31. Lubdaka

Lumajang, 1260 Masehi (1338 tahun Caka). Lubdaka yang namanya menjulang antara Kalilusi dan gunung Penanggungan itu hidup menyepi di sebuah perdikan dengan puteranya. Mereka hidup bertani dan hanya memiliki seekor kuda betina kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda Lubdaka satu-satunya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan.

 

Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: “Wahai Lubdaka, malang benar nasibmu!”.Mendengar komentar itu Lubdaka hanya menjawab, “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Fantastis. Keesokan harinya, ternyata kuda Lubdaka kembali ke kandangnya dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang Lubdaka yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang-orang seluruh kampung berbondong datang dan segera mengerumuni kuda-kuda tiban yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Blantik-blantik (makelar binatang) segera menawar kuda-kuda tersebut dengan harga tinggi dan lalu menjualnya ke kotaraja. Lubdaka pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan seekor kuda jantan liar untuk kuda betinanya.

 

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: “Wahai Lubdaka, betapa beruntungnya dirimu!”.Kembali Lubdaka hanya berujar singkat, “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Pagi hari berikutnya, Saka, anak Lubdaka yang beranjak remaja pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda barunya. Tanpa dinyana, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, hingga mengakibatkan Saka terjatuh dan patah kakinya.

 

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata dengan sedikit nyinyir: “Benar kamu Lubdaka. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Lubdaka tersenyum, dan kembali hanya menjawab, “Ya, kalian benar. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kakinya, dan nampaknya memang perlu waktu cukup lama hingga tulangnya yang patah itu akan bisa baik kembali seperti sediakala. Keesokan harinya, tiba-tiba datanglah Panglima Perang Kerajaan ke desa itu. Atas nama sang Raja memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung dalam pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda di perdikan itu pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak Lubdaka pun selamat dari keharusan ikut berperang karena dia cacat.

 

Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putranya, dan diantaranya berkata: “Wahai Lubdaka, alangkah jauh lebih beruntungnya nasibmu!”.

 

Lubdaka hanya menjawab lirih, pandangan matanya jauh menembus batas langit: “Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu?”

 

lubdaka

 

Maka begitulah kawan. Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang telah diskenariokan Sang Maha Sutradara. Sikap kita kemudian itulah yang menentukan seberapa nilai kemuliaan kita dihadapan-Nya, sikap ini juga, yang menurut Imam Ghazali, kemudian menempatkan kita dalam golongan-golongannya sendiri:

 

Orang yang mengetahui, dan dirinya mengetahui kalau dia mengetahui (Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri).

 

Orang seperti ini biasanya disebut ‘Alim, atau Orang Yang Berpengetahuan. Terhadap orang yang seperti ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Ini adalah jenis manusia yang paling baik berdasarkan ilmu pengetahuannya, ia tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tetapi juga dia menyadari hikmah disebalik perkara atau kejadian. Manusia jenis ini adalah manusia unggul, manusia seperti inilah yang mampu merubah dunia kearah yang lebih baik, mereka layak menjadi lifemaking. Jumlah manusia seperti ini tidaklah banyak, tapi setiap dimana ia berada ia akan menjadi nyawa bagi kehidupan umat manusia lainnya.

 

Orang yang mengetahui, tapi dirinya tidak mengetahui kalau dia mengetahui (Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri)

 
Untuk tipe yang seperti ini, mungkin bisa kita umpamakan orang yang tengah tertidur, lalu bagaimana sikap kita dengan orang yang seperti ini? Bangunkan dia! Manusia seperti ini sesungguhnya memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya dia memiliki potensi yang luar biasa tersebut. Sekali lagi orang-orang seperti ini harus segera dibangunkan, karena ilmunya yang tidak segera diamalkan bisa bagaikan pohon yang tidak berbuah, adanya dia menjadi seperti tidak ada. Untuk itu yakinkan bahwa dia memiliki potensi untuk bisa!

 

Orang yang tidak mengetahui, dan dirinya mengetahui bahwa dia tidak mengetahui (Rojulun Laa Yadri Annahu Laa Yadri)

 
Orang-orang seperti ini adalah orang yang masih awam, masih lemah pengetahuannya. Maka adalah tugas bagi orang-orang yang berilmu yang berada disekitarnya berkewajiban untuk merangkul dan mengajarinya. Jenis manusia seperti ini masih tergolong baik. Sebab manusia seperti ini menyadari akan kekurangannya, ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan diri sepantasnya. Tipe manusia ini dengan kesadaran dan akal sehatnya tidak akan menghalangi sebuah proses perubahan kearah yang lebih baik. Dia tidak akan berani nekat memegang amanah yang ia rasa tidak memiliki kemampuan untuk memegangnya, sebab ia tahu (sadar diri) siapa dirinya.

 

Orang yang tidak mengetahui, dan dirinya tak mengetahui kalau dia tak mengetahui (Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri)

 
Inilah jenis manusia yang paling buruk, tidak tahu diri dan tidak berguna. Orang Jawa bilang pokomen. Ia selalu merasa mengerti, merasa benar, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia seperti ini susah sekali untuk disadarkan. Bahkan ketika pendapatnya sudah patah dan lemah sekalipun ia tetap mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya tersebut. Kalau diingatkan ia akan membantah, atau bahkan merasa lebih tahu. Jenis seperti ini paling susah dicari kebaikannya. Jangan ikuti orang seperti ini, kalau memang kita merasa tidak sanggup untuk menyadarkannya maka lebih baik meninggalkannya ketimbang kita yang akan terpengaruh oleh dia. Ingat, ilmu yang palsu (keliru) jauh lebih berbahaya dari kebodohan.

 

Jelaslah kini. Apa-apa yang kita sebut hari ini sebagai musibah, barangkali di masa depan baru ketahuan hikmahnya bahwa itu adalah sebuah berkah. Seperti Lubdaka, ia telah mampu berhenti untuk menghakimi dan menilai kejadian dalam kehidupan ini sekadar dengan istilah keberuntungan dan air mata, pengorbanan dan hilangnya harga diri!

 

orang yang masih awam, masih lemah pengetahuannya. Maka adalah tugas bagi orang-orang yang berilmu yang berada disekitarnya berkewajiban untuk merangkul dan mengajarinya. Jenis manusia seperti ini masih tergolong baik. Sebab manusia seperti ini menyadari akan kekurangannya, ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan diri sepantasnya.

 

Gusblero Free

Tinggalkan komentar