kesempurnaan dalam memahami hakikat hidup tak bisa lagi menunggu. Di ujung palung ia mengeraskan rahangnya, tangannya sejenak mengepal, lalu sekelebat kemudian tubuhnya telah mencebur ke dalam lautan, dengan kedua tangan menggantung di langit: Allaaaaaaaahu Akbaaarrr…!!

 
Syekh Malaya terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Ia bertaruh hidupnya sendiri dengan menyandarkan sisa-sisa tenaganya pada Yang Maha Memiliki Hidup, Yang Maha Memiliki Keperkasaan. Ia tahu Mekah masih jauh, lambat laun yang nampak di atas lautan hanyalah tubuhnya yang timbul tenggelam ibarat menunggu waktu menggelembung dan karam.

 
Lalu disaat-saat kritis itulah, mendadak sekelebat muncul seseorang yang tengah berjalan dengan tenangnya di atas ombak lautan. Syeh Malaya mencoba menegas siapa yang datang, namun tak mampu. Fisiknya yang sudah lemah membuatnya tak berdaya, dan ketika siuman tahu-tahu ia sudah duduk bersila di hadapan lelaki yang baru datang itu, sama-sama di atas air.

 
Adakah orang itu yang disebut Syekh Mahayuningrat, seperti cerita mitos yang selama ini ia dengar? Begitu Syeh Malaya membatin. Belum tuntas Syeh Malaya berfikir, lelaki di hadapannya telah menyapanya dengan lemah lembut: “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa. Tidak ada yang bisa ditemu-buktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian juga tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang kemudian tertiup angin dan jatuh di depanmu. Senangkah kamu melihat kenyataan ini semua?”

 

 

Syeh Malaya terpana. Lelaki itu meneruskan omongannya: “Di sini tempat yang sangat berbahaya. Mengandalkan pikiranmu saja itu bukan apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau maksudkan.”

 
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian. “Saya mohon petunjuk,” ucap Syeh Malaya memilukan pada lelaki di hadapannya. Lelaki itu tersenyum, pandangan matanya arif: “Apakah kamu sangat mengharapkan hidayatullah, Hidayah Allah?”

 
Ling lang ling lung…..

 
Lelaki itu berkata lagi: “Ikutilah petunjukku sekarang ini. Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini.”

 
“Jangan pergi kalau belum tahu yang akan engkau tuju, dan jangan makan kalau belum paham apa yang akan dimakan. Jangan berpakaian kalau belum tahu manfaatnya berpakaian Tanyakanlah kepada sesama manusia tentang tujuan hidupnya.”

 
“Ibarat ada orang dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Begitu pula halnya dengan orang berbakti, bila belum yakin benar pada siapakah yang harus disembah?”

 
Mendengar seluruh uraian itu, serentak Syekh Malaya duduk berlutut mohon belas kasihan, mendapati kenyataan lelaki itu betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata: “Sami’na wa atho’na, yang saya dengar akan saya laksanakan apa pun nanti jadinya.”

 
“Mohon sudilah diterangkan siapakah Tuan sebenarnya?” Tanya Syeh Malaya.

 

Lelaki itu, Sang Mahayuningrat itu, menjawab: “Akulah Khidr.”

 

Syekh Malaya berkata: “Saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat.”

 
Maka berkata dengan tenang Kanjeng Nabi Khidr kepada Syeh Malaya: “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya ke Mekah itu. Ketahuilah Mekah itu hanya tapak tilas saja, yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan.

 
Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja Wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenarnya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Kiblatullah, Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati.”

 
Kanjeng Nabi Khidr meneruskan perkataannya dengan memerintah: “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya, masuk ke dalam tubuhku.”

 
Ucapan itu membuat Syekh Malaya terhenyak, hingga tak dapat dicegah lagi keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata: “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata dengan lemah lembut: “Besar mana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku. Masuklah melalui jalan di telingaku ini.”

Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Kiblatullah, Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati.

Ling lang ling lung……

 
Birahi ananireku,

aranira Allah jati.

Tanana kalih tetiga,

sapa wruha yen wus dadi,

ingsun weruh pesti nora,

ngarani namanireki…

 
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidr. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidr, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin tak berbatas ruang, kemudian didengarnya suara Kanjeng Nabi Khidr bertanya keras-keras: “Wahai apa yang kamu lihat?”

 
Syekh Malaya segera menjawab: “Angkasa raya….yang kuamati kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak aku kenali lagi, bawah dan atas serta muka belakang, tidak mampu aku bedakan. Semuanya yang kulihat menjadi semakin membingungkanku.”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lemah-lembut: “Usahakan jangan sampai bingung hatimu.”

 
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang, dan di hadapannya kini nampak Kanjeng Nabi Khidr. Melayang di udara ia kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya kemudian melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidr, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lembut: “Jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu.”

 
Syekh Malaya menjawab: “Ada warna empat macam yang nampak padaku, semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih.”

 

 

Berkata Kanjeng Nabi Khidr: “Yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah Pancamaya. Semua itu sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri, yang mengatur dirimu, itulah yang disebut mukasyafah. Ia, yang bila engkau mampu, akan membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri.” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira.

 
Kanjeng Nabi Khidr melanjutkan penjelasannya: “Adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalangnya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku. Kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib. Itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi Maha Mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, hingga orang akan mencapai tingkatan Maqam Fana dan akan masuk Maqam Baqa’ atau abadi, senantiasa mendekat dan berdekatan rapat dengan Sang Pencipta.

 
Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam di hati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.

 
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah).

 
Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya menghalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik, isinya hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian.”

 
Kanjeng Nabi Khidr memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliau berkata: “Hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hal itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan erat antara manusia dan Penciptanya.”

 

 

Ling lang ling lung……

 
Nyala! Cahaya mulai menyala dalam kalbu. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.

be95dabb3c3b3e73f3f81798a572338a

Sipat jamal ta puniku,

ingkang kinen angarani,

pepakane ana ika,

akon ngarani puniki,

iya Allah angandika,

mring Muhammad kang kekasih…

 
Kanjeng Nabi Khidr kembali melanjutkan wejangannya: “Setelah hilang empat macam warna, ada hal lain lagi, nyala satu delapan warnanya,”

 
Syekh Malaya berkata: “Apakah namanya, ‘nyala satu delapan warnanya’, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah, warnanya menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya.”

 
Sang Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Semuanya itu sesungguhnya tunggal. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya. Rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia.

 
Di dunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong, kesulitannya tidak ada. Dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu.”

 
Syekh Malaya mengamati: “Yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”

 

 

Kanjeng Nabi Khidr menjawab dengan lemah lembut: “Itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keadaan. Yang kamu dambakan, tidak dapat kamu lihat. Tiada bentuk apalagi berwarna. Tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal, hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya. Hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.

 
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirimu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka. Tempat tinggalnya pada ragamu, namun tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita. Jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjadi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu. Sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.

 
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut ‘menggung’, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, Sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.”

 
Menjawablah Syekh Malaya: “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan kasat mata nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya.”

 
Syekh Malaya menyela pembicaraan: “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil.”

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata lembut dan manis, namun isinya bercampur perlambang dan sindiran: “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada disifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa.

 
Yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar. Ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika dimasa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri Jisim Lathif.”

 
Ling lang ling lung…..

 

 

Yen tanana sira iku,

ingsun tanana ngarani,

mung sira ngarani ing wang,

dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,

aranira aran mami….

 
Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidr berkata pelan: “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah Syahadat Jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup.

 
Jelasnya coba perhatikan orang mati, apa darahnya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif yang disebut Ruh Idhafi. Jisim Latif yang pertama, yang sudah ada terdahulu kala disebut Jisim Angling. Alif yang tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Menjadi Alif yang mengembang sebagai bagian dari Dzatullah.”

 
Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, yang bernama jauhar alif itu, asalnya dari Kalam Karsa, Kehendak Allah, Iradat Allah.

 
Kehendak Allah-lah yang menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri. Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya.

 

 

Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya; “Kalau tidak ada dirimu, Aku (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.

 
Dan untuk menjelaskan jati dirimu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik, itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna),”

 
Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidr bertanya: “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah.

 
Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, yang melahirkan Budi Jati. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan.

 

 

Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipta karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah.

 
Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu. Engkau lahir, mati, mengeluarkan kotoran, junub, jinabat, mencium aroma hidup, dan merasakan duka suka, menjadi ke-khas-an yang tidak bisa tidak akan engkau alami di alam dunia ini, walau pun seberapa lama, semua ketentuan itu telah digariskan dalam jauhar awal.

 
Dari keterangan tentang jauhar awal ini, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian: Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan dizaman azali. Kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak, bersidekap menciptakan keheningan hati, bersidekap menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu (perhatikan posisi bayi lahir)? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rahasia iman dapat kau resapi.

 
Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud, bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ihsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi. Sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata.

 
Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah, tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.

 
Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia yang sebenarnya harus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliau sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodaqoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat.”

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Tauhid hidayat sireku,

tunggal lawan Sang Hyang Widhi,

tunggal sira lawan Allah,

uga donya uga akhir,

ya rumangsana pangeran,

ya Allah ana nireki….

 
Kanjeng Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata: “Matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari Allah.

 
Sesungguhnya Allah itu, Allah yang hidup. Segala af’alnya (perbuatanya) adalah berasal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia, jika jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup) sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah.

 
Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nukad ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik, sehingga badanmu akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup.”

 
Syekh Malaya tercenung, kemudian berkata lemah lembut: “Mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya….”

 

 

Ling lang ling lung…..

 
Kanjeng Nabi Khidr berkata seraya tersenyum manis: “Wahai Malaya, maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.

 
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.

 
Adapun yang dimaksudkan Ruh Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan, yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri, serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

 
Ruh Idhafi itu sudah ada sebelum semuanya ada. Ia adalah sesuatu yang paling awal, tunggal, kosong tapi isi, isi tapi kosong. Kalau dipecah-pecah isinya semua ini, semuanya berasal dari satu, akan tetapi tidak bisa dipersamakan, tidak bisa dipersekutukan. Syirik itu dapat terjadi tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning, yang keenam dari jauhar awal.

 
Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga, hingga sebutir mutiara akan menampakkan keindahan bentuk yang menawan. Bermula dari jauhar ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan segala yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak.

 

 

Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqam), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati). Orang yang tidak Shalat, orang yang tidak beribadat, itu menandakan ruh orang yang mati.

 
Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisyaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkan adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akhirat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.

 
Ruh ketundukan yang serba pasrah kepada Dzatullah itulah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula yang menimbulkan Shalat Daim yang tidak perlu mengunakan air wudhu untuk membersihkan hadats. Itulah shalat batin yang sebenarnya. Diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran, akan tetapi menjaga adab dan norma kesusilaan. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Bahwa kita ini ada karena ada yang mencipta, yaitu Allah. Itulah wajibnya, yang mustahil kalau tidak Maha Wujud sebelumnya.

 

 

Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah. Bukakah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan Allah.

 
(sampai di sini mudah-mudahan semua menjadi jelas. Ada yang disebut Nur Muhammad, dan ada yang disebut Nabi Muhammad. Nur Muhammad adalah kenyataan awal yang telah tersebut dalam jauhar awal, yang memiliki kesesuaian nama dengan Rasul Allah terakhir yang bernama Muhammad)

 
Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut juga iman maksum, kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan.

 
Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu mengingkari empat masalah prinsip? Diantaranya bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran mendekatkan pada kufur. Sebabnya karena kafir itu buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Itulah orang yang fakir dalam beribadah kepada Allah. Tidak mau memuji, tidak mau menyembah, karena fakir terhadap Dzatullah. Karena fakir tidak adanya pedoman, lalu mereka-reka ke-Tuhan-an, Allah yang dibentuk-bentuk. Padahal kepastian itu tak ada yang bisa mengetahui, kecuali Allah menggenggam rahasia-Nya sendiri.

(sampai di sini mudah-mudahan semua menjadi jelas. Ada yang disebut Nur Muhammad, dan ada yang disebut Nabi Muhammad. Nur Muhammad adalah kenyataan awal yang telah tersebut dalam jauhar awal, yang memiliki kesesuaian nama dengan Rasul Allah terakhir yang bernama Muhammad)

Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah, juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus menyadari ke-satu-an, ke-ahad-an Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Itu yang akan menumbuhkan makrifat sebutannya.

 
Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratul maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu terjadi karena Allah itu Hidup dan Menghidupi dirimu, dan juga menghidupi segala yang hidup.

 

 

Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik. Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah, sebagai sarana pengabdian hamba kepada Gusti Allah.

 
Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, Shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hamba-Nya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi.

 
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu, serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang menitipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat? Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata, karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, aku merasa kehilangan.

 
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratus pun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersumber dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada Allah sudah dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan.”

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Ruh idhofi neng sireku,

makrifat ya den arani,

uripe ingaranan Syahdat,

urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,

rukuk pamore Hyang Widhi…

 
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahayuningrat Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya senang hatinya sehingga beliau belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat.”

 
Kanjeng Nabi Khidr memperingatkan: “Yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian.”

 
Kanjeng Nabi Khidr semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. “Waspadalah terhadap hambatan upaya, dan memohonlah dengan benar. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia kalau tanpa seizin-Nya.

 
Sekiranya akan ada yang mempersolakan lalu memperbincangkan masalah ini, jangan sampai terlanjur, jangan sampai membanggakan diri. Jangan peduli terhadap gangguan cobaan hidup, namun terimalah dengan sabar. Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu. Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja, yang sebenarnya tak berbatas karena selalu di tubuh. Sungguh, selalunya ada dalam dirimu dan tak mungkin terpisahkan.

 

 

Cara mendengarnya adalah dengan ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya juga tanpa dengan mata. Adapun telinga dan mata yang diberikan oleh Allah kepadamu itu, secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat batang pohon yang dibakar, pasti asap apinya menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pula dengan Hyang Sukma, sekiranya kita ingin mengetahui wajah hamba Tuhan, akan diberitahukan tempatnya seperti wayang dalam ragamu. Bentuk-bentuk wayang dalam ragamu dengan jagad sebagai panggungnya. Bergerak-gerak bila digerakkan, dengan kehendak yang justru tanpa wujud dalam bentuknya.

 
Permisalan yang jelas adalah ketika kita berhias. Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan yang terbentuk dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia (ayang-ayang) sesungguhnya.

 

 

Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena bahkan dibandingkan lembutnya air, bukankah masih lebih lembut kematian manusia? Lembut, namun menguasai keseluruhan yang ada, lebih pula dalam menerima perintah.

 
Jangan hanya mengandalkan pada ajaran atau pengetahuan, bersungguh-sungguhlah menguasainya dengan laku kesempurnaan. Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia, dengan ajaran itu sebagai benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.

 
Misal kacang dan kedelai yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Dan bila engkau ingin bijaksana, musnahkanlah penglihatan hanya pada matamu, gunakanlah penglihatan sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu, serahkan kembali kepada yang Empunya suara.

 
Engkau yang mengakui sebagai pemiliknya, sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma, jika kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti.

 

 

Bicarakanlah sesuatu bila pendapatmu benar-benar meyakinkan. Bila masih merasakan ada sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud, apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan, apa yang kau pikir akan terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.

 
Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya, sekejap pun engkau tak boleh lupa. Dhahir-nya pengetahuan dasarilah dari empat penjuru, kelimanya engkau simpan dengan baik, dan gunakan pada saatnya. Itu artinya mematikan diri, meniadakan nafsu.

 
Artinya mati didalam hidup, selalu siap melewati pintu mati menuju hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati, tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu. Anugerah berupa wahyu akan datang kepadamu seperti bulan yang diterangi cahaya temaram, seperti dzat bening yang meninggalkan kotoran.”

 
Kemudian Kanjeng Nabi Khidr berkata dengan lembut dan tersenyum: “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.

 
Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidr. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinnya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Ke seluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Ibarat bunga yang selama ini masih dalam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya semerbak mewangi. Menghirup lagi alam padhang, keluar dari raga Kanjeng Nabi Khidr kembali ke mayapada semula, berdiri di atas lautan….

 

 

Ling lang ling lung…..

 

 

Sekarat tananamu nyamur,

ja melu yen sira wedi,

lan ja melu-melu Allah,

iku aran sakaratil,

ruh idhofi mati tannana,

urip mati mati urip…..

 
Lalu Kanjeng Nabi Khidr berkata: “Wahai Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan hati ialah rasa qana’ah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia.

 
Perhaluslah budi pekertimu dengan akhlak. Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.

 
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atau ikhtiar cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah hingga bisa dipercaya engkau kuasai sifat-sifatnya.

 
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat (masuknya Syeh Malaya ke dalam raga Kanjeng Nabi Khidr menjadi pertanda ketidak berdayaan wadag Syeh Malaya dalam wadag yang lain, yang demikian hematnya juga menjadi inspirasi tiap mahluk, bahwa di ruang sebebas apapun sebenarnya kita bergantung dan berada dalam kekuasaan keluasan ke-Maha Luas-an yang tak tertandingi, yang kasat mata namun ada), sebagai alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam.

 

 

Bukankah engkau banyak sekali melihat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar, tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar, akibatnya terperosok dalam penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya seperti burung, dimana ia hanya sekadar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru.

 

 

Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya dimasyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memilih jalan terpaksa. Menumpuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi, agar semua itu menjunjung harkat dan martabat.

 
Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa menghiraukan jerih payah dan tanpa hasil, itu artinya mengalami kegagalan total.

 
Setidak-tidaknya semua ini menjadi gambaran bagaimana hidupnya di dunia. Lalu ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan.

 
Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri, pada saat-saat menghadap ajalnya. Bila salah menjawab pertanyaannya bumi (ditolak bumi), lebih baik jangan jadi manusia, kalau matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Hilang dan mati bersama raganya menjadi diidamkannya, hingga mempertinggi semedinya untuk mengejar keberhasilan.

 
Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata yang tidak disertai dukungan ilmu. Akibatnya hasilnya kosong melompong, karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki. Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian, akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar karena terlalu serius. Adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung.

 

 

Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil, dan bila ilmu tanpa tapa rasanya hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya setengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya. Penyampaiannya hanya berdasarkan pikiran belaka.

 

 

Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sampai tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar, pendapatnya atau ilmunya adalah wahyu sebagai anugerah yang diberikan khusus secara pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luasnya pemaparan anggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah.

 
Kebaikannya, keduanya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu, harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah, dan biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung. Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Jika ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot, akibatnya rugilah mereka yang berguru.

 
Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan di tempatnya. Terangnya blencong (lampu suluh dalam pertunjukan wayang) itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, dengan kelir latar kayon alam jagad raya yang sepi dan kosong yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau budi kreasi manusia.

 

 

Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya.

 
Dialognya menyampaikan pesan, lisannya bercakap berbagai nasihat. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma. Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?

 
Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain, kesemua ini adalah Rahasia Allah. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, namun juga berisi segala macam titah. Manusia itu hanya satu, dengan Penguasa Yang Maha Satu yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi perjalananmu, kembalilah kau ke pulau Jawa. Bukankah niat kepergianmu sebenarnya kau mencari dirimu juga?”

 
Ling lang ling lung…..

 

 

Liring mati sajroning ngahurip,

iya urip sajtoning pejah,

urip bae selawase,

kang mati nepsu iku,

badan dhohir ingkang nglakoni,

katampan badan kang nyata,

pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,

Syekh Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira nampani,

Wahyu prapta nugraha…

 
Syekh Malaya bergegas, mengucapkan taqlid dan salam yang disebut Kalingga Murda ‘sami’na wa atho’na’. Sekejap Kanjeng Nabi Khidr lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera, dengan keringat masih membasah di dahinya. Air samudera mumbul, uap matahari mengepul, namun Syeh Malaya terus berjalan, tanpa tersentuh air!

Gusblero Free